Iklan Produk

Tuesday, January 26, 2021

Makalah Pelayanan Publik

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang Masalah

          Pelaksanaan pemerintahan di daerah mengalami perubahan yang sangat signifikan sejak tahun 2001 ketika konsep Otonomi Daerah dilaksanakan. Berangkat dari waktu itu, aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih tailorised dengan kebutuhan masyarakat daerahnya. Terdapat konsep yang mendasar dalam hal mengelola urusan yang mengatur pemerintahan lokal ini yakni adanya prakarsa sendiri dan berdasar pada aspirasi masyarakat daerah tersebut. Desentralisasi semestinya bermakna kemauan masyarakat lokal untuk memecahkan berbagai macam masalah masyarakat setempat demi mencapai kesejahteraan mereka. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi. Otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah.

            Lima tahun waktu telah berlalu, namun potret kualitas pelayanan publik di negeri ini masih dirasakan sebagai pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli). Kesemuannya merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Ketidakadilan dalam pelayanan publik masih mewarnai secara dominan dalam ranah manajemen pelayanan umum. Masyarakat yang tidak beruntung secara ekonomi akan termarginalkan dalam wilayah pelayanan, berhadapan dengan kekuasaan birokrasi, lamanya waktu dsb. Disisi lain bagi mereka yang memiliki uang, dekat dengan kekuasaan birokrasi dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan masalah yang serius dalam ranah sosial, ekonomi dan politis.

            Potret pelayanan umum bagi masyarakat masih dinilai cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas (over bureaucratic), dan tidak representatif (under performing), sia-sia (wasteful) serta berpotensi mahal (bloated) . Wilayah yang sering menjadi sorotan tajam masyarakat adalah seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah. Potret pelayanan umum diatas yang utama disebabkan oleh kukuhnya paradigma pemerintahan lama yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani. Roh otonomi daerah semestinya mengidupkan pemerintah daerah dan aparatnya sebagai pelayan dalam artian yang sesungguhnya.

            Perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi, keberhasilan dan kepuasan masyarakat yang dilayani. Perilaku “melayani, bukan dilayani”, “mendorong, bukan menghambat”, “mempermudah, bukan mempersulit”, “sederhana, bukan berbelit-belit”, “terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang” semestinya kuat mewarnai kultur korporasi (corporate cuture) birokrasi pemrintah daerah. Kultur korporasi ini pada galibnya adalah agregat dari sikap masing masing perangkat birokrasi pemerintah daerah.

            Agar pelayanan publik berkualitas, pemerintah daerah perlu mereformasi paradigma pelayanan publik yang talah ada. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pada pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna (user orinted).

            Disain sistem pelayanan umum yang berpangkal dari pandangan dan kemauan publik (users’ views) adalah model dari pola pendekatan bottom up yang lebih mengedepankan aspek partisipasi publik dalam menentukan serta memola model pelayanan yang dibutuhkannnya. Adapun ciri ciri dari paradigma pelayanan umum yang berpangkal dari kemauan dan kepuasan publik (customer-driven government) adalah:

1.      Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat,

2.      Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama,

3.      Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas,

4.      Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan,

5.      Lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat,

6.      Memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya,

7.      Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan,

8.      Lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan

9.      Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.

Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain:

1.      memiliki  dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya,

2.      memiliki wide stakeholders,

3.      memiliki tujuan sosial,

4.      dituntut untuk akuntabel kepada publik,

5.      memiliki complex and debated performance indicators, serta

6.      seringkali menjadi sasaran isu politik.

            Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; namun, dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible kurang koordinasi serta sangat birokratis.kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakatdan yang terkhir innefisien.

            Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus untuk kepentingan pelayanan kepada masyarakat. Organisasi dan sistemnya penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah daerah. Kondisi tersebut juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

Lebih jauh, pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Pemerintah memiliki faset kekhasan persoalan kelemahan yang mendasar . Beberapa kelemahan mendasar tersebut antara lain: pertama, adalah sulitnya  menentukan atau mengukur output maupun kualitas. Kedua, pelayanan pemerintah daerah tidak mengenal “bottom line”.. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities.

            Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa bertujuan untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi diharapkan menjadi jalan bagi penyelesaian permasalahan bangsa yang dihadapi dan menjadi harapan bagi masyarakat sebagai momentum untuk menemukan cara baru dalam mendesain jalannya roda pemerintahan, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Gerakan ini menuntut perubahan struktur, kultur dan paradigma penyelenggaraan pemerintahan terutama pada birokrasinya yang sedikit banyak juga mempunyai kontribusi pada saat terjadinya krisis multidimensional.

            Pemerintahan reformasi yang ada selama ini dinilai masih kurang responsif dan tidak peka terhadap tuntutan perubahan, aspirasi dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Pemerintahah masih belum mampu mengantarkan bangsa keluar dari himpitan krisis serta belum mampu menghasilkan perbaikan kehidupan yang berarti. Perebutan kekuasaan antar elit politik lebih mewarnai jalannya reformasi daripada tindakan nyata kearah perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tingkat kepercayaan rakyat terhadap integritas pemerintahan sering dipertanyakan dengan banyaknya bentuk luapan ekspresi ketidakpuasan rakyat seperti main hakim sendiri, demonstrasi, protes, kecaman, caci maki terhadap birokasi publik dan sebagainya. Pemerintah dengan birokrasinya yang diharapkan menjadi jalan pemecahan masalah tetapi malah menjadi sumber masalah dari permasalahan yang dihadapi bangsa.
            Aspirasi masyarakat yang semakin mengedepan dalam era reformasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan setidaknya meliputi beberapa hal. Pertama, reformasi sistem politik yang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dinafikan untuk menuju kehidupan politik yang lebih demokratis melalui keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses politik yang menyangkut kepentingan publik (Gaffar, 2000). Kedua, reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dari pola sentralisasi yang bersifat paternalistik menjadi desentralisasi yang bersifat kemitraan (Rasyid, 2001). Ketiga, tuntutan untuk mewujudkan good governance and clean government dalam penyelenggaraan negara yang didukung dengan prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation dan lain-lain (Edralin,1997).

            Dalam upaya merespon dinamika dan berbagai tuntutan masyarakat tersebut lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 34 Tahun 2004. Keberadaan undang-undang tersebut memberikan porsi kewenangan yang besar pada daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri. Keberadaan UU ini juga menawarkan berbagai kemungkinan untuk diterapkannya paradigma baru dalam menata kembali sistem pemerintahan daerah dan menemukan cara-cara baru dalam menjalankan birokrasi publik dengan efisien, efektif, responsif, transparan dan akuntabel.

            Daerah diberi peluang mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta terpeliharanya nilai-nilai. nilai-nilai keanekaragaman daerah yang pada akhirnya pemerintah daerah dapat menentukan disain dan model birokrasi publik yang tepat untuk merespon tuntutan, aspirasi dan dinamika yang terjadi dimasyarakat. Kegagalan dalam merespon tuntutan perubahan itu bisa menciptakan sumber konflik baru antara pemerintah dengan masyarakat yang pada akhirnya bisa mengganggu legitimasi dan jalannya roda pemerintahan.

            Untuk mendisain dan menentukan model birokrasi yang tepat maka perlu dilakukan perubahan yang mendasar terhadap anatomi dan kode genetika birokrasi publik di Indonesia agar dapat terwujud birokrasi yang mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi. Osborne dan Plastrik (1997) mengatakan dengan tegas dan menjadikannya sebagai … the first rule of reinvention : No new DNA, No Transformation. Terlebih lagi bagi daerah Kabupaten atau Kota dalam memasuki era otonomi daerah, yang mengharuskan mereka mandiri untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ditengah kompetisi global serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan peran birokrasi publik yang sebenarnya.

            Saatnya untuk mereposisi peranan birokrasi publik menjadi birokrasi publik yang memiliki akuntabilitas, responsif, inovatif dan profesional serta berjiwa entreprenuer. Birokrasi daerah harus semakin kreatif dalam mengemban fungsi pemerintahan modern yaitu fungsi pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pola-pola lama dalam kultur birokrasi, kepemimpinan, struktur kelembagaan, manajemen sumber daya manusia dan sebagainya harus diorientasikan ke arah pembentukan birokrasi publik yang adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis yang berlangsung cepat dan mengglobal.

            Konsep perubahan birokrasi publik pada dasarnya sudah diperkenalkan oleh para teoritisi seperti Hood dan Pollitt. Sebagai kritik terhadap kinerja birokrasi lama (Model Weberian) yang sudah tidak mampu memenuhi harapan masyarakat seiring dengan perubahan lingkungan strategis. Sebagaimana tesis yang dikemukan David Osborne dan Ted Gaebler (1992) bahwa : Bentuk pemerintahan yang berkembang selama era industri, dengan birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan serta rantai komando, tidak lagi berjalan dengan baik………Mereka (birokrasi pemerintahan) menjadi bengkak, boros dan tidak efektif. Dan ketika dunia mulai berubah, mereka gagal menyesuaikan diri dengan perubahan itu………sama sekali tidak berfungsi dengan baik dalam masyarakat dan perekonomian tahun 1990-an yang cepat berubah, kaya informasi dan padat pengetahuan.

            Perubahan birokrasi publik yang diperkenalkan para teorisi tersebut merupakan perubahan birokrasi publik melalui pendekatan NPM (New Public Management) sebagai paradigma baru dalam upaya mentransformasi birokrasi yang kaku, hirarkis, pejabatis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang fleksibel dan berorientasi pasar bentuk manajemen publiknya (Hughes,1994). Pendekatan NPM ini bila ditarik benang merahnya (Hughes, 1994, Ferlie, et.al, 1996, Osborne dan Gaebler, 1992) menghendaki suatu birokrasi publik yang memiliki kriteria good governance dan enterpreneurial government dengan kemampuan memacu kompetisi, akuntabilitas, responsif terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan hukum, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas, efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa, dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai untuk mewujudkan good governance dan enterpreneurial government itu sendiri.

            Mencermati banyaknya konsep dan paradigma tentang reformasi birokrasi serta penyelenggaraan pemerintahan yang telah dikemukakan para ahli, tetapi sangat jarang diikuti dengan kajian kritis mengenai perilaku, sikap dan persepsi elit birokrasi yang melaksanakan reformasi tersebut. Memang diakui telah terjadi perkembangan wacana tentang good governance dan enterpreneurial government dan menjadi perdebatan oleh banyak kalangan, baik para politisi, kalangan akademisi, praktisi pemerintahan maupun masyarakat dengan persepsi dan argumen yang berbeda-beda. Seharusnya elit birokrasi menyikapinya dengan kritis dan konstruktif serta mengadakan reformasi terlebih dahulu terhadap perilaku, mind set maupun budaya serta kompetensi yang harus dimilikinya dalam merespon tuntutan dan dinamika perubahan tersebut.

            Penataan ulang, pembaruan, desain ulang, reformasi sektor pemerintahan dan manajemen pemerintahan baru, atau apapun namanya merupakan pekerjaan besar dan menuntut adanya pembaharu (inventors, pioneers) yang mempunyai semangat kewirausahaan (entrepreneur) sehingga dapat mentransformasikan sistem dan organisasi pejabatis menjadi organisasi yang bersifat wirausaha. Kesadaran, pemahaman dan pengetahuan yang mendalam dari para elit birokrasi mengenai semangat kewirausahaan di sektor publik dalam rangka mereformasi birokrasi harus menjadi agenda yang penting. Pemahaman yang keliru, parsial, tidak holistik dan tidak komprehensif terhadap hal ini akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah dan sikap resistensi yang kuat dari elit birokrasi untuk mempertahankan status quo dan anti akan perubahan yang sebenarnya baik bagi masyarakat. Sudah saatnya kita berubah.

            Dalam bukunya yang berjudul Mewirausahakan Birokrasi David Osborne menganggap bahwa lebih baik mengarahkan dari pada mengayuh.1 Maksudnya disini adalah seorang pemimpin organisasi lebih baik memunculkan sebuah pemikiran yang kemudian akan dijadikan sebagai bahan pengarahan dari pada ia harus turun tangan langsung dalam setiap kegiatan organisasi. Mengarahkan itu akan sangat sulit jika seseorang yang berperan sebagai pemrakarsa ide dari suatu organisasi juga berperan sebagai pihak yang ikut terjun langsung dalam setiap persoalan yang ada. Jadi harus dibedakan antara orang yang berperan untuk mengarahkan dan orang yang berperan sebagai pelaksana dari pemikiran-pemikiran. Disini yang ditekankan adalah kinerja masyarakat atau pegawainyanya sendiri, pemerintah hanya memberikan arahan-arahan. Tentunya orang yang berperan sebagai pengarah harus mempunyai kemampuan yang terbaik dari suatu organisasi tersebut.

            Segala urusan kepemerintahan hendaklah ada campur tangan dari lembaga lain, yaitu swasta, serahkan semua urusan pada swasta, namun bukan berarti itu milik swasta. Karena dalam menangani tugas, pasar swasta lebih baik dibanding administrasi pemerintah, tetapi tidak semua tugas. Pemerintah hendaknya mengalihkan kepemilikan dari birokrasi ke masyarakat sendiri. Segala masalah atau segala pelayanan publik yang ada bukan diselesaikan oleh para birokrat dan profesional, namun yang baik adalah masyarakat diberi kesempatan untuk ikut berperan aktif dalam hal publik. Pemerintah bukan saja hanya melayani terus menerus masyarakat, tetapi pemerintah harusnya lebih memberdayakan masyarakat, membiarkan masyarakat mengurus keamanan lingkungannya. Agar tercipta suatu tatanan pemerintahan dimana masyarakatnya bisa mandiri.

            Persaingan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam usaha kemajuan suatu negara, khususnya dalam hal pelayanan publik. Yang dimaksud bukan persaingan atau monopoli dalam pemerintahan, namun persaingan antara pemerintah dan swasta. Sehingga  pemerintah dan swasta akan saling terpacu untuk memberikan yang terbaik.

            Pemerintah sebagai penguasa harus memberikan kebebasan kepada lembaga-lembaganya agar lembaga-lembaga tersebut dapat berkreasi dan memberikan inovasi-inovasi baru. Membiarkan para bawahan agar mengembangkan sendiri pemikiran yang telah diarahkan oleh pemimpin, sehingga mereka tidak terpaku dalam peraturan yang kaku dan tidak diberikan kesempatan untuk berkreasi.

1.2. Permasalahan

            Pemberian tunjangan atau bantuan-bantuan harus didasarkan pada hasil atau kinerja yang telah di capai sehingga dengan begitu akan tercipta suatu persaingan antar indivividu dalam memperebutkan bantuan tersebut, dan dalam proses persaingan itu, masing-masing individu akan selalu termotivasi dan berusaha untuk menjadi lebih baik, dan secara tidak langsung hal ini juga akan meningkatkan  kualitas  SDM masing-masing individu. Pelanggan adalah seseorang yang selalu menuntut untuk di puaskan, untuk itu para penyedia jasa akan sangat mengutamakan kepuasaan pelanggannya agar pelanggannya itu kembali. Itu dalam hal berbisnis. Namun lain halnya dengan pemerintah yang kurang memperhatikan kepuasan masyarakatnya. Padahal masyarakat adalah para pelanggan mereka. Dan bahkan pemerintah tidak tahu siapa-siapa saja pelanggannya.  Pemerintah sebagai pelayan masyarakat haruslah lebih memperhatikan kepuasan para pelanggannya (masyarakat), bukan mementingkan kepentingan mereka sendiri (kepentingan birokrasi).

            Pemerintah dalam hal ini diharapkan mampu untuk menghasilkan uang, bukan hanya bisa membelanjakannya saja. Pemerintah harus mampu menghasilkan uang selain dari pemungutan pajak, misalnya dengan melakukan investasi untuk mendapatkan hasil.  Masalah memang harus dipecahkan dan diselesaikan, namun alangkah baiknya jika kita melakukan pencegahan pemerintahkan dengerlebih dahulu. Pencegahan terhadap suatu masalah dianggap lebih efisien dan mengurangi pemborosan daripada mengatasi, ini karena jika kita melakukan pencegahan maka masalah yang di khawatirkan itu tidak akan terjadi.

            Pemerintahan hirarki di anggap kurang efisien dan harus di ganti dengan pemerintahan desentralisasi. Desentralisasi dianggap sangat perlu karena tidak mungkin semua permasalahan harus di tangani oleh pemerintah pusat saja, diperlukan adanya kerja sama antara pemerintah pusat dan  pemerintah daerah. Misalnya jika terjadi suatu masalah di daerah, penyelesaian masalah tersebut dapat langsung dilakukan oleh pemerintah daerah. Ini dilakukan karena pihak yang paling dekat dengan masalah dianggap sebagai pihak yang paling mengerti. Pemerintah hendaknya lebih belajar bagaimana cara terbaik untuk mengarahkan. Metode terbaik adalah pembentukan struktur pasar. Negara diibaratkan sebagai pasar, sebagaimana sesuai dengan pembahasan yang diatas. Karena pasar memberi respon terhadap perubahan yang cepat. Dengan membentuk negara sebagai suatu struktur pasar, maka pemerintah dapat mengatasi permasalahan yang lebih serius.

            Konsep Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) pertama kali disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.

            Apa yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya. Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.

            Permasalahan yang sering muncul dalam memahami reinventing government adalah adanya anggapan bahwa dengan adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/ instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar dapat memberi nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah memberdayakan institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan birokrasi pemerintahan. Menurut Osborne dan Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada tiap-tiap instansi/ dinas.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

Pemikiran menarik dari Osborne dan Gaebler (1992), agar kinerja organisasi pemerintah daerah dapat optimal dalam pengelolaan sumber dayanya, maka ia harus mengikuti prinsip-prinsip yang dianut organisasi bisnis. Untuk itu organisasi pemerintah harus mempunyai semangat atau jiwa entrepreneurial (semangat kewirausahaan) seperti yang dimiliki organisasi bisnis. Semangat entrepreneurial disini dapat diartikan sebagai usaha dalam pemanfaatan sumber daya guna meningkatkan produktivitas dan efiktivitas. Namun demikian harus disadari bahwa meskipun organisasi pemerintah menganut prinsip-prinsip organisasi bisnis, ia tidak bekerja berdasarkan profit oriented.

Dengan demikian di implementasikannya semangat kewirausahaan pada organisasi sektor publik diharapkan aparatur pemerintah (Pemda) mampu mengembangkan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Berikut kajian secara teoritis dan empiris tentang implementasi entrepreneurial government.

            Wacana mengenai Birokrasi berlangsungnya berbagai krisis yang yang berkewirausahaan semakin menggoyahkan sendi-sendi peinerin-mengemuka dalam "perbincangan" tahan dan ekonomi. Keterbukaan arus informasi dan demokratisasi yang mewarnai gerakan reformasi membuka tabu wajah birokrasi kita dari dua sisi. Satu sisi adalah keniscayaan dari terbukanya arus informasi itu sendiri karena pengaruh faktor isu global dan kemajuan teknologi, sedang di sisi lain perubahan politik membuat masyarakal semakin berani berterus terang dalain menilai kinerja pemerintah/birokrasi. Jadilah wajah birokrasi kita seronok terlihat jelas, — bahkan oleh mata awam— di mana merupakan fakta bahwa birokrasi kita inengalami 'keruwetan' yang luar biasa sehingga kinerjanya menjadi tidak maksimal, tidak efektif dan tidak efisien. Padahal tuntutan kehidupan dunia modern membutuhkan keberadaan birokrasi yang mampu berperan sebagai "mediaty agent” bagi pemerintah dan rakyat dalam kerangka civil society.

 Entrepreneurial Government (Pemerintahan Bergaya Wirausaha)

            Kewirausahaan dikenal sebagai suatu proses penciptaan nilai dengan menggunakan berbagai sumber daya tertentu untuk mengeksploitasi peluang (Lupiyoadi,1999). Konsep kewirausahaan telah mendapat perhatian yang sangat luas dan intensif dikalangan pakar akademis maupun dikalangan praktisi baik ekonomi, manajemen bisnis serta para pejabat yang bergerak disektor publik. Dalam sejarah perkembangan konsep kewirausahaan selalu dikaitkan dengan persoalan ekonomi dan bisnis perusahaan. Dalam bukunya yang berjudul “The Management Challenge“ James M. Higins (Dalam Mutis,1995) telah menguraikan secara historis mengenai konsep kewirausahaan dan dianggap sebagai salah satu fungsi ekonomi. Menurut Hisrich (1986) yang dimaksud kewirausahaan adalah,

            “Entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time ang effort, assuming the accompanying financial, psychological and time risks ang receiving the resulting rewards financially and personal satisfaction”

            Selanjutnya Kao (1989) menyatakan bahwa, “wirausaha adalah usaha untuk menciptakan nilai dengan mengenali peluang bisnis, pengelolaan atas pengambilan resiko peluang dan melalui komunikasi serta ketrampilan melakukan mobilitas manusia, finansial dan sumber-sumberyang dibutuhkan agar rencana dapat terlaksana dengan baik”

            David Osborne dan Ted Gaebler (1996) dengan karyanya yang monumental “Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor” mencoba untuk menemukan kembali pemerintahan dengan mengembangkan konsep pemerintahan yang bergaya wirausaha (Enterpreneurial Government). Esensi dasar yang sangat strategis dari pemikiran Osborne dan Ted tersebut berkaitan erat dengan birokrasi pemerintahan yang tidak lagi berorientasi pada budaya sentralisasi, strukturalisasi, formalisasi dan apatistik melainkan pada desentralisasi pemberdayaan, kemitraan, fungsionalisasi dan demokratisasi. Fungsi pemerintahan yang moderen strateginya harus diarahkan pada daya dukung dan daya dorong untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses kebijakan, penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.

            Selanjutnya Osborne (1996) mengungkapkan sesuatu yang perlu menjadi pegangan dalam menerapkan prisip-prinsip kewirausahaan bahwa organisasi bisnis tidak bisa disamakan dengan lembaga pemerintah dan memang terdapat banyak perbedaan satu dengan yang lainnya. Pemerintah tidak dapat dijalankan seperti sebuah bisnis, tentu saja tidak berarti bahwa pemerintah tidak bisa bergaya wirausaha.

            Menurut Mohammad (2006) bahwa pemerintah wirausaha adalah pemerintah yang mampu menghadirkan kebijakan yang berorientasi pada warga negara. Kebijakan tersebut memiliki nilai strategis karena akan menghasilkan dividen yaitu berupa dukungan dari warga negara. Untuk melakukan percepatan dan perbesaran deviden yang berupa dukungan dari konstituen adalah merupakan persaingan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan juga menghadirkan problem solving regulation agar lembaga itu dapat memfokuskan pada tiga tugas utama yaitu: menanggapi keluhan warganegara dengan cepat, melakukan pemeriksaan rutin, seta menghukum para pelanggar aturan.

            Jika dilihat dari beberapa definisi diatas maka tekanan utama pada entrepreneurial government adalah bagaimana berfikir strategis, yaitu memperluas perspektif dan memanfaatkan kreativitas yang bertanggung jawab. Disamping itu wirausaha adalah pemerintah yang tidak sekedar mampu menghasilkan ide-ide yang cemerlang tetapi juga diiringi kemampuan untuk mewujudkan ide-ide tersebut. Pemerintah yang mampu dan mau mengambil resiko yang terukur dan mampu menjelaskan langkah yang dianggap aneh dan inovatif (Mohammad, 2006; Sumarhadi 2002 dan Tjokrowinoto et al. 2000)

            Menurut Osborne dan Gaebler (1996) mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip pemerintahan wirausaha yaitu :

1. Pemerintahan Katalis (Mengarahkan Ketimbang Mengayuh).

Pemerintahan katalis menghendaki peran pemerintah sebagai aktor dan pelaksana urusan publik perlu dikurangi dan pemerintah sebagai pengarah serta memusatkan paranannya dalam membuat kebijakan, peraturan dan undang-undang. Redefenisi peran pemerintah perlu dilakukan karena selama ini pemerintah terlalu memonopoli semua urusan publik. Pembagian peran yang proporsional dan komplementer antara pemerintah, pasar dan masyarakat perlu dilakukan.

2. Pemerintahan Milik Masyarakat (Memberi Wewenang Ketimbang Melayani).

Pemerintahan milik masyarakat diartikan sebagai pengalihan wewenang kontrol pemerintah ketangan masyarakat dan adanya perubahan misi dari pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat dan bukan sebagai pelayanan sehingga fungsi utama dari pemerintah adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil kendali atas penyelenggaraan pelayanan publik. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dalam konsep ini masyarakat tidak dilihat semata-mata sebagai konsumen pelayanan publik yang pasif, tetapi juga dilihat sebagai produsen pelayanan publik yang potensial dan unggul. Dengan adanya kontrol dari masyarakat pejabat akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah.

3. Pemerintahan Yang Kompetitif (Menyuntikkan Persaingan Ke Dalam Pemberian Pelayanan).

Pemerintahan kompetitif mensyaratkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Pemerintah dikenal sangat monopolistik dalam menyelenggarakan urusan publik, akibatnya terjadi inefisiensi, kelambanan dan buruknya kualitas pelayanan. Untuk itu pemerintah harus mampu merangsang, mendorong dan menciptakan sistem kompetisi antar berbagai pelaku yang terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kompetisi disini tidak terbatas pada kompetisi antara pemerintah dengan swasta tetapi bisa juga antar swasta atau bahkan antara pemerintah dengan pemerintah. Kompetisi harus dipahami sebagai kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah dalam melakukan perbaikan.

4. Pemerintahan Yang Digerakkan Oleh Misi (Mengubah Organisasi Yang Digerakkan Oleh Peraturan).

Pemerintah yang berorientasi misi dilakukan dengan deregulasi internal, menghapus banyak peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan sistem administrasi. Dsamping itu pemerintah hanya bisa adaptif dan responsif terhadap dinamika yang terjadi dalam masyarakat, kalau pemerintah berorientasi pada misi. Akuntabilitas lebih didasarkan pada pencapaian misi dan bukan kepatuhan pada aturan karena kenyataan menunjukkan bahwa peraturan selalu ketinggalan dibandingkan dengan dinamika masyarakat (Dwiyanto,2001). Ada beberapa cara untuk tidak mensakralkan peraturan; pertama, Sunset Law (undang-undang matahari terbenam) yaitu menetapkan tanggal kapan suatu program atau peraturan akan berakhir jika tidak disahkan kembali sehingga mengharuskan dilakukannya peninjauan kembali; kedua, Review Commissions (komisi peninjauan) yang memeriksa setiap peraturan atau kegiatan pemerintah yang tidak sesuai dengan dinamika yang terjadi; ketiga, Zero Based Budget (anggaran berbasis nol) mengharuskan birokrasi pemerintah memberikan alasan atas setiap elemen anggaran atau berdasarkan out put yang dihasilkan. Organisasi yang digerakkan oleh misi memberi kebebasan kepada karyawannya dalam mewujudkan misi organisasi dengan metode paling efektif dalam batas-batas legal. Hal ini memiliki keunggulan yang nyata antara lain:

1. Organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efisien ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan.

2. Organisasi yang digerakkan misi juga lebih efektif ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan.

3. Organisasi yang digerakkan oleh misi lebih inovatif ketimbang yang digerakkan oleh peraturan.

4. Organisasi yang digerakkan oleh misi lebih fleksibel ketimbang yang digerakkan peraturan.

5. Organisasi yang digerakkan oleh misi mempunyai semangat lebih tinggi ketimbang yang digerakkan oleh peraturan.

5. Pemerintahan berorientasi pada hasil

Pemerintahan yang goal-oriented mengubah fokus dari input menjadi akuntabilitas pada output atau hasil, mengukur kinerja organisasi publik, menetapkan target, memberi imbalan kepada organisasi yang mencapai atau melebihi target. Alokasi anggaran dan sistem insentif harus didasarkan pada kinerja maupun out put yang akan dihasilkan sehingga penentuan ukuran kinerja menjadi sangat penting dalam organisasi publik yang memiliki spirit kewirausahaan.

6. Pemerintahan berorientasi pada pelanggan.

Pemerintahan berorientasi pelanggan memperlakukan masyarakat yang dilayani sebagi pelanggan, menetapkan standar pelayanan, memberii jaminan. Dengan masukan dan insentif ini, mereka meredesain organisasinya untuk menyampaikan nilai maksimum kepada pelanggan. Banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya mendengarkan suara dan keluhan masyarakat serta memberikan kebebasan pada masyarakat untuk memilih penyedia jasa. Selama ini pemerintah tidak responsif terhadap masyarakatnya karena nasib pemerintah tidak ditentukan oleh rakyat tetapi ditentukan oleh lembaga wakil rakyat yang terbentuk atas dasar distorsi representasi.

7. Pemerintahan Wirausaha.

Pemerintah wirausaha menfokuskan energinya bukan sekadar untuk menghabiskan anggaran, tetapi juga menghasilkan uang. Mereka meminta masyarakat yang dilayani untuk membayar, menuntut return of investmen. Mereka memanfaatkan insentif seperti dana usaha dan dana inovasi untuk mendorong para pimpinan badan pemerintah berpikir mendapatkan dana operasional. Pemikiran ini menolak asumsi bahwa pemerintah itu seharusnya tidak mencari profit dari kegiatannya. Sebaliknya pemerintah harus didorong untuk bisa memperluas sumber-sumber pendapatannya, termasuk dari kegiatan-kegiatan pelayanan publik.

8. Pemerintah Yang Antisipatif

Pemerintahan yang antisipatif adalah pemerintahan yang berpikir kedepan, mencoba mencegah timbulnya masalah daripada memberikan jalan untuk menyelesaikan masalah. Mengadopsi pemikiran Bryson (2001) bahwa salah satu cara mengantisipasi masa depan dengan menggunakan perencanaan strategis, penetapan visi dan misi masa depan dan berbagai metode lain untuk menetapkan masa depan.

9. Pemerintahan Desentralisasi.

Untuk mewujudkan pemerintahan yang desentralisasi perlu dikembangkan manajemen partisipatif. Kewenangan pembuatan keputusan harus didesentralisasikan kepada unit-unit lokal yang lebih menguasi masalah dan memahami aspirasi masyarakat. Birokrasi yang hirarkhis harus diganti dengan tim kerja. Birokrasi pemerintah pada umumnya sangat hirarkhis dan sentralistik, hal ini menyebabkannya menjadi tidak adaptif dan inovatif. Model birokrasi semacam ini tidak dapat lagi dipertahankan dalam menghadapi perubahan dan dinamika serta kompleksnya kebutuhan masyarakat saat ini.

10. Pemerintah Berorientasi Pasar

Penyelenggaraan pelayanan publik pada umumnya lebih sering menggunakan mekanisme administratif daripada mekanisme pasar. Mekanisme administratif seringkali memiliki banyak kelemahan seperti mahal, lamban dan tidak berkualitas. Sebaliknya mekanisme pasar karena sifatnya yang terbuka dan kompetitif cenderung lebih berhasil dalam menyediakan pelayanan yang murah, responsive dan inovatif. Namun mekanisme pasar juga memiliki kelemahan, yang utama adalah kecenderungannya menghasilkan ketimpangan dalam akses terhadap pelayanan. Karena itu orientasi terhadap pasar harus diikuti dengan perhatian yang lebih besar terhadap pengembangan alternatif sumber pelayanan dari masyarakat terutama kegiatan voluntir.

            Idenya disini membangun keseimbangan antara birokrasi, pasar dan masyarakat (Dwiyanto,1996). Strategi Alternatif Menuju Pemerintahan Bergaya wirausaha Selanjutnya Osborne dan Plastrik (2000) dalam bukunya “Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor” mengemukakan beberapa strategi yang harus diperhatikan untuk dapat menuju pemerintahan yang bergaya wirausaha.

1. Strategi Inti

Untuk mengembangkan strategi inti dapat dilakukan dengan menentukan tujuan dan fungsi pemerintah yang jelas, adanya kejelasan peran dan arah dari pemerintahan. Strategi ini menghapus, memisahkan dan membersihkan fungsi-fungsi pemerintah yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan tujuannya.

2. Strategi Konsekuensi

Berusaha mengembangkan sistem insentif yang merupakan konsekuensi kinerja yang dihasilkan seseorang ataupun organisasi. Pendekatan yang digunakan dalam strategi ini adalah; pertama, persaingan yang terkendali dengan menerapkan mekanisme pasar sebagai pendorong berjalannya kompetisi dan konsekuensinya ditentukan oleh masyarakat. Alat yang digunakan untuk pendekatan ini adalah tender kompetitif dan benchmarking kompetitif. Kedua, pendekatan manajemen perusahaan sebagai konsekuensi dari mekanisme pasar yang berjalan. Alat yang digunakan untuk pendekatan Manajemen Perusahaan adalah korporatisasi, enterprise fund, biaya pengguna, dan manajemen perusahaan internal. Ketiga adalah pendekatan manajemen kinerja ketika manajemen perusahaan maupun kompetisi teratur tidak cocok untuk diterapkan baik karena alasan rasional ataupun karena gangguan politis. Pendekatan ini menggunakan standar, pengukuran kinerja dan imbalan serta penalti untuk memotivasi organisasi pemerintah. Alat yang digunakan dalam pendekatan ini adalah penghargaan kinerja, pembayaran psikologis, bonus, bagi hasil, tabungan bersama, pembayaran kinerja, kontrak dan kesepakatan kinerja, deviden efisiensi dan penganggaran kinerja. Ketiga pendekatan ini tidak terpisah satu sama lain karena organisasi yang beroperasi sebagai perusahaan pemerintah atau yang berkompetisi untuk mendapatkan kontrak biasanya menggunakan banyak alat manajemen kinerja untuk memaksimumkan keunggulan kompetitifnya.

3. Strategi Pelanggan

Dalam strategi ini memusatkan pada akuntabilitas (pertanggungjawaban); kepada siapa seharusnya organisasi pemerintah bertanggung jawab? Apa yang harus dipertanggungjawabkan organisasi pemerintah? Strategi inti akan mendefenisikan yang harus dipertanggungjawabkan, strategi konsekuensi menjaga agar organisasi dapat bertanggungjawab, strategi pengendalian mempengaruhi orang yang akan bertanggungjawab dan strategi budaya akan membantu pegawai menginternalisasikan pertanggungjawaban. Strategi pelanggan memecah pola pertanggung-jawaban sebagian pada pelanggan (masyarakat) yang selama ini pada pejabat terpilih. Pendekatan yang digunakan dalam strategi ini adalah, pertama memberi pilihan kepada pelanggan dengan melakukan sistem pilihan publik dan sistem informasi pelanggan. Kedua pilihan kompetisi, mengkombinasikan strategi pelanggan dengan konsekuensi, dengan memberi kesempatan kepada pelanggan untuk mengontrol sumberdaya dan membawanya sesuai pilihan untuk memaksa kompetisi. Ketiga pemastian mutu pelanggan yang dilakukan dengan citizen’s charter. Alat yang digunakan dalam pendekatan ini adalah; standar pelayanan pelanggan, pengembalian pelanggan, jaminan mutu, inspeksi mutu, sistem keluhan pelanggan dan ombudsmen.

4. Strategi Pengendalian

Pendekatan yang digunakan adalah pertama, pemberdayaan organisasi dengan menghapus banyak peraturan dan berbagai kontrol serta menerapkan strategi kontrol pada level organisasi, proses dan orang. Alat yang digunakan adalah desentralisasi kontrol administratif, deregulasi organisasional, manajemen berdasarkan tempat, pengecualian dan laboratorium pembaharuan, kebijakan pembebasan, beta sites, pembatasan waktu peraturan dan deregulasi intra pemerintahan. Kedua pendekatan pemberdayaan pegawai dengan mengurangi atau menghapus kontrol manajemen hirarkhis dalam organisasi dan mendorong wewenang turun kepegawai lini pertama. Dengan kata lain mengganti kontrol otoriter dengan pengendalian diri dan komitmen pegawai terhadap arah dan tujuan organisasi. Alat yang digunakan untuk pemberdayaan pegawai adalah pengurangan lapisan manajemen, desentralisasi organisasi, memecah kelompok fungsional, tim kerja, kemitraan pegawai-manajemen dan program saran pegawai. Pendekatan yang ketiga adalah pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan beberapa alat yaitu; badan pemerintah-masyarakat, perencanaan koloboratif, dana investasi masyarakat, organisasi dikelola masyarakat, kemitraan pemerintah dan pembuatan peraturan serta penegakan ketertiban berbasis masyarakat.

5. Strategi Budaya

Pendekatan yang digunakan dalam strategi ini adalah untuk membentuk kembali budaya baru dengan membentuk kebiasaan, perasaan dan pikiran organisasi yang baru. Beberapa pedoman dan petunjuk dalam menyikapi transisi budaya diantaranya pegawai jangan dikontrol tetapi dilibatkan, membuat model perilaku yang diinginkan, membuat diri anda agar visible, buat batasan yang jelas antara yang baru dan lama, berikebebasan, masukkan darah segar, hilangkan rasa takut, juallah keberhasilan, komunikasikan, ubah sistem administrasi dan berkomitmen untuk tujuan jangka panjang.

Implementasi Entrepreneurial Government Dan Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah

            Kajian empiris tentang Implementasi Entrepreneurial Government dalam meningkatkan kinerja aparatur maupun kinerja instansi pemerintah daerah sudah banyak dilakukan. Akan tetapi dalam kajian yang dilakukan belum semuanya selaras dengan konsep secara teoritis seperti yang ditawarkan oleh Osborne dan Gaebler dalam bukunya “ Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector”. Serta Osborne dan Plastrik dengan bukunya “Banishing Bereaucracy: The Fife Strategies For reinventing Government”. Berikut adalah hasil penelitian yang pernah dilakukan:

            Simin, et al (2001) melakukan penelitian dengan judul Semangat kewirausahaan aparatur Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Tinjauan dari perspektif politik, desentralisasi dan budaya birokrasi pada perusahaan daerah PDAM Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses kerja “keadministrasian” selalu dituntut secara ketat oleh petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari berbagai organisasi yang melingkupinya. Mereka bekerja layaknya aparatur Pemda pada umumnya yang birokrasi menekankan pada struktur dan prosedur dari pada hasil (out put). Dalam melayani masyarakat, PDAM kurang meletakkan posisi pelanggan sebagai raja ataupun mitra.

            Dari aspek politik desentralisasi, rendahnya semangat kewirausahaan disebabkan intervensi Bupati yang demikian kuat terhadap intern organisasi PDAM. Empat fungsi sekaligus (Four in one) melekatkan pada sosok Bupati, yakni: (1) sebagai pemilik, (2) sebagai ketua badan pengawas, (3) sebagai wakil pemerintah pusat, (4) unsur pemerintah daerah bersama DPRD.

Kurang berkembangnya semangat kewirausahaan juga disebabkan oleh :

1. Masih berkembangnya budaya patrimonial yang sentralistik, penilaian yang tinggi terhadap keseragaman, struktur birokrasi dan pendelegasian wewenang yang kabur dan budaya ewuh pekewuh yang berkembang menjadi prinsip asal Bapak senang (ABS).

2. Konsepsi “model kinerja” yang diterapkan oleh PDAM masih pada tataran model rasional yang menekankan produktivitas dan efisiensi intern, dengan menetapkan berbagai target, kurang memperhatikan lingkungan eksternal yang selalu berubah dengan cepat.

            Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Sumarhadi (2002) dengan judul Entrepreneurial government dalam persepsi pejabat birokrasi (studi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis). Dari hasil analisis dan interpretasi ditemukan bahwa Pandangan dan pengetahuan pejabat birokrasi terhadap konsep Entrepreneurial Government, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian ini masih sangat rendah.

            Dilihat dari semua indikator yang digunakan dalam penelitian ini, pemahaman dan pengetahuan pejabat pemda kabupaten Bengkalis terhadap konsep pemerintahan yang bergaya wirausaha (Entrepreneurial Government) masih sangat rendah, sebagaimana ditunjukkan dengan rendahnya pemahaman dan pengetahuan tentang prinsip costumer oriented (pemerintah yang berorientasi pada masyarakat). Adanya penolakan terhadap ide citizen carter (piagam warganegara) dan konsep customer choise (pilihan pelanggan) dalam hal pelayanan publik. Selanjutnya pejabat pemda Kabupaten Bengkalis masih menginginkan pemerintah yang mengambil alih semua kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan publik dan tidak adanya kepercayaan pada pihak swasta dan masyarakat dalam mengelolanya. Kendati ada sebagian yang mempunyai pemahaman dan pengetahuan terhadap pemerintahan yang bergaya wirausaha (Entrepreneurial Government), jumlahnya kecil dan cenderung tidak berarti. Untuk konsep pemberdayaan pada masyarakat sebagian besar pejabat setuju dan cukup memahami konsep tersebut.

            Selanjutnya untuk konsep efisiensi anggaran pemerintah dengan adanya anggaran yang didasarkan pada kinerja hanya sebagian pejabat yang memahaminya, dan sebagian lagi tidak memahaminya. Terhadap sistem insentif dalam anggaran pemerintah sebagian besar pejabat tidak memahaminya. Pemahaman pejabat terhadap nilai-nilai akuntabilitas dalam anggaran berbasis kinerja juga rendah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar pejabat meyakini bahwa penerapan anggaran yang berbasis kinerja dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi kemungkinan KKN tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan pada saat sekarang. Perlu sosialisasi pada semua unsur yang terlibat dalam anggaran pemerintah.

            Beberapa pemikiran yang inovatif dan kreatif dalam pemerintahan yang wirausaha seperti pola kemitraan dengan swasta, ide sunset law (pembatasan berlakuknya sebuah peraturan), adanya komisi peninjau peraturan (review commissions) tidak dipahami secara mendalam oleh pejabat pemerintah kabupaten Bengkalis. Kemudian konsep renstra dalam kebijakan pemerintah sebagian besar pejabat memahaminya dengan baik. Untuk ide penyusunan SOT (struktur organisasi dan tatalaksana) dalam organisasi pemda banyak terjadi penolakan oleh mereka yang dirugikan dengan penataan tersebut, dan diterima oleh mereka yang diuntungkan. Untuk konsep perlunya pemerintah mengembangkan usaha dalam rangka profit oriented (mencari keuntungan)sebagai sumber pendapatan mendapat penolakan yang cukup besar karena adanya pemahaman bahwa hal itu merupakan sesuatu yang diharamkan bagi pemerintah, itu artinya pemerintah sama saja dengan swasta.

            Untuk konsep kompetitif dalam penyelenggaraan pelayanan publik dapat disimpulkan sebagian besar pejabat memahaminya dengan baik dan sebagian lainnya kurang memahaminya. Kompetisi antar providers baik pemerintah maupun swasta dalam hal pelayaan publik mendapat dukungan yang besar dari sebagian pejabat begitu juga dengan ide perlunya pemerintah mendorong dan mengembangkan semangat kompetisi dalam hal pelayanan publik. Pemberian insentif pada petugas pelayanan yang didasarkan kinerjanya juga mendapat dukungan yang besar. Selanjutnya sebagian besar pejabat juga meyakini bahwa kompetisi yang sehat akan mendorong perbaikan kulitas pelayanan pada masyarakat tapi dalam implementasinya dirasakan sulit dan perlu waktu..

            Dari aspek kompetensi pejabat yang terlihat dari hasil penelitian ini menunjukkan ketrampilan dan pengetahuan sebenarnya harus menjadi pertimbangan yang penting dalam suatu jabatan tetapi kenyataannya tidak. Kemampuan bekerjasama, inovasi dan kreatifitas, tidak terlalu tunduk pada aturan-aturan yang menghambat dan kemampuan diskresi power dari seorang pejabat juga menjadi pertimbangan penting dalam jabatan. Kenyataannya hal ini tidak berlaku dalam pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis karena sebagian besar pejabat mengakuinya. Adalah wajar jika sebagian besar pejabat sangat rendah pemahamannya yang selanjutnya berujung pada rendahnya kompetensi mereka dalam menerapkan konsep-konsep pemerintahan wirausaha (Entrepreneurial Government).

            Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Niode (2008) dengan judul penelitian Pengaruh Kompensasi Terhadap Implementasi Entrepreneurial Government Dan Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah.

            Pada penelitian kali ini menggunakan teknik analisis faktor (first order confirmatory factor analysis) dengan membatasi pada pembobotan faktor, dimana bobot faktor menunjukkan besarnya kontribusi variabel manifes pada variabel laten yang dapat dilihat berdasarkan signifikansi statistik dari loading koefisien korelasi. Koefisien korelasi adalah ukuran yang dipakai untuk mengetahui derajat hubungan. Variabel dengan loading yang lebih tinggi menunjukan pengaruhnya yang lebih besar pada variabel laten, yang kemudian dilanjutkan dengan teknik teknik analisis jalur (path analisys). Untuk melihat signifikansi pengaruh tidak langsung maupun tidak langsung.

            Kemandirian birokrasi merupakan prasyarat bagi berlangsungnya fungsi birokrasi yang Hegelian. Hegel melihat fungsi birokrasi adalah sebagai penghubung antara negara dengan civil society. Negara mengejawantahkan kepentingan umum sedang civil society mempresentasikan kepentingan khusus yang ada di dalam masyarakat. Keberhasilan birokrasi diukur dari kemampuannya untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan khusus di dalain masyarakat dan mengkorporasikannya di dalam kepentingan umum Negara.

            Kembali kita menjadi "kecewa" ketika mcncoba melihat sejauh mana birokrasi kita berfungsi dalam konstalasi civil society, bahkan untuk itu birokrasi kita "membutuhkan'' untuk "digedor-gedor" lebih dahulu dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) agar segera tersadar akan posisi dan fungsinya, Namun sekali lagi nampaknya kita masih harus bersabar, kita tidak bisa segera melihat birokrasi kita berubah karena jangankan mampu berperan sebagai mediaty agent yang jelas memprasyaratkan profesionalisme sedang untuk memenuhi kriteria internal vveberian birokrasi ternyata birokrasi kita belum mampu.

            Menurut Weber birokrasi mempunyai ciri-ciri utama : (sebagaimana diuraikan di bawah dengan perbandingan kondisi riil birokrasi kita saat ini), yaitu :

1. Adanya derajat spesialisasi yang tinggi (Birokrasi kita sering over lapp, duplikatif atau bahkan terlantar)

2. Adanya struktur kewenangan hierarkis dengan batas-batas tanggungjawab yang jelas. (Birokrasi kita terbiasa"menunggu petunjuk")

3. Adanya hubungan antar anggota yang bersifat impersonal. (Birokrasi kita sangat paternalis dan sering tidak konsisten)

4. Cara pengangkatan pegawai yang berdasarkan atas kecakapan teknis. (Birokrasi kita nepotism dan rentan suap)

5. Pemisahan urusan dinas dan urusan pribadi (Birokrasi kita tidak bisa/ tidak mau ? )

Kondisi birokrasi yang demikian yang saat ini senyatanya melingkupi kita padahal peran birokrasi sangat signifikan dalam kehidupan sosial modern terutama dalam kehidupan bernegara. Begitu dominannya birokrasi sehingga Seidman menyatakan : "setiap undang-undang sekali dikeluarkan. akan berubah baik melalui perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak".

            Karena itulah maka berkembang pemikiran tentang Entrepre-neurship Birokrasi (Birokrasi yang berkewirausahaan/mewirausahakan birokrasi) di Indonesia, Perbincangannya terkesan ingin meloncat dan memotong kompas jalur, dari birokrasi yang lamban menjadi gesit dari yang "keroyokan" menjadi profesional. Padahal masih banyak hal yang mesti dipertimbangkan dulu seperti kemampuan birokrasi itu sendiri, penempatan rakyat yasig lemah secara ekonomi dan politik, juga hal-hal teknis lainnya.

Mewirausahakan Birokrasi

            Sejak awal kemerdekaan (tepatnya setelah Maklumat 3 Nopember 1945) sampai masa orde lama birokrasi di Indonesia lebih menekankan pada posisi Power - politic ketimbang Sosial-Budaya. Ini cukup menyulitkan karena berada ditengah tarik-menarik antara kekuatan politik yang satu dengan kekuatan politik yang lain. Kondisi ini inenggeser fungsi pelayanan birokrasi kepada publik menjadi pelayanan kepada ke-kuatan politik.

Pada masa orde baru, posisi birokrasi yang suka mengatur dan lebih berorientasi kepada kekuasaan itu tetap, hanya yang berbeda barangkali faktor pemicunya, apabila dahulu adalah politik maka saat orde baru triggernya adalah pembangunan dengan security aprouch. Hal ini karena saat itu dirasakan kondisi politik. Ekonomi, keamanan sangat tidak kondusif dan tidak stabil. Maka melalui kekuasaan komando diharapkan situasi tersebut bisa diatasi dan pembangunan bisa diamankan.

            Peranan pemerintah kemudian menjadi begitu sentral, dia berusaha memobilisasi sumber daya dan dana untuk ''pembangunan" di mana semua digerakkan dan dikomando oleh pemerintah melalui alat birokrasi. Saat itu bahkan lantang dikatakan bahwa tugas-tugas itu hanya bisa dikerjakan oleh pemerintah/Negara, mulai dari pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, bahkan pengawasan semua dilakukan oleh birokrasi pemerintah (pusat).

            Kondisi yang demikian menjadikan peranan birokrasi menjadi sangat kuat dan pervasive. Birokrasi pemerintah lebih banyak menekankan pada pendekatan kekuasaan ketimbang memberikan pelayanan kepada publik. Gayanya lebih banyak lop-down ketimbang bultom-up. Masyarakat lebih banyak diatur dan ditentukan oleh pemerintah, kemitraan bersifat selektif dan berat sebelah. Dari sinilah mulai ada anggapan birokrasi pemerintah sangat kuat dan besar sehingga terlalu mendominasi kehidupan bernegara meskipun kinerja idealnya lamban.

            Adalah Werren Bennis, orang yang meramalkan bahwa birokrasi akan berakhir tahun 1967 diganti dengan sistem sosial baru yang lebih adaptif terhadap perubahan masyarakat. Sedikitnya ada 4 (empat) hal yang saling berkaitan mengapa posisi dan peran birokrasi harus berubah, menurut Bennis :

1. Adanya masalah-masalah kemanusiaan yang karena tingkat pendidikan semakin baik membawa tuntutan-tuntutan hidup yang semakin meningkat.

2. Adanya perubahan-perubahan yang cepat disekitar kita karena ilmu pengetahuan yang senantiasa ber-kembang, yang kadang-kadang tidak kita harapkan dan sulit diprediksi.

3. Adanya pertumbuhan-pertumbuhan yang kurang ditunjang oleh kemampuan organisasi pemerintah.

4. Kompleknya teknologi modern yangmembutuhkan adanya spesialisasi dan keterpaduan aktivitas organisasi serta orang-orangnya dalam setiap kegiatan pemerintahan.

            Selain empat hal itu menurut Bennis perubahan perilaku manajemen merupakan hal lain yang menyebabkan posisi dan peran birokrasi menjadi tidak popular kalau tidak bersedia menanggapinya. Perubahan perilaku manajemen tersebut antara lain yang berhubungan dengan locus dan focus kekuasaan (power). Dahulu dalarn manajemen klasik locus kekuasaan berada di tangan satu orang yang disebut pemimpin tunggal (the great man) sehingga perilaku manajemen sangat berkuasa. Dengan kata lain sentralisasi kekuasaan merupakan model dan perilaku birokrasi manajemen klasik.

Seharusnya dalam kondisi sekarang locus kekuasaan itu berubah dengan adanya delegasi kekuasaan yang menebar ke segala hirarki organisasi. Desentralisasi kekuasaan merupakan model perilaku manajemen yang harus dijalani birokrasi non klasik. Di samping itu focus penggunaan pun harus berubah dari masa lain ketika dipakai untuk menakut-nakuti dan memberi ancaman kepada yang dikuasai menjadi digunakan untuk menjalin kolaborasi atau kemitraan antara penguasa dengan yang dikuasai dan dipergunakan secara rasional.

            Wacana tentang Entrepreneur-ship Birokrasi menemukan momentumnya ketika Osbome dan Geabler menerbitkan buku: Reinventing Government pada tahun 1992. Mulai saat itu memuncaknya suatu paradigma untuk sektor publik, di mana birokrasi harus mempunyai semangat wirausaha (entrepreneur-ship spint).

     Reinventing Government sebenarnya adalah lebih merupakan perubahan cara berpikir dan bertindak dan pemerintah untuk tidak melulu menyandarkan Anggaran Pendapatan Negara yang bersumber kepada pajak, tetapi dengan jiwa wirausaha berusaha untuk mewujudkannya ke dalam kebijakan yang pada gilirannya memperkuat sektor publik. Prinsip pendekatan yang ditawarkan Osbome dan Gebler adalah :

1.      Pemerintah katalis, sebagai pengarah (steering) dan bukan sebagai pendayung (rowing).

2.      Pemerintah lebih berperan dalam memberdayakan masyarakat daripada melayani.

3.      Pemerintah menciptakan iklim persaingan yang sehat terutama dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat.

4.      Pemerintah lebih berorientasi kepada misi dan bukan kepada tugas.

5.      Pemerintah lebih berorientasi kepada hasil, membiayai hasil. bukan masukan.

6.      Pemerintah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pada kepentingan birokrasi.

7.      Pemerintah berorientasi kepada bisnis/wirausaha dalam menggali uang daripada membelanjakannya.

8.      Pemerintah memiliki daya tanggap dan mampu mengantisipasi semua tantangan yang terjadi; mencegah daripada mengobati.

9.      Pemerintah harus melakukan desentralisasi, yaitu perubahan dari hierarki menuju partisipasi dan kelompok kerja.

10.  Pemerintah berorientasi kepada pasar; mendongkrak perubahan melalui pasar.

            Dalam kondisi nyata birokrasi di Indonesia ternyata mengalami rnaslah lain. Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distansce) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya, yaitu publik pengguna jasa layanan. Inilah yang menjadi penyebab mengapa rakyat nyaris berada dalam situasi yang tidak berdaya (powerless) dan relarif tidak memiliki pilihan.

            Dengan kondisi yang demikian itulah, maka penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi pada kemanusiaan akan sangat sulit diterapkan di Indonesia. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah menyiapkan prakondisi yang baik untuk menerapkan birokrasi yang manusiawi. Di samping itu yang harus diperhatikan adalah akseptabilitas budaya masyarakat kita atas introduksi itu. Budaya dasar birokrasi kita justru banyak bersandar pada etos feodalisme.

            Dewasa ini justru yang mengemuka adalah wacana tentang entre-preneurship birokrasi yang diperkenalkan dan diadopsi "mentah-mentah". Tentu cara yang begini justru tidak malah memperbaiki birokrasi Indonesia yang cenderung feodal itu, justru menempatkannya pada kekuasaan dan arogansi kapitalisme yang ujung-ujungnya menindas rakyat. Ini nampak jelas karena logika yang digunakan adalah kapital, bukan manusia. Oleh karena itu yang kita butuhkan adalah birokrasi yang bermoral.

            Pada saat yang sama mentrasformasikan nilai-nilai moral, tentu pekerjaan yang mudah karena ini butuh kesungguhan dan proses. Birokrasi yang bermoral, berarti birokrasi yang meletakkan aspek pelayanan pada rakyat —tanpa eksploitasi—pada posisi yang urgen. Kalau Hegel mensyaratkan birokrasi yang netral maka yang kita butuhkan memang demikian tetapi birokrasi tidak boleh netral (tidak berpihak) kepada pelayanan rakyat karena inilah sesungguhnya tugas utamanya. Perubahan yang hanya menekankan pada bagaimana mengubah birokrat menjadi manajer tanpa moralitas sa-ngat riskan tergelincir pada pengabdian kapital dan bukan pengabdian masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

 

PEMECAHAN PERMASALAHAN

            Agar dapat memenuhi keinginan masyarakat yang ultimate goal nya bermuara pada kepuasan publik, beberapa langkah perlu direalisasikan. Langkah langkah tersebut adalah   mereformasi paradigma pelayanan publik yang telah old fashioned yang sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa otonomi daerah. Kedua, segera disahkannya UU tentang Pelayanan Publik. Ketiga, mencoba mengkreasi (rethinking, reshaping, redesigning) model pelayanan publik agar sesuai dengan perkembangan jaman dan situasi daerah setempat.

            Ada beberapa model pelayanan publik dalam kerangka desentralisasi. Model pertama yang paling lama dan paling banyak dianut oleh berbagai negara di dunia, terutama negara berkembang adalah model traditional bureaucratic authority. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat, tuntutan yang lebih terbuka, serta perkembangan globalisasi yang memicu peningkatan yang lebih cepat lagi dalam kebutuhan dan tuntutan akan layanan publik, maka model birokrasi tradisional tersebut biasanya dianggap tidak lagi memadai.

            Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa model di bawah ini yang merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Direktorat Aparatur Negara Th 2004, yang kiranya dapat digunakan pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publiknya, seperti: (a) Model Kelembagaan, (b) Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik, (c) Model Siklus Layanan (Momment of Truth), dan (d) Model Standar Pelayanan Minimal. Model-model ini dimaksudkan agar permasalahan pelayanan publik dapat dilakukan dengan baik.

Model Kelembagaan

            Format kelembagaan (Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap atau disingkat UPTSA) difungsikan sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada untuk menjadi satu-satunya lembaga yang berhubungan dengan masyarakat yang memerlukan berbagai pelayanan. Lembaga ini menganut struktur organisasi yang ramping dan datar sehingga mempercepat gerak dan mempermudah keputusan tanpa harus menunggu keputusan yang berjenjang dan sangat birokratis

Model Pengelolaan Organisasi Pelayanan Publik

            Model pengelolaan organisasi pelayanan publik ini dimaksudkan untuk memberdayakan lembaga pelayanan publik sehingga dapat mengoptimalkan fungsi pelayanan publik dan sesuai dengan perkembangan tuntutan perkembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dengan melihat model pengelolaan organisasi pelayanan publik ini, ada beberapa aspek yang dianggap sangat memiliki dampak langsung terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, yaitu: aspek kepemimpinan, sistem kelembagaan, SDM, partisipasi masyarakat.

Model Siklus Layanan (Momment of Truth)

            Dalam pola ini, masing-masing instansi/unit terkait tetap melaksanakan kewenangan dan tugas-fungsinya, serta dapat menempatkan petugasnya pada tempat tersebut. Akan tetapi agar proses keseluruhan pelayanan dapat berjalan sinergi, maka kegiatan pelayanan dan masing-masing instansi/unit terkait diatur dalam suatu prosedur dan terkoordinir dalam mekanisme tata urutan kerja yang tertentu pada satu lokasi/tempat di bawah satu atap tersebut.

Model Standar Pelayanan Minimal

            Dalam hal untuk menggali pandangan masyarakat terhadap mutu pelayanan yang diberikan oleh UPTSA yang didasarkan pada beberapa kategori, aspek-aspek yang dijadikan dasar pengukuran meiliputi beberapa unsur, di antaranya: tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Namun demikian, berbagai cara yang diusulkan di atas, tidak dapat terlaksana dengan sempurna apabila prasyarat utama diabaikan. Prasyarat tersebut meliputi 5 (lima) aspek yaitu proses dan prosedur, persyaratan pelayanan, sarana dan prasarana yang dibutuhkan, waktu dan biaya pelayanan serta pengaduan keluhan (complaining)

            Selain itu, terdapat empat gap yang perlu diperhatikan dalam setiap pelayanan publik, yaitu: (1) kesenjangan antara jasa yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang diharapkan oleh konsumen, (2) persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dengan apa yang ditangkap oleh bawahan/ karyawannya, (3) konsep pelayanan yang dimengerti oleh karyawan dengan komunikasi dan aktifitasnya dalam memberikan pelayanan kepada konsumen, dan (4) tindakan dari pemberi layanan dengan jasa yang dipersepsikan oleh konsumen.

            Berdasarkan model di atas, maka persoalan pelayanan bukan saja tanggung jawab dari karyawan terdepan (front liner saja) melainkan juga merupakan tanggung jawab dari pimpinan instansi dan juga seluruh karyawan lainnya. Dalam hal ini, budaya perusahaan merupakan hal yang juga menjadi faktor penentu dalam memberikan pelayanan prima kepada pelanggan.

           

            Akar dari NPS dapat ditelusuri dari berbagai ide tentang demokrasi. NPS berakar dari beberapa teori, yang meliputi:

1.      Teori tentang demokrasi kewarganegaraan; perlunya pelibatan warganegara dalam pengambilan kebijakan dan pentingnya deliberasi untuk membangun solidaritas dan komitmen guna menghindari konflik.

2.      Model komunitas dan masyarakat sipil; akomodatif terhadap peran masyarakat sipil dengan membangun social trust, kohesi sosial dan jaringan sosial dalam tata pemerintahan yang demokratis.

3.      Teori organisasi humanis dan administrasi negara baru; administrasi negara harus fokus pada organisasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human beings) dan respon terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial lainnya.

4.      Administrasi negara postmodern; mengutamakan dialog (dirkursus) terhadap teori dalam memecahkan persoalan publik daripada menggunakan one best way perspective Paradigma yang berjalan dalam administrasi negara sangat mempengaruhi sistem prosedur dalam birokrasi.

            Dalam konteks ini administrasi negara memiliki tiga cara pandang yaitu Old Public Administration (OPA) , New Public Management (NPM), dan New Public Service (NPS). Cara pandang yang paling diharapkan pada masa sekarang ini yang dimana akan mewujudkan good governance dalam birokrasi adalah cara pandang New Public Service. New Public Service adalah paradigma yang berdasar atas konsep-konsep yang pada hakikatnya sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakatPeran dari pemerintah adalah mengolaborasikan antara nilai-nilai yang ada sehingga kongruen dan sesuai kebutuhan masyarakat.Sistem nilai dalam masyarakat adalah dinamis sehingga membutuhkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan adanya New Public Service yang dapat diterapkan dengan baik, diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam lembaga pemerintahan serta juga dalam kehidupan masyarakat layaknya.

            Paradigma baru administrasi publik, menyebabkan pola hubungan antara negara dengan masyarakat, yang lebih menekankan kepada kepentingan masyarakat.Akibatnya negara dituntut untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan lebih baik dan lebih demokratis. Pemahaman yang senada diberikan oleh Denhardt bahwa paradigma baru pelayanan publik (New Public Services Paradigm) lebih diarahkan pada ”democracy, pride and citizen”. Lebih lanjut dikatakan bahwa ”Public servants do not delever customer service, they delever democracy”. Oleh sebab itu nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan publik harus dipandang sebagai norma mendasar dalam penyelenggaraan administrasi publik. Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru (PPB) menegaskan bahwa pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel . Karena bagi paradigma ini;

1.      Nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan kepentingan publik adalah merupakan landasan utama dalam proses penyelenggaraan pemerintahan;

2.      Nilai-nilai tersebut memberi energi kepada pegawai pemerintah atau pelayan publik dalam memberikan pelayanannya kepada publik secara lebih adil, merata, jujur, dan bertanggungjawab.

Oleh karenanya pegawai pemerintah atau aparat birokrat harus senantiasa melakukan rekonstruksi dan membangun jejaring yang erat dengan masyarakat atau warganya Organisasi yang memiliki inovasi di dalam sebuah era yang tidak pernah berhenti melakukan perubahan, mewujudkan bahwa perangkat dan teknik yang mereka kerjakan bermakna dalam memiliki batas akhir. Kerjasama kelompok merupakan elemen yang esensial .Mewujudkan standar pelayanan publik yang partisipatif, kesamaan hak, keterbukaan dan akuntabel sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang no 25 tahun 2009 memerlukan pernyataan kedua pihak baik lembaga pemeringtahan maupun warga negara. Artinya untuk dapat melaksanakan stándar pelayanan publik tersebut, para provider and user, harus membuat kesepakatan secara demokratis atau dengan sistem (citizen charter), yang berorientasi visi dan misi pelayanan, standar yang berlakukan (mulai dari jadwal, lamanya pelayanan, ruang pelayanan, alur pelayanan, hak dan kewajiban provider and user, sanksi –sanksi bagi provider and user, serta saran, kritik, dan metode keluhan yang disampaikan user kepada provider

            Dalam model new public service, pelayanan publik berlandaskan pada teori demokrasi yang mengajarkan adanya egaliter dan persamaan hak di antara warga negara, karena pada dasarnya rakyat (demos) itulah yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi (kratein), berkonsekuensi logis pada konsep bahwa sejak dalam statusnya yang di alam kodrati, sampaipun ke statusnya sebagai warga negara, manusia-manusia itu memiliki hak-hak yang karena sifatnya yang asasi tidak akan mungkin diambil-alih, diingkari dan/atau dilanggar (inalienable, inderogable, inviolable) oleh siapapun yang tengah berkuasa. Bahkan, para penguasa itulah yang harus dipandang sebagai pejabat-pejabat yang memperoleh kekuasaannya yang sah karena mandat para warga negara melalui suatu kontrak publik, suatu perjanjian luhur bangsa yang seluruh substansi kontraktualnya akan diwujudkan dalambentuk konstitusi. Untuk meningkatkan suatu pelayanan publik yang demokratis,maka pilihan terhadap “the New Public Service(NPS)” dapat menjanjikan suatu perubahan realitas dan kondisi birokrasi pemerintahan.

            Aplikasi dari konsep ini agak menantang dan membutuhkan keberanian bagi aparatur pemerintahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, karena mengorbankan waktu, tenaga untuk mempengaruhi semua sistem yang berlaku.Alternatif yang ditawarkan adalah pemerintah harus mendengar suara publik dalam berpartisipasi bagi pengelolaan tata pemerintahan.Memang tidak gampang meninggalkan kebiasaan memerintah atau mengatur pada konsep administrasi lama, dari pada mengarahkan, menghargai pendapat sebagaimana yang disarankan konsep NPS. Standar Pelayanan Publik yang Partisipatif, Transparan dan Akuntabel.Keberhasilan dalam penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan realitas. Ada sepuluh dimensi untuk mengukur keberhasilan tersebut :

1.      Tangable; yang menekankan pada penyediaan fasilitas, fisik, peralatan, personil, dan komunikasi.

2.      Reability; adalah kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang dijanjikan dengan tepat.

3.      Responsiveness; kemauan untuk membantu para provider untuk bertanggungjawab terhadap mutu layanan yang diberikan.

4.      Competence; tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan.

5.      Courtessy; sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan pelanggan serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi.

6.      Credibility; sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.

7.      Security; jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas dari bahaya dan resiko.

8.      Acces; terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan.

2.      Communication; kemaun pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan, atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.

3.      Understanding the customer; melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan .

Sepuluh konsep ini mempertegas bagaimana model manajemen penyediaan standarisasi pelayanan publik dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Suksesnya sebuah penyelengaaraan pelayanan publik secara ideal menetapkan

1.      Tujuan; para pejabat publik harus mengetahui apa yang menjadi gagasan pokok, tujuan tersebut harus mengakar secara mendalam dari tindakan sehari-hari dan perencanaan jangka panjang organisasi yang bersangkutan, para penyelenggara pelayanan publik sepanjang waktu harus mencontohi misi dan para ”street level bureaucracy” dikendalikan untuk melakukann hal tersebut.

2.      Karakter; para penyelenggara pelayanan memiliki perasaan yang kuat tentang siapa mereka dan apa yang terpenting. Karakter organisasi diturunkan dari kesepakatan kepercayaan yang kuat, dikomunikasikan secara internal dan eksternal melalui aktivitas terpusat secara prinsip. Aparat birokrat sebagai pelayanan memancarkan integritas,kepercayaan, kepedulian, keterbukaan, dan secara krusial sebuah hasrat untuk belajar.

3.      Keputusan; organisasi yang melakukan segala sesuatu, pencapaian atas tujuan dan mendemonstrasikan karakter melalui penggunaan aturan yang luas atas perangkat manajemen

            Denhardt dan R.B. Denhardt (2003), menyarankan meninggalkan prinsip paradigma OPA dan paradigma NPM, beralih ke prinsip paradigma NPS dalam administrasi publik, yaitu para birokrat/administrator harus :

1.      Melayani dari pada mengendalikan (service rather than steer);

2.      Mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest);

3.      Lebih menghargai warga Negara dari pada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship);

4.      Berpikir strategis, dan bertindak demokratis (think strategically, act democratically);

5.      Melayani warga masyarakat, bukan pelanggan (serve citizen not customer);

6.      Menyadari akuntabilitas bukan merupakan hal mudah (recognize that accountability is not simple);

7.      Menghargai orang, bukan hanya produktivitas (value people, not just productivity).

 

 

 

BAB IV

PENUTUP DAN SARAN/REKOMENDASI

 

            Di era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam membangun. Penguatan kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini ditujukan pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang berbasis pada pelayanan administrasi dokumen. Model ini terbagi menjadi empat model yaitu : (a) model kelembagaan, yang mana model ini difungsikan sebagai frontline dari dinas-dinas yang ada, (b) model pengelolaan organisasi pelayanan publik untuk memberdayakan lembaga pelayanan publik dalam mengoptimalkan fungsi pelayanan publik, (c) model siklus layanan yaitu instansi/unit terkait tetap melaksanakan kewenangan dan tugas-fungsinya, serta dapat menempatkan petugasnya pada tempat tersebut. dan (d) model standar pelayanan minimal yaitu proses pelayanan umum, agar benar-benar dapat berpihak kepada masyarakat yang sangat memerlukan layanan yang prima. Ke empat model tersebut diperkuat oleh 3 faktor utama yaitu faktor kepemimpinan, faktor system atau organisasi dan faktor budaya masyarakat.

            Peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan di daerah-daerah seyogyanya dapat diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya. Selain tim internal pemerintah daerah, seyogyanya keterlibatan stakeholder lainnya (tim eksternal) perlu dilibatkan guna memberikan masukan, evaluasi dan saran-saran yang berguna bagi terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik.

            Di lain pihak dukungan warga masyarakat baik perseorangan atau badan seperti asosiasi, LSM ataupun kelompok kritis lainnya dapat mempercepat laju proses peningkatan kualitas pelayanan publik. Di kedua daerah yang diteliti, partisipasi warga cukup kuat dan terjadi hubungan yang harmonis kritis antara penyedia dan penerima pelayanan publik Melibatkan masyarakat untuk secara aktif mengawasi, mengevaluasi, dan memberi masukan akan menumbuhkan suasana hubungan antara publik dengan pemberi pelayanan terbina secara harmonis di mana sikap birokrasi menjadi lebih terbuka, jujur, transparan, serta tidak diskriminatif.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dianto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta.

Kadir, Abdul. 2015. Studi Pemerintahan Daerah dan Pelayanan Publik. CV. Dharma Persada Dharmasraya. Medan

Mohamad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima Dalam Kapasitas PNS sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Panel Optimalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat, pada  tanggal 23 Oktober 2003, Jakarta.

Mustopadidjaja AR, 2002, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah  Dalam  Sistem  Administrasi  Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana Pada Program Magister  Manajemen Pembangunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN, Pemerintah Prov. Kaltim, dan Universitas Mulawarman,   15 Januari, 2002. Samarinda.

Suprijadi, Anwar 2004. Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 Juli 2004. di Jakarta.