PERANAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN X
PERANAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN X
1. Latar Belakang Masalah
Pmutusan hubungan Kerja (PHK) adalah suatu kondisi tidak bekerjanya lagi karyawan pada suatu perusahaan karena hubungan kerja antara yang bersangkutan dengan perusahaan terputus atau tidak diperpanjang lagi (Sedarmayanti, 2009:313).
Sementara itu menurut pasal 1 ayat 25 UU N0. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya haka dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut akan menimbulkan risiko bagi perusahaan maupun karyawan. Bagi pihak perusahaan, menurut Sedarmayanti (2009:313) pemutusan hubungan kerja ini akan menimbulkan risiko antara lain :
1) Melepas karyawan yang sudah berpengalaman dan setia
2) Terhentinya produksi sementara dengan adanya pemtusan hubungan kerja
3) Harus mencari penggantinya dengan karyawan baru
4) Untuk mengganti perlu biaya yang besar guna merekrut
5) Hasil kerja karyawan pengganti belum tentu sebaik karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja.
Risiko pemutusan hubungan kerja bagi kaeryawan, menurut Sedarmayanti (2009:313) akan terlihat pada :
1) Hilangnya atau berkurangnya penghasilan yang diterima untuk membiayai keluarga
2) Timbulnya situasi yang tidak enak karena harus menganggur
3) Berkurangnya rasa harga diri apalagi bila selama ini memangku suatu jabatan
4) Terputusnya hubungan (relasi) dengan teman-teman sekerja
5) Harus lagi bersusah payah mencari pekerjaan baru.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan kebijakan pemerintah dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, karena peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi implementasi kebijakan publik. Undang-Undang ini memberikan keutamaan terhadap perundingan bipartit untuk penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial diikuti dengan proses penyelesaian di luar pengadilan yaitu mediasi, konsiliasi, arbitrasi dan dimungkinkan berlanjut melalui proses Pengadilan Hubungan Industrial maupun Mahkamah Agung.
Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/06/M.PAN/4/2009).
Mediasi adalah proses dimana pihak ketiga yang netral membantu orang yang terlibat dalam konflik untuk mengungkapkan dan memahami perbedaan mereka dan, jika mungkin mendamaikan mereka (Crawley dan Katherina Graham, 2002:4).
Bertitik tolak dari uraian diatas, dapat dikatan bahwa salah satu masalah ketenagakerjaan yang terjadi adalah perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini pemutusan hubungan kerja (PHK), yang kewenangan penyelesaiannya ada pada Mediator hubungan industrial.
Menurut pasal 1 ayat 12 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyebutkan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dapat dicatat bahwa mediasi adalah bagian yang penting dari sistem penyelesaian perselisihan dan merupakan langkah pertama yang dianjurkan bagi para pihak yang berselisih untuk melakukan bipartit terlebih dahulu dan diikuti jika perundingan bipartit gagal maka dapat dilanjutkan ke pada mediasi.
2. Kondisi Eksistency
Perusahaan PT. X bergerak di bidang retail, Sdr. T bekerja sebagai kasir. Pada tanggal 14 Januari 2015 perusahaan melakukan perhitungan barang sampai dengan tanggal 15 Januari 2015. Kemudian, pada tanggal 16 Januari 2015 disuruh ke Kantor pusat perusahaan PT. X untuk mempertanggungjawabkan Nota Barang Hilang 70 (NBH 70).
Pada tanggal 17 Januari 2015 Sdr. T ditelepon oleh Pak N sebagai Asisten chip store (Acos) untuk datang ke toko karena tidak ada personil perbantuan untuk membuka toko tersebut. Pada hari itu juga Sdr. T menelepon Pak A sebagai koordinator bahwa server computer tidak bisa untuk mengakses dan mencetak label pres (daftar harga) untuk barang dan cetak setoran untuk dikirim ke pusat.
