Iklan Produk

Monday, May 21, 2012

Reformasi Birokrasi

MEMBANGUN PARADIGMA INDONESIA BARU 
PASCA KEGAGALAN REFORMASI
    
          Indonesia paska reformasi yang genap berusia tujuh tahun tidak mengalami perubahan sebagaimana yang digembarkan-gemborkan banyak kalangan selama ini. Semua berujung pada situasi yang stagnan malah kian bertambah pelik. Kemiskinan, pengangguran, kriminalitas dan varian masalh publik lainnya tidak mengalami pembenahan yang signifikan bahkan bertambah runyam dan kompleks. Alhasil semua membawa kegiatan pelayanan kepada masyarakat menuju pada ke vacuman yang ambiguitas. Ibarat manaiki sebuah kapal laut yang sudah hampir karam lalu memaksa penumpangnya untuk mengikuti ketidakjelasan ombak yang mengombang-ambing.

1.1  Latar Belakang Masalah
           Ilustrasi tersebut secara makro terkesan mengejek gerakan reformasi tetapi demikianlah realitas yang harus dihadapi ratusan juta masyarakat yang hidup di Indonesia. Reformasi telah gagal dalam seluruh konstalasi kehidupan bangsa Indonesia. Demokrasitasi liberal yang diperagakan selama ini hanya menghasilkan elitisme politik yang berkembang melenceng dari Public Choice tanpa diiringi fundamen ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat secara nyata. Perubahan yang dijanjikan hanya sebatas komoditi marketing partai politik atau calon kepala pemerintahan yang berkompetisi menduduki lembaga legislatif dan eksekutif baik pada tingkat daerah maupun pusat.
          Otomatisasi perilaku politk sebagai konsekuensi gelombang pos medernisme menjadi kerangka dasar arsitektur demokrasi liberal yang tengah berjalan di Indonesia saat ini. Perilaku politik tersebut kemudian ditunjang dengan akses terhadap pendidikan politik yang rendah apalagi tingkat kesejahteraan yang memperhatinkan membuat otomatisasi perilaku politik menemukan jati dirinya dalam mayoritas masyarakat pemilih sebagai pemegang kendali demokrasi di bumi pertiwi ini.
           Letak kesalahan utama adalah ambiguitas agenda reformasi. Agenda Reformasi dikonstruksi pada saat terjadi gap pengetahuan yang terjal antara elit politk dan publik sehingga outcome-nya adalah tingkat operasionalisasi di tataran publik yang membias. Hal ini diakibatkan sasaran kebijakan agenda reformasi tidak pernah dijabarkan secara rigid baik dari segi perubahan yang diharapkan, target sasaran yang eligibel dan penepatan tengat waktu realisasi perubahan. Dan rasanya tidak perlu lagi membicarakan langkah-langkah operasional yang disusun secara sistematis dan berkesinambungan untuk mencapai harapan reformasi. Sebab itu semua hanyalah fiksi atau mungkin akan menjadi sebuah kisah nyat pada benak masing-masing elit politik yang terus berseteru secara egois dan meninggalkan publik sebagai konstituennya dalam demokrasi.
           Pembiasan terjadi pula pada saat representasi politk dilakukan untuk konstituen bukan untuk agregasi publik. Peran dan fungsi legislator dan pemimpinan pemerintahan yang baik daerah ataupun pusat kemudian menjadi peryataan yang sangat mendasar, mungkinkah mereka memiliki skill atau kemampuan dan ketrampilan yang memadai untuk melakukand dikotomi peran dan fungsi secara proporsional di tengah kebijakan yang tidak memiliki ketegasan moralitas ? Apalagi catatan merah langkah legislator dan pimpinan pemerintahan menuju kursi politik dibangun diatas kerangka dasar infiltrasi preferensi publik untuk mengkreasi arsitektur otomatisasi perilaku politk secara massive.

1.2  JALAN KELUAR
           Secara epistemologis keberanian untuk melakukan refleksi terhadap berbagai ke tidak bijakan yang selama ini telah dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat dan pemerintah menjadi kerangka dasar untuk mengurangi satu persatu benang kusut yang membelit bangsa Indonesia. Keberanian untuk meninjau falsafah negara serta tingkat fisibilitasnya dalam menghadapi tentangan perubahan sosial akan menjadi langkah awal untuk keluar dari jurang masalah. Alternatifnya dapat berupa amandemen seperti yang telah dilaksanakan beberapa waktu yang lalu atau menggantikannya dengan kebijakan yang baru dalam memuat nilai-nilai filosofis yang secara kongkrit menyentuh kepentingan publik. 
           Budaya spritualisme dan materilisme yang kemudian dibangun pada tingkat individu ditujukan untuk menciptakan basis perthnan individu yang kokoh dan tangguh dalam berjuang menjalani hidup. Dengan demikian kita dapat mereduksi dependensi manusia yang kehilangan eksistensinya terhadap Bahan Bakar Minyak, Listrik, Telepon, Kelas sosial, bahkan ketakutan terhadap kemiskinan dan sifat lainnya hanya fotamorgana. Di era ini bangsa Indonesia harus dapat mewujudkan kematian konsumerisme dan mulai membangun kemandirian bangsa dan negara yang sejati pada setiap sumber daya manusia Indonesia.