Iklan Produk

Thursday, July 27, 2017

Makalah Implementasi Program Beras Miskin



IMPLEMENTASI PROGRAM BERAS MISKIN
(RASKIN) DALAM UPAYA PEMENUHAN
KEBUTUHAN HIDUP MASYARAKAT
YANG KURANG MAMPU



 


Dosen Pembina: Dr. Abdul Kadir, M.Si
Mata Kuliah: Proses Perumusan Dan Kebijakan Publik

DISUSUN OLEH :
BERKAT GOWASA
14.013.121.005


PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
MEDAN
 2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

            Perubahan penyelenggaraan pemerintahan membawa perubahan dalam pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dari pemerintahan sentralistik menjadi pemerintahan otonom yang terwujud dalam  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah : “Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Inti dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah terdapatnya keleluasan Pemerintah Daerah  untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Otonomi Daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong aktivitas masyarakat untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungannya.
            Adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah otonom dapat dengan cepat merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan pembangunan dan pemberikan pelayanan publik kepada masyarakat akan dapat berjalan dengan cepat dan berkualitas karena pemerintah daerah dianggap yang paling mengetahui apa yang menjadi kebutuhan warganya.
            Organisasi kecamatan sebagai organisasi lokal yang sangat dekat dengan lingkungan masyarakat, keberadaaannya sangat ditentukan oleh penerimaan masyarakat. Tingkat penerimaan masyarakat tersebut sangatlah ditentukan oleh sejauhmana tingkat pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Pelayanan yang dimaksudkan di sini adalah sejauhmana organisasi kecamatan tersebut memberikan kemudahan di dalam mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), perijinan-perijinan, surat keterangan dan lain sebagainya.
            Pemberian pelayanan kepada masyarakat tersebut sangatlah bergantung sejauhmana efektivitas dan efisiensi dari organisasi kecamatan tersebut. Sebuah organisasi kecamatan yang efektif dan efisiensi dapat memberikan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat dalam memberikan pelayanan. Organisasi kecamatan yang efektif dan efisien memiliki ciri-ciri antara lain memiliki transparansi dalam pelayanan, kecepatan dalam pelayanan, prosedur pelayanan yang sederhana, biaya pelayanan yang sangat murah, tidak terdapat diskriminasi dalam pelayanan serta yang paling penting adalah adanya kepercayaan dan citra yang baik dari kantor kecamatan tersebut yang diberikan oleh masyarakat.           
            organisasi kecamatan secara lebih spesifik fungsi penyuluhan kepada masyarakat. Artinya dengan memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada masyarakat tersebut, organisasi kecamatan telah menjalankan fungsi memberdayakan masyarakat terutama memberikan kemudahan-kemudahan serta peluang di dalam mengembangkan dirinya. Dalam konteks penyuluhan ini, organisasi kecamatan mempunyai fungsi untuk memberdayakan masyarakat yang ada di wilayahnya. Secara administratif, organisasi kecamatan bertanggung jawab untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat.
            Jadi tidak heran lagi sering mendengarkan tuntutan perubahan sering ditujukan kepada aparatur pemerintah, menyangkut pelayanan publik yang di berikan kepada masyrakat. Rendahnya mutu pelayanan publik merupakan citra buruk pemerintah di tengah masyarakat. Dan bagi masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi selalu mengeluhkan, dan kecewa terhadap tidak layaknya aparatur dalam memberikan pelayanan.
            Pelayanan masyarakat dapat dikategorikan efektif apabila masyarakat mendapatkan kemudahan pelayanan dengan prosedur yang singkat, cepat, tepat dan memuaskan. Keberhasilan meningkatkan efektifitas pelayanan umum ditentukan oleh faktor kemampuan pemerintah dalam meningkatkan disiplin kerja aparat pelayanan.
            Peran pemerintah yang strategis, akan banyak ditopang oleh kemampuan aparat pemerintah melaksanakan tugas dan fungsinya. Salah satu tantangan besar yang dihadapi pemerintah adalah kemampuan melaksanakan kegiatan secara efektif dan efisien, karena selama ini aparat pemerintah identik dengan kinerja yang berbelit - belit penuh dengan KKN serta tidak ada standar yang pasti.
            Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah,  sebagai salah satu daerah otonom selalu dituntut untuk memeberikan kesejahteraan kepada masyarakat, bangsa dan negara yang mencerminkan lewat kinerja aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan serta peningkatan kebutuhan dasar masyarakat. Titik berat otonomi daerah saat ini adalah desa atau kecamatan, dimana pelayanan yang paling dekat dengan masyarakat dan secara langsung. Oleh karena itu, Pelaksanaan pelayanan publik sangat penting untuk diperhatikan.
            Krisis yang menekan perekonomian Indonesia ada pertengahan 1997, telah memberi pengaruh yang sangat merugikan bagi kondisi makro-ekonomi secara keseluruhan dan yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat. Jumlah penduduk yang berada dalam kemiskinan dipercayai naik secara drastis (Saifullah, 200)
            Menurut Badan Pusat Statistik (2006), kemiskinan merupakan suatu kondisi kehidupan serba kekurangan yang dialami seseorang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal kehidupannya. Standar minimal kebutuhan hidup ini berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Kebutuhan minimal tersebut meliputi kebutuhan untuk makanan sehingga kemungkinan seseorang bisa bekerja untuk memperoleh pendapatan.
            Peranan beras dapat dilihat dari aspek sosial dan politik. Kerawanan pangan biasanya akan lebih mudah menyulut keresahan masyarakat. Kerawanan pangan terjadi akibat kekeringan, saat itu suplai beras sangat terbatas dan hal tersebut juga terjadi di luar negeri sehingga harga beras naik tajam. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa masalah pangan tidak saja merupakan masalah individu dan bangsa secara menyeluruh. Pada kondisi penyediaan pangan mencukupi masalah akan muncul secara potensial dapat selalu timbul (Amang, 1993).
            Kondisi ini oleh Amang Dan Sawit (2001) dianggap sebagai indikasibahwa Pemerintah ingin meninggalkan kebijakan subsidi harga beras kepada konsumen umum, karena dengan kebijkan OPK (Operasi Pasar Khusus), konsumen menengah ke atas justru lebih banyak menikmati subsidi dibandingkan kelompok menengah ke bawah. Melalui kebijkan OPK ini pemerintah bermaksud mentransfer pendapatan kepada kelompok penduduk miskin atau berpendapatan rendah. Setiap tahunnyaOPK dievaluasi dan terus melakukan penyempurnaan pada tahun 2002, nama program diubah dengan RASKIN (Beras Untuk Keluarga Miskin) dengan tujuan agar lebih dapat tepat sasaran. (BULOG, 2006).
            Berdasarkan identifikasi dan inventarisasi data dari pemberitaan di media masa tahun 2002 dan 2003, setidaknya ada delapan kesalahan dalam penyaluran RASKIN, sehingga amat merugikan masyarakat miskin yang menerimanya. Pertama, salah sasaran, RASKIN yang mestinya dibagikan kepada keluarga miskin, ternyata jatuh ke tangan kelompok masyarakat lain. Kedua, mutu beras jelek, meski Pemerintah menjamin kualitas raskin berkondisi baik, namun banyak dikeluhkan, beras dibagikan apek, pera, kotor dan banyak kutu. Ketiga, dijual lagi ke pasar, RASKIN tidak dibagikan kepada yang berhak menerima, tetapi oleh oknum petugas dijual ke eadah. Keempat, jumlah RASKIN yang dibagikan bukan dalam bentuk ukuran per kilogram, tetapi per liter, sehingga beras yang diterima jumlahnya kurang. Kelima, tidak sesuai harga, harga pembelian RASKIN yang semestinya Rp. 1.600/kg, harus dibeli seharga Rp.1.800/liter (bukan kilogram). Kekurangan itu juga bisa terjadi karena penggunaan timbangan yang keliru dan berbeda denga timbangan satandar. Keenam, ada biaya tambahan, harga RASKIN yang mestinya dijual Rp. 1.600/kg, terpaksa harus dibayar lebih, karena ada biaya tamabahan seperti untuk biaya administrasi, ongkos angkutan dan lainnya. Ketujuh, kesalahan data, akibatnya tidak adanya koordinasi antara pemerintah baik dari pusat, provinsi, kabupaten sampai desa, jumlah orang miskin yang didata lebih besar dari yang sebenarnya, sehingga RASKIN yang dibagikan kurang. Kedelapan, menunggak setoran pembayaran, akibat tunggakan hasil penjualan RASKIN di sauatu daerah yang tidak disetorkan ke BULOG, maka BULOG tidak mau menyalurkan lagi jatah RASKIN sebelum tunggakan dilunasi. Hal ini tentu amat merugikan penerima manfaat RASKIN, karena mereka membeli secara kontan, sedangkan urusan penyetoran uang hasil pembelian tidak diketahui.
           

1.2. Perumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana efektivitas pelayanan dalam penyaluran beras miskin kepada masyarakat sebagai penerima manfaat ?
2.      Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam menyalurkan beras miskin kepada masyarakat yang menerima ?
  1.3. Tujuan Penelitian
            Setiap penelitian harus mempunyai tujuan yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1.      Untuk mengetahui  efektivitas pelayanan dalam penyaluran raskin kepada masyarakat sebagai penerima manfaat.
2.      Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pelayanan penyaluran raskin kepada masyarakat  yang menerima.

1.4. Manfaat Penelitian
            Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1.      Secara Praktis, sebagai bahan masukan bagi pemerintah  dalam memberikan pelayanan penyaluran raskin kepada masyarakat dalam melayani kebutuhan masayarakat.
2.      Secara akademis, hasil penelitian ini di diharapkan dapat menambah pengetahuan, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir melalui karya ilmiah serta dapat menambah wawasan bagi mahasiswa Ilmu Pemerintahan.

