Pendahuluan
Modernisasi merupakan sebuah isyu dalam rangka pencapaian proses pembangunan pasca berakhirnya perang dunia (PD II), yang melibatkan beberapa ilmuan sosial barat sebagai sebuah tantangan untuk memiliki model pembangunan dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi di negara barat. Berakhirnya era kolonialisasi dan monarkhi memunculkan beberapa negara baru dengan segala keterbatasannya. Oleh karenanya negara-negara baru tersebut membutuhkan program pembangunan ekonomi yang kuat. Dalam konteks itu, maka untuk mengatasi hal tersebut beberapa negara dunia pertama memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan negara dunia kedua. Hubungan kerjasama ini dilandasi oleh rasa kemanusiaan serta kepentingan kekuasaan dan keuntungan ekonomi jangka panjang.
Sepertinya Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Namun, konsep modernisasi ternyata mempunyai beberapa kelemahan apabila diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor pembeda yang utama antara negara dunia kedua dan ketiga. Modernisasi walaupun berhasil memajukan perekonomian negara dunia kedua namun gagal mewujudkan hal yang sama pada negara dunia ketiga. Bagi negara dunia ketiga modernisasi tak ubahnya dianggap sebagai “westernisasi”. Modernisasi dianggap telah menghilangkan nilai - nilai budaya yang ada. Pada sisi lain, modernisasi akan menghasilkan suatu pola perkembangan pembangunan dengan mendifusikan secara aktif segala sesuatu yang diperlukan dalam pembangunan, terutama nilai-nilai ‘modern’, teknologi, keahlian, dan modal. Di dunia ketiga, pelaku yang paling aktif dalam proses modernisasi dianggap golongan elit yang berpendidikan Barat, yang tugasnya adalah melepaskan masyarakat dari tradisi dan membawa mereka ke dalam abad ke-20. Dalam konteks ini maka modernisasi merupakan suatu pola pembangunan yang jika hal itu di terapkan oleh dunia ketiga, maka boleh jadi akan menciptakan kesejajaran antara Barat dan dunia ketiga. Pada tahapan industrilasiasi, dan ekspansi modal yang merupakan bagian dari modernisasi adalah sepertinta juga merupakan salah satu faktor penyebab yang akan mentarnsformasikan secara cepat ketertinggalan, atau kemunduran tradisi dalam suatu komunitas pedelaman pedesaan.
Paham marxis memandang bahwa Perkembangan dan keterbelakangan dilihat sebagai sisi berlawanan dari suatu proses yang sama : perkembangan pembangunan dalam satu kawasan atau wilayah itu terjadi secara cepat, dikarenakan implementasi pembangunannya dilakukan diatas biaya dan sumber daya diwilayah lain. Dalam konteks ini, masyarakat berkembang dan terbelakang turut serta dalam sistem dunia yang sama, yang dimulai dari ekspansi dan penjajahan kaum kapitalis. Berdasarkan pandangan ini, keterbelakangan harus dijelaskan dengan mengacu pada posisi struktural dari masyarakat dunia ketiga dalam ekonomi global dan tidak dengan kemunduran dari rakyat atau tradisinya
.Ajaran utama dari teori keterbelakangan (underdevelopment) nampak bertentangan secara langsung dengan teori modernisasi, dan menandai (paling sedikit) perubahan utama dari penekanan dalam pemikiran Marxis. Tentu saja, saya berpendapat bahwa diantara kritikus paling tajam dari teori underdevelopment adalah golongan Marx (Marxist) yang telah berselisih mengenai konsep kapitalisme dan eksploitasi, atau yang telah menganggap fokus teori underdevelopment pada hubungan eksternal berlebihan dan merugikan analisis struktur sosial dan politik dunia ketiga yang dibutuhkan. Untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini, beberapa penganut teori telah mencoba menguji bagaimana mode produksi pra-kapitalis dunia ketiga tertentu mengartikulasikan dengan mode kapitalis dominan, ketika yang lain mencoba untuk memperbaiki konsep mereka (misalkan, dari produksi komoditas skala kecil) bahwa kedua mode sama-sama dapat diterapkan pada dunia ketiga atau Barat. Selain itu, Marxis dan non Marxis sama-sama telah mengeluarkan nilai heuristik dari faham ketergantungan, bersamaan dengan kejadian empiris yang diduga memperlihatkan pemiskinan yang berkelanjutan di dunia ketiga yang di lakukan oleh dunia Barat.
.Penganut teori modernisasi cenderung merasakan dunia ketiga dari sebuah posisi evolusioner dari manfaat dan superioritas negara barat. Teori underdevelopment menganggap bahwa dunia ketiga perlu melangkah maju ke arah versi yang ideal dari apa yang mungkin telah dunia barat lakukan, tanpa intervensi kejam dari kapitalisme.
Pemikiran mengenai pembangunan berhubungan dengan beberapa ide tentang kemajuan, yang melibatkan suatu perubahan, mungkin sebuah evolusi, dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Teori modernisasi menekankan dan menyetujui kecenderungan ke arah dunia Barat, modernitas kapitalis, sebuah pandangan yang dikemukakan sampai pada taraf tertentu oleh Marxisme ortodoks, yang cenderung mengakui kapitalisme sebagai satu tahap yang diperlukan menuju sosialisme. Teori underdevelopment lebih ambivalen: teori tersebut menyangkal kapitalisme dapat membangun dunia ketiga, terutama karena kapitalisme tidak dapat mereproduksi industrialisasi otonomi yang diduga terjadi di dunia Barat. Sebagai gantinya, rantai ketergantungan harus diperpendek, hubungan eksploitatif dihancurkan dan sosialisme diperkenallkan, tidak hanya pada satu negara namun terhadap sistem dunia keseluruhan.
Ketidaksetujuan mengenai alam pembangunan direfleksikan dalam ‘bagaimana ia dapat diukur’. Fokus dari teori modernisasi dalam pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan beberapa indikasi seperti melek huruf, akses terhadap pelayanan kesehatan dan kepemilikan konsumen yang tahan lama, jelas tidak cukup untuk para penganut teori underdevelopment dan beberapa kritikus liberal. Mereka tidak mengeluarkan pertumbuhan sebagai sebuah ciri pembangunan, bahkan ciri yang dibutuhkan, namun menekankan keperluan tambahan dari arah sentral untuk meyakinkan bahwa kebutuhan dasar dipenuhi dan bahwa terdapat pemerataan hasil pembangunan.
Di sisi lain penganut teori modernisasi melihat industrialisasi kapitalis sebagai jalur paling efektif dari pembangunan, kurang tulus dan bermoral dalam hubungannya dengan kesejahteraan manusia daripada penganut teori underdevelopment (dan teori lainnya) yang menekankan kesamaan dalam distribusi dan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar.
Sebagai pembanding, modernisasi nampak menjadi lebih mudah diartikan. Secara sederhananya, modernitas adalah apa yang ‘up to date’ di tempat tertentu pada waktu tertentu. Umumnya, ia akan menjadi aspek Westernisasi yang melibatkan perubahan yang kontras dengan keadaan tradisi sebelumnya. Mengutip sebuah contoh dari Barat: tidak mudah untuk mengkategorikan kerajaan Inggris. Inggris dapat dianggap sebagai sebuah negara modern, tradisional atau gabungan dari keduanya. Satu pendapat ekstrim, sesuatu yang modern mungkin menjadi gaya baru, bentuk pakaian baru atau gaya arsitektur yang berbeda. Meskipun demikian, sedikit perubahan yang ada tersebut mungkin diilhami oleh kenyataan kultural dan religi yang dalam dan tidak harus dihilangkan. Alternatifnya, modernisasi mungkin juga melibatkan perubahan struktural yang ekstensif. Ambil contoh dari Berger dan koleganya (Berger et al., 1974), perubahan yang lebih komprehensif dalam rutinitas keseharian dapat mengikuti pengenalan produksi massa: peningkatan pendapatan, perubahan struktur keluarga, terutama dalam peranan perempuan, peningkatan produksi kerajinan tangan tradisional atau pertanian, dan pengaruh meresap dari ‘time-keeping’ (pengaturan waktu), tidak hanya pada pekerjaan, tapi juga pada berbagai interaksi lainnya. Perubahan tersebut, berjalan pada apa yang disebut oleh Berger sebagai ‘kultur ekonomi’ (1987a, hal.7), yakni dapat digambarkan, diverifikasi dan dijelaskan, serta perubahan tersebut membuat area yang rumit dari studi sosiologi.
Kemudian, apakah perbedaan antara pembangunan dan modernisasi? Pembangunan adalah sebuah perubahan menuju status yang dihargai, yang mungkin atau tidak mungkin diperoleh pada beberapa konteks sosial lain dan yang tidak mungkin terjangkau. Modernisasi merupakan suatu proses yang sama. Ia merupakan sesuatu yang terjadi secara aktual, baik atau buruk: rangkaian dari pola dengan konsekwensi yang dapat digambarkan, diargumentasikan dan dievaluasi. Jika dinilai sebagai baik atau progresif, perubahan dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap pembangunan, namun tidak perlu dievaluasi dengan cara ini. Hampir sama dapat dikatakan bahwa kapitalisme merupakan satu contoh lagi yang lebih komprehensif dari modernitas. Meskipun perdebatan sengit atas definisi, secara umum disetujui bahwa kapitalisme melibatkan sejumlah proses sosial yang didokumentasikan dengan baik : pemisahan pekerja dari alat produksi mereka, menyesuaikan peningkatan upah buruh dan partisipasi dalam ekonomi langsung, ketidakpunyaan lahan dan meningkatnya ketidakmerataan, produksi untuk mendapatkan laba, pabrik skala besar dan intensif modal, penerapan teknologi produksi, dan pembagian buruh secara luas – semua melibatkan perubahan dalam pabrik sosial, ekonomi, budaya dan politik dari masyarakat.
perdebatan ‘the two sosiologies’ adalah hubungan antara teori tindakan dan teori sistem yang menyoroti perbedaan antara persepsi tindakan individu dan tindakan kelompok dalam sistem sosial dan kekuatan sosial. Pada semua sosiologi, termasuk studi modernisasi dan pembangunan, perlu untuk menguji tujuan dan proses sosial yang dapat diukur sebaik orientasi ‘subjektif’ dan ‘intersubjektif’ dari pelaku.
Sosiologi sedang mencoba untuk mengerti dunia masyarakat, hubungan antar dan dalam masyarakat, dan berbagai tindakan sosial dan interaksi dimana manusia turut serta didalamnya. Apakah fokus utama mereka pada elemen mikro atau makro dari interaksi ini, sosiolog selanjutnya mencari pola yang akan membantunya menggambarkan, menjelaskan dan membuat pertimbangan tentang elemen yang membedakan dari kehidupan sosial di mana mereka dihadapkan dan dimana mereka tinggal.
Seperti dikalangan paham modernisasi (atau tradisional), sosiolog diharapkan untuk mempelajari masyarakat dan mencari dasar pola sosial karena masyarakat berada dalam status perubahan terus-menerus dan sedang mencoba untuk memahami apa yang membuat masyarakat bergerak, mereka juga diminta untuk menggambarkan posisi mereka didalamnya.
Singkatnya bahwa sosiologi modernisasi dan pembangunan adalah cabang dari sosiologi yang menguji proses-proses modernisasi dan pembangunan, terutama tidak hanya di dunia ketiga, dimana mereka paling jelas dan dramatis sebagai bagian dari proyek ini, diperlukan studi struktur sosial domestik, politik dan ekonomi, sebaik hubungannya yang berkelanjutan dengan lembaga eksternal, masyarakat dan sistem. Dalam kesemuanya ini, perhatian paling khusus dari sosiologi adalah dengan hubungan sosial dan proses sosial serta konotasi ekonomi, politik dan budayanya.
Menurut Schoorl, modernisasi itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Modernisasi itu adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara-negara berkembang dan dapat dilakukan jika bersentuhan dengan negara-negara maju. Hal ini didasarkan pada bahwa modernisasi itu adalah sesuatu yang baik. Michael dove sepakat bahwa kemajuan itu harus mengacu pada dunia-dunia maju. Namun, tidak semua modernisasi itu merusak nilai-nilai tradisional, dalam beberapa hal terdapat adaptasi.Hal ini dasarkan pada kajian historis. Padahal, jangan-jangan proses modern itu tidak seperti di negara-negara maju. Namun, kenyataannya modernisasi memang telah menggerus tatanan tradisional masyarakat.
Schoorl membahas aspek sosiologi tentang modernisasi di dunia nonbarat sebagai spesialisasi baik dari antropologi budaya maupun dari sosiologi. Kedua bidang ilmu tersebut menaruh perhatian pada persoalan-persolan dunia ketiga. Salah satu yang menjadi pokok perhatian adalah gejala-gejala dan persoalan-persoalan ditingkat makro, seperti gejala urbanisasi dan masalah kependudukan. Adapun sosiologi memberi pengertian tentang masyarakat modern dan kebudayaannya sebagai perspektif, dan membuka kemungkinan untuk mengadakan perbandingan ke arah mana proses-proses modernisasi berjalan.
Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat beberapa konsep kunci sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses modernisasi seperti industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi, perubahan struktur masyarakat baik melalui kemajuan politik maupun mobilitas penduduk, perkembangan teknologi sebagai peningkatan pengetahuan. Schoorl (1980) dalam bukunya berjudul Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang membuka tulisannya dengan menyatakan bahwa modernisasi sebagai gejala umum. Semua bangsa terlibat dalam proses modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut revolusi industri. Penyebaran itu dianggap sebagai sesuatu yang begitu biasa, sehingga masyarakat dunia itu sering dibagi menjadi dua kategori : negara maju dan negara sedang berkembang, masing-masing terdiri atas negara-negara yang telah mengalami modernisasi dan negara-negara yang mengadakan modernisasi.
Lebih lanjut, Schoorl menyatakan bahwa negara sedang berkembang sebagai obyek penelitian.schoorl menyajikan perbedaan keadaan yang berpengaruh atas pola dan profil perkembangan di dunia ketiga dengan mengulas semua aspek dari sudut pandang negara maju atau negara barat. Hubungan antara negara sedang berkembang dengan negara maju merupakan pergaulan dunia yang membutuhkan semacam aturan mengnai relasi antar negara. Dalam pergaulan antarnegara orang bertolak dari ideal, bahwa semua negara itu sama kedudukannya dan sama haknya, tanpa mengingat besarnya dan kekayaannya. Namun terdapat ketidaksamaan yang memainkan peranan penting dalam relasi antar negara itu. Ketidaksamaan yang nyata dalam relasi tersebut dalam sosiologi dilihat sebagai perbedaan kekuatan, artinya perbedaan kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Adapun yang menjadi dasar kekuatan dalam hubungan internasional ialah perbedaan dalam hal pengetahuan, kehormatan, posisi yang dicapai, dan sarana kekuatan militer.
Menurut Schoorl asumsi-asumsi dasar modernisasi sesuatu masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Dibidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks industri dengan pertumbuhan ekonomi sebagai akses utama. Berhubung dengan perkembangan ekonomi, sebagian penduduk tempat tinggalnya tergeser ke lingkungan kota-kota. Masyarakat modern telah tumbuh tipe kepribadian tertentu yang dominan. Tipe kepribadian seperti itu menyebabkan orang dapat hidup di dalam dan memelihara masyarakat modern.
Modernisasi sama artinya dengan evolusi bila dibatasi pada perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan. Namun menurut Linton, modernisasi dan masyarakat modern itu dapat bermacam-macam arahnya. Tergantung pada nilai-nilai dan norma-norma yang digunakan apakah modernisasi tertentu itu juga dipandang sebagai kemajuan atau bukan.
Proses evolusi merupakan pertumbuhan yang mutlak dan manusia sesuai dengan posisi dan situasinya, sampai batas-batas tertentu bertanggung jawab atas perkembangan masyarakat dan kebudayaannya.
Adapun aspek lain dari perspektif modernisasi yaitu, Modernisasi lebih banyak terkait dengan determinasi materialistik. Pertumbuhan ekonomi menjadi eksen utama modernisasi. Padahal telah disinggung bahwa selain aspek sosiologi, kebudayaan juga ikut menjalankan proses modernisasi.
Negara maju atau dunia barat mengalami proses pertumbuhan ekonomi yang lebih awal dan lebih cepat dibandingkan dengan negara berkembang sehingga negara berkembang dipandang sebagai negara yang masih dalam proses modernisasi. Negara maju memiliki dasar-dasar kekuatan yang menempatkan mereka pada posisi penting di lembaga dunia (PBB). Sebagai lembaga penyalur aspirasi seluruh bangsa di dunia, PBB memiliki cita-cita untuk mewujudkan deklarasi hak-hak azasi manusia dan bantuan pembangunan internasional. Namun, cita-cita dan ideologi tersebut pada kenyataannya hanya menjadi sebuah implementasi dan perspektif pembangunan dalam tata tertib seperti yang dikehendaki oleh dunia barat. Pembangunan di negara-negara berkembang ditujukan pada satu arah yaitu kemajuan di negara barat.
Dube mengatakan Ciri manusia modern ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan nilai pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan menghasilkan inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan hubungan yang selaras antara kepribadian dan sistem sosial budaya. Sifat terpenting dari modernisasi adalah rasionalitas. Kemampuan berpikir secara rasional sangat dituntut dalam proses modernisasi. Kemampuan berpikir secara rasional menjadi sangat penting dalam menjelaskan berbagai gejala sosial yang ada. Masyarakat modern tidak mengenal lagi penjelasan penjelasan yang irasional seperti yang dikenal oleh masyarakat tradisional. Rasionalitas menjadi dasar dan karakter pada hubungan antar individu dan pandangan masyarakat terhadap masa depan yang mereka idam-idamkan.
Lerner (1958) menyatakan bahwa kepribadian modern dicirikan oleh :
- Empati : kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
- Mobilitas : kemampuan untuk melakukan “gerak sosia”l atau dengan kata lain kemampuan “beradaptasi”. Pada masyarakat modern sangat memungkinkan terdapat perubahan status dan peran atau peran ganda. Sistem stratifikasi yang terbuka sangat memungkinkan individu untuk berpindah status.
- Partisipasi : Masyarakat modern sangat berbeda dengan masyarakat tradisional yang kurang memperhatikan partisipasi individunya. Pada masyarakat tradisional individu cenderung pasif pada keseluruhan proses sosial, sebaliknya pada masyarakat modern keaktifan individu sangat diperlukan sehingga dapat memunculkan gagasan2 baru dalam pengambilan keputusan.
Sementara itu menurut David Harison(1988), mengatakan bahwa ada beberapa dimensi dalam mengukur seseorang dianggap modern yaitu: (1) siap untuk pengalaman baru dan terbuka terhadap inovasi, (2) tertarik pada pemikiran-pemikiran yang relevan, (3) berperilaku lebih demokratis terhadap pendapat orang lain, (4) berorientasi ke masa depan, (5) memiliki rencana masa depan hidupnya, (6) menyadari martabat orang lain, (7) berani menghadapi tantangan, dan (8) mempercayai distribusi keadilan.
Disi sisi lain moderinisasi yang masuk melalui change agents, akan cenderung pada homogenisasi ekonomi, sehingga akhirnya modernisasi, pembangunan, kapitalisme satu sama lain akan memiliki arti yang semakin konvergen. Menurut Harison Modernisasi juga akan berpengaruh terhadap perubahan susunan dan pola masyarakat, dengan terjadinya deferensiasi struktural demikian juga dengan kapitalisme yang telah dibuktikan sejarah, serta kritik oleh Marx akan menimbulkan struktur yang penuh konflik.
.Di lain pihak, Schoorl memandang modernisasi yang lahir di barat akan cenderung ke arah westernisasi, memiliki tekanan yang kuat meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun setidaknya akan muncul kebudayaan barat dalam kebudayaanya. Di bawah ini kami mencoba membuat rumusan suatu “matrix” setidaknya dapat memberikan perbandingan dari penjelasan spencer, schoorl, dan dube tentang modernisasi
Selanjutnya Terdapat beberapa “keambiguan”/kelemahan pandangan modernisasi tentang kemanusiaan :
- Keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial (negara maju-berkembang) tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
- Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan iptek pada organisasi modern tidak dapat diikuti oleh semua negara.
- Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
- Keberhasilan negara barat dalam melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan kolonial yang mereka miliki sehingga mampu mengeruk SDA dengan mdari negara berkembang dengan murah dan mudah. Modernisasi = neokolonialisme. Negara maju = “.serigala berbulu domba”.
Konsep modernisasi gagal dalam mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut, pendekatan yang selalu berorientasi pada iptek mengasumsikan bahwa masalah kemanusiaan dapat diatasi dengan menggunakan iptek tersebut. pendekatan ini sangat kontraproduktif dimana tekanan penggunaan iptek pada industri adalah “padat modal”. Industri yang berbasis iptek tersebut memerlukan TK yang sedikit namun dengan kualifikasi yang sangat tinggi. Kondisi yang tidak mungkin terdapat pada negara berkembang dengan jumlah naker melimpah namun kualifikasi yang ada sangat rendah. Negara berkembang lebih cocok dengan industri yang menggunakan konsep “padat karya”. Bukti kegagalan pendekatan iptek semata adalah vietnam yang mampu memenangi peperangan dengan USA menggunakan taktik gerilya.
Modernisasi yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan untuk membangun masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan mengaanggap kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan bahkan sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia semakin terbelakang bahkan semakin carut-marut akibat masuknya budaya-budaya asing yang menghancurkan indegenous knowledge masyarakat lokal. Pemerintah secara sepihak telah memutuskan bentuk pembangunan yang dilakukan di Indonesia tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan. Dalam hal ini, oleh pemerintah masyarakat dijadikan obyek pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan sehingga masyarakat tidak pernah dilbatkan secara langsung.
Masuknya beragam program pemerintah untuk mengubah kondisi masyarakat dari keadaan terbelakang menuju kepada sebuah kemajuan, menjadikan masyarakat terpaksa meninggalkan nilai-nilai kulturalnya. Pemerintah selalu menganggap kondisi masyarakat adalah sebuah kondisi yang harus mendapat pembenahan. Ternyata pembenahan yang dilakukan pemerintah terkadang menjadi negatif setelah dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki nilai kultural yang bertolak belakang dengan program pembangunan pemerintah. Dampak yang ada di masyarakat sebagai akibat dari pembangunan, yang tidak jarang berdampak negatif, di jelaskan oleh penulis sebagai sebuah biaya yang harus menjadi tanggungan masyarakat dari pelaksanaan pembangunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Pada akhirnya, perhatian khusus yang menjadi fokus tulisan ini adalah kultur masyarakat lokal yang sebenarnya tidak bertentangan dengan pembangunan bahkan lebih bijak dibandingkan program-program bentukan pemerintah, selalu terlupakan. Sebagai hasil penelitian, penulis mencoba membuktikan bagaimana kultural masyarakat dalam berbagai aspek, ternyata lebih bermanfaat dibandingkan nilai baru yang bahkan menyebabkan kehancuran masyarakat
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.
Dove dalam penelitiannya di membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi mengambil contoh di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.
Sajogyo justru kemudian membahas proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.
DAFTAR RUJUKAN
Dove, Michael R (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed Books Ltd, London.
Sajogyo. 1982. Modernization Without Development. The Journal of Social Studies. Bacca, Bangladesh.
Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. PT. Gramedia, Jakarta.
Spencer, Herbert.1963. ‘The Evolution of Societies’. Pp 9-13 in Etzioni, A. & Halevy, Eva Etzioni- (eds). Social Changes: Sources, Patterns and Consequences. Basic Books, New York.
http://boetila.blogspot.com/2008/09/sosilogi-pembangunan.html di unduh tgl 5 April 2012 pukul 8:42 wib