Iklan Produk

Sunday, January 22, 2017

MAKALAH PEMERINTAHAN DAERAH

PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM SERANTAK UNTUK MENCIPTAKAN EFESIENSI DAN EFEKTIFITAS PEMILIHAN KEPALA DAERAH



Dosen Pembimbing : Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum
Mata Kuliah : Pemerintahan Di Daerah


Disusun Oleh:
BERKAT GOWASA
14.013.121.005



MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
MEDAN
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang masih dilimpahkan kepada kita semua sehingga kita masih diberi nafas kehidupan dan masih diberi kesempatan untuk berkumpul ditempat ini kembali dalam keadaan sehat walafiat. Saya berterimakasih atas bantuan dan bimbingan dosen pengasuh mata kuliah Pemerintahan Di Daerah oleh  Bapak  Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum sehingga makalah dapat terselesaikan tepat pada waktunya dan juga saya berterimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana yang telah menuangkan hasil pemikirannya dalam tugas ini.
    Penulis juga menyadari dalam penyusunan makalah ini serat akan kekurangan dan belumlah sempurna berdasarkan metode penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu saya mengharapkan saran dan kritik dari dosen pembina dan rekan-rekan teman mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan.
    Demikian kata pengantar makalah yang saya susun, terimakasih bagi semua pihak yang telah berparistisipasi dalam penyususnan makalah ini.


Medan, 2 Oktober 2015

   
    Penulis
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ……………………………………...…………………    i
DAFTAR ISI ……………………………………………...…………………...    Ii
BAB I     PENDAHULUAN ……………………...…………………………..    1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………    1
1.2. Pokok Masalah …………………………………………………    4
1.3. Tujuan dan metode ……………………………………………..    5
1.4. Sistematika ……………………………………………………..    6
BAB II    KERANGKA KONSEPTUAL ……………………………...…….    7
2.1. Kerangka Hukum Pemilu ………………………………………    7
2.2. Kerangka Kajian Perubahan Undang-Undang …………………    12
BAB III    PEMETAAN MASALAH  DAN MATERI MUATAN …………    15
3.1. Redaksional …………………………………………………….    15
3.2. Sistematika ……………………………………………………..    16
3.3. Judul dan konsideran …………………………………………...    18
3.4. Ketentuan umum dan nomenkelatur …………………………...    19
3.5. Asas, tujuan, dan penyelenggaraan …………………………….    19
3.6. Substansi: aktor, sistem, manajemen, dan penegakan hukum …    21
BAB IV   STRATEGI PERUBAHAN ……………………………………….    30
4.1. Perubahan dua tahap …………………………………………...    30
4.2. Perubahan terbatas pasal pilkada serentak ……………………..    33
4.3. Perubahan konprehensif ………………………………………..    36
BAB V    PENUTUP …………………………………………………………..    38
5.1. Kesimpulan …………………………………………….…………………..    38
5.2. Rekomendasi ………………………………………………………………    40
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….……...    42
   



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.
”Biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai oleh APBN, bukan oleh APBD,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, Minggu (2/9) di Jakarta.
Studi yang dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah menemukan, pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya.
Terkait politisasi anggaran, saat tahap pilkada mulai berjalan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pilkada. Alasannya antara lain daerah tidak memiliki anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah yang belum menetapkan APBD untuk tahapan pilkada.
Tidak sinkronnya tahapan pilkada dengan mekanisme penganggaran daerah berimplikasi pada lemahnya proses pengawasan pilkada. Semua ini juga terkait masih banyaknya permasalahan dengan regulasi pelaksanaan pilkada. Karena itu, Seknas Fitra merekomendasikan agar pembiayaan pilkada diambil dari APBN untuk menghindari tumpang-tindih pembiayaan.
Wakil Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Veri Junaidi menyatakan, berdasar pengalaman penyelenggaraan pilkada sejak tahun 2005, setidaknya terdapat tiga masalah pencalonan pasangan kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pilkada.
Pertama, terjadi politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu” tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye.
Kedua, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon. Akibatnya, parpol menjadi lemah sehingga mereka gagal memperjuangkan kepentingan anggota.
Ketiga, pencalonan yang hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini menyebabkan masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih menurun. Di lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa menimbulkan konflik terbuka.
Pemilihan gubernur melalui DPRD, menurut Yuna Farhan, tetap bisa dilaksanakan secara langsung dan serentak dengan pemilihan anggota DPRD provinsi agar menghemat biaya dan lebih efisien.
UU No 1/2015 bertujuan menjamin penyelenggaraan pilkada langsung oleh rakyat. Peraturan yang berasal dari Perppu No 1/2014 ini dibuat dalam waktu singkat sehingga tidak sempat dikritisi oleh para pemangku kepentingan, ahli tata negara, ahli politik dan pemerintahan, ahli pemilu, dan ahli penyusunan undang-undang. Akibatnya, materi muatan UU No 1/2015 mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, baik dari sisi redaksional, sistematika maupun substansi.
Naskah UU No 1/2015 terdapat sebelas kesalahan ketik atas angka, kata, dan frasa. Sistematikan undang-undang tidak disusun sebagaimana lazimnya undang-undang pemilu sehingga sulit dipahami. Selain itu, terdapat pokok bahasan penting yang tidak dijadikan bab, sebaliknya terdapat pokok bahasan tidak penting dijadikan bab.
UU No 1/2015 memuat tujuh substansi baru: (1) pencalonan tunggal, (2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5) pemungutan dan penghitungan suara elektronik; (6) penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, dan (7) pilkada serentak. Pengaturan tujuh substansi baru tersebut tidak jernih, tidak jelas, dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu juga bisa ditafsirkan melanggar konstitusi sehingga berpotensi dikoreksi MK. Namun materi muatan bermasalah tidak terbatas pada tujuh substansi baru tersebut, tetapi juga terdapat dalam materi muatan lain.
Untuk itu diperlukan pembedahan materi muatan UU No 1/2015 secara konprehensif dengan melihat sisi aktor, sistem pemilihan, manajamen, dan penegakan hukum. Dari sisi aktor, model calon tunggal mengundang konflik, baik dalam proses penyelenggaraan maupun pemerintahaan pasca pilkada. Dari sisi sistem pemilihan, penggunaan formula calon terpilih hanya membebani anggaran negara karena dibuka peluang putaran kedua. Dari sisi manajemen atau pelaksanaan tahapan, terdapat tahapan-tahapan penting seperti pendaftaran pemilih dan penetapan hasil pilkada dihilang, sementara kegiatan yang tidak penting seperti uji publik justru dibuatkan tahapan. Dari sisi penegakan hukum, penyelesaian sengketa penetapan calon dan penyelesaian sengketa hasil pilkada terlalu lama sehingga menimbulkan ketegangan politik berkepanjangan.
UU No 1/2015 mengatur pemungutan suara serentak atau pilkada serentak. Pengaturan jadwal pilkada serentak 2015 dan 2018 menimbulkan masalah jika dikaitkan dengan jadwal pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pertama, pemilih jenuh karena jarak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak (2019) dengan pilkada serentak nasional (2020) hanya satu tahun. Kedua, penyelenggara menanggung beban tidak merata, karena dua tahun sibuk mengurus pemilu, tiga tahun berikutnya tidak ada pekerjaan. Ketiga, partai politik terlibat konflik berkepanjangan, karena konsolidasi pasca pencalonan pemilu legislatif dan pemilu presiden belum tuntas sudah diikuti konflik lagi akibat pencalonan pilkada. Pada titik inilah pengaturan tentang pilkada serentak perlu mendapat perhatian tersendiri.
1.2. POKOK MASALAH
Materi UU No 1/2015 mengandung banyak masalah, baik dari sisi redaksional, sistematika maupun substansi. Jika dilihat dari pengaturan aktor, sistem pemilihan, manajemen atau tahapan pelaksanaan, dan penegakan hukum, kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam peraturan tersebut semakin nyata. Demi mencapai keadilan dan kepastian hukum, UU No 1/2015 harus diubah atau direvisi. Karena itu diperlukan kajian terhadap perubahan undang-undang tersebut.
Di satu pihak, demi keadilan dan kepastian hukum, UU No 1/2015 perlu diubah secara konprehensif, yang tentu saja membutuhkan waktu lama; di pihak lain, sepanjang 2015-2016 banyak daerah yang harus menggelar pilkada. Oleh karena itu, selain perlu dipetakan bagian-bagian mana yang harus diubah terlebih dahulu, juga perlu dirumuskan strategi perubahan yang tepat agar penyelenggaraan pilkada berjalan baik. Dengan demikian kajian terhadap perubahan undang-undang tidak terbatas pada pemetaan materi muatan peraturan yang harus diubah, tetapi juga penyusunan strategi perubahannya.
1.3. TUJUAN DAN METODE
Secara umum tujuan kajian ini adalah memetakan masalah materi UU No 1/2015 dan menemukan strategi yang tepat untuk mengubah UU No 1/2015 sehingga masa peralihan penyelenggaraan pilkada serentak bisa berjalan tanpa gejolak. Adapun secara khusus tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:
1.    Menunjukkan ketentuan-ketentuan UU No 1/2015 yang harus diubah;
2.    Mengusulkan ketentuan-ketentuan perubahan UU No 1/2015;
3.    Merencanakan tahap-tahap perubahan UU No 1/2015; dan
4.    Menyusul jadwal perubahan UU No 1/2015.
Untuk memetakan masalah materi UU No 1/2015 dan menentukan ketentuan-ketentuan yang harus diubah, kajian ini menggunakan metode inventarisasi masalah terhadap setiap ketentuan yang ada dalam undang-undang. Sedangkan untuk menemukan strategi perubahan UU No 1/2015 dan menentukan jadwal perubahan, kajian ini menghitung ketersediaan waktu bagi DPR dan pemerintah untuk membahas, mengesahkan, dan mengundangkan perubahan undang-undang, dengan ketersediaan waktu bagi KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk merencanakan dan mempersiapkan penyelenggaraan pilkada serentak.

1.4. SISTEMATIKA
Laporan kajian ini terdiri atas bab dan lampiran. Babbab membahas secara singkat, sedang data atau penjelasan lengkap disajikan dalam bentuk lampiran. Model penyajian seperti ini diharapkan akan mempermudah para pembuat undang-udang untuk cepat memahami isi laporan kajian ini, sehingga dipertimbangkan sebagai bahan masukan perumusan perubahan UU No 1/2015.
Setelah Bab 1 Pendahuluan akan dilanjutkan Bab 2 Kerangka Konseptual yang menjelaskan kerangka teoritik tentang materi undang-undang pemilu dan sistematika penyusunannya. Bab 3 Pemetaan Masalah Materi UU No 1/2015 membahas kandungan undangundang dari sisi sistematika dan substansi, diteruskan Bab 4 Strategi Perubahan Perubahan UU No 1/2015 memaparkan strategi perubahan undang-undang dua tahap: pertama, perubahan terbatas yang hanya menyentuh jadwal penyelenggaraan pilkada serentak; kedua, perubahan konprehensif yang mengubah secara menyeluruh kandungan meteri undang-undang demi keadilan dan kepastian hukum. Akhirnya Bab 7 Penutup berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi hasil kajian.









BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

2.1. KERANGKA HUKUM PEMILU
Sejumlah standar dikenal secara internasional untuk mengukur demokratis-tidaknya suatu pemilu. Standar internasional ini menjadi syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu demokratis. Adapun sumber utama standar itu adalah berbagai deklarasi dan konvensi internasional maupun regional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1960, Konvensi Eropa 1950 untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi, juga Piagam Afrika 1981 tentang Hak Manusia dan Masyarakat.
International IDEA (2004) merumuskan 15 aspek pemilu demokratis:
(1) penyusunan kerangka hukum;
(2) pemilihan sistem pemilu;
(3) penetapan daerah pemilihan;
(4) hak untuk memilih dan dipilih;
(5) badan penyelenggara pemilu;
(6) pendaftaran pemilih dan daftar pemilih;
(7) akses kertas suara bagi partai politik dan calon;
(8) kampanye pemilu yang demokratis;
(9) akses ke media dan kebebasan berekspresi;
(10) pembiayaan dan pengeluaran;
(11) pemungutan suara;
(12) penghitungan dan rekapitulasi suara;
 (13) peranan wakil partai dan calon;
(14) pemantauan pemilu; serta
(15) kepatuhan terhadap hukum dan penegakan peraturan pemilu.
Untuk menjamin adanya pemilu yang demokratis, ke-15 aspek tersebut harus dicantumkan dan diperjelas dalam kerangka hukum pemilu (yang merupakan aspek pertama). Penyusunan Kerangka Hukum. Kerangka hukum pemilu harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak bermakna ganda, mudah dipahami, dan harus dapat menyoroti semua unsur pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu demokratis. Istilah “kerangka hukum pemilu” mengacu pada semua undang-undang dan dokumen hukum yang terkait dengan pemilu. Dalam kerangka hukum itu harus ditegaskan bahwa kekuasaan badan-badan pelaksana pemilu dinyatakan jelas, dibedakan, dan diuraikan untuk mencegah terjadinya pertentangan atau tumpang-tindih kekuasaan yang sedang dijalankan oleh badan-badan lainnya.
Pemilihan Sistem Pemilu. Dalam sistem pemilu harus terdapat badan-badan yang dipilih, frekuensi pemilu, dan lembaga penyelenggara pemilu. Sistem pemilu harus memastikan bahwa pembagian politik masuk dalam kerangka hukum pemilu untuk menjamin kepesertaan dan keterwakilan politik sehingga pertentangan antar-kelompok dapat diakomodasi. Pemilihan sistem pemilu terlebih dahulu harus menghitung-hitung sistem pemilu mana yang dapat memenuhi tujuan-tujuan politik dan sesuai dengan keadaan sosial, politik, geografis, dan sejarah negara.
Penetapan Daerah Pemilihan. Daerah pemilihan dibuat agar setiap suara setara untuk mencapai derajat keterwakilan yang efektif. Kerangka hukum mesti merumuskan bagaimana merencanakan dan menetapkan daerah pemilihan agar dari awal kelompok-kelompok politik menyadari akan konsekuensi-konsekuensinya. Hak untuk Memilih dan Dipilih.
Kerangka hukum harus memastikan semua warga negara yang memenuhi syarat dijamin bisa ikut pemilihan tanpa diskriminasi. Jaminan setiap warga negara bisa menggunakan hak memilih dan hak dipilih penting sehingga di beberapa negara ketentuan tersebut masuk dalam konstitusi. Badan Penyelenggara Pemilu. Badan penyelenggara pemilu harus dijamin bisa bekerja independen. Badan tersebut harus bekerja dalam kerangka waku yang cukup, memiliki sumberdaya yang mumpuni, dan tersedia dana yang memadai. Kerangka hukum pemilu harus mengatur ukuran, komposisi, dan masa kerja anggota badan pelaksana pemilu. Juga perlu diatur hubungan antara badan pelaksana pemilu pusat dan badan-badan pemilu tingkat yang lebih rendah serta hubungan antara semua badan pemilu dengan badan eksekutif.
Kerangka hukum harus membuat ketentuan tentang mekanisme untuk memproses, memutuskan, dan menangani keluhan dalam pemilu secara tepat waktu. Pendaftaran Pemilih dan Daftar Pemilih. Kerangka hukum harus mewajibkan penyimpanan daftar pemilih secara transparan dan akurat, melindungi hak warga negara yang memenuhi syarat untuk mendaftar, dan mencegah pendaftaran orang secara tidak sah atau curang.
Hak untuk memberikan suara dilanggar apabila kerangka hukum mempersulit seseorang mendaftar untuk memberikan suara. Hak untuk memberikan suara juga dilanggar apabila kerangka hukum gagal menjamin akurasi daftar pemilih atau memudahkan pemberian suara secara curang.
Akses Kertas Suara bagi Partai Politik dan Calon. Semua partai politik dan calon dijamin dapat bersaing secara adil dalam pemilu. Pendaftaran partai politik dan ketentuan akses kertas suara perlu diatur secara berbeda. Prosedur mendapatkan akses kertas suara mungkin sama dengan pendaftaran partai politik, tetapi kerangka hukum pemilu dapat membuatnya lebih mudah bagi partai politik yang telah terdaftar untuk berada di kertas suara. Kerangka hukum pemilu harus mengatur hak bagi individu dan kelompok untuk secara bebas mendirikan partai politik mereka sendiri atau organisasi politik lainnya, dengan jaminan hukum yang memungkinkan mereka bersaing satu sama lain atas dasar perlakuan yang adil di hadapan hukum.
Kampanye yang Demokratis. Kerangka hukum harus menjamin setiap partai politik dan calon menikmati kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berkumpul, serta memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak dalam proses pemilihan. Pemilu adalah alat untuk menerjemahkan kehendak umum para pemilih ke dalam pemerintahan perwakilan sehingga semua partai dan calon harus dapat menyampaikan program-program, masalah politik, dan pemecahan yang mereka ajukan secara bebas kepada para pemilih selama masa kampanye. Masa kampanye harus ditetapkan dan harus dimulai setelah pencalonan yang sah dari partai dan calon serta diakhiri satu atau dua hari sebelum pemberian suara.
Akses Media dan Kebebasan Berekspresi. Kerangka hukum harus menjamin partai politik dan calon diperlakukan secara adil oleh media yang dimiliki atau dikendalikan oleh negara. Tidak ada pembatasan terhadap kebebasan berekspresi partai politik dan para calon selama kampanye. Dengan demikian, masyarakat umum dapat mengetahui platform politik, pandangan, dan sasaran dari semua partai dan calon dengan cara yang adil dan tidak bias. Perlakuan yang adil ini harus ada di semua media cetak maupun elektronik.
Pembiayaan dan Pengeluaran. Kerangka hukum harus memastikan semua partai politik dan calon diperlakukan secara adil oleh ketentuan hukum yang mengatur pembiayaan dan pengeluaran kampanye. Partai-partai politik memerlukan basis dana untuk membiayai kampanye dan kegiatan operasional partai sehingga kerangka hukum menentukan pembiayaan kampanye partai dan calon. Pada dasarnya ada dua bentuk pembiayaan partai dan calon: pendanaan dari negara dan pendanaan swasta dalam bentuk sumbangan yang datang dari berbagai sumber.
Pemungutan Suara. Kerangka hukum harus memastikan tempat pemungutan suara dapat diakses semua pemilih. Terdapat pencatatan yang akurat atas kertas suara dan jaminan kerahasiaan kertas suara. Standar internasional mengharuskan suara diberikan dengan menggunakan kertas suara yang rahasia atau dengan menggunakan prosedur pemungutan suara lain yang setara, bebas, dan rahasia. Harus pula dipastikan adanya mekanisme lain untuk mencegah kecurangan atau pemberian suara ganda. Namun prosedur pemberian suara tidak boleh terlalu rumit atau berbelit-belit sehingga menghambat proses pemberian suara.
Penghitungan dan Rekapitulasi Suara. Kerangka hukum harus memastikan agar semua suara dihitung dan ditabulasi atau direkapitulasi dengan akurat, merata, adil, dan terbuka. Hal ini mengharuskan penghitungan, pentabulasian, dan pengkonsolidasian suara dihadiri oleh perwakilan partai, calon, pemantau, dan masyarakat umum. Undang-undang harus mengatur bahwa setiap gugatan terhadap penghitungan suara oleh perwakilan partai dan calon atau keluhan tentang pengoperasian tempat pemungutan suara harus dicatat secara tertulis oleh ketua panitia tempat pemungutan suara. Laporan itu disertakan dalam laporan ketua panitia tempat pemungutan suara tentang pemungutan suara yang diserahkan kepada badan pelaksana pemilu.
Peranan Wakil Partai dan Calon. Guna melindungi integritas dan keterbukaan pemilu, perwakilan partai dan calon harus dapat mengamati semua proses pemungutan suara. Kerangka hukum harus menjelaskan hak dan kewajiban perwakilan partai dan calon di tempat pemungutan suara dan penghitungan suara. Harus juga dijelaskan, meskipun perwakilan partai dan calon mempertanyakan keputusan petugas pemungutan dan penghitungan suara, namun dia tidak boleh mempengaruhi pemilih, mengabaikan petunjuk petugas, dan mengganggu pemungutan dan penghitungan suara.
Pemantau Pemilu. Untuk menjamin transparansi dan meningkatkan kredibilitas, kerangka hukum harus menetapkan bahwa pemantau pemilu dapat memantau semua tahapan pemilu. Kehadiran pemantau dari dalam maupun luar negeri cenderung menambah kredibilitas dan legitimasi terhadap proses pemilu yang dipantau. Pemantauan juga berguna untuk mencegah kecurangan pemilu, khususnya pada saat pemungutan suara.
Kepatuhan terhadap Hukum dan Penegakan Peraturan Pemilu. Kerangka hukum pemilu harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk menjaga kepatuhan terhadap undang-undang pemilu. Dalam hal ini hak memilih dan dipilih setiap warga harus dijamin dan pelanggaran terhadap penggunaan hak memilih dan dipilih akan dikenakan sanksi. Kerangka hukum harus memastikan adanya larangan-larangan dan sanksi-sanksi terhadap siapa saja yang melanggar larangan-larangan tersebut.
2.2. KERANGKA KAJIAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
Berdasarkan standar internasional pemilu demokratis yang harus diatur dalam undang-undang pemilu, memperhatikan format undang-undang pemilu yang masih berlaku dan ketetuan-ketentuan dalam UU No 12/2011, maka kerangka kajian terhadap perubahan UU No 1/2015 terdiri atas dua langkah: pertama, memastikan ada-tidaknya rumusan tentang asas dan tujuan pemilu yang menjadi dasar penyelenggaraan pilkada; kedua, memastikan ada tidaknya rumusan peraturan yang mengimplementasi asas dan tujuan tersebut.
Rumusan ketentuan yang digunakan untuk mengimplementasi asas dan tujuan itu meliputi pengaturan tentang (1) aktor pemilu, (2) sistem pemilihan, (3) manajemen atau pelaksanaan tahapan, (4) penegakan hukum pemilu, dan (5) pengaturan lain-lain. Lima pengaturan tersebut akan mewadahi sekaligus melengkapi 15 aspek standar pemilu demokratis.
Pertama, pengaturan tentang aktor pemilu, meliputi pengaturan tentang penyelenggara, pemilih, partai politik, calon, dan pemantau. Kedua, pengaturan tentang sistem pemilihan meliputi pengaturan tentang metode pencalonan, metode pemberian suara, dan calon terpilih. Ketiga, pengaturan tentang manajemen atau pelaksanaan tahapan pemilu, meliput pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pelantikan. Keempat, pengaturan penegakan hukum meliputi, pengaturan tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, perselisihan administrasi, dan perselisihan hasil pemilu. Kelima, pengaturan lain-lain.






























BAB III
PEMETAAN MASALAH MATERI MUATAN

3.1. REDAKSIONAL
UU No 1/2015 diawali BAB I KETENTUAN UMUM dan diakhiri BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP. Peraturan ini ini seakan terdiri dari 28 bab, padahal hanya 27 bab, karena dari BAB XXVI KETENTUAN PERALIHAN loncat ke BAB XXVIII KETENTUAN PENUTUP. Kesalahan redaksional juga terdapat pada BAB IV PENYELENGGARA PEMILIHAN. Di sini tugas dan wewenang KPU Kabupaten/ Kota tidak ditulis pada bagian tersendiri, berbeda dengan tugas dan wewenang KPU dan KPU Provinsi; demikian juga dengan KPPS yang tidak diwadahi dalam bagian tersendiri, berbeda dengan PPK dan PPS. Dalam BAB XIV PENGHITUNGAN SUARA, UU No 1/2015 menulis dua kali “Bagian Ketiga” masing-masing untuk “Rekapitulasi Penghitungan Suara di PPK” dan “Rekapitulasi Penghitungan Suara di KPU Kabupaten/ Kota”. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) menulis frasa “pasangan calon”, dari yang benar “calon” saja. Selengkapnya, Tabel 3.1 menunjukkan sejumlah salah cetak terdapat dalam UU No 1/2015.




















3.2. SISTEMATIKA
Bab-bab dalam UU No 1/2015 disusun menyerupai UU No 8/2012 dan UU No 42/2008. Berbeda dengan UU No 8/2012 dan UU No 42/2008 yang mewadahi pengaturan tentang asas, pelaksanaan dan penyelenggara dalam satu bab, UU No 1/2015 membuat bab tersendiri untuk mengatur penyelenggara. Bab ini diletakkan setelah bab calon, padahal lazimnya pengaturan penyelenggara didahulukan karena pilkada tidak berjalan tanpa ada penyelenggara.
UU No 1/2015 tidak membuat ketentuan penetapan hasil pilkada ke dalam bab tersendiri tetapi disatukan dalam bab penghitungan suara. Hal ini tidak saja keluar dari kelaziman, tetapi juga membingungkan karena substansi pengaturan penetapan hasil pilkada berbeda dengan penghitungan suara. Penetapan hasil pilkada yang menggunakan formula tertentu, berbeda dengan penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara yang sekadar menjumlah suara. Penetapan hasil pilkada mestinya dibuatkan bab tersendiri, selain karena memang merupakan tahapan pelaksanaan pemilu tersendiri, juga merupakan titik pijak untuk melakukan pelantikan atau sengketa hasil pilkada jika ada pihak yang merasa lebih berhak menjadi calon terpilih.
UU No 1/2015 menghadirkan ketentuan baru tentang uji publik yang diwadahi dalam satu bab tersendiri. Karena undang-undang ini mengharuskan bakal calon mengikuti uji publik dan jarak waktu antara pendaftaran bakal calon dengan uji publik hampir dua bulan, sedangkan jarak waktu antara uji publik dengan pendaftaran calon hampir empat bulan, maka tahapan pelaksanaan pilkada menjadi berbeda dengan tahapan pelaksanaa pemilu legislatif dan pemilu presiden. Di sini tahapan pertama adalah pendaftaran bakal calon, lalu uji publik, dan dilanjutkan pendaftaran calon, diikuti kampanye, pemungutan suara dan penghitungan suara.
Bab pendaftaran pemilih, dalam UU No 8/2012 dan UU No 42/2008 terletak di awal, tapi dalam UU No 1/2015 terletak di tengah. Itu artinya, tahapan pelaksanaan pilkada tidak dimulai dengan pendaftaran pemilih (sebagaimana terjadi dalam pemilu legisaltif dan pemilu presiden), melainkan dimulai dari tahapan pendaftaran bakal calon. Di sini undang-undang terlihat mengabaikan atau setidaknya menomorduakan pemilih dan pendaftaran pemilih. Pendaftaran pemilih tidak masuk dalam tahapan pelaksanaan pilkada, sedangkan penyerahan daftar penduduk potensial pemilih masuk dalam tahapan persiapan. Pertanyaanya, jika bab hak memilih dan pendaftaran pemilih diletakkan di tengah (antara bab penetapan calon dan bab kampanye), lalu kapan tahapan pendaftaran pemilih dilakukan?
3.3. JUDUL DAN KONSIDERAN
UU No 1/2015 berjudul “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota”. Judul ini menunjukkan bahwa undang-undang menempatkan pilkada bukan sebagai pemilu tetapi sekadar pemilihan. Padahal hakekat pemilihan pejabat publik secara langsung oleh rakyat adalah pemilu. Apalagi pelaksanaan pilkada menurut undang-undang ini juga menggunakan asas pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Judul “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota” juga menunjukkan pilkada kali ini memilih kepala daerah secara tunggal, bukan pasangan kepala daerah. Memang UUD 1945 tidak menyebut wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota, tetapi bukan berarti ada larangan untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota. Pemilihan pasangan kepala daerah penting untuk representasi politik dan menjaga harmoni sosial.
Konsideran “Mengingat” dalam UU No 1/2015 hanya menyebut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur tentang wewenang presiden dalam mengeluarkan Undang-undang. Peraturan ini mestinya juga mencantumkan Pasal 18 ayat (4), yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Sebab inilah ketentuan konstitusional yang menjadi dasar penyelenggaraan pilkada langsung oleh rakyat. Karena “dipilih secara demokratis” sudah ditafsirkan sebagai pemilihan oleh rakyat, maka konsideran “Mengingat” mestinya juga mencantumkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
3.4. KETENTUAN UMUM DAN NOMENKELATUR
 Jika pilkada ditetapkan sebagai pemilu, maka sejumlah pengertian dalam ketentuan umum harus disesuaikan. Demikian juga jika pilkada ditetapkan memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, maka rumusan pengertian terkait hal ini juga harus disesuaikan. UU No 1/2015 tidak membedakan secara tegas istilah “penyelenggaraan” dengan “pelaksanaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), “menyelenggarakan” berarti mengatur dan menjalankan kegiatan, sedangkan “melaksanakan” berarti menjalankan atau mengerjakan perintah/rancangan/ keputusan. Artinya, “penyelenggara” mempunyai wewenang lebih luas, karena tidak hanya menjalankan kegiatan, tetapi juga mengatur, merencanakan, dan menyiapkan segala sesuatunya agar kegiatan berhasil; sedangkan “pelaksana” wewenang terbatas karena hanya melaksanakan saja apa-apa yang telah diatur, direncanakan, dan disiapkan. Karena Undang-undang tidak membedakan secara tegas pengertian dua kata tersebut, maka banyak ketentuan membingungkan.
3.5. ASAS, TUJUAN, DAN PENYELENGGARAAN
UU No 1/2015 menegaskan pilkada dilaksanakan secara demokratis dan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ini adalah asas pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dengan penyebutan asas ini sesungguhnya pilkada itu merupakan pemilu. Undang-undang juga menulis dua “Prinsip Pelaksanaan” pilkada: pertama, pilkada dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak; dan kedua, calon harus mengikuti uji publik. Ketentuan ini berlebihan, karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) pengertian asas dan prinsip itu sama. UUD 1945 menulis siklus lima tahunan pemilu satu rangkai dengan asas pemilu, sehingga ketentuan pilkada serentak itu bisa disaturangkaian dengan ketentuan tangan asas. Selanjutnya menempatkan uji publik sebagai asas pemilu juga berlebih karena ini hanya sebuah syarat yang harus diikuti oleh calon.
UU No 1/2015 bertujuan memilih gubernur, bupati, dan walikota secara langsung oleh rakyat. Meskipun tujuan itu sudah tercermin dalam judul undang-undang, tetap saja tujuan pilkada harus dirumuskan dalam pasal yang tegas. UU No 1/2015 tidak membedakan pengertian “penyelenggaraan” dan “pelaksanaan” sehingga isi ketentuan BAB II membingungkan. Jika konsisten menggunakan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999),
maka beberapa rumusan ketentuan pada bab ini adalah sebagai berikut: pertama, pilkada diselenggarakan setiap lima tahun sekali secara serentak nasional; kedua, penyelenggaraan pilkada terdiri atas a) penyusunan peraturan pelaksanaan pilkada; b) perencanaan dan penganggaran; c) persiapan pelaksanaan; d) pelaksanaan tahapan pilkada; e) pengawasan pelaksanaan tahapan pilkada; dan c) penegakan hukum pelaksanaan tahapan pilkada; sedang ketiga, pelaksanaan tahapan pilkada meliputi a) pendaftaran pemilih, b) pendaftaran calon, c) kampanye, d) pemungutan dan penghitungan suara, dan e) pelantikan. Beberapa kegiatan pencalonan dimasukkan dalam tahapan pendaftaran calon, termasuk uji publik, sedangkan kegiatan pendaftaran pemilih dan penetapan harus dibikinkan tahapan sendiri.

3.6. SUBSTANSI: AKTOR, SISTEM, MANAJEMEN, DAN PENEGAKAN HUKUM
Jika dibandingkan dengan UU No 32/2004 yang mengatur pilkada, UU No 1/2015 mengatur tujuh substansi baru dalam pilkada: (1) pencalonan tunggal, (2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5) pemungutan dan penghitungan suara elektronik; (6) penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, dan (7) pilkada serentak (lihat Tabel 3.2). Tujuh subtansi ini memang mempengaruhi penataan sistem pemilihan, tahapan pelaksanaan, dan penegakan hukum, namun pengaruhnya tidak berkorelasi positif dengan kualitas proses maupun hasil pilkada. Justru sebaliknya, pelaksanaan tahapan pilkada jadi berpanjang-panjang, sedang sistem pemilihan belum tentu berhasil menyaring kepala daerah berkualitas. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang mengatur tujuh substansi baru tersebut bisa diajukan ke MK karena dinilai melanggar konstitusi. Peninjauan terhadap tujuh substansi baru tersebut akan masuk dalam pembahasan terhadap aktor, sistem, manajemen, dan hukum.
















Pengaturan penyelenggara dalam UU No 1/2015 sesunggguhnya mubazir, karena soal ini sudah diatur lengakap dalam UU No 15/2011. Tentang penyelenggara UU No 1/2015 mestinya tinggal merujuk saja pada UU No 15/2011 dengan beberapa ketentuan tambahan, bahwa KPU berwenang menetapkan jadwal kegiatan dan tahapan pilkada serentak, mengingat desain UU No 1/2015 untuk menyelenggarakan pilkada serentak, sedangkan desain UU No 15/2011 untuk menyelenggarakan pilkada masingmasing daerah.
UU No 1/2015 menggunakan model calon tunggal (calon kepala daerah tanpa wakil). Model ini menafikan fungsi representasi dalam pencalonan pilkada, sehingga jabatan itu seakan hanya bisa dimiliki oleh satu kelompok mayoritas. Model calon tunggal juga bisa menimbulkan konflik sosial, baik pada masa penyelenggaraan pilkada maupun pemerintahan pasca pilkada, khususnya bagi masyarakat terbelah seperti di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Oleh karena itu, model paket (pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah) menjadi pilihan terbaik.
Apabila model pasangan calon membuat kepala daerah tidak kompak, maka tata cara pencalonannya dilakukan sebagai berikut: pertama, partai politik atau gabungan partai politik atau calan independen menetapkan bakal calon kepala daerah; kedua, bakal calon kepala daerah mengangkat bakal calon wakil kepala daerah; ketiga, pasangan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mendaftarkan diri ke KPU. Pengaturan syarat calon dalam UU No 1/2015, khususnya yang bertujuan membatasi politik kekerabatan, sebaiknya langsung diletakkan pada pasal, tidak lagi diletakkan dalam penjelasan.
“Tentang Sistem Pemilihan. Terdapat tiga varibel penting dalam sistem pemilu pejabat eksekutif: metode pencalonan, metode pemberian suara, dan formula calon terpilih. Dari tiga variabel tersebut, metode pemberian suara, di mana pemilih hanya memberikan satu tanda pilih kepada pasangan calon di kertas suara, tidak ada masalah. Yang perlu dibahas adalah metode pencalonan dan formula calon terpilih”.
Metode pencalonan di mana partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki jumlah kursi tertentu di DPRD mendorong terjadinya politik transaksional dalan proses pencalonan. Oleh karena itu metodenya perlu disederhanakan: setiap partai politik yang punya kursi di DPRD bisa mengajukan pasangan calon. Metode ini tidak akan menghasilkan pasangan calon banyak asal formula perolehan calon terpilihnya juga diubah: dari pasangan calon peraih saura terbanyak di atas 30% suara menjadi pasangan calon peraih suara terbanyak saja. UU No 1/2015 menggunakan formula pasangan calon terpilih: pertama, pasangan calon yang meraih suara terbanyak di atas 30%, ditetapkan menjadi pasangan calon terpilih; kedua, jika tidak ada pasangan calon yang meraih sedikitnya 30% suara, maka dilakukan putaran kedua bagi pasangan calon peraih suara terbanyak pertama dan kedua. Formula ini tak hanya gagal menyederhanakan sistem kepartaian di DPRD, tetapi juga memperpanjang ketegangan politik. Oleh karena itu formula tersebut perlu diganti dengan formula mayoritas sederhana yang mampu memaksa partai-partai membentuk koalisi besar agar bisa menang dalam pemilihan. Metode ini juga menghindari terjadinya putaran kedua yang menyebabkan pilkada menelan banyak biaya.
Tentang Pelaksanaan Tahapan. Tahapan pilkada adalah: (1) pendaftaran pemilih; (2) pendaftaran pasangan calon; (3) kampanye; (4) pemungutan dan penghitungan suara; (5) penetapan hasil pilkada; dan (6) pelantikan pasangan calon terpilih. Semua pengaturan tahapan pilkada dalam UU No 1/2015 bermasalah, sehingga perlu disempurnakan demi keadilan dan kepastian hukum.
UU No 1/2015 tidak menjadikan pendaftaran pemilih sebagai salah satu tahapan pelaksanaan pilkada. Padahal pemilu di manapun, pendaftaran pemilih selalu jadi tahapan pertama dan utama, karena menyangkut hak politik setiap warga negara. Pendaftaran pemilih menjadi tahapan pertama, tetapi prosesnya berjalan linier sampai ditetapkannya daftar pemilih tetap. Atas dasar daftar pemilih tetap inilah KPU mencetak surat suara, karena surat suara harus dicetak sesuai dengan jumlah pemilih ditambah cadangan.
UU No 1/2015 mengintroduksi uji publik. Kegiatan ini dianggap penting sehingga masuk dalam kategori prinsip dan diatur dalam bab tersendiri. Padahal jika dicermati ketentuan yang mengaturnya, uji publik sesungguhnya hanyalah bagian dari penjaringan calon yang dilakukan oleh partai politik. Meskipun disebutkan bahwa uji publik dimaksudkan menguji integritas dan kompetensi bakal calon, namun kegiatan ini hanya seremonial belaka. Oleh karena itu uji publik sesungguhnya tidak beda dengan pengenalan calon. Jika memang itu yang dimaksud pengenalan calon ini sebaiknya diselenggarakan oleh partai politik atau bakal calon independen, sementara tugas KPU hanya memverifikasi apakah pelaksanaan uji publik tersebut sesuai dengan ketentaun atau tidak. Beberapa ketentaun yang perlu disebutkan adalah bentuk kegiatan, jumlah peserta, fungsi panelis, dan biaya penyelenggaraan yang ditanggung negara tapi disalurkan KPU.
UU No 1/2015 membuat ketentuan pembatasan dana kampanye. Ini hal baru yang akan berdampak positif terhadap pengggunaan dan pengelolaan dana kampanye. Hanya saja ketentuan ini tidak jelas dan terukur sehingga cenderung menyulitkan KPU dalam membuat peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu pembatasan dana kampanye harus diperjelas ruang lingkupnya, juga dipertegas sanksinya apabila terjadi pelanggaran. Selain pembatasan dana kampanye, undang-undang mestinya mulai melakukan pembatasan terhadap transaksi tunai, misalnya dengan membuat ketentuan bahwa setiap transaksi di atas Rp 5 juta harus dilakukan melalui rekening. Toh setiap pasangan calon sudah diwajibakan memiliki rekening khusus dana kampanye.
UU No 1/2015 tidak menjadikan penetapan hasil pilkada sebagai tahapan tersendiri dan disatukan dengan tahapan rekapitulasi penghitungan saura. Ini adalah kesalahan mendasar, sebab penetapan hasil pilkada, meskipun merupakan kelanjutan dari rekpitulasi penghitungan suara, namun sesungguhnya memiliki substansi berbeda. Jika yang rekapitulasi hanya menjumlah suara, penetapan hasil pilkada adalah penerapan formula pasangan calon terpilih. Selain itu tahapan ini juga menjadi titik pijak untuk pelantikan atau gugatan sengketa hasil pilkada.
Tentang Penegakan Hukum. Penegakan hukum pilkada meliput: (1) penanganan tindak pidana pilkada, (2) penanganan pelanggaran administrasi, (3) penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara, (4) penyelesaian sengketa administrasi pilkada atau sengketa tata usaha negara pilkada, dan (5) penyelesaian sengketa hasil pilkada. Dari lima isu tersebut, sanksi pidana politik uang, penyelesaian sengketa tata usaha negara pilkada dan penyelesaian sengketa hasil pilkada, perlu mendapat perhatian.
Seperti halnya undang-undang pemilu lainnya, UU No 1/2015 tidak membuat batas-batas tegas dalam mengatur politik uang. Termasuk pengertian politik uang di sini adalah pembelian pencalonan kepada partai politik, pembelian suara kepada pemilih, penyogokan kepada penyelenggara untuk mengubah hasil penghitungan suara. Pembatasan ruang lingkup politik uang, seperti “Memberikan dan atau menjanjikan uang atau barang pada masa kampanye” jelas-jelas mengabaikan kenyataan bahwa jual beli suara tidak hanya terjadi pada masa kampanye. Selain itu, sanksi terhadap pelaku politik uang harus tegas agar memberikan efek jera sekaligus mempermudah penyelesaian jika terjadi sengketa hasil pilakda.
Sengketa tata usaha negara pilkada adalah sengketa yang terjadi antara penyelenggara dengan pasangan bakal calon karena bakal pasangan calon merasa diperlakukan tidak adil karena tidak ditetapkan KPU sebagai peserta pilkada atau pasangan calon. Dalam hal ini pasangan bakal calon bisa menggugat putusan KPU ke Bawaslu, lalu jika tidak terima bisa ke PTUN dan bisa dibanding ke PTTUN dan MA. Proses penyelesaian sengketa tata usaha ini memakan waktu lama sehingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk itu penyelesaian sengketa ini perlu disederhanakan: pasangan bakal calon bupati/walikota dan wakil bupati/ wakil walikota bisa menggugat ke PTTUN yang putusannya final, sedangkan pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur bisa menggugat ke MA yang putusannya final. UU No 1/2015 menyerahkan penyelesaian sengketa hasil pilkada ke MA. Ini menimbulkan masalah: pertama, MA sedari awal sudah menyatakan tidak sanggup menangani sengketa hasil pilkada mengingat tanggungan perkaranya masih sangat banyak; kedua, MA tidak punya pengalaman menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Undang-undang menyerahkan sengketa hasil pilkada ke MK berdasarkan putusan MK yang menyatakan bahwa pihaknya tidak lagi menangani sengketa hasil pilada. Padahal putusan MK masih membuka peluang untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada di MK selama badan khusus penyelesai sengketa hasil pilkada belum terbentuk. Oleh karena itu sebaiknya penyelesaian sengketa tetap di MK karena lembaga ini yang punya pengalaman, sambil menunggu terbentuknya badan khusus penyelsai sengketa hasil pilkada.
Waktu Pelaksanaan Tahapan. UU No 1/2015 membutuhkan waktu 13 bulan untuk pelaksanaan tahapan pilkada. Jika ada putaran kedua, tahapannya bisa mencapai 16 bulan. Jadwal tahapan yang sangat panjang itu tidak hanya menimbulkan kebosanan pemilih, tetapi juga menelan banyak dana. Padahal pengalaman pelaksanaan pilkada selama ini hanya membutuhkan waktu 8 bulan: 6 bulan untuk pendaftaran pemilih, pendaftaran pasangan calon, kampanye, serta pemungutan dan penghitungan suara di TPS, ditambah 2 bulan untuk rekapitulasi penghitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih dan pelantikan, termasuk di dalamnya jika terdapat sengketa hasil pilkada. Oleh karena itu, pelaksanaan tahapan pilkada sebaiknya dikembalikan pada jadwal lama, sedang masuknya uji publik hanya perlu mengubah jadwal pencalonan. Tabel 3.3 menunjukkan jadwal pelaksanaan tahapan yang sudah dipersingkat, jika pendaftaran pemilih dimulai Januari dan pemungutan dan penghitungan suara dilakukan pada Juni.




























Demikianlah bab ini telah memaparkan secara singkat peta masalah UU No 1/2015, mulai dari masalah redaksional, sistematika, hingga substansi. Dalam pemetaan masalah tersebut juga disampaikan jalan keluar yang bisa dijadikan bahan untuk merevisi undang-undang. Selenjutnya peta masalah UU No 1/2015.




















BAB IV
STRATEGI PERUBAHAN

4.1. PERUBAHAN DUA TAHAP
Materi muatan UU No 1/2015 mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, baik dari sisi redaksional, sistematika, maupun substansi. Undang-undang ini tidak bisa diimplementasi jika tidak diubah atau direvisi dahulu. Namun karena kelemahan dan kekurangan sangat banyak, maka perubahan terbatas terhadap undang-undang ini tidak mencukupi. Demi keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraan pilkada, UU No 1/2015 harus diubah secara komprehensif. Masalahnya, perubahan komprehensif butuh waktu lama, padahal jadwal pilkada sudah di depan mata.







Seperti ditunjukkan Tabel 4.1, berdasarkan data dari Kemendagri, terdapat 204 kepala daerah (8 gubernur dan wakil gubernur, 26 walikota dan wakil walikota, dan 170 bupati dan wakil bupati) yang masa jabatannya berakhir pada 2015, sehingga mau tidak mau tahun itu harus diselenggarakan pilkada. Seterusnya pada 2016 terdapat 104 daerah, pada 2017 terdapat 65 daerah, pada 2018 terdapat 172 daerah, dan pada 2019 terdapat 35 daerah.
UU No 1/2015 menghendaki agar pilkada diselenggarakan secara serentak nasional, yang ditargetkan terjadi pada 2020. Dalam rangka mencapai target tersebut, Pasal 201 UU No 1/2015 mengatur masa peralihan: pertama, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2015 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015; kedua, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2018 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2016, 2017, dan 2018; ketiga, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2020 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2019.
Mengacu pada Pasal 201 UU No 1/2015, KPU merencanakan jadwal pemungutan suara serentak untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015 pada Desember 2015. Desember 2015 dipilih karena jika ditarik ke belakang, tahapan pendaftaran bakal calon (yang merupakan tahapan pertama) dimulai pada Februari 2015. Padahal, sebagaimana tampak pada Tabel 4.2, DPR baru bisa menyelesaikan mengesahkan revisi UU No 1/2015 pada Masa Sidang II DPR yag akan berkahir pada 18 Februari 2015. Dengan jadwal sidang seperti itu, dan dengan asumsi waktu tahapan hingga pemungutun suara adalah 10 bulan, maka KPU tidak punya waktu untuk membuat peraturan teknis pelaksanaan pilkada. Bahkan dengan asumsi waktu tahapan hingga pemungutan suara diubah dan diperpendek menjadi 6 bulan, KPU hanya punya waktu 4 bulan untuk menyusun peraturan teknis, merancang anggaran, dan mempersiapkan teknis operasional lainnya. Jelas ini tidak cukup untuk mencapai penyelenggaraan pilkada berkualitas.











Masalah kedua adalah sedikitnya waktu yang dimiliki Komisi II DPR untuk mengubah UU No 1/2015 karena Masa Sidang II DPR hanya memiliki 28 hari kerja atau 38 hari kalender. Padahal begitu banyak materi UU No 1/2015 yang harus diubah, mulai dari kesalahan redaksional, sestematika, hingga substansi yang meliputi pengaturan aktor, sistem pemilihan, tahapan pelaksanaan, dan penegakan hukum pilkada. Jika perubahan UU No 1/2015 dipaksakan selesai pada Masa Sidang II DPR, maka hasilnya tidak akan maksimal, sehingga setelah diubah pun undangundang ini tidak menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada.
Mempertimbangkan keterdesakan waktu Komisi II DPR untuk mengubah UU No 1/2015, dan memperhatikan sedikitnya waktu KPU untuk mempersiapkan penyelenggaraan pilkada serentak, maka perubahan UU No 1/2015 sebaiknya dilakukan dua tahap. Tahap pertama, perubahan terbatas untuk mengatur kembali jadwal pilkada serentak yang diselesaikan pada Masa Sidang II DPR; kedua, perubahan komprehensif meliputi perubahan semua ketentuan yang dipandang harus disempurnakan, diselesaikan pada Masa Sidang III dan IV yang akan berakhir pada Juli 2015. Kedua tahap revisi itu harus didasari oleh kesepakatan bahwa waktu tahapan pilkada hanya 8 bulan, yaitu 6 bulan untuk pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, hingga pemungutan dan penghitungan saura di TPS, ditambah 2 bulan untuk rekapitulasi penghitungan suara, penetapan hasil pilkada, dan pelantikan, termasuk penyelesaian sengketa hasil pilkada.
4.2. PERUBAHAN TERBATAS PASAL PILKADA SERENTAK
Berdasarkan Pasal 201 ayat (1) UU No 1/2015, KPU merencanakan jadwal penyelenggaraan pilkada serentak tahap pertama pemungutan suaranya pada Desember 2015. Namun jadwal ini tidak mungkin bisa diwujudkan karena tahapan pertama (pendaftaran bakal calon) harus dimulai pada Februari 2015, padahal pada saat itu perubahan undang-undang belum diselesaikan. Jika pun waktu tahapan sebelum pemungutan suara dikurangi menjadi 6 bulan, KPU juga mengalami banyak kendala dalam perencanaan dan persiapan. Oleh karena itu, pilkada serentak tahap pertama ini mau tidak mau harus diundur.
Waktu yang tepat bagi pilkada serentak tahap pertama, pemungutan suaranya jatuh pada Juni 2016. Pertama, secara Juni adalah bulan cerah, laut tenang, pegunungan nyaman, tiada hujan tapi kering belum datang. Kedua, Juni memudahkan perencanaan, pencairan, dan pertanggungjawaban anggaran karena letak di tengah siklus anggaran. Ketiga, Juni 2016 memungkinkan penyelenggara memiliki waktu cukup untuk persiapan, mulai dari penyusunan peraturan, sosialisasi tahapan, konsolidasi pengamanan, hingga pencetakan dan pendistribusian suarat suara. Keempat, Juni 2016 menghindari kejenuhan pemilih karena jarak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada serentak sekitar dua tahun, saat mana pemilih sudah bisa mengevaluasi kinerja pemilu sebelumnya sebagai bahan untuk menjatuhkan pilihan. Kelima, jarak dua tahun antara pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada serentak membuat partai politik memiliki waktu cukup untuk konsolidasi sehingga dapat mengajukan calon yang berkualitas.
Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pilkada sebelumnya, pelaksanaan tahapan pilkada membutuhkan waktu 8 bulan (6 bulan sebelum pemungutan suara dan 2 bulan setelah pemungutan suara). Jika pemungutan suara digelar pada Juni 2016, maka tahapan pertama, yaitu pendaftaran pemilih, dimulai pada Januari 2016, sedangkan tahapan terakhir, yaitu pelantikan pasangan calon terpilih dilakukan pada Agustus 2016. Pelantikan pada Agustus memungkinan pasangan calon terpilih bisa terlibat dalam pembahasan perubahan APBD (karena paling akhir perubahan dilakukan September) sehingga mereka bisa segera mewujudkan janji kampanye.
Pilkada Juni 2016 diperuntukkan bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya jatuh sepanjang 2015 hingga Agustus 2016. Masa jabatan pasangan calon yang terpilih akan berakhir pada Agustus 2021, di mana mereka akan melanjutkan atau diganti oleh hasil pilkada serentak nasional pada Juni 2021. Berdasarkan data Kemendagri daerah yang mengikuti pilkada serentak tahap pertama ini meliputi 9 provinsi, 237 kabupaten, dan 40 kota. Jumlah total mencakup 286 daerah, yang merupakan 52,2% dari jumlah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pilkada Juni 2017 diperuntukkan bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya jatuh sepanjang September 2016 hingga Agustus 2017. Masa jabatan pasangan calon terpilih akan berakhir pada Agustus 2021, di mana mereka akan melanjutkan atau diganti oleh hasil pilkada serentak nasional pada Juni 2021. Dengan demikian, masa jabtan mereka tidak genap 5 tahun. Pilkada Juni 2017 ini akan diikuti 5 provinsi, 51 kabupaten, dan 9 kota, atau meliputi 11,9% daerah.
Pilkada Juni 2018 diperuntukkan bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya jatuh sepanjang September 2017 hingga Desember 2019. Masa jabatan pasangan calon terpilih akah berakhir pada Agustus 2021, di mana mereka akan melanjutkan atau diganti oleh hasil pilkada serentak nasional pada Juni 2021. Dengan demikian masa jabatan mereka tidak genap 5 tahun. Pilkada Juni 2018 ini akan diikuti 20 provinsi, 128 kabupaten, dan 49 kota, yang meliputi 35,9% daerah.







Berdasarkan penataan jadwa pilkada Juni 2016, Juni 2017, dan Juni 2018 dalam rangka menunju pilkada serentak nasional pada Juni 2021, maka ketentuan Pasal 201, 202, dan 203 harus diubah untuk disesuaikan dengan jadwal tersebut. Inilah yang dimaksud dengan perubahan terbatas terhadap ketentuan pilkada serentak sebagai perubahan tahap pertama atas UU No 1/2015. Perubahan ini tidak hanya memberi tidak hanya memberikan jeda kepada KPU untuk merencankan dan mempersiapkan penyelenggaraan secara lebih baik, tetapi juga memberi waktu kepada pemilih untuk mematangkan pilihannya dan kepada partai politik untuk menuntaskan konsolidasinya. Adapun perubahanperubahan terhadap Pasal 201, 202, dan 203 UU No 1/2015.


4.3. PERUBAHAN KONPREHENSIF
Perubahan tahap kedua atas UU No 1/2015 merupakan perubahan komprehensif terhadap semua ketentuan yang memang perlu disemprunakan dalam rangka mewujudkan keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraan pilkada. Perubahan tahap kedua ini akan berlangsung sepanjang Masa Sidang III dan IV yang akan berakhir pada awal Juli 2015. Waktu sekitar lima bulan (54 hari kerja atau 72 hari kalender) memang tidak panjang untuk melakukan perubahan undang-undang yang sifatnya menyeluruh. Namun komitmen DPR dan pemerintah yang sudah diikat oleh perubahan tahap pertama, memaksa mereka bekerja keras untuk menuntaskan perubahan UU No 1/2015 demi terselenggaranya pilkada serentak yang berkualitas. Tabel 4.4 menunjukkan jadwal perubahan tahap pertama dan tahap kedua atas UU No 1/2015.
Perubahan tahap kedua atas UU No 1/2015 ini meliputi perubahan redaksional, sistematika, dan substansi. Perubahan redaksional memastikan bahwa naskah undangundang tidak lagi ada yang salah ketik atau salah eja. Perubahan sistematika memastikan bahwa susunan uruturutan bab dan bagian cukup logis sehingga mudah dipahami oleh para pemangku kepentingan pilkada: penyelenggara, partai politik, pasangan calon, pemantau, dan masyarakat pada umumnya. Cara muda untuk membuat ssitematika yang logis dan mudah dipahami adalah dengan meniru atau membandingkan undang-undang pemilu yang lain.
Sedangkan perubah substansi menyangkut perubahan pengaturan tentang aktor (khususnya penyelenggara dan pasangan calon), sistem pemilihan (khususnya metode pencalonan dan formula pasangan calon terpilih), tahapan pelaksanaan (pendaftaran pemilih, pendaftaran pasangan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan saura, penetapan hasil pilkada, dan pelantikan), serta penegakan hukum pilkada (khususnya penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dan penyelesaian sengketa hasil pilkada). Lampiran 1 menampilkan pokok-pokok pikiran perubahan, sedangkan daftar inventarisasi masalah atas UU No 1/2015 secara lengkap tidak bisa ditampilkan di sini tapi bisa didowload melalui www.rumahpemilu.org. Di sini tidak hanya disampaikan catatan-catatan masalah setiap pasal, tetapi juga disajikan pasal perubahannya.


















BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
1.    Materi muatan UU No 1/2015 mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, baik dari sisi redaksional, sistematika, maupun substansi. Undang-undang ini memiliki sepuluh salah ketik atas angka, kata, dan frasa. Sistematika undang-undang ini tidak lazim (seperti halnya terdapat dalam undang-undang legislatif dan undang-undang pemilu presiden), sekaligus membingungkan. Beberpa isu penting tidak menjadi bab tersendiri, sebaiknya beberapa isu tidak penting justru menjadi bab tersendiri.
2.    UU No 1/2015 memuat tujuh substansi baru: pencalonan tunggal, pencegahan politik dinasti, uji publik, pembatasan dana kampanye, pemungutan dan penghitungan suara elektronik; penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, dan pilkada serentak. Pengaturan tujuh substansi baru tersebut tidak jernih, tidak jelas, dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, dan berpotensi dikoreksi MK. Sementara jika dilihat dari sisi aktor, sistem pemilihan, tahapan pelaksanaan, dan penegakan hukum, masing-masing terdapat masalah, baik karena materinya bisa diperdebatkan maupun pengaturan yang tidak solid. Singkat kata, UU No 1/2015 harus diubah demi menjamin keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraaan pilkada. Tapa revisi undangundang ini tidak bisa diimplementasi.
3.    Karena UU No 1/2015 mengandung banyak kelemahan dan kurangan, baik dari sisi redaksional, sistemtika, maupun substansi, maka revisi atau perubahan terhadap undang-undang ini tidak bisa dilakukan secara terbatas atau tambal sulam. Diperlukan perubahan yang komprhensif agar undang-undang ini bisa menjamin penyelenggaraan pilkada yang berkualitas. Masalahnya, perubahan komprehensif membutuhkan waktu lama, sementara jadwal pilkada sudah di depan mata. Padahal pada saat yang sama DPR tidak memiliki waktu banyak untuk membahas materi perubahan, yang di sana sini pasti membutuhkan perdebatan serius.
4.    Diperlukan strategi khusus agar: di satu pihak, DPR dan pemerintah bisa melakukan perubahan konprehensif dalam waktu singkat; di pihak lain, penyelenggara memiliki waktu cukup untuk membuat perencanaan dan persiapan, pemilih memiliki waktu cukup untuk mematangkan pilihannya, dan partai politik memiliki waktu cukup untuk konsolidasi dan mengajukan calon terbaik. Strategi khusus itu terdiri atas dua tahap perubahan: tahap pertama, melakukan perubahan terbatas untuk mengatur kembali jadwal pilkada serentak, khususnya dari Desember 2015 ke Juni 2016; dan tahap kedua, melakukan perubahan secara konprehensif atas semua ketentuan yang perlu disempurnakan. Perubahan terbatas bisa dilakukan pada Masa Sidang II DPR yang akan berakhir pada Februari 2015, sedang perubahan komprehensif dilakukan pada Masa Sidang III dan IV yang akan berakhir pada Juli 2015.






5.2. REKOMENDASI
1.    Redaksional: pertama, semua salah ketik harus dihilangkan; kedua, penggunaan nomenkelatur harus tepat dan konsisten sehingga dapat menghilangan pengertianpengertian yang membingungkan, seperti pencampuradukan istilah “penyelenggaraan” dan “pelaksanaan”.
2.    Sistematika: pertama, disusun secara logis demi memudahkan pemahaman atas pengaturan pilkada yang memang kompleks; kedua, memastikan bahwa hal-hal yang penting bisa dihimpun dalam satu bab pengaturan, sedangkan hal-hal yang tidak penting tidak perlu disatukan dalam satu bab pengaturan; kedua, cara termudah adalah meniru dan menyempurnakan sistematika yang terdapat dalam undang-undang pemilu legisaltif dan undang-undang pemilu presiden.
3.    Substansi: pertama, pengaturan tentang penyelenggara dan bakal calon harus diperbaiki; kedua, pengatruan tentang metode pencalonan dan formula pasangan calon terpilih perlu diubah demi menghindari politik transaksional, menyederhanakan sistem kepartaian di DPRD, sekaligus menekan biaya penyelenggaraan; ketiga, pengaturan tentangn tahapan pelaksanaan pilkada harus dibikin urut mulai dari pendaftaran pemilih, pendaftaran pasangan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih, dan pelantikah; keempat, pengaturan tentang penyelesain sengketa penetapan calon dan penyelesaian sengketa hasil pilkada harus diubah agar penyelenggaraan pilkada tidak berpanjang-panjang dan menciptakan kepastian hukum.
4.    Perubahan UU No 1/2015 dilakukan secara bertahap. Tahap pertama mengubah jadwal pilkada dari Desember 2015 ke Juni 2016, sedangan tahap kedua mengubah secara komprehensif atas semua ketentuan yang memang perlu disempurnakan. Dengan cara demikian DPR dan pemerintah bisa bekerja efektif dalam waktu sempit untuk membahas dan mengesahkan perubahan. Perubahan tahap pertama dilakukan pada Masa Sidang II DPR yang berakhir pada Februari 2015, sedang perubahan tahap kedua dilakukan pada Masa Sidang III dan IV yang berakir pada Juli 2015. Dua tahap perubahan itu tidak hanya memudahkan DPR dan pemerintah dalam menyiasati sempitnya waktu, tetapi juga membuat penyelenggara memiliki waktu cukup untuk membuat perencanaan dan persiapan pilkada, membuat pemilih memiliki waktu cukup untuk mematangkan pilihannya, dan membuat partai politik memiliki waktu cukup untuk konsolidasi sehingga berhasil memilih calon terbaik.










DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konpress, 2006.
 Asshiddiqie, Jimly, Perihal Perundang-undangan, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St Paul, Minn: West Publishing Co, 1990.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: 2011.
Freckmann, Anke and Thomas Wegerich, The German Legal System, London: Sweet & Maxwell, 1999.
 Internasional IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Jakarta: International IDEA, 2004.
Kusuma, RMAB, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
 Laakso and Rein Taagepera, “Effective Number of Parties: A Measure with Aplication to West Eropa,” dalam Comparative Political Studies, 1979, dan Taagepera, Rein and Matthew Søberg Shugart, Seat and Votes: The effects and Determinant of Electoral System, New Haven: Yale University, 1989.
Liddle William, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992.
Lijphart, Arend, Electoral System and Party System: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990, New York: Oxford University Press, 1994.
Mark Payne (et all), Democracies in Development: Politics and Reform in America Latin, Washington DC: InterAmerica Bank, The International IDEA, The John Hopkins University Press, 2002.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT Rajawali Grafindo, 2012.
Mellaz, August, Simulasi Penghitungan Kursi atas Hasil Pemilu 2009: Penerapan Metode Kuota dan Divisor, Jakarta: Kemitraan, 2011 (tidak diterbitkan).
Noris, Pippa, Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behavior, New York: Cambridge University Press, 2004.
Oxford University, Oxford Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press Inc, 2006.
Ranadireksa, Hendarmin, Dinamika Konstitusi Indonesia, Jakarta: Fokus Media, Bandung, 2009.
Renold, Andrew, Ben Reilly, and Andrew Eliis (ed), Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, Stockholm: International IDEA, 2010.
Sartori, Giovanni, Parties and Party System: A Frameworks of Analysis, New York: Cambridge University Press, 1976.
Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1997.
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, August Mellazt, dan Ismail Fahmi, Alokasi Kursi DPR 560 ke Provinsi dan Pembentukan Daerah Pemilihan 3-6 kursi, 3-8 kursi, dan 3-10 kursi, Jakarta: Perludem, 2011.
Supriyanto, Didik dan August Mellazt, Ambang Batas Perwakilan: Pengaruh Parliamentary Threshold terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu, Jakarta: Perludem dan Kemitraan, 2011.
Supriyanto, Didik, Khoirunnisa Agustyati, dan August Mellazt, Menata Ulang Jadwal Pilkada: Menuju Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Jakarta: Perludem, 2013.
Supriyanto, Didik, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Jakarta: Kemitraan, 2013.
Yamin, Mohammad, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 Jilid I, Jakarta: Yayasan Prapandja, 1959.
Wingjosubroto, Soetandyo, Masalah Pluralisme dalam Sistem Hukum Nasional, makalah tampa lokasi, tanpa tanggal.

Makalah Filsafat dan Etika Ilmu Pemerintahan

KETERKAITAN FILSAFAT TERHADAP REFORMASI APARATUR NEGARA DALAM MELAKSANAKAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK






Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
Mata Kuliah: Filsafat dan Etika Ilmu Pemerintahan




Oleh:
BERKAT GOWASA
14. 013.121.005




MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
2015


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Mungkin Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memberikan perhatian besar pada reformasi administrasi. Walau pun jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam Pemerintahan Orde Baru, Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan Gotong Royong dan terakhir dalam Pemerintahan Indonesia Bersatu (Indonesia Hebat), tetapi kedalaman dan keluasan reformasi aparatur negara belum menyentuh bagian-bagian yang paling mendasar dalam sistem administrasi.
Reformasi aparatur negara yang diperlukan untuk menciptakan sistem administrasi yang berkemampuan untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan globalisasi perdagangan tidak bisa tidak harus bersifat komprehensif dan mencakup, antara lain, penetapan peraturan dasar tentang sistem pemerintahan negara yang sesuai dengan kemajuan bangsa Indonesia, peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah khususnya peningkatan birokrasi pemerintahan khususnya sistem kepegawaian, desentralisasi pemerintahan dan upaya pembera-ntasan korupsi. Dalam waktu yang singkat ini tidak mungkin seaya menyentuh semua dimensi reformasi aparatur negara tersebut. Presentasi saya ini akan lebih menfokuskan diri pada reformasi birokrasi, dan secara lebih khusus reformasi sistem kepegawaian.
Peraturan dasar tentang pemerintahan negara
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai terasa pada Pemerintahan
Rekonsiliasi Nasional di bawah pimpinan Presiden Abdurahman Wachid. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabaran karena kebiasaan mengadakan perubahan-perubahan secara erratic dan tidak terencana, seperti mengadakan 5 jabatan Sekretaris yang setingkat pada Sekretariat Negara, resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa kali, dan intervensi Presiden dalam penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan daerah daerah, adalah faktor utama yang mendorong terjadinya kondisi entrofi tersebut. Pada pemerintahan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para menteri dari kalangan profesional yang memepunyai reputasi tinggi dibawah pimpinan Presiden Megawati, entrofi pemerintahan mulai menghilang karena kepercayaan rakyat mulai menguat kembali.
Sayangnya, pada pemerintahan KIB kinerja pemerintah muncul kembali karena didorong oleh dua faktor penyebab: Pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat pada kemampuan para pembantu Presiden. Kedua, yang justru merupakan faktor penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang memberikan landasan konstitusional untuk sistem pemerintahan yang memiliki kapasitas tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial. Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja KIB yang dilakukan oleh berbagai media cetak dan elektronik, serta para pengamat pada berbagai fora, dan saya rasa penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi gambaran tentang pandangan masyarakat tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.
Faktor kedua yang sebenarnya merupakan akar permasalahan atas rendahnya kinerja pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan pemerintahan parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara mendasar sistem pemerintahan negara menjadi sistem presidensial, padahal oleh para founding fathers sistem tersebut dipandang kurang “adekuat” sebagai sistem pemerintahan Negara Bangsa yang berlandaskan faham Kekeluargaan5 untuk menciptakan keadilan sosial.
Kalau kita ikuti pembahasan pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan Juli sampai 15 Agustus, 1945 waktu menyusun sistem pemerintahan untuk negara Republik Indonesia, dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 18 – 20 Agustus 1945, sebagaimana terekam dalam notulen otentik yang hampir selama 56 tahun “hilang”, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara Bangsa Republik Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK yang mewakili Yogyakarta, disebut “sistem sendiri”. Dalam literatur ilmu politik sistem pemerintahan tersebut ditahbiskan pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem pemerintahan semi-presidensial. Sistem pemerintahan tersebut dipilih karena dipandang akan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer yang dipandang tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, karena yang memegang portofolio penting dalam eksekutif adalah anggota legislatif, sehingga tidak menjamin tumbuhnya check-and-balance yang merupakan persyarakat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Para penyusun konstitusi tidak memilih sistem presidensial karena memperkirakan pada sistem tersebut terbuka lebar peluang terjadinya “political gridlocks” apabila presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan berkuasa di lembaga legislatif adalah partai mayoritas. Hubungan yang kurang serasi antara eksekutif dan legislatif pada tahun pertama pemerintahan KIB memang merupakan salah satu contoh fenomena kemacetan politik yang dikhawatirkan oleh para pendahulu kita. Political gridlock itulah yang kita alami sejak KIB terbentuk karena dalam sistem parlementer semu Presiden bukan saja menghadapi kendala dari DPR, tetapi juga karena para menteri dalam kabinetnya lebih loyal kepada politik partai masing-masing.
Selain selalu harus mengahdapi ancaman instabilitas politik, Pemerintah KIB yang terdiri atas Presiden yang berasal dari partai minoritas dan Wakil Presiden yang seorang Ketua Umum salah satu Partai mayoritas, masih harus menghadapi “tekanan” masyarakat internasional yang sedang mengalami pergeseran pandangan tentang misi dan sistem pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang. Dirangsang oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler melalui buku mereka “Reinventing Government” (1992) dan Osborne dan Plastrik melalui buku berjudul provokatif “Banishing Bureaucracy: the Five Stages of Reinventing Government” (1998), berkembanglah pemikiran yang cukup berpengaruh di lingkungan lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga multilateral mau pun bilateral dengan cepat menerima pandangan tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan mereka dan menjadikannya bagian dari paket program pengembangan good governance, yang secara sempit diartikan sama dengan small government atau clean government. Program-program reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembagalembaga internasional di Indonesia – khususnya privatisasi dan debirokratisasi – juga tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam kenyataannya peranan Pemerintah Indonesia, anggaran pemerintah cukup kecil, tidak mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), berarti berada jauh di bawah negara-negara OECD yang sekarang masih cukup tinggi yaitu rata-rata 47.7 persen. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai, Indonesia ternyata berada di bawah rasio di negara-negara maju. Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah Indonesia mendapat desakan kuat dari luar untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
Dari perbandingan tersebit kita dapat simpulkan bahwa arah kebijakan reformasi kelembagaan atau reformasi aparatur negara di negara-negara maju yang tujuannya adalah memperkecil peranan negara dalam pembanguan ekonomi memang tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Kalau arah kebijakan seperti itu tetap dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap Indonesia, maka dapat dipastikan entrofi pemerintahan akan semakin berlanjut dan Indonesia akan betul-betul menjadi negara yang gagal yang tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas untuk mencapai cita-cita bangsa.



BAB II
PEMBAHASAN

Reformasi Birokrasi
Reformasi politik yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh perubahan yang besar pada penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya sistem pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk mendukung sistem politik demokratis dan sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya tersedia. Salah satu pranata tersebut adalah sistem kepegawaian meritokratik.
Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari praktek “spoilled” dan pengelolaan aparatur negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi independen tersebut yaitu Komisi kepegawai Negara yang terdiri atas 5 anggota yang mewakili stakeholder penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di berbagai negara karena dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses perumusan kebijakan yang lebih demokratis. Di banyak negara maju, independent civil service commission, yang terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan karena dipandang lebih
mampu menjamin proses perumusan kebijakan kepegawaian meritokratik. Sebagai salah seorang penyusun yang terlibat langsung dalam penyusunan UU No. 43 tahun 1999, saya dapat bercerita sedikit tentang kerangka pemikiran yang mendasari pengusulan Komisi Kepegawaian tersebut. Sekitar tahun 1998-99 para perumus memperkirakan setelah Pemilu 1999 akan terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pemerintahan dan kepegawaian Indonesia. Jumlah partai yang ikut dalam Pemilu meningkat secara drastic dan mencapai lebih dari 100 partai, sistem pemerintahan akan mengalami perubahan yang sangat fundamental, dari sistem dominasi satu partai yang relatif stabil menjadi sistem multi-partai yang relatif kurang stabil. Seiiring dengan perubahan sistem pemerintahan, pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang sangat mendasar pada hubungan pusat dan daerah.
    Kedua perubahan mendasar ini memerlukan sistem kepegawaian yang lebih terstandardisasi, lebih berorientasi stratejik serta lebih desentralistis dalam implementasinya. Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas yang baru ini sebagian besar beban operasional kepegawaian harus didelegasikan kepada instansi operasional, baik departemen, lembaga non departemen mau pun pemeriantah daerah. Otoritas kepegawaian nasional seharusnya lebih memusatkan pada perumusan standar dan norma kepegawaian nasional, mengawasi pelaksanaan dari norma dan standar nasional kepegawaian, termasuk menyusun kebijakan penggajian, kesejahteraan dan evaluasi kinerja PNS. Singkatnya, otoritas kepegawaian akan lebih bersifat regulating daripada implementing.
    Otoritas kepegawaian untuk melaksanakan fungsi dan tugas regulasi tersebut tidak akan berjalan baik dalam wadah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang konvensional, yang dipimpin oleh seorang kepala seperti yang kita kenal. Pada suatu sistem pemerintahan yang demokratis, otoritas kepegawaian sebaiknya dilaksanakan oleh LPND yang dipimpin oleh Komisi (Commission). Dalam text-book administrasi, struktur seperti itu disebut multi-headed board.
    Sebenarnya di dalam sistem pemerintahan Indonesia bentuk semacam itu sudah mulai dikenal, misalnya, KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara), Komisi HAM, dan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Sekarang sudah saatnya bentuk kelembagaan yang lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan birokrasi pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi dalam pemerintahan. Demikianlah lebih kurang kerangka fikir para perumus pada waktu mengusulkan Komisi Kepegawaian. Di negara lain komisi kepegawaian mulai mulai lebih disukai daripada badan kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk menjalankan fungsi kepegawaian. Indonesia termasuk negara yang lamban mengadakan structural adjustment dalam bidang kepegawaian.
    Kalau Pemerintah Indonesia dapat menerima usulan dari para peserta Diklatpim-LAN tentang kelembagaan untuk menjalankan fungsi reformasi administrasi dan kepegawaian, ada dua pertanyaan terkait yang perlu dicari jawabannya. Yang pertama, perlukan Komisi independen tersebut dipimpin langsung oleh Presiden? Yang kedua, apakah kementerian merupakan format organisasi yang tepat untuk menjalankan fungsi koordinatif reformasi administrasi dan kepegawaian? Menurut penulis, Komisi Kepegawaian atau Civil Service Commission yang terdiri dari 5-7 anggota harus diberikan kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu komisi tidak perlu dipimpin langsung oleh Presiden, apalagi kalau Presiden masih merangkap jabatan ketua partai. Selama otoritas pengangkatan pejabat teras pemerintahan tetap dipegang oleh presiden, tak perlu khawatir dengan bentuk komisi independen.
    Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara harus diredifinisi dan lebih diarahkan pada koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Saat ini kebijakan good governance yang dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah, penataan sistem keuangan negara, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Pemberantasan KKN
    Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bagian terpenting reformasi tata pemrintahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya berbagai skandal korupsi yang menyangkut bank-bank pemerintah, komisi-komisi independen, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, komisi independen dan lembaga judikatif mungkin dapat menjadi penunjuk betapa serius pemerintah berusaha memberantas korupsi yang telah sangat mencemarkan nama bangsa ini dilingkungan masyarakat internasional.
    Namun, walaupun kerangka dan strategi pemberantasan korupsi yang cukup komprensif telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan pengawasan masyarakat (community corruption watch), dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan berbagai lembaga penyelidikan tindak korupsi, harus difahami bahwa kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pemberantasan tindak korupsi perlu waktu. Karena itu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia haruslah lebih diarahkan pada penataan sistem hukum, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem administrasi yang tidak memungkinkan terjadinya praktek korupsi. Gerakan pemberantan KKN yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada tahun pertama ini memang mampu untuk menimbulkan kembali harapan masyarakat yang sebelumnya hampir padam.
    Namun sayangnya gebrakan-gebrakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah baru mampu mengungkapkan kasus-kasus yang relatif kecil dan bahkan dapat dipandang sebagai kasus “membakar rumah untuk menangkap tikus”, seperti yang terjadi pada kasus KPU, penangkapan para anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat, Gubernur suatu propinsi di Sumatra, beberapa unsur pimpinan bank BUMN, dan kasus DAU. Memang semua pelaku penyimpangan tersebut perlu ditindak, tetapi seharusnya pemerintah seharusnya lebih mempriritaskan penindakan terhadap para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara puluhan dan ratusan trilyun, yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran. Yang lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penataan sistem yang betul-betul mampu menghambat praktek korupsi.

Langkah maju reformasi birokrasi
    Reformasi aparatur negara adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta sistem ekonomi yang dapat menciptakan keadilan sosial bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia.
    Karena itu Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan sistem ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap paling sesuai dengan budaya bangsanya. Para pendiri negara menganggap corak bangsa Indonesia -- gotong royong atau kekeluargaan – seharusnhya merupakan landasan dasar dalam pemikiran tentang kedua sistem tersebut.
    Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan kelembagaan yang ditempuh oleh Pemerintah selama ini, terutama selama 1 tahun Pemerintahan KIB belum menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam reformasi kelembagaan. Akibatnya, reformasi kelembagaan yang telah dilakukan bukannya menciptakan landasan kelembagaan yang semakin mantap dan semkian adekuat untuk melaksanakan pemerintahan buat mencapai cita-cita bangsa. Bahkan sebaliknya, komplikasi baru timbul yaitu ancama entrofi pemerntahan nampak semakin nyata dan semakin mengancam kelangsungan pemerintahan KIB.
    Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur negara, perlu dilakukan overhaul besar-besar pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan model manajemen baru, sistem kepegawaian baru termasuk penerapan sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebih rasional, serta penerapan aplikasi tekonologi informasi moderen dalam manajemen pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi peningkatan kinerja birokrasi secara mendasar.




DAFTAR PUSTAKA

Sinambela, Lijan Poltak dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Istianto, Bambang. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media
Salam, Dharma Setyawan. 2007. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Djambatan
Supriyatno, Budi. 2009. Manajemen Pemerintahan (plus dua belas langkah strategis). Tangerang. CV. Media Brilian
Waluyo. 2007. Manajemen Publik (konsep, aplikasi dan implementasi). Sumedang. CV. Mandar Maju
Miriam, Budiarjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Hardiyansyah. 2012. Sistem Administrasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia Sektor Publik. Palembang. Gava Media


Pengertian ANTROPOLOGI

SISTEM KEKERABATAN

A. Evolusi Keluarga 
        Teori evolusi keluarga pada pertengahan abad ke 19 G.A. Wilken, H.Maine, J.F Me.Lennon, Spencer dan JJ. Bachfon.
mereka merupkan sebagai ahli hukum khususnya hukum milik dan hukum warisan yang sangat erat kaitannya dengan evolusi bentuk keluarga.

Mereka menjelaskan bahwa seluruh dunia termasuk keluarga manusia berkembang melalui 4 tahap tingkat evolusi yaitu :
Tahap I
    Masyarakat manusia pada mulanya hidup serupa kawanan kelompok hewan tanpa ada ikatan perkawinan, tahap ini sering disebut Promis Cuitet
Tahap II
    Dalam masyarakat manusia anggota keluarganya (warganya) telah mengenal ibunya tetapi tidak mengenal ayahnya. dalam tahap ini terbentuk keluarga inti yang terdiri atas Ibu dan Anak-anaknya, Ibu sebagai kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anak laki-lakinya dilarang.
Bentuk perkawinan disebut Exogomi dan garis keturunan dihitung dari garis ibu. pola kekerabatab ini didominasi ibu yang paling berkuasa keadaan keluarga tersebut Matriarchaat.
Tahap III
    Para laki-laki tidak puas akan keadaan diatas kemudia kaum laki-laki mereka mengambil calon istri dari kelompok lain dan membawa perempuan tersebut ke dalam kelompoknya sehingga kelompok keluarga tersebut berkembang menjadi kelurga inti yang terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak-anaknya. Sang ayah menjadi kepala keluarga dan paling berkuasa. Bentuk keluarga seperti ini disebut Patriacchaat.

Pada abad 20 toeri tersebut banyak di kritik oleh para ahli Antropologi yang berdasarkan data Etnografi yaitu :
1. Konsep Matriarchaat sebagai sistem kekerabatan dengan ibu yang berkuasa dalam kelurga sudah tidak adanya (di tinggalkan) yang ada kelompok-kelompok kelurga yang terkait pada prinsip keturunan yang dihitung mulai garis keturunan Ibu Matrilineall.
2. Masyarakat minangkabau berdasarkan prinsip Matrialineall tetapi menunjukkan taraf perkembangan kebudayaan sudah relatif tinggi.
3. GP. Mardock , Social structure menjelaskan proses perkembangan masyarakat dan sistem kekerabatan tidak hanya dipengaruhi melalui satu tetapi yang beraneka warna sifatnya.

    Manusia membentuk bermacam-macam jenis kelompok dn masing-masing kelompok disesuaikan untuk memecahkan berbagai macam jenis masalah yang dihadapi identitas dan bantuan kepada anggotanya.
   Arti pokok keluarga adalah sebagai kesatuan kelompok sosial yang melakukan kerjasama ekonomi antara laki-laki dan perempuan sebagai lingkungan sosial yang tepat untuk mengasuh anak-anak yang akan ada hubungan yang erat antara perkawinan dengan struktur keluarga.