Pada hari itu juga, Pak A menyuruh/memerintahkan personil yang lain untuk menjaga toko, karena Sdr. T dan rekan-rekannya ada 6 (enam) orang diperintahkan ke Kantor Pusat perusahaan PT. X untuk memperjelas Stock of name Nasional (Sonas) atau perhitungan barang secara nasional. Berdasarkan hasil Sonas ternyata ada kehilangan barang senilai kurang lebih Rp. 70 juta. Sdr. T diminta untuk mempertanggungjawabkannya..
Pada tanggal 18 Januari 2015, Sdr. T datang ke toko untuk mengklarifikasi barang hilang sekaligus mengisi absen, tetapi Pak A sebagai koordinator tidak menginjinkannya untuk absen. Setelah itu, mulai tanggal 19 Januari 2015 Sdr. T tidak pernah masuk bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut.
Kemudian, pada tanggal 16 Pebruari 2015 Sdr. T menerima Surat Panggilan I dari perusahaan PT. X yang isinya karena ketidakhadiran Sdr. T selama lebih dari 3 (tiga) hari berturut-turut sejak tanggal 5 Pebruari 2015 sampai dengan tanggal 16 Pebruari 2015 dan tanpa memberikan keterangan ke perusahaan, maka Sdr. T diminta hadir pada tanggal Pebruari 2015 untuk menghadap Pak N dan memberikan keterangan serta menyerahkan bukti yang sah atas ketidakhadiran Sdr. T bekerja selama lebih dari 3 (tiga) hari tersebut.
Selanjutnya, pada tanggal 18 Pebruari 2015 Sdr. T datang ke Kantor Pusat perusahaan PT X, tetapi Pak N tidak ada di tempat, namun pada saat itu juga Sdr. T menerima Surat Panggilan ke II dari perusahaan PT. X yang isinya agar Sdr. T diminta hadir pada tanggal 23 Pebruari 2015 untuk menghadap Pak T dan memberikan keterangan serta menyerahkan bukti yang sah atas ketidakhadiran Sdr. T. Apabila Sdr. T tidak hadir pada panggilan yang ke II itu, dan atau apabila Sdr. T hadir namun tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang sah, maka sesuai pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Sdr. T akan dikualifikasikan mengundurkan diri.
Untuk lebih jelasnya, bunyi pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : “pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri”.
Pada tanggal 6 Mei 2015 Sdr. T mengirim surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini pemutusan hubungan kerja (PHK), kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diajukan Sdr. T tersebut, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigras Provinsi Sumatera Utara menunjuk Mediator untuk mengadakan perundingan/mediasi kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr. T tersebut.
3. Masalah
Adapun yang menjadi masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr, T oleh Perusahaan PT. X.
Menurut pasal 1 ayat (25) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa “pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”
Timbulnya pemutusan hubungan kerja (PHK) itu, menurut Sedarmayanti (2009:313-314) bisa bersumber dari :
1) Permintaan karyawan sendiri
2) Kebijaksanaan organisasi atau perusahaan
3) Tidak ada pengembangan karir
4) Masalah keluarga
5) Masalah kesehatan yang tidak cocok
6) Merasa pekerjaan tidak cocok dengan minat dan bakat
7) Perlakuan yang dirasa kurang adil, dan sebagainya.
Kebijaksanaan PHK untuk sebagian karyawan, menurut Sedarmayanti (2009:314) terpaksa diambil karena misalnya :
1) Karyawan tidak disiplin
2) Karyawan kurang cakap dan tidak produktif
3) Karyawan mempunyai prilaku asusila
4) Karyawan tidak dapat bkerja sama
5) Penyederhanaan organisasi dalam perusahaan dan sebagainya.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) atas kehendak perusahaan menurut Sedarmayanti (2009:314) dapat menimbulkan akibat bagi perusahaan, antara lain :
1) Perusahaan harus member uang pesangon (uang tolak) atau pembayaran pensiun kepada karyawan yang di PHK
2) Perusahaan dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bila PHK tidak tepat.