 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka
            Pagan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahanakan hidup dan karenanya kecukupannya pangan bagi setiap orang waktu merupakan hak azasi yang layak  dipenuhi (syafaat dan simatupang, 2006).
            Selain itu Amang (1993) juga mengatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan manusia yang dianggap strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional bahkan politisi. Terpenuhinya kebutuhan pangan secara kuantitas dan kualitas merupakan hal yang sangat penting sebagai landasan bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam jangka panjang.
            Beras memiliki urutan utama dari jenis bahan pangan yang dikonsumsi. Hampir seluruh penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pangan utama, beras merupakan nutrisi penting dalam struktur pangan, karena itu peranan beras memiliki prananan strategis dalam kehidupan bangsa Indonesia.
            Salah satu pihak yang perlu diperhatikan dalam penentuan kebijakan pangan, terutama beras adalah konsumen. Beras masih menjadi sumber pangan pokok bagi sebagian terbeasar penduduk Indonesia. Partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah adalah diatas besaran 90 persen. Kepentingan Konsumen perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan di bidang perberasan (Harianto, 2001).
            Tim peneliti mendapatkan kenyataan bahwa sebagian besar rumah tangga tidak menyimpan pangan pokok. Kerena mempunyai kecenderungan membeli pangan pokok (beras) setiap hari. Ini berarti rumah tangga berpendapat rendah tidak mempunyai cadangan pangan, sehingga dapat dikatakan  bahwa kehidupan mereka sangat rentan terhadap perubahan harga beras. Krisis ekonomi telah menurunkan ketahanan pangan rumah tangga.
            Persedian pangan yang cukup secara nasional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga atau individu. Walaupun secara nasional persedian panggan mencukupi, munculnya kasus kerawanan pangan dan ditemukannya bayi dan anak balita berstatus gizi buruk di berbagai daerah di Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri (Anonimus, 2002).
            Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunkan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitarnya dua pertiganya (Suhardjo, 1996).
            Masalah rawan pangan yang mengalami sebagian besar penduduk desa semakin meningkat khususnya pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Banyak masyarakat miskin yang tidak mampu membeli beras pada harga pasar. Menyadari sulitnya akses penduduk miskin terhadap beras yang disediakan melalui pasar bebas, mulai Juli 2008 pemerintah menerapkan kebijkan baru berupa target price subsidy yang dikenal dengan Operasi Pasar Khusus (OPK) (saifullah, 2001).
2.2. Landasan Teori
            Distribusi merupakan menambahan kegunaan waktu, tempat dan pemilikan barang yang mencakup juga pengangkutan barang-barang dari tempat asal atau produksi lanjutan ke temapat penjualan. Dalam hal ini mencakup berbagai bidang manajemen khususnya seperti penjualan pengiklanan, keuangan, pengankutan dan pengudangan (Taff, 1994).
            Peranan saluran distribusi dalam pemesaran tercermin dari biaya distribusi yang besarnya dapat melebihi biaya produksi, biaya promosi, biaya administrasi pemasaran dan biaya pemasaran lain. Peranan yang besar dapat ditunjukkan dengan kinerja yang baik terhadap fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan di setiap saluran (Purwadi,2000).
            Mekanisme pelaksanaan distribusi RASKIN yaitu :
1.      Bupati/Walikota mengajukan Surat Permintaan Alokasi (SPA) kepada Kadivre berdasarkan alokasi pagu RASKIN dan rumah tangga miskin penerima manfaat RASKIN dimasing-masing Kecamatan/Kelurahan/Desa.
2.      SPA yang tidak dapat dilayani sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, maka pagu dapat direlokasikan ke daerah lain dengan menerbitkan SPA baru yang menunjuk pada SPA yang tidak dapat dilayani.
3.      Berdasarkan SPA, Kadivre menerbitkan SPPB (Surat Perintah Pengiriman Beras) untuk masing-masing Kecamatan/Kelurahan/Desa kepada SATKER (Satuan Kerja) RASKIN. APABILA TERDAPAT TUNGGAKAN Harga Penjualan Beras (HPB) pada periode sebelumnya maka penerbitan SPPB periode berikutnya ditangguhkan sampai ada pelunasan.
4.      Berdasarkan SPPB, SATKER RASKIN mengambil beras di gudang penyimpanan Perum BULOG, mengangkut dan menyerahkan beras RAKIN kepada pelaksana distribusi di titik distribusi. Kualitas beras yang diserahkan harus sesuai dengan standar kualitas BULOG apabila tidak memenuhi standar kualitas maka beras dikembalikan kepada SATKER RASKIN untuk ditukar/diganti.
5.      Serah terima beras RASKIN dari SATKER RASKIN kepada pelaksana distribusi di titik distribusi dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang merupakan pengalihan tanggungjawab.
6.      Pelaksana Distribusi menyerahkan beras kepada rumah tangga miskin penerima manfaat RASKIN.
            Sedangkan BPS telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin, seperti yang telah disosialisasikan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (2005), rumah tangga yang memiliki ciri rumah tangga miskin, yaitu:
1.      Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang,
2.      Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan,
3.      Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari babu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester,
4.      Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain,
5.      Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik,
6.      Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan,
7.      Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah,
8.       Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu,
9.      Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun,
10.  Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari,
11.  Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik,
12.  Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan,
13.  Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD,
14.  Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
            Keefektifan distribusi RASKIN dapat dinilai melalui keberhasilan program RASKIN yaitu :
1.      Tepat Sasaran Penerima Manfaat
Raskin hanya diberikan kepada rumah tangga miskin penerima manfaat yang terdaftar dalam daftar penerima manfaat (DPM).
2.      Tepat Jumlah
Jumlah beras Raskin yang merupakan hak penerima manfaat adalah sebanyak 15 Kg/RTM/bulan
3.      Tepat Harga
Harga beras raskin adalah sebesar 1.600/Kg netto di titik distribusi.
4.      Tepat Waktu
Waktu pelaksanaan distribusi beras kepada RTM penerima manfaat sesuai dengan rencana distribusi
5.      Tepat Administrasi
Terpenuhinya persyaratan administrasi secara benar dan tepat waktu
(Bulog, 2006).
            Sistem distribusi yang efisien menjadi persyaratan untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau. Semua proses dalam distribusi pemasaran, mulai dari penampungan dari produsen sampai penyaluran barang ke konsumen membutuhkan biaya masing-masing tidak sama. Bila jarak antara produsen dengan konsumen pendek, maka biaya pengangkutan bisa diperkecil. Jika tidak terjadi perubahan bentuk ataupun perubahan volume atau mutu maka biaya pengolahan jadi tidak ada. Semakin panjang jarak dan semakin banyak perantara yang terlibat dalam distribusi, maka biaya distribusi semakin tinggi (Daniel, 2002).
            Harga beras RASKIN yang telah ditetapkan Pemerintah yaitu sebesar Rp 1.600/kg. namun harga tersebut dapat berbeda jika telah berada ditangan penerima manfaat beras RASKIN. Harga dapat berkisar antara Rp. 2.000-2.500 karena untuk biaya angkut/transportasi dari titik distribusi ke penerima manfaat, serta ditetapkan beberapa kriteria di antaranya membebankan biaya ongkos kirim RASKIN kepada warga miskin, uang jaga malam selama beras berada di dalam gudang, uang pikul serta uang SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). (Sulaksono, 2003).
            Konsep efesiensi dan efektifitas mempunyai pengertian yang berbeda. Efesiensi lebih menitik beratkan dalam pencapaian hasil yang besar dengan pengorbanan yang sekecil mungkin, sedangkan pengertian efektif lebih terarah pada tujuan yang dicapai, tanpa mementingkan pengerbonan yang dikeluarkan.
            Kata efektif berarti terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan. Kata efektif berarti berhasil, tepat, manjur, (S. Wojowisoto, 1980). Jadi efektivitas adalah sesuatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang melakukan perbuatan dengan maksud tertentu atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki, maka orang tersebut dikatakan efektif    (Ensiklopedia Administrasi, 1989:149). Efektif dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti dapat membawa hasil, berhasil guna.
            Handoko berpendapat ( 1993:7) efektifitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Maksud dari pengertian di atas adalah efektif atau tidaknya suatu pekerjaan atau usaha suatu organisasi dapat dilihat dari sasaran dan tujuan yang dicapai. “Berbeda pendapat pada “Sondang P. Siagian (1981:151) berpendapat bahwa efektivitas terkait penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan sebelumnya atau dapat dikatakan apakah pelaksanaan sesuatu tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya”. Dari bermacam-macam pendapat diatas terlihat bahwa efektivitas lebih menekankan pada aspek tujuan dan suatu organisasi, jadi jika suatu organisasi telah berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka dapat dikatakan telah mencapai efektifitas.

2.3. Kerangka Pemikiran
            Beras untuk keluarga miskin atau sering disebut dengan RASKIN adalahh salah satu  program Pemerintah untuk membantu masyarakat yang termiskin dan rawan pagan agar mereka tetap mendapatkan beras untuk kebutuhan rumah tangganya. Distribusi RASKIN merupakan proses penyaluran beras kepada penduduk miskin yang telah terdata sebagai masyarkat yang berhak menerima beras RASKIN.
            Harga beras RASKIN yang telah ditetapkan Pemerintah adalah Rp. 1.600 per kilogram. Harga tersebut adalah harga di titik distribusi. Namun harga tersebut bisa berbeda di tingkat rumah tangga di titik distribusi. Namun harga tersebut bisa berbeda di tingkat rumah tangga penerima RASKIN. Karena dibebankan biaya transportasi atau biaya angkutan serta biaya-biaya lainnya. Hal tersebut menimbulkan perbedaan harga ditingkat Pemerintah dan rumah tangga.
            Adanya pelaksana program RASKIN memberikan surplus bagi rumah tangga miskin. Harga beras yang lebih murah merupakan kepuasan yang diterima penerima subsidi beras miskin. Karena yang diperoleh oleh rumah tangga miskin selalu lebih besar daripada pembayaran yang mereka keluarkan.
            Keefektifan distribusi RASKIN ditinjau dari beberapa indikator yaitu ketepatan sasaran bagi rumah tangga yang benar-benar miskin, ketepatan jumlah beras yang diterima rumah tangga yaitu sebanyak 15 kg/KK, ketepatan harga yaitu Rp 1.600/kg di titik distribusi, ketetapan waktu pendistribusian serta terpenuhinya persyaratan administrasi dengan benar. Pendistribusian RASKIN akan efektif jika kelima indikator tersebut terpenuhi dan mekanisme pendistribusian berjalan dengan lancar. Biaya pendistribusian merupakan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan atau  aktivitas penyaluran beras RASKIN ke tangan penerima manfaat beras RASKIN. Biaya ini meliputi biaya transportasi atau biaya angkutan, biaya susut, biaya menimbang, dan lain-lain. Distribusi RASKIN dianggap efisien jika mampu menyampaikan beras untuk keluarga miskin ke penerima manfaat dengan biaya distribusi yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang sesingkatnya. Tingkat efisiensi pemasaran dapat dihitung dengan perbandingan antara baiaya distribusi/pemasaran dengan nilai jual produk yang dipasarkan.
            Berdasarkan uraian diatas, maka untuk lebih memahami hal tersebut dapat dilihat skema kerangka untuk penelitian ini.
Skema Kerangka Pemikiran Program Distribusi RASKIN






           







Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Pendistribusian RASKIN

2.4. Pelayanan
              Pelayanan pada dasarnya adalah cara melayani, membantu, menyikapi, mengurus, menyelesaikan keperluan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang. Dan kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Seperti yang dilaksanakan pada instansi pemerintah di pusat, daerah, dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang – undangan.Seperti yang dikemukakan oleh (Agung Kurniawan,2005:6)Pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
            Jadi pelayanan yang diberikan oleh pemerintah haruslah mendahulukan kepentingan masyarakat dengan waktu yang singkat, mudah serta dapat memberikan rasa puas bagi masyarakat yang menikmati layanan itu.Pendapat lain Seperti yang dijelaskan (Kotler dalam Sampara Lukman 2000:4)Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

2.5. Standar Operasional Prosedur
            Paradigma governance membawa pergeseran dalam pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari penerapan prinsip-prinsip corporate governance. Penerapan prinsip corporate governance juga berimplikasi pada perubahan manajemen pemerintahan menjadi lebih terstandarisasi, artinya ada sejumlah kriteria standar yang harus dipatuhi instansi pemerintah dalam melaksanakan aktivitas-aktivitasnya.
              Standar kinerja ini sekaligus dapat untuk menilai kinerja instansi pemerintah secara internal mupun eksternal. Standar internal yang bersifat prosedural inilah yang disebut dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). Perumusan SOP menjadi relevan karena sebagai tolok ukur dalam menilai efektivitas dan efisiensi kinerja instansi pemerintah dalam melaksanakan program kerjanya. Secara konseptual prosedur diartikan sebagai langkah - langkah sejumlah instruksi logis untuk menuju pada suatu proses yang dikehendaki. Proses yang dikehendaki tersebut berupa pengguna-pengguna sistem proses kerja dalam bentuk aktivitas, aliran data, dan aliran kerja.
              Prosedur operasional standar adalah proses standar langkah - langkah sejumlah instruksi logis yang harus dilakukan berupa aktivitas, aliran data, dan aliran kerja. Dilihat dari fungsinya, SOP berfungsi membentuk sistem kerja & aliran kerja yang teratur, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan menggambarkan bagaimana tujuan pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan kegiatan berlangsung sebagai sarana tata urutan dari pelaksanaan dan pengadministrasian pekerjaan harian sebagaimana metode yang ditetapkan menjamin konsistensi dan proses kerja yang sistematik dan menetapkan hubungan timbal balik antar Satuan Kerja.
              Secara umum, SOP merupakan gambaran langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai tujuan instansi pemerintah. SOP sebagai suatu dokumen/instrumen memuat tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisisen berdasarkan suatu standar yang sudah baku.
2.6. Definisi dan Batasan Operasional
            a. definisi
            untuk menjelaskan dan menghindari kesalah pahaman dalam penelitian maka dibuat batasan operasional sebagai berikut :
1.      Program beras untuk Kelurga Miskin (RASKIN) adalah program Pemerintah dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan perlindungan kepada keluarga miskin melalui pendistribusian beras dalam jumlah dan harga tertentu.
2.      Efektivitas adalah kemampuan yang dilakukan berdasarkan indikator tertentu dalam mencapai tujuan program pendistribusian RASKIN yang telah ditetapkan.
3.      Efisiensi Pemasaran adalah suatu keadaan yang digunakan dalam penilaian prestasi kerja dalam proses pemasaran atau pendistribusian beras RASKIN bagi semua lembaga yang terkait dalam pemasaran atau biaya pemasaran/pendistribusian dibagi dengan nilai jual beras RASKIN yang dipasarkan.
4.      Distribusi beras miskin adalah penyaluran beras kepada penduduk miskin dengan harga Rp. 1400/kg dan setiap kepala keluarga mendapat jatah 10 kg/KK.
5.      Keluarga miskin adalah masyarakat yang telah ditetapkan sebagai penerima manfaat RASKIN sesuai dengan Musyawarah Desa/Kelurahan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dan diketahui oleh Camat setempatnya.
6.      Pelaksana distribusi adalah kelompok kerja di titik distribusi yang terdiri dari aparat Kecamatan, Desa dan Kelurahan yang ditunjuk oleh Camat, Kades/Lurah, dibantu oleh anggota masyarakat atau institusi ekonomi kemasyrakatan lainnya yang bertugas dan bertanggung jawab menyampaikan beras kepada Penerima Manfaat Raskin.
7.      Titik distribusi adalah tempat atau lokasi penyerahan beras oleh SATKER RASKIN kepada pelaksanaan distribusi di desa/Kelurahan yang dapat dijangkau penerima manfaat Raskin atau lokasi lain yang ditetapkan atas dasar kesepakatan secara tertulis antara Pemerintah Daerah dengan Divre/Subdivre.
8.      Penerima manfaat Raskin adalah rumah tangga miskin (RTM) di Desa/Kelurahan yang berhak menerima beras Raskin, sebagai hasil seleksi Musyawarah Desa/Kelurahan yang terdaftar dalam terdaftar dalam Daftar Penerima Manfaat (DPM), ditetapkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan disahkan oleh Camat.
9.      Surplus konsumen adalah keuntungan yang diperoleh masyarakat miskin penerima beras RASKIN karena harga RASKIN karena harga beras yang ditawarkan lebih rendah daripada harga yang mereka mau bayarkan di pasar.
10.  BULOG adalah badan urusan logistik yang bertugas menyalurkan beras bersubsidi khusus untuk masyarakat miskin (RASKIN).
11.  Biaya Distribusi adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga distribusi dalam menyalurkan beras RASKIN hingga ke penerima manfaat RASKIN
b. Batasan Operasional
1.      Penelitian dilakukan di desa… , Kecamatan…, Kabupaten….
2.      Penelitian dilakukan pada tahun 2015
3.      Populasi adalah keseluruhan rumah tangga miskin di daerah penelitian yang menerima RASKIN
4.      Sampel yang diambil adalah perwakilan dari rumah tangga miskin penerima manfaat beras msikin di daerah penelitian.
5.      Efektivitas dalam penelitian ini ditinjau berdasar atas 5 indikator yaitu sasaran, jumlah, harga, waktu dan administrasi dengan kriteria jika lebih besar atau sama dengan 80 % dikatakan efektif dan jika berada dibawah 80 % dikatakan tidak efektif.





BAB III
METODELOGI
3.1. Bentuk Penelitian
            Pada umumnya orang menggolongkan penelitian berdasarkan bentuk-bentuk penelitian menurut jenis penggolongannya (Wirartha, 2006:125). Sehubungan dengan penelitian itu, peneliti ini didasarkan pada jenis penggolongan penelitian menurut pendekatannya, yaitu penelitian survei. Menurut (Wirartha, 2006:143), penelitian survei adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, data yang dipelajari diambil dari populasi tersebut sehingga dapat ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi dan hubungan antar variabel, sosiologis maupun psikologis.
            Selanjutnya, Wirartha (2006:143) mengatakan bahwa survei mempunyai dua lingkup, yaitu sensus dan survei sampel. Sensus adalah survei yang meliputi seluruh populasi yang diinginkan, sedangkan sampel dilakukan hanya ada sebagian kecil populasi.
            Bila ditinjau dari penggolongan penelitian menurut taraf penelitian, maka penelitian ini termasuk penelitian eksplanasi. Menurut Wirartha (2006:160), penelitian eksplanasi bertujuan menggambarkan suatu generalisasi atau menjelaskan hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Oleh karena itu, penelitian eksplanasi menggunakan hipotesis.
            Sehubungan dengan itu metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis korelasi karena persepsi dan pendapat dari responden ditulis apa adanya sesuai dengan apa yang diperoleh oleh peneliti. Data yang diperoleh kemudian akan dianalisis melalui tabulasi frekuensi untuk melihat kecendurungan presentase dari jawaban responden.



3.2. Populasi Dan Sampel
       3.2.1.  Populasi
              Populasi ada umumnya diartikan sebagai penduduk. Berkaitan dengan enelitian ilmiah, populasi dapat dibatasi sebagai keseluruhan pengamatan yang menjadi perhatian peneliti (Partino & Idrus, 2009:2).
              Menurut Nawawi (1999:141), bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuhan-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian.
              pada penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh masyarakat miskin yang menerima program RASKIN yang berada pada wilayah di Kecamatan teluk dalam Kabupaten nias selatan
              Sampel (contoh) ialah sebagian anggota populasi yang diambil dengan menggunakan teknik tertentu yang disebut dengan teknik sampling (Usman & Akbar, 2006:44).
              Jumlah masyarakat yang menerima Program beras miskin (RASKIN) di Kecamatan teluk dalam kabupaten nias selatan dengan menggunakan jumlah sampel yang diambil penulis dengan menggunakan teknik pengambilan sampel berdasarkn rumus Tara Yamane yaitu :
Keterangan :
N = Populasi
n = Sampel
d = Presisi/tingkat penarikan sampel (%)


            3.2.2.  Sampel
            Karena daerah populasi terdiri dari beberapa wilayah Kelurahan/desa, maka untuk mendapatkan responden yang menjadi sampel penelitian dilakukan penentuan jumlah sampel berdasarkan proporsi dari masing-masing unit populasi dengan menggunakan rumus Mendenhall (Kerlinger, 1997:200), sebagai berikut :
Keterangan :
ni = Jumlah Sampel masing-masing sub populasi
Ni = jumlah populasi masing-masing sub populasi
N = Jumlah populasi keseluruhan
n = Jumlah sampel keseluruhan
3.3. Teknik Pengumpulan Data
1.      Penelitian kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang dilakukan berdasarkan studi kepustakaan dengan cara mengumpulan berbagai literatur-literatur dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku, bahan-bahan kuliah yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan dan tulisan-tulisan yang lain yang ada hubungannya dengan penulisan penelitian ini. Data tersebut merupakan data materil dalam membantu mengolah data yang penulis himpun dari lapangan. Melalui studi pustaka ini data sekunder dapat dikumpulkan.
2.      Penelitian lapangan, adalah metode penelitian yang penulis lakukan secara langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data primer dengan melakukan :
a.       Observasi, yaitu pengumpulan data atau informasi dengan cara mengamati langsung terhadap objek penelitian di lapangan yaitu di Kecamatan teluk dalam Kabupaten nias selatan
b.      Daftar pertanyaan (kuisioner), yaitu menghimpun data dengan cara mengajukan daftar pertanyaan secara tertulis kepada responden yang merupakan masyarakat miskin sebagai peenerima program RASKIN di Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan tersebut sesuai dengan jumlah sampel yang dibutuhkan.
3.4. Teknik Analisa Data
Hipotesis 1, mengindikasikan bahwa harga di tingkat retail (rumah tangga) adalah diwakili oleh harga lembaga distribusi ditambah dengan biaya distribusi dan keuntungan lembaga penyalur RASKIN. Secara matematis dapat dinotasikan dengan rumus sebagai berikut :
             Prt=Pi+t+ Ï€
Dimana :
Prt = harga di tingkat retail/rumah tangga
Pi = harga di tingkat lembaga distribusi
t = baiaya distribusi
Ï€ = keuntungan oleh penyalur
            selanjutnya untuk melihat perbedaan harga patokan dengan harga tingkat reatai (rumah tangga) dipergunakan dengan menghitung selisih kedua harga tersebut, yaitu :
           ΔP = Prt-Pp
Dimana
ΔP = perbedaan harga
Pp = harga patokan oleh pemerintah
Hipotesis 2, di analisis dengan menggunkan surplus konsumen. Surplus konsumen merupakan keuntungan yang diperoleh konsumen karena harga yang berleku pada kondisi keseimbangan lebih rendah daripada harga yang mereka mau bayarkan. Semakin besarnya perbedaan harga tersebut maka semakin tinggi surplus konsumen yang diperoleh rumah tangga. Selisih antara harga optimal dengan harga yang harus dibayar merupakan surplus bagi konsumen. Besarnya surplus ini dihitung dari perbedaan harga ini dikalikan dengan kuantitas pembelinya dengan rumus berikut :
Dimana :
Sk = surplus konsumen
Pa = harga tertinggi di pasar
Pk = harga keseimbangan
Q = jumlah yang diperjualbelikan
            Hipotesis 3, digunakan analisis deskriptif yaitu dengan melihat pendistribusian beras miskin di Kecamatan Teluk Dalam sesuai indikator keefektifan distribusi RASKIN dikatakan efektif jika kelima indikator tersebut lebih besar atau sama dengan 80 % pendistribusian dan jika dibawah dikatakan tidak efektif.
            Hipotesis 4, dianalisis dengan menghitung biaya distribusi di tingkat lembaga distribusi dan nilai jual beras RASKIN yang dipasarkan. Untuk melihat tingkat efisiensi distribusi dihitung dengan menggunkan rumus Efisiensi Pemasaran (Ep) sebagai berikut :

            Kriteria :
Ep ≥ 1 berarti pendistribusian tidak efisiensi
Ep < 1 berarti pendistribusian efisien
( Downey dan Erickson, 1992).
3.5. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
            Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan Januari 2014 dengan lama penelitian disesuaikan dengan kebutuhan.














Saturday, June 10, 2017

MAKALAH ISU-ISU KESEHATAN

ABSTRAK
    Kesehatan merupakan hal yang mendasar bagi setiap individu. Kesehatan juga merupakan topik yang tak per nah habis jika di bicarakan. Selalu mengundang perhatian dari berbagai pihak. Banyaknya sorotan baik yang sifatnya sebagai saran, kritikan bahkan gunjingan tak pernah lepas dari dunia kesehatan. Ini merupakan masalah yang hakiki. Masalah kita bersama. Masa lah kesehatan bukan hanya masalah individu, akan tetapi masalah kita semua, masalah kelompok. Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang, pada dasarnya menyangkut dua aspek utama. Pertama ialah aspek fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, sedangkan yang kedua adalah aspek non fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Guna meningkat kan derajat kesehatan masyarakat tentu saja diperlukan upaya-upaya optimal dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada, sehingga nantinya dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
    Di kalangan masyarakat perlindungan sosial dibidang kesehatan merupakan salah satu bentuk dan strategi perlindungan sosial dalam dalam meningkatkan kualitas kesehatan khususnya di Des a Panyili. Dibanding dengan negara-negara tetangga lainnya, kualitas kesehatan di Indonesia masih dan terus tertingal.Salah satu penyebabnya adalah rendahnya akses terhadap perawatan kesehatan dikarenakan mahalnya biaya perawatan. Situasi ini terjadi teru t ama dikalangan orang miskin yang tidak memiliki jaminan sosial di bidang kesehatan. Sumbangsih pemerintah pun telah terlihat, dengan pembangunan Puskesmas dan Pustu di berbagai kecamatan bahkan pedesaan. Tidak hanya itu pemerintah pun mensahkan adanya pro gram pelayanan kesehatan gratis dengan penyediaan obat-obat generik, perawatan kesehatan ibu dan anak, dan banyak lagi pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
    Salah satu cara yang harus ditempuh adalah dengan lebih me mpercepat terwujudnya tujuan dari puskesemas di masyarakat khususnya masyarakat pedesaan yaitu dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, pemuka-pemuka agama, dan gencar melakukan penyuluhan-penyuluhan mengenai kesehatan.Terlebih lagi saat sekarang ini sud ah ada Program Pelayanan Kesehatan Gratis yang telah disahkan oleh pemerintah yang semestinya sudah bisa menjadi daya tarik untuk masyarakat agar lebih bisa menerima dan menggunakan sarana Puskesmas ini.
Dengan adanya kesadaran dan kemauan di kalangan masy arakat, tentu saja animo/respon masyarakat perlahan-lahan akan berubah, dan akhirnya diharapakan kemudian menjadi pengguna pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas. Bahkan tidak saja sebagai pengguna jasa Puskesmas namun juga akan dengan sukarela serta b erperan aktif di setiap kegiatan yang berkenaan dengan pelaksanaan program kesehatan di Puskesmas.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
    Kesehatan di Indonesia adalah salah satu hak yang harus dimiliki oleh tiap warga negara. Didalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah sat u unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maup un sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping kebutuhan akan sandang dan pangan, pemukiman dan pendidikan. Karena hanya dalam keadaan sehatlah man usia dapat hidup, tumbuh, berkarya dan berkreasi dengan baik.
Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya. P embangunan kesehatan ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. Di samping itu pula dilakukan perbaikan dan peningkatan sistem pembiayaan kesehatan sehingga menjadi lebih jelas, sarana dan prasarana j uga perlu diperhatikan mutunya, agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal.
    Dalam Undang-undang No.9 tahun 1960 tentang “Pokok-Pokok Kesehatan” (Maryati Sukarni, 1988) menyatakan bahwa : “Yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit/cacat dan kelemahan”.
    Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan prilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan empat misi pembangunan kesehatan, diantaranya adalah memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi, merata dan terjangkau, yang mengandung makna bahwa salah satu tanggung jawab sektor kesehatan adalah menjamin tersedianya pelayanan kesehatan ya ng bermutu, merata dan terjangkau bagi masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak semata-mata berada di tangan pemerintah, melainkan mengikutsertakan sebesar-besarnya peran serta aktif segenap anggota masyarakat dan berbagai potensi swasta (Dep kes RI, 1999: 33-35).
    Pada hakikatnya derajat kesehatan seseorang dipengaruhi oleh empat faktor penentu yaitu faktor bawaan, pelayanan kesehatan, perilaku dan faktor (fisik, biologis, dan kemasyarakatan). Dua faktor tersebut terakhir merupakan faktor penent u ini berada dalam kondisi interaksi dengan faktor-faktor kependudukan, sosial budaya, ekologi, sumber daya alam dan ekonomi (Maryati Sukarni, 1998). Derajat kesehatan kini dipertanyakan dalam kondisi masyarakat yang semakin heterogen. Rendahnya derajat ke sehatan ini disebabkan karena kurang optimalnya pelayanan kesehatan. Kurang optimalnya pelaksanaan pelayanan kesehatan ini tak lepas dari berbagai faktor sosial dan ekonomi. Dari sektor ini tentu saja masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan sosial, memiliki perbedaan pendapatan oleh masing-masing masyarakat. Faktor lain yang bisa menjadi penyebab dari kurang optimalnya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yakni pola penyakit, kondisi geografis yang sulit untuk menjangkau sarana kesehatan, perkembangan teknologi di bidang kesehatan yang semakin maju.
    Itulah sebabnya maka upaya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal merupakan upaya penting yang dilaksanakan oleh masyarakat seluruh dunia. Di sektor kesehatan, kesadaran dan k emampuansetiap masyarakat untuk hidup sehat merupakan faktor utama untuk mewujudkan suatu masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang optimal. Oleh karena itu dalam “Sistem Kesehatan Nasional” dinyatakan bahwa: “...pembangunan kesehatan dilaksanakan de ngan tujuan tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal“. Selanjutnya untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan, pemerintah Sulawesi Selatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Da sar 1945 memprogramkan pelayanan kesehatan gratis guna memberikan akses seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan.
    Kemudian, masalah kesehatan masyarakat terutama di negara-negara seperti Indonesia pada dasarnya menyangkut pada dua aspek penting. Pertama adalah aspek fisik (berupa tersedianya sarana kesehatan yang memadai dan pengobatan penyakit). Kedua adalah non-fisik yang menyangkut prilaku kesehatan. Dan salah satu indikasi dar i keseriusan pemerintah dalam penanganan kesehatan tersebut yaitu dengan adanya pembangunan sarana Puskesmas sebagai bantuan Inpres yang tidak hanya terbatas di perkotaan saja, tetapi di tingkat kecamatan bahkan sampai di tingkat pedesan dengan maksud mem berikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
    Dengan demikian, maka pemerintah mencanangkan upaya perluasan melalui Puskesmas yang menekankan pada upaya pelayanan kesehatan masyarakat (Mustamin Alwi,1991,1). Melihat kondisi sekarang ini, dimana banyak piha k yang memandang sebelah mata peranan Puskesmas kemudian menjadi hal mutlak yang perlu diketahui jika keberadaan Puskesmas sangatlah mendukung akan terciptanya kondisi sehat dalam masyarakat, hanya saja sebagian masyarakat belum memanfaatkan puskesmas secara maksimal. Hal tersebut terjadi karena sebagian masyarakat belum mengetahui dan mengahayati tata cara hidup sehat.
    Menyadari bahwa puskesmas memiliki peranan yang cukup besar dan memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat, maka setiap warga senantiasa bisa menggunakan pelayanan kesehatan di puskesmas dengan baik.
Perhatian pemerintah akan pentingnya kesehatan bagi masyarakat kemudian semakin lengkap dengan adanya program kesehatan gratis. Ini pun sebagai acuan bagi masyarakat maupun tenaga medis agar dapat mengoptimalkan peranan Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan yang posisinya terkadang dipandang sepele bagi sebagian orang.

B.RUMUSAN MASALAH
    Upaya kesehatan di teluk dalam, belum terselengg ara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan kesehatan yang bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih dirasakan kurang. Meskipun sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah seperti Puskesmas telah terdap at dihampir semua kecamatan, namun upaya kesehatan belum dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Potensi pelayanan kesehatan swasta dan upaya kesehatan berbasis masyarakat yang semakin meningkat, belum didayagunakan sebagaimana mestinya.
    Sementara itu keterlibatan dinas kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat dan keterkaitannya dengan pelayanan rumah sakit sebagai sarana pelayanan rujukan masih dirasakan sangat kurang. Jumlah sumber daya manusia (SDM) kesehatan pun dirasa belum memadai. Rasio tenaga kesehatan dan jumlah penduduk masih rendah. Penyebaran SDM kesehatan juga belum menggembirakan. Selain itu mutu SDM kesehatan masih membutuhkan pembenahan. Hal ini tercermin dari kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang masih rendah. Jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih belum memadai untuk memberikan akses layanan kesehatan secara optimal.
    Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan pemberdayaan masyarakat yang berarti mengembangkan kesempatan yang lebih luas bagi masy arakat dalam mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan tentang kesehatan secara bersama-sama. Jaringan kemitraan dengan berbagai pihak termasuk sektor pemerintahan dan dunia usaha belum dikembangkan secara optimal.
    Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1.Bagaimanakah respon masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas Bantasari kecamatan teluk dalam kabupaten nias selatan ?
2.Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja Puskesmas?

C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.    Mengetahui bagaimana respon masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas Bantasari kecamatan teluk dalam Kabuoaten nias selatan.
2.    Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Puskesmas
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1.Bagi peneliti
a. Penelitian ini merupakan kesempatan baik dalam menerapkan ilmu dan mengembangkan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian.
2.Bagi Puskesmas bantarsari kabupaten teluk dalam.
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi Puskesmas yang bersangkutan dalam hubungannya dengan jasa pelayanan kesehatan.
b. Sebagai input atau bahan masukan untuk perbaikan kualitas pelayanan guna memenuhi kepuasan pasien, sehingga dapat menentukan langkah-lan gkah selanjutnya yang diambil dalam mengukur kebijaksanaan dimasa yang akan datang.
3.Bagi pihak lain
a.Sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan.
b.Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi
c.pembaca kajian ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dibidang operasional umumnya atau tentang kualitas pelayanan.

E. Kerangka Konseptual
    Banyak masyarakat beranggapan bahwa sakit adalah takdir yang merupakan ujian dalam hidup sehingga terkadang menyebabkan masyarakat cenderung men yepelekan penyakitnya. Misalnya, bekerja sepanjang hari tanpa diimbangi istirahat serta asupan gizi yang cukup. Masyarakat lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan kesehatan dirinya sendiri dan generasi yang lebih tua kebanyakan masih mengandalkan warisan ilmu ”gaib” (jampi–jampi) sehingga terkadang penyakitnya dapat disembuhkan tanpa bantuan medis. Selain faktor tersebut di atas, hal lain yang menjadikan masyarakat mengabaikan kesehatan dan lebih menggunakan pengobatan diri sendiri yakni jarak tempuh menuju tempat pelayanan kesehatan yang cukup jauh dan sulit dijangkau. Perjalanan yang begitu rumit dan melelahkan membuat mereka cenderung menggunakan media supranatural sebagai pertolongan dalam menyembuhkan penyakitny a sehingga terkadang ada masyarakat yang menderita penyakit tidak tersentuh dengan pelayanan kesehatan.
    Selain masalah kurangnya kepedulian masyarakat akan kesehatannya, kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan terhadap masyarakat serta biaya untuk berobat. Masalah masih tingginya kepercayaan supranatural atau jampi-jampi di Bone. Hal ini menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut di Puskesmas Palakka.
Melihat bagaimana respon masyarakat akan adanya sarana kesehatan yan g ada di Kecamatan Palakka, kemudian membandingkan apa yang sebenarnya menjadi kendala ataupun yang bisa mensukseskan program pemerintah, ”Indonesia Sehat 2010”. Di tambah lagi mengingat tahun ini selayaknya visi itu sudah seharusnya tercapai.
    Untuk mencapai mutu kesehatan tersebut diperlukan wadah atau sarana seperti puskesmas. Puskesmas kemudian memiliki peranan yang sangat besar. Puskesmas sebagai unit terkecil dari bentuk pelayanan kesehatan yang ada. Puskesmas merupakan unit pelaksana di wi layah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan kesehatan di tingkat wilayah kecamatan. Pembangunan puskesmas di tiap kecamatan memiliki peran yang sangat penting dalam memelihara kesehatan masyarakat. Apabila berfungsi, maka akan ma mpu memberikan pelayanan masyarakat yang membutuhkan puskesmas.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, puskesmas terlebih dahulu harus dapat mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Masalah ketenagakerjaan baik itu dari sisi kebijakan pemerintah daerah, ket ersediaan dan jaringan, mutu dan distribusi antar perkotaan, pedesaan dan desa tertinggal, pandangan yang ada di masyarakat mengenai mutu pelayanan puskesmas, serta kurang jelasnya peran puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, merupakan bagian dari masalah-masalah yang terlebih dahulu harus diselesaikan untuk mencapai tujuan didirikannya puskesmas.
    Adanya puskesmas yang telah mendapatkan sertivikasi ISO 9002 merupakan bukti nyata adanya komitmen pemerintah daerah dan tim manajerial puskesm as serta seluruh tenaga kerja puskesmas dalam usaha peningkatan mutu puskesmas. Mutu pelayanan kesehatan diharapkan dapat meningkat dengan adanya program kesehatan gratis yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah. Diharapkan dengan adanya program kes ehatan ini bisa lebih memacu kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya serta lebih peduli dengan kesehatannya.
    Tidak hanya itu, dengan adanya program kesehatan gratis ini di harapkan pula akan banyak respon positif di kalangan masyarakat khusus nya pada masyarakat kalangan menengah ke bawah. Respon positif ini akan didapat apabila sikap atau tindakan yang di perlihatkan oleh pemerintah ataupun pihak puskesmas itu positif. Dengan kata lain masyarakat akan menerima segala kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah apabila penyampaian informasi akan kebijakan tersebut melibatkan masyarakat dan di sosialisasikan dengan benar.
    Bukan hanya kebijakan yang sifatnya menguntungkan bagi pihak pemerintah saja dan diambil secara sepihak. Hal seperti in i tentu akan membawa respon negatif di kalangan masyarakat. Sebab, penyampaian yang tidak merata dan pelayanan yang di berikan kurang memuaskan tentu animo masyarakat untuk datang dan berobat ke puskesmas tentu saja akan semakin menurun. Apalagi melihat k ondisi sekarang mengenai image ”gratis” itu kurang baik. Dimana segala sesuatu yang gratis selalu dikaitkan dengan pelayanan yang standar dan terkesan tidak maksimal. Disini pemerintah dan juga segala pihak yang terkait seharusnya berperan penting dalam pen yampaian informasi hingga pemberian layanan secara prima dan optimal, sehingga masyarakat dapat menilai positif akan program pelayanan kesehatan yang lebih baik. Respon positif dan negatif adalah dua hal yang akan memberikan keuntungan dalam hal pemberian citra positif pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia sekaligus akan memberikan citra negatif kepada pemerintah apabila dalam prosesnya dianggap tidak memuaskan oleh masyarakat.
Respon positif akan di dapatkan apabila :
1.    Layanan yang diberika n pihak puskesmas memuaskan. Memuaskan dalam hal ini menyangkut perhatian dan kepedulian petugas puskesmas dalam memberikan layanan kepada pasien yang datang ke puskesmas tanpa melihat atau membedakan latar belakang pasien.
2.    Informasi mengenai program k esehatan yang ada di puskesmas disebarkan secara merata melalui penyuluhan-penyuluhan kesehatan.
3.    Memperhatikan kebutuhan imunisasi ibu dan bayi serta keselamatan ibu dan bayi
4.    Memperhatikan ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas
5.    Memperhatikan ketepatan waktu kunjungan, jadwal posyandu dan puskesmas keliling agar.
    Sayangnya setelah lebih dari 71 tahun merdeka, pelayanan kesehatan di negeri ini masih jauh dari harapan. Memang, di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, telah banyak berdiri rumah sakit-rumah sakit swasta bertaraf internasional. Tetapi, mereka membidik pasien-pasien berkantong tebal karena biaya sekali berobat tak cukup ditebus dengan upah minimum provinsi (UMP) seorang buruh. Bahkan belakangan ini, biaya berobat di beberapa rumah sakit swasta semakin menggila, sehingga kalangan berduit pun mulai beralih untuk berobat di negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Biaya berobat di Indonesia terkenal mahal.
    Sedangkan rumah sakit milik pemerintah yang bagus jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Rumah sakit-rumah sakit daerah tak sepenuhnya mampu memberi pelayanan yang baik karena keterbatasan peralatan dan tenaga medis. Demikian juga dengan sebagian besar pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan puskesmas pembantu, tak mampu memberi pelayanan maksimal untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat.
    Apalagi, masih banyak rakyat Indonesia yang masuk kategori miskin dan hampir miskin, sehingga bila ada anggota keluarga yang sakit keras, pilihannya hanya dua, yakni menjual harta dan berutang untuk menutup biaya pengobatan, sehingga kehidupan mereka menjadi semakin terpuruk atau pasrah pada kehendak Tuhan dengan melakukan pengobatan seadanya.
    Kenyataan tersebut sekaligus membuat beberapa indikator kesehatan Indonesia tergolong paling rendah di ASEAN dan Asia. Sebut saja, angka kematian ibu (AKI) berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan PBB tahun ini tercatat 220 per 100.000 kelahiran hidup, sementara Singapura 3, Brunei 24, Malaysia 29, Thailand 48, Vietnam 59, dan Filipina 99. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos, dan Timor Leste.
    Angka kematian bayi (AKB) pun masih tinggi, yakni 32 per 1.000 kelahiran pada 2012, sehingga sulit mencapai target 24 per 1.000 kelahiran pada 2014. Demikian juga dengan penurunan annual parasite index penyakit malaria yang masih sulit mencapai target dan target usia harapan hidup 72 tahun pada 2014, juga relatif sulit terwujud. Semua itu menggambarkan pelayanan kesehatan yang kurang memadai bagi seluruh rakyat akibat mahalnya biaya kesehatan.
    Setidaknya ada tiga faktor penyebab mahalnya biaya kesehatan, yakni peralatan kesehatan, obat, serta jasa dokter. Investasi mendirikan rumah sakit sangat besar, terutama dipicu mahalnya peralatan kesehatan. Sebagian besar peralatan masih diimpor. Celakanya, pemerintah mengelompokkan peralatan kesehatan sebagai barang mewah, sehingga wajib dikenai pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Akibatnya, harga yang harus ditebus menjadi semakin mahal.
    Demikian juga dengan obat-obatan. Sebagian besar obat diproduksi oleh perusahaan asing, sehingga harus diimpor. Pemerintah pun mengenakan pajak terhadap obat-obatan, sehingga harganya pun mahal. Jasa dokter pun terbilang mahal karena ongkos yang dikeluarkan selama menempuh pendidikan dokter juga banyak. Fakultas kedokteran merupakan salah satu fakultas yang terkenal mahal.
    Pemerintah bisa menempuh langkah cepat untuk membuat biaya kesehatan semakin terjangkau dengan menghapus PPnBM peralatan kesehatan. Pemerintah baru saja menghapus PPnBM bagi beberapa barang elektronik rumah tangga dan seharusnya hal serupa dilakukan pada peralatan kesehatan. Kemudian, memberi insentif bagi industri farmasi di dalam negeri. Bahan baku sebenarnya melimpah, sehingga harga obat yang diproduksi bisa lebih murah. Harapan ini tentu harus ditunjang dukungan dana riset pengobatan, baik oleh pemerintah maupun swasta.
    Selain itu, pemerintah juga harus menekan biaya pendidikan kedokteran dengan menyediakan laboratorium, fasilitas praktik, dan beasiswa, agar kelak jasa dokter bisa diturunkan dan semakin banyak anak bangsa yang berprofesi dokter untuk menutupi kekurangan saat ini. Dukungan lain yang bisa diberikan pemerintah adalah memenuhi amanat UU Kesehatan dengan mengalokasikan 5% APBN untuk pembangunan bidang kesehatan, serta memastikan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) beroperasi mulai 1 Januari 2014.
    Tidak ada yang berharap dirinya sakit. Kalau ternyata kita sakit, pertanyaan yang pertama kali hinggap di pikiran adalah mengapa biaya berobat mahal?
Sepertinya setiap dokter menerapkan tarif yang berbeda. Ada yang mengatakan, di dokter A cuman dapat resep, ditarik Rp. 50.000,00. Kalau di dokter B, selain dapat suntik, juga dapat obatnya, ditarik Rp. 75.000,00. Bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas, ya tidak masalah. Namun bagi yang penghasilannya pas-pasan, biaya berobat sebesar itu tentu sangat memberatkan. Sebenarnya mengapa biaya berobat mahal?
Banyak hal yang menjadi penyebab mengapa biaya berobat mahal. Seperti dikutip dari MSN, mahalnya biaya kesehatan disebabkan karena beberapa hal, diataranya:
1. Dokter terlalu banyak menuntut
    Dokter sering memberikan pemeriksaan diagnosis, prosedur dan terapi yang sebenarnya tidak diperlukan oleh pasien. Pasien, karena ketidaktahuannya, mudah sekali manut apa kata dokter. Oleh karena itu, tidak ada salahnya anda menanyakan hal tersebut kepada dokter. Tanyakan tentang manfaat dan keharusan anda melakukan anjuran dokter.
2. Karena anda perempuan
Penelitian dari National Woman Law Center menemukan fakta bahwa perempuan memiliki biaya kesehatan yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Ini karena perempuan lebih sering mengunjungi dokter untuk melakukan pemeriksaan atau cek kesehatan. Perempuan lebih peduli dengan kesehatannya sejak masih usia produktif. Sedangkan laki-laki biasanya mau berobat setelah berusia 50 tahun atau setelah terkena penyakit seperti sakit jantung atau diabetes.
3. Lebih memilih mengobati daripada mencegah
Semua orang tahu, bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Namun kebanyakan kita malas untuk memeriksakan diri ke dokter. Kita lebih suka menggunakan uang kita untuk hal lain. Padahal uang yang akan dikeluarkan untuk mencegah suatu penyakit lebih sedikit dibandingkan dengan uang yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan. Mengapa? Sebab penyakit-penyakit tersebut biasanya penyakit kronis yang membutuhkan waktu dan biaya yang besar untuk mengobatinya. Seperti contoh, kemoterapi atau operasi jantung.
4. Dokter dibayar untuk apa yang telah dilakukannya
Kadang saat kita ke dokter untuk berobat, pasien menrima tindakan yang seharusnya tidak diperlukan. Pasien hanya menerima obat yang harus diminum meskipun jumlahnya banyak. Padahal belum tentu semua obat yang diberikan oleh dokter tersebut benar-benar dibutuhkan pasien. Dokter yang peduli dengan pasiennya pasti akan memberikan penjelasan terhadap segala sesuatu yang dilakukan atau yang diberikan kepada pasien.
5. Mahalnya peralatan kedokteran
Kemajuan teknologi juga menyebabkan mahalnya biaya pengobatan. Teknologi kedoteran saat ini sanagt berkembang pesat. Banyak alat-alat baru diciptakan untuk bisa mengobati berbagai penyakit.


MAKALAH MEDIATOR

PERANAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN X



PERANAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN X
1.    Latar Belakang Masalah
Pmutusan hubungan Kerja (PHK) adalah suatu kondisi tidak bekerjanya lagi karyawan pada suatu perusahaan karena hubungan kerja antara yang bersangkutan dengan perusahaan terputus atau tidak diperpanjang lagi (Sedarmayanti, 2009:313).
Sementara itu menurut pasal 1 ayat 25 UU N0. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya haka dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. 
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut akan menimbulkan risiko bagi perusahaan maupun karyawan. Bagi pihak perusahaan, menurut Sedarmayanti (2009:313) pemutusan hubungan kerja ini akan menimbulkan risiko antara lain :
1)    Melepas karyawan yang sudah berpengalaman dan setia
2)    Terhentinya produksi sementara dengan adanya pemtusan hubungan kerja
3)    Harus mencari penggantinya dengan karyawan  baru
4)    Untuk mengganti perlu biaya yang besar guna merekrut
5)    Hasil kerja karyawan pengganti belum tentu sebaik karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja.
Risiko pemutusan hubungan kerja bagi kaeryawan,  menurut Sedarmayanti (2009:313)  akan terlihat pada :
1)    Hilangnya atau berkurangnya penghasilan yang diterima untuk membiayai keluarga
2)    Timbulnya situasi yang tidak enak karena harus menganggur
3)    Berkurangnya rasa harga diri apalagi bila selama ini memangku suatu jabatan
4)    Terputusnya hubungan (relasi) dengan teman-teman sekerja
5)    Harus lagi bersusah payah mencari pekerjaan baru.  
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian  Perselisihan Hubungan Industrial  merupakan kebijakan pemerintah dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, karena peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi implementasi kebijakan publik. Undang-Undang ini memberikan keutamaan terhadap perundingan bipartit untuk penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial diikuti dengan proses penyelesaian di luar pengadilan yaitu mediasi, konsiliasi, arbitrasi dan dimungkinkan berlanjut melalui proses Pengadilan Hubungan Industrial maupun Mahkamah Agung.
Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/06/M.PAN/4/2009).
Mediasi adalah proses dimana pihak ketiga yang netral membantu orang yang terlibat dalam konflik untuk mengungkapkan dan memahami perbedaan mereka dan, jika mungkin mendamaikan mereka (Crawley dan Katherina Graham, 2002:4). 
Bertitik tolak dari uraian diatas, dapat dikatan bahwa salah satu masalah ketenagakerjaan yang terjadi adalah perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini pemutusan hubungan kerja (PHK), yang kewenangan penyelesaiannya ada pada Mediator hubungan industrial. 
Menurut pasal 1 ayat 12 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyebutkan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 
Dapat dicatat bahwa mediasi adalah bagian yang penting dari sistem penyelesaian perselisihan dan merupakan langkah pertama yang dianjurkan bagi para pihak yang berselisih untuk melakukan bipartit terlebih dahulu dan diikuti jika perundingan bipartit gagal maka dapat dilanjutkan ke pada mediasi.



2.    Kondisi Eksistency
Perusahaan  PT. X bergerak di bidang retail, Sdr. T bekerja sebagai kasir. Pada tanggal 14 Januari 2015 perusahaan melakukan perhitungan barang sampai dengan tanggal 15 Januari 2015. Kemudian, pada tanggal 16 Januari 2015 disuruh ke Kantor pusat perusahaan PT. X untuk mempertanggungjawabkan Nota Barang Hilang 70 (NBH 70).
Pada tanggal 17 Januari 2015 Sdr. T ditelepon oleh Pak N sebagai Asisten chip store (Acos) untuk datang ke toko karena tidak ada personil perbantuan untuk membuka toko tersebut. Pada hari itu juga Sdr. T menelepon Pak A sebagai koordinator bahwa server computer tidak bisa untuk mengakses dan mencetak label pres (daftar harga) untuk barang dan cetak setoran untuk dikirim ke pusat.
Pada hari itu juga, Pak A menyuruh/memerintahkan personil yang lain untuk menjaga toko, karena Sdr. T dan rekan-rekannya ada 6 (enam) orang diperintahkan ke Kantor Pusat perusahaan PT. X untuk memperjelas Stock of name Nasional (Sonas) atau perhitungan barang secara nasional. Berdasarkan hasil Sonas ternyata ada kehilangan barang senilai kurang lebih Rp. 70 juta. Sdr. T diminta untuk mempertanggungjawabkannya..
Pada tanggal 18 Januari 2015, Sdr. T datang ke toko untuk mengklarifikasi barang hilang sekaligus mengisi absen, tetapi Pak A sebagai koordinator tidak menginjinkannya untuk absen. Setelah itu, mulai tanggal 19 Januari 2015 Sdr. T tidak pernah masuk bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut.
Kemudian, pada tanggal 16 Pebruari 2015 Sdr. T menerima Surat Panggilan I dari perusahaan PT. X yang isinya karena ketidakhadiran Sdr. T selama lebih dari 3 (tiga) hari berturut-turut sejak tanggal 5 Pebruari 2015 sampai dengan tanggal 16 Pebruari 2015 dan tanpa memberikan keterangan ke perusahaan, maka Sdr. T diminta hadir pada tanggal Pebruari 2015 untuk menghadap Pak N dan memberikan keterangan serta menyerahkan bukti yang sah atas ketidakhadiran Sdr. T bekerja selama lebih dari 3 (tiga) hari tersebut.
Selanjutnya, pada tanggal 18 Pebruari 2015 Sdr. T datang ke Kantor Pusat perusahaan PT X, tetapi Pak N tidak ada di tempat, namun pada saat itu juga Sdr. T menerima Surat Panggilan ke II dari perusahaan PT. X yang isinya agar Sdr. T diminta hadir pada tanggal 23 Pebruari 2015 untuk menghadap Pak T dan memberikan keterangan serta menyerahkan bukti yang sah atas ketidakhadiran Sdr. T. Apabila Sdr. T tidak hadir pada panggilan yang ke II itu, dan atau apabila Sdr. T hadir namun tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang sah, maka sesuai pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Sdr. T akan dikualifikasikan mengundurkan diri.
Untuk lebih jelasnya, bunyi pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : “pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri”.
Pada tanggal 6 Mei 2015 Sdr. T mengirim surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini pemutusan hubungan kerja (PHK), kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diajukan Sdr. T tersebut, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigras Provinsi Sumatera Utara menunjuk Mediator untuk mengadakan perundingan/mediasi kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr. T tersebut.





3.    Masalah
Adapun yang menjadi masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr, T oleh Perusahaan PT. X.
Menurut pasal 1 ayat (25) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa “pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”
Timbulnya pemutusan hubungan kerja (PHK) itu, menurut Sedarmayanti (2009:313-314) bisa bersumber dari :
1)    Permintaan karyawan sendiri
2)    Kebijaksanaan organisasi atau perusahaan
3)    Tidak ada pengembangan karir
4)    Masalah keluarga
5)    Masalah kesehatan yang tidak cocok
6)    Merasa pekerjaan tidak cocok dengan minat dan bakat
7)    Perlakuan yang dirasa kurang adil, dan sebagainya.
Kebijaksanaan PHK untuk sebagian karyawan, menurut Sedarmayanti (2009:314) terpaksa diambil karena misalnya :
1)    Karyawan tidak disiplin
2)    Karyawan kurang cakap dan tidak produktif
3)    Karyawan mempunyai prilaku asusila
4)    Karyawan tidak dapat bkerja sama
5)    Penyederhanaan organisasi dalam perusahaan dan sebagainya.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) atas kehendak perusahaan menurut Sedarmayanti (2009:314) dapat menimbulkan akibat bagi perusahaan, antara lain :
1)    Perusahaan harus member uang pesangon (uang tolak) atau pembayaran pensiun kepada karyawan yang di PHK
2)    Perusahaan dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bila PHK tidak tepat.
Saat ini, perusahaan dapat digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial, bukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara lagi (UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Menurut Sedarmayanti (2009:314-315), peraturan perundang-undangan mengatur bahwa seorang yang terkena peraturan harus Di PHK, yaitu bila karyawan tersebut :
1)    Meninggal dunia atau hilang tak tahu rimbanya
2)    Telah mencapai batas usia untuk PHK
3)    Melanggar peraturan yang berlaku
4)    Berakhirnya kontrak dengan perusahaan
5)    Terlibat dengan kegiatan yang menentang pemerintah.

4.    Pemecahan Masalah
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi, menyebutkan bahwa Mediator Hubungan Industrial mempunyai kewenangan :
1)    Meminta para pihak untuk memberikan keterangan secara lisan dan tertulis;
2)    Meminta dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan dari para pihak;
3)    Menghadirkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan;
4)    Meminta dokumen dan surat-surat yang diperlukan dari Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota atau lembaga terkait;
5)    Menolak kuasa para pihak yang berselisih apabila tidak memiliki surat kuasa khusus;
6)    Menolak kuasa para pihak dan/atau pemegang surat kuasa apabila ada indikasi menghambat proses mediasi;
7)     Sebelum melakukan proses mediasi dapat mengundang para pihak yang berselisih untuk melakukan klarifikasi permasalahan atau perselisihan hubungan industrial yang dihadapi para pihak.
Sebelum melaksanakan sidang mediasi, Mediator hubungan industrial dapat melakukan klarifikasi dengan mengundang para pihak. Langkah-langkah sebelum mediasi antara lain :
1.    Tujuan Klarifikasi
a.    Mengetahui kejelasan posisi kasusnya
b.    Mengetahui kebenaran kasus yang diadukan sudah pernah diproses oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau belum diproses. Mendapat kejelasan jurisdiksi relative, apakah menjadi kewenangan Kementerian atau instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi atau Kabupaten/Kota.
2.    Klarifikasi tidak termasuk dalam jangka waktu mediasi
3.    Jika dilakukan klarifikasi, dicantumkan dalam buku register klarifikasi sebelum dicatatkan ke register pencatatan penyelesaian perselisihan
4.    Dalam klarifikasi permasalahan perselisihan hubungan industrial tentang tentang duduk permasalahannya, maka yang berwenang untuk memberikan penjelasan klarifikasi adalah pejabat atau aparat yang berwenang di bidang hubungan industrial
5.    Asas kepatutan waktu pengiriman surat undangan. Klarifikasi disesuaikan dengan kondisi dan letak geografis
6.    Undangan klarifikasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja dan dapat lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berdasarkan kesepakatan yang dibuat para pihak
7.    Penegasan adanya tambahan waktu untuk klarifikasi dengan syarat disepakati para pihak dan tidak dapat dihitung waktu dalam proses mediasi
8.    Apabila sudah pernah diproses oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan lain dan belum dikeluarkan anjuran tertulis oleh Mediator hubungan industrial, harus dibuat kesepakatan oleh para pihak
9.    Apabila pihak yang mengadukan permasalahan perselisihan hubungan industrial tidak hadir dalam undangan klarifikasi tanpa alasan yang jelas, maka pengaduannya tidak ditindaklanjuti
10.    Dalam hal pihak yang diadukan tidak memenuhi panggilan klarifikasi, maka akan diproses sesuai peraturan perundangan yang berlaku
11.    Hasil keterangan dan/atau kelengkapan data perselisihan yang telah diperoleh dari para pihak dituangkan dalam Risalah Klarifikasi selama tidak dilanjutkan ke tahap mediasi.
Setelah dilakukan klarifikasi atau dokumen dan surat-surat terkait dengan permasalahannya sudah dianggap cukup, Mediator hubungan industrial dapat melakukan panggilan mediasi. Langkah-langkah yang dilakukan selama mediasi :
1.    Pihak pekerja dan pengusaha yang berselisih dapat didampingi oleh perangkat organisasinya (SP/SB atau Apindo) atau kuasa hukum di luar SP/SB atau Apindo, dengan memberikan surat kuasa khusus
2.    Para pihak yang berselisih berkewajiban memberikan fakta, data yang relevan, keterangan, kronologis, dan pendirian akhir secara tertulis kepada Mediator hubungan industrial
3.    Apabila para pihak tidak dapat memberikan keterangan, kronologis, dan pendirian akhir pada sidang mediasi yang pertama, maka untuk sidang mediasi yang kedua dibuat kesepakatan para pihak berkewajiban memberikan/menyerahkan keterangan, kronologis, dan pendirian akhir
4.    Apabila dalam proses mediasi terdapat perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diikuti oleh perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan, maka Mediator hubungan industrial mendahulukan penyelesaian perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan
5.    Sebelum Mediator hubungan industrial mengeluarkan Anjuran tertulis harus berupaya mendapatkan informasi dan data yang selengkapnya-lengkapnya sebagai bahan pertimbangan hukum
6.    Sebelum mengeluarkan Anjuran tertulis, Mediator hubungan industrial perlu berkoordinasi dengan Pengawas Ketenagakerjaan dalam hal terdapat Nota Pemeriksaan terkait dengan perselisihan hak
7.    Anjuran tertulis Mediator hubungan industrial harus memuat pertimbangan mengenai ketentuan perundangan yang terkait dengan perselisihan hubungan industrial
8.    Jangka waktu mediasi maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dimulai mediasi dan dapat diperpanjang jika para pihak menyetujui.
Selanjutnya, langkah-langkah yang dilakukan setelah mediasi antara lain :
1.    Dalam hal mediasi kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan, Mediator hubungan industrial mengeluarkan Anjuran tertulis dan menyampaikan Anjuran tertulis kepada pihak pekerja dan pengusaha yang mencatatkan perselisihan
2.    Setelah menyampaikan Anjuran tertulis tersebut, Mediator hubungan industrial menunggu jawaban Anjuran tertulis dari kedua belah pihak tersebut
3.    Mediator hubungan industrial membuat Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setelah menerima jawaban Anjuran tertulis atau setelah melebihi 10 (sepuluh) hari sejak dikeluarkannya Anjuran tertulis

Mediator melakukan pemanggilan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perundingan mediasi, yakni pemanggilan I pada tanggal 20 Mei 2015 untuk berunding pada tanggal 28 Mei 2015 dimana pihak kuas karyawan dan pihak pengusaha hadir, tetapi belum mencapai kesepakatan.
Kemudian, dilakukan pemanggilan ke II pada tanggal 8 Juni 2015, tetapi kedua belah pihak belum juga ada kesepakatan.  Selanjutnya, pada pemanggilan ke III, dilakukan perundingan mediasi pada tanggal 15 Juni 2015, dihadiri kedua belah pihak, tetapi tidak ada kesepakatan.
Sehubungan dengan itu, pnyelesaian perselisihan hubungan industrial tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) antara karyawan Sdr. T melalui kuasa Biro Konsultasi Bantuan Hukum FH dengan perusahaan PT. X yang beralamat di Medan tidak mencapai kesepakatan di tingkat mediasi, maka sesuai ketentuan UU No. Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pasal 13 ayat (2) Mediator mengeluarkan anjuran sebagai bahan pertimbangan setelah mendengar keterangan-keterangan pihak karyawan dan pihak pengusaha.
Keterangan Kuasa Karyawan
Pihak karyawan melalui kuasanya bahwa pihak karyawan bekerja di perusahaan PT.X mulai tanggal 26 Agustus 2013 sampai dengan 26 Agustus 2014, dan diperpanjang lagi mulai 26 Agustus 2014 sampai dengan 26 Agustus 2015 dengan jabatan sebagai kasir. Pihak karyawan menerima upah sebesar Rp. 1,800.000,-/bulan.
Pada tanggal 18 Januari 2015 pihak karyawan ingin memulai pekerjaan, namun Pak A sebagai koordinator wilayah tidak mengijinkan karyawan untuk bekerja dan menyatakan “ngapain datang lagi mau merusak perusahaan ya”. Kemudian, mulai tanggal 19 Januari 2015 karyawan itu tidak masuk lagi bekerja.
Selanjutnya, pada tanggal 16 Pebruari 2015 pihak karyawan menerima Surat Panggilan I dari Perusahaan PT. X. Kemudian, pada tanggal 18 Pebruari 2015 pihak karyawan kembali menerima Surat Panggilan ke II dari Perusahaan PT. X. Setelah surat tersebut diterima pihak karyawan dilarang untuk masuk bekerja kembali ke perusahaan PT.X.
Melalui sidang mediasi di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 23 JUli 2015, melalaui kuasa pihak karyawan meminta kepada pihak perusahaan untuk membayar hak-hak karyawan sesuai aturan ketenagakerjaan.
Keterangan Pihak Pengusaha
Pihak perusahaan menganggap pihak karyawan sudah termasuk kkualifikasi mengundurkan diri, karena pihak karyawan sudah tidak masuk bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut. Pihak perusahaan menyatakan pada tanggal 18 Januari 2015, pihak karyawan dipanggil untuk klarifikasi barang yang hilang. Dan pihak perusahaan hanya bisa memberikan uang sisa cuti yang belum diambil.
Meskipun, pihak perusahaan telah membuat Surat Panggilan I dan Surat Panggilan ke II, namun pihak perusahaan mengatakan bahwa pihak karyawan tidak bersalah dalam kehilangan barang tersebut.  




Pendapat Mediator
Mediator setelah mendengar keterangan dari pada kedua belah pihak, permasalahan yang timbul karena pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana perusahaan PT.X mengatakan bahwa pihak karyawan dikualifikasikan mengundurkan diri sesuai dengan pasal 168 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat diterima karena karena pihak karyawan datang ke Kantor PT. X tetapi tidak ada pihak perusahaan yang dijumpai. Bahkan pihak karyawan telah berulangkali datang ke Kantor sesuai dengan perintah Manager Area, tetapi tidak pernah pihak perusahaan dan pihak karyawan klarifikasi karena pihak perusahaan tidak datang.
Selain itu, berdasarkan keterangan dari pihak perusahaan bahwa pihak karyawan tidak ada salah dalam kehilangan barang, maka guna menyelesaikan masalah tersebut Mediator menganjurkan agar pimpinan Perusahaan PT.X membayarkan hak-hak pihak karyawan dengan masa kerja 1 tahun 6 bulan dengan upah sebesar Rp. 1.800.000,-/bulan/dengan perincian sebagai berikut :
a.    Uang pesangon sebesar 2x2xRp.2.037.000,- = Rp. 9.048.000,-
b.    Uang penggantian perumahan dan pengobatan 15 % x Rp. 9.048.000,-
= Rp. 1.422.000,-
Total Rp. 10.470.000,- (Sepuluh jta empat ratus tujuh puluh ribu rupiah).

5.    Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan yang dikemukakan, maka penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1)    Apabila pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindari, maka sebaiknya perusahaan PT. X terlebih dahulu/wajib dirundingkan secara bipartit.
2)    Seyogianya perusahaan PT. X dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
3)    Seyogianya perusahaan PT. X membayar hak-hak karyawan sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan.


DAFTAR PUSTAKA

Crawley, John & Katherine Graham. 2002. Mediation for Managers. Penyelesaian Konflik dan Pemulihan Kembali Hubungan di Tempat Kerja. Penerbit Bhuana Ilmu Populer. Jakarta
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/06/M.PAN/4/2009 tentang Jabatan Fungsional Mediator Hubungan Industrial Dan Angka Kreditnya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 17 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi.