Hingga saat ini, akses masyarakat terhadap air bersih masih menjadi masalah lokal maupun global. beberapa wilayah di Indonesia masih menghadapi masalah dengan akses terhadap air bersih, terutama air untuk minum, mandi dan mencuci.
Krisis air bersih mengakibatkan masyarakat harus mengeluarkan tenaga dan biaya ekstra untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Banyak kasus penduduk desa yang mengalami darurat air bersih terpaksa harus berjalan kaki jauh untuk mengambil dan mengangkut air bersih yang memiliki sumber air bersih. Kasus laiinya terdapat masyarakat yang harus membeli air dengan harga mahal setiap jeringennya untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. sementara di Pulau Nias pada masyarakat pedesaan yang belum teraliri semuanya dialiri air perpipaan yang disedian oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) maka masyarakat desa membangun sumur atau mencari sumber mata air bersih untuk memenuhi kebutuhan air bersih dipedesaan. Ketika musim kemarau panjang maka sumber mata air tersebut mengalami kekeringan sehingga masyarakat desa sulit untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Krisis air bersih tidak hanya menimbulkan tenaga dan biaya ekstra bagi masyarakat, tetapi juga mengancam kesehatan mereka. Menurut penelitian organisasi kesehatan dunia (WHO), krisis air menimbulkan penyakit antara lain kolera, hepatiti, polymearitis, tipus, disentri trachoma, scabies, malaria, yellow fever, dan penyakit cacingan. Kematian anak balita diseluruh dunia akibat air kotor mencapai 13 juta/tahun atau sekitar 35.000 balita/hari. Kasus kematian balita tersebut banyak terjadi di daerah perdesaan yang disebabkan minimnya air bersih. Di Indonesia, penyakit yang sering muncul saat terjadi krisis air bersih diantaranya adalah diare, tipus, polio dan cacingan. Menurut WHO bahwa penyakit menular akan turun 80% seandainya setiap orang mampu mendapatkan air bersih dan menggunakannya dengan baik.
Gambar masyarakat yang mengambil air di sungai
Mengingat pentingnya peran air dalam berbagai sisi kehidupan manusia, Konversi Perserikatan Bangsa-Bansa (PBB) tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 2002, mengakui hak atas air termasuk didalamnya kebebasan untuk mengelola akses atas air. Dengan demikian, kedua hak tersebut secara tegas dikategorikan sebagai Hak Asasi Manusia. Pemenuhan elemen hak atas air dilakukan dalam rangka menjaga martabat, kehidupan dan kesehatan manusia.
Gambar masyarakat menampung air di pedesaan
Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights sesuai dengan program Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air seluruh masyarakat. lebih lanjut diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air khususnya Pasal 5 yang menyatakan bahwa "Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif".
Ketentuan ini mewajibkan negara menyelenggarakan berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan air bagi setiap orang yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk di dalamnya menjamin akses setiap orang terhadap sumber air untuk mendapatkan air.
Akses Terhadap Air Bersih Desa
Salah satu masalah yang dihadapi dalam penyedian air bersih di Indonesia adalah terbatasnya ketersedian air bersih. Berdasarkan laporan Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2010 yang diterbitkan oleh Bappenas, target jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap air bersih secara layak pada tahun 2015 adalah 68,87%.
Berdasarkan beberapa laporan, perkembangan penyedian air bersih masih jauh dibawah target yang ditetapkan. Laporan MDGs 2010 menyebutkan bahwa akses air bersih di daerah perkotaan mencapai 49,82 % sementara di perdesaan baru 45,72 %. Laporan Unicef dan WHO pada tahun 2010 tentang Progress on Drinking Water and Sanitation menyatakan akses air bersih melalui air perpipaan baru sekitar 23%, sedangkan dari sumber air terlindungi sekitar 57%. Masalah ini akan semakin besar seiring dengan terus meningkatnya pencemaran sumber air baku dan kerusakan lingkungan. Data tersebut menegaskan bahwa akes masyarakat Indonesia terhadap air bersih masih rendah terbukti dengan masih rendahnya akses masyarakat Indonesia terhadap air perpipaan yang disediakan oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum ).
Air perpipaan dari PDAM dinilai sebagai air yang berkualitas, yang dapat diandalkan dan lebih sehat dibandingkan dengan sumber lainnya. Namun, kebijakan penyediaan air bersih di Indonesia dilakukan lebih menggunakan pendekatan pasar sehingga berdampak negatif bagi masyarakat miskin yang tidak mampu menjangkau pelayanan air bersih yang telah disediakan. PDAM selaku perusahaan negara yang bertangung jawab memberikan pelayanan air bersih, ternyata hanya memberikan pelayanan kepada masyarakat perkotaan yang dinilai mampu membayar serta lebih mudah menyediakan infrastrukturnya. PDAM tidak bersedia menanggung resiko kerugian apabila melayani masyarakat pedesaan.
Untuk masyarakat yang tidak dialiri air PDAM, pemerintah menginisiasi program PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang dilakukan sejak tahun 2008. Namun program tersebut tidak berjalan lancar dan belum menyentuh seluruh desa yang membentuhkan. Dengan demikian, secara de facto Pemerintah Indonesia belum menunaikan kewajibannya terhadap pemenuhan hak atas air bersih bagi seluruh rakyatnya sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004.
Setiap orang berhak atas terpenuhinya kebutuhan air bersih, karena air merupakan public good , yaitu barang yang non-rival (apabila barang tersebut dikonsumsi oleh seseorang maka tidak akan mengurangi kesempatan orang lain untuk ikut mengkonsumsinya). Sebagai public good air juga memiliki sifat non-excludable, artinya siapa pun berhak mengkonsumsinya.
Dalam prakteknya, pemanfaatan air dapat menimbulkan potensi permasalahan biaya sosial yang besar bagi masyarakat:
Pertama, sebagai public good air tidak dapat dicengah untuk digunakan secara bersama-sama dan dikonsumsi secara berlebihan.
Kedua, adanya kecendurungan masyarakat memanfaatkan badan air sebagai tempat pembuangan limbah/sampah yang murah sehingga menimbulkan pencemaran air. Dampak lainnya upaya penyediaan air baku untuk diolah menjadi air bersih menjadi berkualitas.
Ketiga, kerusakan hutan pada hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) juga semakin meningkat.
Potensi permasalahan tersebut terjadi secara bersamaan. Hal ini dapat merusak alam dan siklus hidrologi yang berpengaruh terhadap penyediaan air bersih. Akibatnya terjadi penurunan kuantitas, kualitas dan kontinuitas sumber-sumber air yang layak sebagai sumber air baku dalam penyediaan air bersih dan air yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Sebagai solusinya diperlukan intervensi negara agar tidak terjadinya persaingan terbuka dan langsung yang akan saling menghadapkan kekuatan masyarakat desa. Negara harus mampu menyediakan infrastruktur atau sarana dan prasarana penyediaan air bersih di wilayah darurat air. Negara juga harus mampu memberdayakan masyarakat dalam upaya penanggulangan pencemaran air.
Kebijakan Penyediaan Air Bersih
Krisis air bersih membutuhkan kebijakan sosial untuk mengatasinya. Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik yang merupakan ketetapan pemerintah untuk merespon isu-isu yang bersifat publik. Kebijakan tersebut bertujuan mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
Kebijakan sosial memiliki fungsi preventive (pencengahan), currative (penyembuhan) dan development (pembangunan). oleh karena itu, kebijakan sosial didesain secara kolektif oleh pemerintah untuk mencengah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi kebutuhan hak-hak sosial warganya.
Negara mengakui hak atas air bagi masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004. Oleh karena itu, negara harus menjadi pihak yang mengintervensi penyediaan air bersih. Menurut Mungkasa (2010), indikator terpenuhinya hak atas air oleh negara apabila mampu memenuhi 3 hal berikut:
- Ketersediaan, maksudnya suplai air untuk setiap orang harus mencukupi dan berkelanjutan untuk kebutuhan individu dan rumah tangganya.
- Kualitas, maksudnya air untuk setiap orang atau rumah tangga harus aman, bebas dari organisme mikro, unsur kimia dan radiologi yang membahayakan dan mengancam kesehatan manusia.
- Mudah diakses, maksudnya air dan fasilitas air dan pelayanannya harus dapat diakses oleh setiap orang tanpa diskriminasi.
Kemudahan akses terhadap air ditandai dengan:
- Mudah diakses secara fisik, maksudnya air dan fasilitas air serta pelayanannya harus dapat dijangkau secara fisik bagi seluruh golongan yang ada dalam suatu polulasi
- Terjangkau secara ekonomi, maksudnya air dan fasilitas air serta pelayanannya harus terjangkau oleh penghasilan kebanyakan masyarakat
- Non-diskriminasi, maksudnya air dan fasilitas air serta pelayanannya harus dapat diakses oleh semua, termasuk kelompok rentan atau marjinal dalam hukum maupun dalam kenyataan lapangan tanpa deskriminasi dan
- Akses informasi, maksudnya akses atas air juga termasuk hak atas untuk mencari, menerima dan bagian dari informasi sehubungan dengan air.