Saat ini, perusahaan dapat digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial, bukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara lagi (UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Menurut Sedarmayanti (2009:314-315), peraturan perundang-undangan mengatur bahwa seorang yang terkena peraturan harus Di PHK, yaitu bila karyawan tersebut :
1) Meninggal dunia atau hilang tak tahu rimbanya
2) Telah mencapai batas usia untuk PHK
3) Melanggar peraturan yang berlaku
4) Berakhirnya kontrak dengan perusahaan
5) Terlibat dengan kegiatan yang menentang pemerintah.
4. Pemecahan Masalah
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi, menyebutkan bahwa Mediator Hubungan Industrial mempunyai kewenangan :
1) Meminta para pihak untuk memberikan keterangan secara lisan dan tertulis;
2) Meminta dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan dari para pihak;
3) Menghadirkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan;
4) Meminta dokumen dan surat-surat yang diperlukan dari Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota atau lembaga terkait;
5) Menolak kuasa para pihak yang berselisih apabila tidak memiliki surat kuasa khusus;
6) Menolak kuasa para pihak dan/atau pemegang surat kuasa apabila ada indikasi menghambat proses mediasi;
7) Sebelum melakukan proses mediasi dapat mengundang para pihak yang berselisih untuk melakukan klarifikasi permasalahan atau perselisihan hubungan industrial yang dihadapi para pihak.
Sebelum melaksanakan sidang mediasi, Mediator hubungan industrial dapat melakukan klarifikasi dengan mengundang para pihak. Langkah-langkah sebelum mediasi antara lain :
1. Tujuan Klarifikasi
a. Mengetahui kejelasan posisi kasusnya
b. Mengetahui kebenaran kasus yang diadukan sudah pernah diproses oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau belum diproses. Mendapat kejelasan jurisdiksi relative, apakah menjadi kewenangan Kementerian atau instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi atau Kabupaten/Kota.
2. Klarifikasi tidak termasuk dalam jangka waktu mediasi
3. Jika dilakukan klarifikasi, dicantumkan dalam buku register klarifikasi sebelum dicatatkan ke register pencatatan penyelesaian perselisihan
4. Dalam klarifikasi permasalahan perselisihan hubungan industrial tentang tentang duduk permasalahannya, maka yang berwenang untuk memberikan penjelasan klarifikasi adalah pejabat atau aparat yang berwenang di bidang hubungan industrial
5. Asas kepatutan waktu pengiriman surat undangan. Klarifikasi disesuaikan dengan kondisi dan letak geografis
6. Undangan klarifikasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja dan dapat lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berdasarkan kesepakatan yang dibuat para pihak
7. Penegasan adanya tambahan waktu untuk klarifikasi dengan syarat disepakati para pihak dan tidak dapat dihitung waktu dalam proses mediasi
8. Apabila sudah pernah diproses oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan lain dan belum dikeluarkan anjuran tertulis oleh Mediator hubungan industrial, harus dibuat kesepakatan oleh para pihak
9. Apabila pihak yang mengadukan permasalahan perselisihan hubungan industrial tidak hadir dalam undangan klarifikasi tanpa alasan yang jelas, maka pengaduannya tidak ditindaklanjuti
10. Dalam hal pihak yang diadukan tidak memenuhi panggilan klarifikasi, maka akan diproses sesuai peraturan perundangan yang berlaku
11. Hasil keterangan dan/atau kelengkapan data perselisihan yang telah diperoleh dari para pihak dituangkan dalam Risalah Klarifikasi selama tidak dilanjutkan ke tahap mediasi.
Setelah dilakukan klarifikasi atau dokumen dan surat-surat terkait dengan permasalahannya sudah dianggap cukup, Mediator hubungan industrial dapat melakukan panggilan mediasi. Langkah-langkah yang dilakukan selama mediasi :
1. Pihak pekerja dan pengusaha yang berselisih dapat didampingi oleh perangkat organisasinya (SP/SB atau Apindo) atau kuasa hukum di luar SP/SB atau Apindo, dengan memberikan surat kuasa khusus
2. Para pihak yang berselisih berkewajiban memberikan fakta, data yang relevan, keterangan, kronologis, dan pendirian akhir secara tertulis kepada Mediator hubungan industrial
3. Apabila para pihak tidak dapat memberikan keterangan, kronologis, dan pendirian akhir pada sidang mediasi yang pertama, maka untuk sidang mediasi yang kedua dibuat kesepakatan para pihak berkewajiban memberikan/menyerahkan keterangan, kronologis, dan pendirian akhir
4. Apabila dalam proses mediasi terdapat perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diikuti oleh perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan, maka Mediator hubungan industrial mendahulukan penyelesaian perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan
5. Sebelum Mediator hubungan industrial mengeluarkan Anjuran tertulis harus berupaya mendapatkan informasi dan data yang selengkapnya-lengkapnya sebagai bahan pertimbangan hukum
6. Sebelum mengeluarkan Anjuran tertulis, Mediator hubungan industrial perlu berkoordinasi dengan Pengawas Ketenagakerjaan dalam hal terdapat Nota Pemeriksaan terkait dengan perselisihan hak
7. Anjuran tertulis Mediator hubungan industrial harus memuat pertimbangan mengenai ketentuan perundangan yang terkait dengan perselisihan hubungan industrial
8. Jangka waktu mediasi maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dimulai mediasi dan dapat diperpanjang jika para pihak menyetujui.
Selanjutnya, langkah-langkah yang dilakukan setelah mediasi antara lain :
1. Dalam hal mediasi kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan, Mediator hubungan industrial mengeluarkan Anjuran tertulis dan menyampaikan Anjuran tertulis kepada pihak pekerja dan pengusaha yang mencatatkan perselisihan
2. Setelah menyampaikan Anjuran tertulis tersebut, Mediator hubungan industrial menunggu jawaban Anjuran tertulis dari kedua belah pihak tersebut
3. Mediator hubungan industrial membuat Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setelah menerima jawaban Anjuran tertulis atau setelah melebihi 10 (sepuluh) hari sejak dikeluarkannya Anjuran tertulis
Mediator melakukan pemanggilan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perundingan mediasi, yakni pemanggilan I pada tanggal 20 Mei 2015 untuk berunding pada tanggal 28 Mei 2015 dimana pihak kuas karyawan dan pihak pengusaha hadir, tetapi belum mencapai kesepakatan.
Kemudian, dilakukan pemanggilan ke II pada tanggal 8 Juni 2015, tetapi kedua belah pihak belum juga ada kesepakatan. Selanjutnya, pada pemanggilan ke III, dilakukan perundingan mediasi pada tanggal 15 Juni 2015, dihadiri kedua belah pihak, tetapi tidak ada kesepakatan.
Sehubungan dengan itu, pnyelesaian perselisihan hubungan industrial tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) antara karyawan Sdr. T melalui kuasa Biro Konsultasi Bantuan Hukum FH dengan perusahaan PT. X yang beralamat di Medan tidak mencapai kesepakatan di tingkat mediasi, maka sesuai ketentuan UU No. Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pasal 13 ayat (2) Mediator mengeluarkan anjuran sebagai bahan pertimbangan setelah mendengar keterangan-keterangan pihak karyawan dan pihak pengusaha.
Keterangan Kuasa Karyawan
Pihak karyawan melalui kuasanya bahwa pihak karyawan bekerja di perusahaan PT.X mulai tanggal 26 Agustus 2013 sampai dengan 26 Agustus 2014, dan diperpanjang lagi mulai 26 Agustus 2014 sampai dengan 26 Agustus 2015 dengan jabatan sebagai kasir. Pihak karyawan menerima upah sebesar Rp. 1,800.000,-/bulan.
Pada tanggal 18 Januari 2015 pihak karyawan ingin memulai pekerjaan, namun Pak A sebagai koordinator wilayah tidak mengijinkan karyawan untuk bekerja dan menyatakan “ngapain datang lagi mau merusak perusahaan ya”. Kemudian, mulai tanggal 19 Januari 2015 karyawan itu tidak masuk lagi bekerja.
Selanjutnya, pada tanggal 16 Pebruari 2015 pihak karyawan menerima Surat Panggilan I dari Perusahaan PT. X. Kemudian, pada tanggal 18 Pebruari 2015 pihak karyawan kembali menerima Surat Panggilan ke II dari Perusahaan PT. X. Setelah surat tersebut diterima pihak karyawan dilarang untuk masuk bekerja kembali ke perusahaan PT.X.
Melalui sidang mediasi di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 23 JUli 2015, melalaui kuasa pihak karyawan meminta kepada pihak perusahaan untuk membayar hak-hak karyawan sesuai aturan ketenagakerjaan.
Keterangan Pihak Pengusaha
Pihak perusahaan menganggap pihak karyawan sudah termasuk kkualifikasi mengundurkan diri, karena pihak karyawan sudah tidak masuk bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut. Pihak perusahaan menyatakan pada tanggal 18 Januari 2015, pihak karyawan dipanggil untuk klarifikasi barang yang hilang. Dan pihak perusahaan hanya bisa memberikan uang sisa cuti yang belum diambil.
Meskipun, pihak perusahaan telah membuat Surat Panggilan I dan Surat Panggilan ke II, namun pihak perusahaan mengatakan bahwa pihak karyawan tidak bersalah dalam kehilangan barang tersebut.
Pendapat Mediator
Mediator setelah mendengar keterangan dari pada kedua belah pihak, permasalahan yang timbul karena pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana perusahaan PT.X mengatakan bahwa pihak karyawan dikualifikasikan mengundurkan diri sesuai dengan pasal 168 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat diterima karena karena pihak karyawan datang ke Kantor PT. X tetapi tidak ada pihak perusahaan yang dijumpai. Bahkan pihak karyawan telah berulangkali datang ke Kantor sesuai dengan perintah Manager Area, tetapi tidak pernah pihak perusahaan dan pihak karyawan klarifikasi karena pihak perusahaan tidak datang.
Selain itu, berdasarkan keterangan dari pihak perusahaan bahwa pihak karyawan tidak ada salah dalam kehilangan barang, maka guna menyelesaikan masalah tersebut Mediator menganjurkan agar pimpinan Perusahaan PT.X membayarkan hak-hak pihak karyawan dengan masa kerja 1 tahun 6 bulan dengan upah sebesar Rp. 1.800.000,-/bulan/dengan perincian sebagai berikut :
a. Uang pesangon sebesar 2x2xRp.2.037.000,- = Rp. 9.048.000,-
b. Uang penggantian perumahan dan pengobatan 15 % x Rp. 9.048.000,-
= Rp. 1.422.000,-
Total Rp. 10.470.000,- (Sepuluh jta empat ratus tujuh puluh ribu rupiah).
5. Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan yang dikemukakan, maka penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1) Apabila pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindari, maka sebaiknya perusahaan PT. X terlebih dahulu/wajib dirundingkan secara bipartit.
2) Seyogianya perusahaan PT. X dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
3) Seyogianya perusahaan PT. X membayar hak-hak karyawan sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Crawley, John & Katherine Graham. 2002. Mediation for Managers. Penyelesaian Konflik dan Pemulihan Kembali Hubungan di Tempat Kerja. Penerbit Bhuana Ilmu Populer. Jakarta
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/06/M.PAN/4/2009 tentang Jabatan Fungsional Mediator Hubungan Industrial Dan Angka Kreditnya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 17 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi.