Iklan Produk

Sunday, January 22, 2017

Makalah Filsafat dan Etika Ilmu Pemerintahan

KETERKAITAN FILSAFAT TERHADAP REFORMASI APARATUR NEGARA DALAM MELAKSANAKAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK






Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
Mata Kuliah: Filsafat dan Etika Ilmu Pemerintahan




Oleh:
BERKAT GOWASA
14. 013.121.005




MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
2015


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Mungkin Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memberikan perhatian besar pada reformasi administrasi. Walau pun jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam Pemerintahan Orde Baru, Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan Gotong Royong dan terakhir dalam Pemerintahan Indonesia Bersatu (Indonesia Hebat), tetapi kedalaman dan keluasan reformasi aparatur negara belum menyentuh bagian-bagian yang paling mendasar dalam sistem administrasi.
Reformasi aparatur negara yang diperlukan untuk menciptakan sistem administrasi yang berkemampuan untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan globalisasi perdagangan tidak bisa tidak harus bersifat komprehensif dan mencakup, antara lain, penetapan peraturan dasar tentang sistem pemerintahan negara yang sesuai dengan kemajuan bangsa Indonesia, peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah khususnya peningkatan birokrasi pemerintahan khususnya sistem kepegawaian, desentralisasi pemerintahan dan upaya pembera-ntasan korupsi. Dalam waktu yang singkat ini tidak mungkin seaya menyentuh semua dimensi reformasi aparatur negara tersebut. Presentasi saya ini akan lebih menfokuskan diri pada reformasi birokrasi, dan secara lebih khusus reformasi sistem kepegawaian.
Peraturan dasar tentang pemerintahan negara
Kemerosotan kinerja pemerintahan sebenarnya mulai terasa pada Pemerintahan
Rekonsiliasi Nasional di bawah pimpinan Presiden Abdurahman Wachid. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabaran karena kebiasaan mengadakan perubahan-perubahan secara erratic dan tidak terencana, seperti mengadakan 5 jabatan Sekretaris yang setingkat pada Sekretariat Negara, resuffle Kabinet yang dilakukan beberapa kali, dan intervensi Presiden dalam penunjukan jabatan teras pada birokrasi pusat dan daerah daerah, adalah faktor utama yang mendorong terjadinya kondisi entrofi tersebut. Pada pemerintahan Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari para menteri dari kalangan profesional yang memepunyai reputasi tinggi dibawah pimpinan Presiden Megawati, entrofi pemerintahan mulai menghilang karena kepercayaan rakyat mulai menguat kembali.
Sayangnya, pada pemerintahan KIB kinerja pemerintah muncul kembali karena didorong oleh dua faktor penyebab: Pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat pada kemampuan para pembantu Presiden. Kedua, yang justru merupakan faktor penyebab utama, adalah karena UUD hasil amandemen nampaknya kurang memberikan landasan konstitusional untuk sistem pemerintahan yang memiliki kapasitas tinggi, yaitu suatu pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial. Sudah cukup banyak penilaian terhadap kinerja KIB yang dilakukan oleh berbagai media cetak dan elektronik, serta para pengamat pada berbagai fora, dan saya rasa penilaian tersebut sudah cukup untuk memberi gambaran tentang pandangan masyarakat tentang kondisi pemerintahan pada saat ini.
Faktor kedua yang sebenarnya merupakan akar permasalahan atas rendahnya kinerja pemerintah adalah amandemen UUD hasil amandemen sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampai 2004, yang menciptakan pemerintahan parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara mendasar sistem pemerintahan negara menjadi sistem presidensial, padahal oleh para founding fathers sistem tersebut dipandang kurang “adekuat” sebagai sistem pemerintahan Negara Bangsa yang berlandaskan faham Kekeluargaan5 untuk menciptakan keadilan sosial.
Kalau kita ikuti pembahasan pada sidang-sidang BPUPK pada pertengahan Juli sampai 15 Agustus, 1945 waktu menyusun sistem pemerintahan untuk negara Republik Indonesia, dan pembahasan pada sidang-sidang PPKI pada 18 – 20 Agustus 1945, sebagaimana terekam dalam notulen otentik yang hampir selama 56 tahun “hilang”, dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan untuk Negara Bangsa Republik Indonesia adalah yang oleh Dr. Soekiman, anggota BPUPK yang mewakili Yogyakarta, disebut “sistem sendiri”. Dalam literatur ilmu politik sistem pemerintahan tersebut ditahbiskan pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, Maurice Duverger, sebagai sistem pemerintahan semi-presidensial. Sistem pemerintahan tersebut dipilih karena dipandang akan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer yang dipandang tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, karena yang memegang portofolio penting dalam eksekutif adalah anggota legislatif, sehingga tidak menjamin tumbuhnya check-and-balance yang merupakan persyarakat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Para penyusun konstitusi tidak memilih sistem presidensial karena memperkirakan pada sistem tersebut terbuka lebar peluang terjadinya “political gridlocks” apabila presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan berkuasa di lembaga legislatif adalah partai mayoritas. Hubungan yang kurang serasi antara eksekutif dan legislatif pada tahun pertama pemerintahan KIB memang merupakan salah satu contoh fenomena kemacetan politik yang dikhawatirkan oleh para pendahulu kita. Political gridlock itulah yang kita alami sejak KIB terbentuk karena dalam sistem parlementer semu Presiden bukan saja menghadapi kendala dari DPR, tetapi juga karena para menteri dalam kabinetnya lebih loyal kepada politik partai masing-masing.
Selain selalu harus mengahdapi ancaman instabilitas politik, Pemerintah KIB yang terdiri atas Presiden yang berasal dari partai minoritas dan Wakil Presiden yang seorang Ketua Umum salah satu Partai mayoritas, masih harus menghadapi “tekanan” masyarakat internasional yang sedang mengalami pergeseran pandangan tentang misi dan sistem pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang. Dirangsang oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler melalui buku mereka “Reinventing Government” (1992) dan Osborne dan Plastrik melalui buku berjudul provokatif “Banishing Bureaucracy: the Five Stages of Reinventing Government” (1998), berkembanglah pemikiran yang cukup berpengaruh di lingkungan lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga multilateral mau pun bilateral dengan cepat menerima pandangan tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan mereka dan menjadikannya bagian dari paket program pengembangan good governance, yang secara sempit diartikan sama dengan small government atau clean government. Program-program reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembagalembaga internasional di Indonesia – khususnya privatisasi dan debirokratisasi – juga tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam kenyataannya peranan Pemerintah Indonesia, anggaran pemerintah cukup kecil, tidak mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), berarti berada jauh di bawah negara-negara OECD yang sekarang masih cukup tinggi yaitu rata-rata 47.7 persen. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai, Indonesia ternyata berada di bawah rasio di negara-negara maju. Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah Indonesia mendapat desakan kuat dari luar untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
Dari perbandingan tersebit kita dapat simpulkan bahwa arah kebijakan reformasi kelembagaan atau reformasi aparatur negara di negara-negara maju yang tujuannya adalah memperkecil peranan negara dalam pembanguan ekonomi memang tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Kalau arah kebijakan seperti itu tetap dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap Indonesia, maka dapat dipastikan entrofi pemerintahan akan semakin berlanjut dan Indonesia akan betul-betul menjadi negara yang gagal yang tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas untuk mencapai cita-cita bangsa.



BAB II
PEMBAHASAN

Reformasi Birokrasi
Reformasi politik yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata tidak diikuti oleh perubahan yang besar pada penyelenggaraan pemerintahan. Akibatnya sistem pemerintahan termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk mendukung sistem politik demokratis dan sistem ekonomi pasar yang lebih terbuka belum sepenuhnya tersedia. Salah satu pranata tersebut adalah sistem kepegawaian meritokratik.
Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari praktek “spoilled” dan pengelolaan aparatur negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi independen tersebut yaitu Komisi kepegawai Negara yang terdiri atas 5 anggota yang mewakili stakeholder penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di berbagai negara karena dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses perumusan kebijakan yang lebih demokratis. Di banyak negara maju, independent civil service commission, yang terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan karena dipandang lebih
mampu menjamin proses perumusan kebijakan kepegawaian meritokratik. Sebagai salah seorang penyusun yang terlibat langsung dalam penyusunan UU No. 43 tahun 1999, saya dapat bercerita sedikit tentang kerangka pemikiran yang mendasari pengusulan Komisi Kepegawaian tersebut. Sekitar tahun 1998-99 para perumus memperkirakan setelah Pemilu 1999 akan terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pemerintahan dan kepegawaian Indonesia. Jumlah partai yang ikut dalam Pemilu meningkat secara drastic dan mencapai lebih dari 100 partai, sistem pemerintahan akan mengalami perubahan yang sangat fundamental, dari sistem dominasi satu partai yang relatif stabil menjadi sistem multi-partai yang relatif kurang stabil. Seiiring dengan perubahan sistem pemerintahan, pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang sangat mendasar pada hubungan pusat dan daerah.
    Kedua perubahan mendasar ini memerlukan sistem kepegawaian yang lebih terstandardisasi, lebih berorientasi stratejik serta lebih desentralistis dalam implementasinya. Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas yang baru ini sebagian besar beban operasional kepegawaian harus didelegasikan kepada instansi operasional, baik departemen, lembaga non departemen mau pun pemeriantah daerah. Otoritas kepegawaian nasional seharusnya lebih memusatkan pada perumusan standar dan norma kepegawaian nasional, mengawasi pelaksanaan dari norma dan standar nasional kepegawaian, termasuk menyusun kebijakan penggajian, kesejahteraan dan evaluasi kinerja PNS. Singkatnya, otoritas kepegawaian akan lebih bersifat regulating daripada implementing.
    Otoritas kepegawaian untuk melaksanakan fungsi dan tugas regulasi tersebut tidak akan berjalan baik dalam wadah lembaga pemerintah non departemen (LPND) yang konvensional, yang dipimpin oleh seorang kepala seperti yang kita kenal. Pada suatu sistem pemerintahan yang demokratis, otoritas kepegawaian sebaiknya dilaksanakan oleh LPND yang dipimpin oleh Komisi (Commission). Dalam text-book administrasi, struktur seperti itu disebut multi-headed board.
    Sebenarnya di dalam sistem pemerintahan Indonesia bentuk semacam itu sudah mulai dikenal, misalnya, KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara), Komisi HAM, dan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Sekarang sudah saatnya bentuk kelembagaan yang lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan birokrasi pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi dalam pemerintahan. Demikianlah lebih kurang kerangka fikir para perumus pada waktu mengusulkan Komisi Kepegawaian. Di negara lain komisi kepegawaian mulai mulai lebih disukai daripada badan kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk menjalankan fungsi kepegawaian. Indonesia termasuk negara yang lamban mengadakan structural adjustment dalam bidang kepegawaian.
    Kalau Pemerintah Indonesia dapat menerima usulan dari para peserta Diklatpim-LAN tentang kelembagaan untuk menjalankan fungsi reformasi administrasi dan kepegawaian, ada dua pertanyaan terkait yang perlu dicari jawabannya. Yang pertama, perlukan Komisi independen tersebut dipimpin langsung oleh Presiden? Yang kedua, apakah kementerian merupakan format organisasi yang tepat untuk menjalankan fungsi koordinatif reformasi administrasi dan kepegawaian? Menurut penulis, Komisi Kepegawaian atau Civil Service Commission yang terdiri dari 5-7 anggota harus diberikan kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu komisi tidak perlu dipimpin langsung oleh Presiden, apalagi kalau Presiden masih merangkap jabatan ketua partai. Selama otoritas pengangkatan pejabat teras pemerintahan tetap dipegang oleh presiden, tak perlu khawatir dengan bentuk komisi independen.
    Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara harus diredifinisi dan lebih diarahkan pada koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Saat ini kebijakan good governance yang dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah, penataan sistem keuangan negara, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Pemberantasan KKN
    Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bagian terpenting reformasi tata pemrintahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya berbagai skandal korupsi yang menyangkut bank-bank pemerintah, komisi-komisi independen, lembaga eksekutif, lembaga legislatif, komisi independen dan lembaga judikatif mungkin dapat menjadi penunjuk betapa serius pemerintah berusaha memberantas korupsi yang telah sangat mencemarkan nama bangsa ini dilingkungan masyarakat internasional.
    Namun, walaupun kerangka dan strategi pemberantasan korupsi yang cukup komprensif telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan pengawasan masyarakat (community corruption watch), dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan berbagai lembaga penyelidikan tindak korupsi, harus difahami bahwa kemajuan yang cukup berarti dalam upaya pemberantasan tindak korupsi perlu waktu. Karena itu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia haruslah lebih diarahkan pada penataan sistem hukum, sistem ekonomi, sistem pemerintahan dan sistem administrasi yang tidak memungkinkan terjadinya praktek korupsi. Gerakan pemberantan KKN yang dilaksanakan oleh Pemerintah pada tahun pertama ini memang mampu untuk menimbulkan kembali harapan masyarakat yang sebelumnya hampir padam.
    Namun sayangnya gebrakan-gebrakan pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah baru mampu mengungkapkan kasus-kasus yang relatif kecil dan bahkan dapat dipandang sebagai kasus “membakar rumah untuk menangkap tikus”, seperti yang terjadi pada kasus KPU, penangkapan para anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat, Gubernur suatu propinsi di Sumatra, beberapa unsur pimpinan bank BUMN, dan kasus DAU. Memang semua pelaku penyimpangan tersebut perlu ditindak, tetapi seharusnya pemerintah seharusnya lebih mempriritaskan penindakan terhadap para koruptor kelas kakap yang telah merugikan negara puluhan dan ratusan trilyun, yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran. Yang lebih penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penataan sistem yang betul-betul mampu menghambat praktek korupsi.

Langkah maju reformasi birokrasi
    Reformasi aparatur negara adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta sistem ekonomi yang dapat menciptakan keadilan sosial bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia.
    Karena itu Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan sistem ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap paling sesuai dengan budaya bangsanya. Para pendiri negara menganggap corak bangsa Indonesia -- gotong royong atau kekeluargaan – seharusnhya merupakan landasan dasar dalam pemikiran tentang kedua sistem tersebut.
    Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan kelembagaan yang ditempuh oleh Pemerintah selama ini, terutama selama 1 tahun Pemerintahan KIB belum menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam reformasi kelembagaan. Akibatnya, reformasi kelembagaan yang telah dilakukan bukannya menciptakan landasan kelembagaan yang semakin mantap dan semkian adekuat untuk melaksanakan pemerintahan buat mencapai cita-cita bangsa. Bahkan sebaliknya, komplikasi baru timbul yaitu ancama entrofi pemerntahan nampak semakin nyata dan semakin mengancam kelangsungan pemerintahan KIB.
    Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur negara, perlu dilakukan overhaul besar-besar pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan model manajemen baru, sistem kepegawaian baru termasuk penerapan sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebih rasional, serta penerapan aplikasi tekonologi informasi moderen dalam manajemen pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi peningkatan kinerja birokrasi secara mendasar.




DAFTAR PUSTAKA

Sinambela, Lijan Poltak dkk. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Istianto, Bambang. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media
Salam, Dharma Setyawan. 2007. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Djambatan
Supriyatno, Budi. 2009. Manajemen Pemerintahan (plus dua belas langkah strategis). Tangerang. CV. Media Brilian
Waluyo. 2007. Manajemen Publik (konsep, aplikasi dan implementasi). Sumedang. CV. Mandar Maju
Miriam, Budiarjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Hardiyansyah. 2012. Sistem Administrasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia Sektor Publik. Palembang. Gava Media


Pengertian ANTROPOLOGI

SISTEM KEKERABATAN

A. Evolusi Keluarga 
        Teori evolusi keluarga pada pertengahan abad ke 19 G.A. Wilken, H.Maine, J.F Me.Lennon, Spencer dan JJ. Bachfon.
mereka merupkan sebagai ahli hukum khususnya hukum milik dan hukum warisan yang sangat erat kaitannya dengan evolusi bentuk keluarga.

Mereka menjelaskan bahwa seluruh dunia termasuk keluarga manusia berkembang melalui 4 tahap tingkat evolusi yaitu :
Tahap I
    Masyarakat manusia pada mulanya hidup serupa kawanan kelompok hewan tanpa ada ikatan perkawinan, tahap ini sering disebut Promis Cuitet
Tahap II
    Dalam masyarakat manusia anggota keluarganya (warganya) telah mengenal ibunya tetapi tidak mengenal ayahnya. dalam tahap ini terbentuk keluarga inti yang terdiri atas Ibu dan Anak-anaknya, Ibu sebagai kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anak laki-lakinya dilarang.
Bentuk perkawinan disebut Exogomi dan garis keturunan dihitung dari garis ibu. pola kekerabatab ini didominasi ibu yang paling berkuasa keadaan keluarga tersebut Matriarchaat.
Tahap III
    Para laki-laki tidak puas akan keadaan diatas kemudia kaum laki-laki mereka mengambil calon istri dari kelompok lain dan membawa perempuan tersebut ke dalam kelompoknya sehingga kelompok keluarga tersebut berkembang menjadi kelurga inti yang terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak-anaknya. Sang ayah menjadi kepala keluarga dan paling berkuasa. Bentuk keluarga seperti ini disebut Patriacchaat.

Pada abad 20 toeri tersebut banyak di kritik oleh para ahli Antropologi yang berdasarkan data Etnografi yaitu :
1. Konsep Matriarchaat sebagai sistem kekerabatan dengan ibu yang berkuasa dalam kelurga sudah tidak adanya (di tinggalkan) yang ada kelompok-kelompok kelurga yang terkait pada prinsip keturunan yang dihitung mulai garis keturunan Ibu Matrilineall.
2. Masyarakat minangkabau berdasarkan prinsip Matrialineall tetapi menunjukkan taraf perkembangan kebudayaan sudah relatif tinggi.
3. GP. Mardock , Social structure menjelaskan proses perkembangan masyarakat dan sistem kekerabatan tidak hanya dipengaruhi melalui satu tetapi yang beraneka warna sifatnya.

    Manusia membentuk bermacam-macam jenis kelompok dn masing-masing kelompok disesuaikan untuk memecahkan berbagai macam jenis masalah yang dihadapi identitas dan bantuan kepada anggotanya.
   Arti pokok keluarga adalah sebagai kesatuan kelompok sosial yang melakukan kerjasama ekonomi antara laki-laki dan perempuan sebagai lingkungan sosial yang tepat untuk mengasuh anak-anak yang akan ada hubungan yang erat antara perkawinan dengan struktur keluarga.

Makalah Hubungan Pusat dan Daerah



STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA ALAM BIDANG KAWASAN PARIWISATA
DI KABUPATEN NIAS SELATAN


MAKALAH



 
 Dosen Pembimbing : Dr. Matius Bangun, M.Si
Mata Kuliah : Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah


Disusun Oleh:
BERKAT GOWASA
14013121005



MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
MEDAN
2015

KATA PENGANTAR


            Puji syukur kita haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang masih dilimpahkan kepada kita semua sehingga kita masih diberi nafas kehidupan dan masih diberi kesempatan untuk berkumpul ditempat ini kembali dalam keadaan sehat walafiat. penulis berterimakasih atas bantuan dan bimbingan dosen pengasuh mata Hubungan Pusat dan Daerah oleh                      Bapak Dr. Matius Bangun, M.Si sehingga makalah dapat terselesaikan tepat pada waktunya dan juga penulis berterimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana yang telah menuangkan hasil pemikirannya dalam tugas ini.
            Penulis juga menyadari dalam penyusunan makalah ini serat akan kekurangan dan belumlah sempurna berdasarkan metode penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari dosen pembina dan rekan-rekan teman mahasiswa pascasarjana jurusan Ilmu Pemerintahan.
            Demikian kata pengantar makalah yang saya susun, terimakasih bagi semua pihak yang telah berparistisipasi dalam penyusunan makalah ini.





Hormat Saya


Penulis


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………… i
Daftar Isi …………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………… 1
1.1    Latar Belakang Masalah ……………… 1
1.2    Rumusan Masalah ………………………3
1.3    Tujuan Penulisan ………………………… 4
1.4    Manfaat Penulisan ……………………… 4
BAB II  LANDASAN TEORI …………………… 5
BAB III PEMBAHASAN ………………………… 6
3.1  pembangunan sektor pariwisata di era otonomi daerah... 7
3.2  paradigma baru pembangunan kepariwisataan ……………... 8
3.3  kondisi kepariwisataan nasional di era otonomi daerah …10

3.4 pembangunan kepariwisataan daerah di era otonomi ……… 17

BAB IV PENUTUP …………………………………18
A.Kesimpulan ………………………………………18
B.Saran …………………………………………………18
DAFTAR PUSTAKA …………………………………19

1. LATAR BELAKANG MASALAH
    Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki kawasan Indonesia menjadikan Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan baik dalam sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, industri dan pariwisata. Selain kekayaan sumber daya alam yang melimpah, unsur keindahan alam, keunikan budaya, peninggalan sejarah, keanekaragaman flora dan fauna serta keramahan penduduk lokal menjadi nilai tambah bagi pengembangan sektor periwisata di Indonesia. Pariwisata dinilai oleh banyak pihak memiliki arti penting sebagai salah satu alternatif pembangunan, terutama bagi negara atau daerah yang memiliki keterbatasan sumber daya alam. Untuk memaksimumkan dampak positif dari pembagunan pariwisata dan sekaligus menekan serendah mungkin dampak negatif yang ditimbulkan, diperlukan perencanaan yang bersifat menyeluruh dan terpadu.
    Perubahan yang terjadi tidak lepas dari dinamika yang terjadi, baik dilihat dari sisi permintaan (demand side) maupun dari sisi pasokan (supply side) produk-produk wisata dari berbagai negara atau daerah tujuan wisata. Dari sisi permintaan yang diduga mempengaruhi permintaan akan pariwisata ini adalah pendapatan perkapita negara turis. Pariwisata juga mempunyai peran yang sangat potensial dan strategis dalam pembangunan daerah. Pengembangannya dapat berfungsi sebagai pendekatan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan sebagai penyeimbang ekonomi daerah (Nurhayati dalam Fandeli, 1995:15). Pengembangan pariwisata harus diikuti dengan memanfaatkan peluang-peluangnya sebagai sumber pendapatan masyarakat setempat dan pendapatan daerah secara keseluruhan.
    Kegiatan dibidang pariwisata merupakan kegiatan yang bersifat kompleks meliputi berbagai sektor dan bentuk kegiatan yang memiliki elemen-elemen yang dinamis berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Berdasarkan hal tersebut, maka pengembangan pariwisata akan mengalami proses perubahan fisik dan sosial. Proses perubahannya terus berlangsung seiring dengan pembangunan sarana prasarana, dan fasilitas lainnya atau dengan kata lain, perencanaan pariwisata dimulai dengan pengembangan pariwisata daerah yang meliputi pembangunan fisik obyek wisata yang dijual berupa fasilitas akomodasi, restauran, fasilitas umum, fasilitas sosial, angkutan wisata, dan perencanaan promosi yang disebut dengan komponen pariwisata (Gunn, 1988: 71).
    Pembangunan kawasan wisata pada dasarnya merupakan pengembangan komponen-komponen pariwisata, yang pada pelaksanaannya diharapkan dapat berjalan secara gradual dan paralel. Komponen tersebut tidak berdiri sendiri dalam mempengaruhi kegiatan pariwisata, tetapi merupakan rangkaian dari berbagai faktor lain seperti kondisi perekonomian, kebijakan pemerintah, potensi yang dimiliki, potensi alam, potensi buatan, ketersediaan sumberdaya manusia tenaga kerja dan tenaga ahli serta koordinasi antara berbagai instansi terkait (Gunn, 1988: 74-76).
    Kegiatan dibidang pariwisata sampai saat ini masih bersifat kompleks-dinamis dan berpeluang sebagai sumber pendapatan dengan diikuti pengembangan kawasan wisata yang mencakup integrasi semua komponennya beserta faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan pariwisata. Komponen pariwisata tersebut, akan menjawab syarat suatu daerah tujuan wisata yang memiliki something to see, something to buy and something to do (Pendit, 1999: 31). Berdasarkan hal tersebut, maka perkembangan pariwisata suatu daerah sangat dipengaruhi oleh tingkat penyediaan komponenkomponen wisata.
    Kegiatan pariwisata juga ada di Sumatera Utara khususnya di Pulau Nias dengan memiliki banyak potensi objek wisata yang cukup menarik seperti alunan ombak yang mencapai ketinggian 2-3 meter, rumah adat, lompat batu, batu megalitikum, pantai, sun set, wisata bahari, adat istiadat dan kebudayaan yang mengundang daya tarik tersendiri bagi pengunjungnya. Salah satu dari potensi tersebut merupakan even internasional, yaitu atraksi selancar yang berlokasi di pantai Lagundri-Sorake Kecamatan Teluk Dalam dan kegiatannya dilaksanakan setiap tahun pada bulan Juni dan Juli.
    Pariwisata di Pulau Nias dapat menjadi salah satu komoditi ekonomi yang menjanjikan dan berprospek apabila dapat didukung oleh penyediaan komponen wisata dalam pengembangannya. Penyediaan komponen wisata yang ada di Pulau Nias masih kurang memadai untuk daerah tujuan wisata, misalnya sarana jalan raya yang sangat memprihatinkan dengan kondisi rusak berat 81 %, rusak ringan 5 %,kondisi sedang 14 %, dan kondisi baik 0 %, dan bahkan ada kawasan yang yang tidak tersentuh oleh jaringan jalan, sehingga wisatawan mengalami kesulitan untuk mencapai obyek-obyek wisata (Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Nias, 2001). Begitu juga akomodasi hotel yang memiliki 38 hotel yang 1 diantaranya termasuk hotel kelas berbintang 1, serta komponen wisata lainnya masih kurang memadai. Dengan demikian, permasalahan pengembangan pariwisata di Pulau Nias disebabkan oleh tingkat penyediaan komponen wisata masih sangat kurang memadai untuk daerah tujuan wisata.
    Untuk menghadapi otonomi daerah sekarang ini, maka masingmasing daerah cenderung menggali potensi-potensi daerahnya untuk dikembangkan. Salah satu diantaranya adalah pembangunan dibidang pariwisata. Pengembangan pariwisata tersebut tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi. Permasalahan-permasalahan tersebut, berupa unsur-unsur sediaan atu permintaan di daerah tujuan wisata.
    Berdasarkan hal tersebut, maka salah satu daerah tujuan wisata yang menjadi lokasi penelitian dalam kajian ini adalah Pulau Nias. Pulau Nias memiliki potensi pariwisata yang cukup unik dan menarik untuk dikembangkan berupa: atraksi selancar, bangunan rumah adat, lompat batu, batu megalitikum, pantai pasir putih, sun set, wisata bahari, adat istiadat dan kebudayaan. Potensi tersebut masih belum berkembang karena kurang didukung oleh penyediaan komponen-komponen wisata sebagai prasayarat daerah tujuan wisata. Dengan demikian, maka permasalahan pengembangan pariwisata yang ada di Pulau Nias adalah kurangnya penyediaan komponen-komponen wisata, yaitu: transportasi, atraksi wisata atau obyek wisata, promosi wisata, akomodasi hotel, akomodasi restauran, infrastruktur, dan sarana pelengkap wisata.
    Berdasarkan hal tersebut, maka langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan pengembangan pariwisata di Pulau Nias adalah mengidentifikasi prioritas penyediaan komponen wisata.
2.  KONDISI EKSISTING
Pembangunan Nasional Indonesia mencakup pada seluruh bidang kehidupan baik aspek alamiah maupun sosial dengan bertumpu pada pembangunan ekonomi, pemerataan pembangunan dan stabilitas nasional yang dinamis. Di dalam GBHN dilaksanakan pembangunan Nasional bidang pariwisata termasuk dalam sektor pembangunan ekonomi yang sasarannya :
1.    mendayagunaan sumber daya alam dan potensi kepariwisataan nasional yang dapat diandalkan serta memperbesar penerimaan devisa.
2.    memperkenalkan kekayaan. peninggalan seJarah, kekayaan alam seluruh pelosok tanah air.
3.    penyediaan sarana dan prasarana yang didukung oleh partisipasi masyarakat.

Untuk perekembangan pariwisata sejak Pelita I sampai Pelita IV  tergantung kepada politik pemerintah, perasaan ingin tahu, adat ramah tamah, jarak dan waktu. atraksi objek wisata, akomodasi pengangkutan, harga-harga, publisitas dan promosi, dan kesempatan berbelanja. Sedangkan sumber daya alam memegang peranan penting bagi pengembangan pariwisata. Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang diketemukan oleh manusia di dalam lingkungannya yang dapat dipergunakan dengan sesuatu cara untuk keuntungan. Sumber daya yang disediakan oleh alam termasuk air yang dapat menghasilkan sumber energi melalui tenaga hidro elektris dapat menjadi sarana pengangkutan dan dapat menyediakan tempat untuk kegiatan pariwisata.
Pariwisata sebagai upaya pelaksanaan pembangunan terutama penunjang pertumbuhan etonomi yang didukung oleh sumber daya alam yang memadai dan harus dikelola dengan manajemen yang baik. Dalam hal ini perlu diamati tentang pemanfaatan sumber daya alam bagi pengembangan pariwisata yaitu unsur-unsur sumber daya alam apa saja yang terkait dalam rangka pengembangan pariwisata. Bidang pariwisata mempunyai peranan penting dalam perekonomian Nasional dan regional, baik sebagai sumber devisa negara maupun sumber lapangan kerja bagi masyarakat kota dan desa memperkenalkan alam dan nilai budaya bangsa. Pariwisata dalam negeri terus dikembangkan dan diarahkan untuk memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa serta menanamkan jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan Nasional disamping untuk meningkatkan kegiatan ekonomi.
Untuk ini perlu dikembangkan objek-objek pariwisata serta promosi bagi daerah yang sudah menjadi daerah pariwisata dan daerah yang berpotensi untuk pariwisata tapi belum optimal dikembangkan. Hal ini sesuai dengan yang dicanangkan pemerintah bahwa tahun 1991 adalah tahun kunjungan wisata Indonesia, maka dirasakan perlu untuk mengembangkan daerah-daerah pariwisata sehingga bisa diharapkan kunjungan wisatawan ke Indonesia  meningkat dari sebelumnya.

2.1.  PEMBANGUNAN SEKTOR PARIWISATA DI ERA OTONOMI DAERAH
Jumlah perjalanan wisatawan mancanegara (wisman) di Indonesia pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan sebesar 19,1% dibanding tahun 2003. Sedangkan penerimaan devisa mencapai US$ 4,798 miliar, meningkat 18,8% dari penerimaan tahun 2003 sebesar US$ 4,037 miliar. Berdasarkan catatan sementara dari Biro Pusat Statistik, jumlah wisman ke Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 5,007 juta atau mengalami penurunan sebesar 5,90%. Penerimaan devisa diperkirakan mencapai US$ 4,526 miliar atau mengalami penurunan sebesar 5,66% dibanding tahun 2004. Namun demikian angka perjalanan wisata di dalam negeri (pariwisata nusantara) tetap menunjukan pertumbuhan yang berarti. Di tahun 2005 diperkirakan terjadi 206,8 juta perjalanan (trips) dengan pelaku sebanyak 109,9 juta orang dan menghasilkan pengeluaran sebesar Rp 86,6 Triliun.
Keseluruhan angka tersebut di atas, mencerminkan kemampuan pariwisata dalam meningkatkan pendapatan negara, baik dalam bentuk devisa asing maupun perputaran uang di dalam negeri. Permasalahannya, apakah penerimaan devisa dan perputaran uang tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Oleh sebab itu makalah ini disusun untuk memberikan konsep berpikir (paradigma) baru dalam upaya pengembangan kepariwisataan di Indonesia. Selain itu makalah ini juga mencoba menjelaskan kecenderungan (trend) Global yang terjadi dalam perjalanan pariwisata internasional serta dampaknya terhadap perkembangan kepariwisataan Indonesia di era otonomi daerah pada saat ini.
3.   MASALAH  PEMBANGUNAN  SUMBER  DAYA  ALAM  BIDANG KAWASAN KEPARIWISATAAN
    Pada masa lalu pembangunan ekonomi lebih diorientasikan pada kawasan Indonesia bagian barat. Hal ini terlihat lebih berkembangnya pembangunan sarana dan prasarana di kawasan barat Indonesia, dibandingkan dengan yang terdapat di kawasan timur Indonesia. Hal ini juga terlihat dari pembangunan di sektor pariwisata, dimana kawasan Jawa-Bali menjadi kawasan konsentrasi utama pembangunan kepariwisataan. Sementara dilihat dari kecenderungan perubahan pasar global, yang lebih mengutamakan sumber daya alami sebagai destinasi wisata, maka potensi sumber daya alam di kawasan timur Indonesia lebih besar di bandingkan kawasan barat. Kualitas sumber daya alam yang dapat dijadikan daya tarik wisata unggulan di kawasan timur Indonesia, jauh lebih baik dan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Namun demikian tidak secara otomatis kawasan timur Indonesia dapat dikembangkan menjadi kawasan unggulan, karena adanya beberapa masalah mendasar, seperti kelemahan infrastruktur, sumber daya manusia, dan sebagainya.
    Beberapa dampak yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan pembangunan di sektor pariwisata adalah:
a.    Pembangunan pariwisata yang tidak merata, khususnya di kawasan timur Indonesia, sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi kawasan Indonesia timur dari sektor pariwisata masih rendah.
b.    Indonesia hanya bertumpu pada satu pintu gerbang utama, yaitu Bali.
c.    Lemahnya perencanaan pariwisata di kawasan timur Indonesia dan kurang termanfaatkannya potensi pariwisata di kawasan tersebut secara optimal.
d.    Rendahnya fasilitas penunjang pariwisata yang terbangun.
e.    Terbatasnya sarana transportasi, termasuk hubungan jalur transportasi yang terbatas.
Dampak yang ditimbulkan dari akibat ketidakseimbangan pembangunan tersebut di atas, sangat terasa pada saat Indonesia mengalami berbagai tragedi kemanusian di Bali dan Jawa tahun 2002 - 2005. Tragedi ini memberikan pelajaran yang sangat mahal bagi Indonesia, dimana pendekatan pembangunan pariwisata yang berorientasi pada pasar mancanegara saja, menjadi tidak mampu menopang kepariwisataan Indonesia. Kedua, pembangunan pariwisata yang bertumpu dan berfokus hanya pada satu pintu gerbang utama membuktikan banyak kelemahan. Ketiga, perlunya diversifikasi aktivitas masyarakat pada satu destinasi pariwisata, sehingga dapat menjadikan alternatif pendapatan. Ketidakseimbangan pembangunan juga berdampak langsung pada ketidakseimbangan investasi yang ada. Investasi pariwisata di kawasan timur Indonesia, terlihat menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan kawasan barat, karena sarana penunjang bisnis pariwisata skala nasional dan internasional telah tersedia, seperti pelabuhan laut, pelabuhan udara dan lain sebagainya. Para investor lebih memilih kawasan-kawasan yang telah memiliki sarana penunjang, terutama sarana yang mampu menarik pasar untuk berkunjung. Selain pembangunan fasilitas yang tidak seimbang, lemahnya investasi pariwisata di daerah, juga akibat dari lemahnya kebijakan pemerintah daerah di bidang pariwisata. Tidak dapat dipungkiri pula rentannya keamanan di daerah-daerah timur Indonesia, seperti Kabupaten Poso, di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, juga memberikan dampak pada rendahnya investasi pariwisata di kawasan Timur.Ketidakseimbangan pembangunan yang berdampak pada tidak meratanya pembangunan sektor pariwisata di Indonesia, harus dibenahi melalui penciptaan program-program pemerintah yang mendorong dan memfasilitasi terciptanya produk dan usaha pariwisata  lebih besar dikawasan Indonesia timur. Selain itu, belajar dari pengalaman yang diambil dari pembangunan pariwisata yang bertumpu pada satu pintu gerbang,maka sebaiknya pemerintah pusat dan daerah harus mampu mendorong dan mendukung program jangka panjang berupa pengembangan pintu gerbang utama lainnya bagi pariwisata Indonesia.Daerah ini harus strategis baik dilihat dari segi ekonomi, sosial dan politik serta keamanan pengunjung.
Isu strategis pertama dalam masa penerapan otonomi daerah di sektor pariwisata adalah timbulnya persaingan antar daerah, persaingan pariwisata yang bukan mengarah pada peningkatan komplementaritas dan pengkayaan alternatif berwisata. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti:
a. lemahnya pemahaman tentang pariwisata
b. lemahnya kebijakan pariwisata daerah
c. tidak adanya pedoman dari pemerintah pusat maupun provinsi.
Akibatnya pengembangan pariwisata daerah sejak masa otonomi lebih dilihat secara parsial. Artinya banyak daerah mengembangkan pariwisatanya tanpa melihat, menghubungkan dan bahkan menggabungkan dengan pengembangan daerah tetangganya maupun propinsi/kabupaten/kota terdekat. Bahkan cenderung meningkatkan persaingan antar wilayah, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Padahal pengembangan pariwisata seharusnya lintas Provinsi atau lintas Kabupaten/Kota, bahkan tidak tidak lagi mengenal batas karena kemajuan teknologi informasi.
Isu kedua terkait dengan kondisi pengembangan pariwisata Indonesia yang masih bertumpu pada daerah tujuan wisata utama tertentu saja, walaupun daerah-daerah lain diyakini memiliki keragaman potensi kepariwisataan. Hal yang mengemuka dari pemusatan kegiatan pariwisata ini adalah dengan telah terlampauinya daya dukung pengembangan pariwisata di berbagai lokasi, sementara lokasi lainnya tidak berkembang sebagaimana mestinya. Selain itu kekhasan dan keunikan atraksi dan aktivitas wisata yang ditawarkan masih belum menjadi suatu daya tarik bagi kedatangan wisatawan mancanegara, karena produk yang ditawarkan tidak dikemas dengan baik dan menarik seperti yang dilakukan oleh negara-negara pesaing. Salah satu kelemahan produk wisata Indonesia, yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan negaranegara tetangga adalah kurangnya diversifikasi produk dan kualitas pelayanan wisata Indonesia. Para pelaku kepariwisataan Indonesia kurang memberikan perhatian yang cukup untuk mengembangkan produkproduk baru yang lebih kompetitif dan sesuai dengan selera pasar.
Isu ketiga berhubungan dengan situasi dan kondisi daerah yang berbeda baik dari potensi wisata alam, ekonomi, adat budaya, mata pencaharian, kependudukan dan lain sebagainya yang menuntut pola pengembangan yang berbeda pula, baik dari segi cara atau metode, prioritas, maupun penyiapannya. Proses penentuan pola pengembangan ini membutuhkan peran aktif dari semua pihak, agar sifatnya integratif, komprehensif dan sinergis.
Isu keempat dapat dilihat dari banyaknya daerah tujuan wisata yang sangat potensial di Indonesia apabila dilihat dari sisi daya tarik alam dan budaya yang dimilikinya. Namun sayangnya belum bisa dijual atau mampu bersaing dengan daerahdaerah tujuan wisata baik di kawasan regional maupun internasional. Hal tersebut semata-mata karena daya tarik yang tersedia belum dikemas secara profesional, rendahnya mutu pelayanan yang diberikan, interpretasi budaya atau alam yang belum memadai, atau karena belum dibangunnya citra (image) yang membuat wisatawan tertarik untuk datang mengunjungi dan lain sebagainya. Memperbanyak variasi produk baru berbasis sumber daya alam, dengan prinsip pelestarian lingkungan dan partisipasi masyarakat, merupakan strategi yang ditempuh untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan daerah dan persaingan di tingkat regional. Selain kualitas kemasan dan pelayanan, produk pariwisata berbasis alam harus memberikan pengalaman lebih kepada wisatawan. Selanjutnya, pengemasan produk wisata dan pemasarannya, haruslah memanfaatkan teknologi terkini. Produk-produk wisata yang ditawarkan harus sudah berbasis teknologi informasi, sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan sekaligus meningkatkan kemampuan menembus pasar internasional.
Di luar seluruh permasalahan, tantangan dan hambatan yang dimiliki Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan, potensi yang dimiliki sebagai penunjang pembangunan kepariwisataan sangat tinggi. Kekayaan alam dengan keanekaragaman jenis atraksi wisata alam kelas dunia masih kita miliki. Atraksi wisata alam berbasis kekayaan alam tersebut meliputi daya tarik ekowisata, bahari, pulau-pulau kecil serta danau dan gunung tersebar di seluruh wilayah dan siap untuk dikembangkan. Kekayaan budaya yang tinggi dan beranekaragam juga menjadi potensi yang sangat tinggi untuk dilestarikan melalui pembangunan kepariwisataan. Pada dasarnya minat utama wisatawan datang ke suatu destinasi pariwisata lebih disebabkan karena daya tarik wisata budaya dengan kekayaan seperti adat istiadat, peninggalan sejarah dan purbakala, kesenian, monumen, upacaraupacara dan peristiwa budaya lainnya. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan agama yang beragam menjadi potensi yang sangat besar dalam peningkatan kepariwisataan. Hampir tidak ada negara atau daerah di dunia yang memiliki penduduk yang heterogen dalam kepercayaan mereka. Sementara Indonesia sangat berbeda dan dari satu daerah ke daerah lainnya pengembangan pariwisata relijius merupakan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di masa datang.
Dengan mengacu pada penjelasan di atas dapat dikemukakan kekuatan, kelemahan dan peluang pembangunan kepariwisataan Indonesia seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Kekuatan    Kelemahan    Peluang
    Kekayaan budaya
    Kekayaan daya tarik wisata alam
    Keragaman aktivitas wisata yang dapat dilakukan
    Kehidupan masyarakat (living culture) yang khas        Pengemasan daya tarik wisata
    Kualitas pelayanan wisata
    Infrastruktur yang tak terbangun dengan baik
    Kualitas SDM
    Kondisi keamanan        Keramahantamahan penduduk
    Kemajemukan masyarakat
    Jumlah penduduk yang dapat berperan dalam kepariwisataan.
Disamping kondisi tersebut di atas, masih ditemui dilema (paradox) dalam pengembangan industri pariwisata di Indonesia. Sifat paling mendasar dari investasi pada industri pariwisata adalah "High Investment, Not Quick Yield" artinya investasi di bidang pariwisata membutuhkan investasi yang besar dengan tingkat pengembalian yang lama (jangka panjang). Kondisi ini sungguh tidak menarik bagi kebanyakan stakeholders kepariwisataan yang masih memiliki budaya "Instant and Shortcut" dimana mereka lebih menyukai melakukan investasi yang dapat segera memberikan keuntungan. Sehingga para investor tidak tertarik menanamkan modalnya dalam mengembangkan usaha pariwisata. Dalam konteks ini diperlukan integrasi usaha pariwisata (tourism business integration) yang merupakan sinergi pelaku kepariwisataan secara horisontal maupun vertikal dan memberikan keuntungan atau manfaat bagi masingmasing pihak. Oleh karenanya diperlukan bentuk-bentuk insentif yang mampu merangsang timbulnya investasi di bidang kepariwisataan dengan menggunakan manajemen partisipatoris dengan melibatkan seluruh stakeholders baik masyarakat, dunia usaha, lembaga keuangan, pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten maupun Kota), serta pemerintah pusat. Sesuai dengan Rencana Strategis Pembangunan
    Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional tahun 2005 – 2009, maka kebijakan dalam pembangunan kepariwisataan nasional diarahkan untuk :
a.    peningkatkan daya saing destinasi, produk dan usaha pariwisata nasional;
b.    peningkatan pangsa pasar pariwisata melalui pemasaran terpadu di dalam maupun di luar negeri;
c.    peningkatan kualitas, pelayanan dan informasi wisata;
d.    pengembangan incentive system usaha dan investasi di bidang pariwisata;
e.    Pengembangan infrastruktur pendukung pariwisata;
f.    Pengembangan SDM (standarisasi, akreditasi dan sertifikasi kompetensi)
g.    Sinergi multi-stakeholders dalam desain program kepariwisataan
Untuk menanggulangi berbagai permasalahan dan potensi yang telah disebutkan di atas dengan tetap mengacu pada arah kebijakan pembangunan kepariwisataan yang telah disebutkan, perlu dilakukan serangkaian tindakan yang berbasis pada strategi :
a. kebijakan fiscal (Fiscal Policy) dengan jalan memberikan berbagai kebijakan fiskal bagi pengembangan kepariwisataan di berbagai daerah khususnya di kawasan timur Indonesia, seperti tax holiday, pendukungan permodalan, bunga pinjaman yang kompetitif dan sebagainya.
b. kebijakan Investasi (Investment Policy) melalui penerapan peraturan perundangan baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah yang kondusif terhadap pembangunan usaha pariwisata baru maupun pengembangan usaha yang telah ada.
c. Pengembangan Infrastruktur dengan memperbesar aksesibilitas menuju dan dalam destinasi pariwisata melalui pembangunan serta perluasan jaringan jalan, bandara, pelabuhan laut, jaringan telekomunikasi, penyediaan listrik dan air bersih. Ketersediaan infrstruktur yang memadai akan meningkatkan daya saing serta daya tarik dalam penyediaan fasilitas kepariwisataan di suatu daerah tertentu.
d. Pengembangan SDM melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal guna mengembangkan kompetensi masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa kepariwisataan serta pelayanan bagi wisatawan baik mancanegara maupun nusantara.
e. Koordinasi Lintas Sektor mengembangkan kemitraan antara seluruh stakeholders pembangunan kepariwisataan melalui upaya koordinasi, sinkronisasi dan konsolidasi yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, asosiasi/usaha pariwisata,DPR/DPRD, maupun pemerintah.
Seluruh kondisi tersebut di atas memerlukan pendekatan yang ditujukan untuk meningkatkan keunggulan daya saing (competitive advantage) yang dimiliki Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan. Michael E. Porter (2004) menyebutkan bahwa competitive advantage membutuhkan faktor-faktor pembangun seperti :
a. Cost Advantages
    Keunggulan atas biaya yang harus dikeluarkan dalam penyediaan produk dan pelayanan wisata merupakan faktor penting dalam membangun keunggulan kompetitif destinasi pariwisata. Di dalamnya bergabung berbagai faktor yang mampu mengembangkan kinerja destinasi seperti perencanaan (desain); pengembangan produk wisata; pemasaran; pelayanan; serta harga. Dalam konteks pemerintahan, keunggulan biaya dapat pula dibantu dengan harmonisasi regulasi antara pemerintah pusat dan daerah yang terkait dengan insentif keuangan, penetapan tarif serta skema perpajakan atau retribusi.
b. Differentiation
    Membedakan destinasi dan produk pariwisata merupakan fokus dalam mengembangkan keunggulan komparatif kepariwisataan. Suatu destinasi pariwisata harus mampu menjadi berbeda dengan pesaingnya ketika menghasilkan aksesibilitas, atraksi dan amenitas yang unik dan berharga bagi wisatawan yang datang. Diferensiasi tidak melulu dilakukan dengan hanya menawarkan harga produk dan pelayanan yang lebih rendah.
c. Business Linkages
    Mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan merupakan suatu proses integratif dalam membangun keunggulan kompetitif kepariwisataan. Hubungan yang dibangun bersifat vertikal dan horisontal serta saling terintegrasi satu sama lainnya.
d. Services
    Pelayanan yang konsisten semenjak wisatawan tiba di pintu masuk (entry point), pada saat berada di destinasi pariwisata sampai dengan kepulangannya. Seluruh pihak yang terkait seperti adminsitratur bandara dan pelabuhan, petugas imigrasi, bea cukai dan karantina, supir taksi dan lainnya seyogyanya mampu memberikan pelayanan prima dan baku sehingga meninggalkan kesan yang dalam bagi wisatawan.
e. Infrastructures
    Kondisi prasarana dan sarana pendukung kepariwisataan yang terpelihara dan beroperasi dengan baik juga merupakan faktor penting pembangun keunggulan kompetitif suatu destinasi pariwisata.
f. Technology
    Penggunaan teknologi yang tepat dan mudah digunakan akan mampu memberikan dukungan bagi pelayanan kepada wisatawan yang datang selain mampu juga mendukung proses pengambilan keputusan dalam pengembangan, pengelolaan dan pemasaran destinasi pariwisata.
g. Human Resources
    Kompetensi sumberdaya manusia pelayanan dan pembinaan kepariwisataan menjadi kunci penting pelaksanaan berbagai faktor pembentuk keunggulan kompetitif tersebut di atas. Berbagai faktor pembentuk keunggulan kompetitif tersebut menggambarkan kompleksitas pengembangan kepariwisataan yang bersifat multisektor dan multidisipliner bagi di tingkat pusat, provinsi maupun lokal. Namun demikian untuk melaksanakannya secara berhasil diperlukan 3 elemen penting yaitu a) Visi; b) Kepemimpinan (Leadership); dan c) Komitmen. Ketiga elemen ini harus pula ditunjukkan secara nyata dalam proses pengembangan, pengelolaan dan pemasaran kepariwisataan. Khususnya ditingkat pusat secara kongkrit, implementasi dari ketiga elemen tersebut di atas telah dibuktikan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.
4.  UPAYA PEMECAHAN MASALAH  PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM BIDANG KAWASAN KEPARIWISATAAN
    Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi pembangunan ekonomi di suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Namun demikian pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas bagi suatu negara.
Pembangunan kepariwisataan pada dasarnya ditujukan untuk :
a. Persatuan dan Kesatuan Bangsa
    Pariwisata mampu memberikan perasaaan bangga dan cinta terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui kegiatan perjalanan wisata yang dilakukan oleh penduduknya ke seluruh penjuru negeri. Sehingga dengan banyaknya warganegara yang melakukan kunjungan wisata di wilayah-wilayah selain tempat tinggalnya akan timbul rasa persaudaraan dan pengertian terhadap sistem dan filosofi kehidupan masyarakat yang dikunjungi sehingga akan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan nasional.
b. Penghapusan Kemiskinan (Poverty Alleviation)
    Pembangunan pariwisata seharusnya mampu memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk berusaha dan bekerja. Kunjungan wisatawan ke suatu daerah seharusnya memberika manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian pariwisata akan mampu memberi kemampuan besar dalam penghapusan kemiskinan di berbagai daerah yang miskin potensi ekonomi lain selain potensi alam dan budaya bagi kepentingan pariwisata.
c. Pembangunan Berkesinambungan (Sustainable Development)
    Dengan sifat kegiatan pariwisata yang menawarkan keindahan alam, kekayaan budaya dan keramahtamahan pelayanan, sedikit sekali sumberdaya yang habis digunakan untuk menyokong kegiatan ini. Bahkan berdasarkan berbagai contoh pengelolaan kepariwisataan yang baik, kondisi lingkungan alam dan masyarakat di suatu destinasi wisata mengalami peningkatan yang berarti sebagai akibat dari pengembangan keparwiwisataan di daerahnya.
d. Pelestarian Budaya (Culture Preservation)
    Pembangunan kepariwisataan seharusnya mampu kontribusi nyata dalam upaya-upaya pelestarian budaya suatu negara atau daerah yang meliputi perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya negara atau daerah. UNESCO dan UN-WTO dalam resolusi bersama mereka di tahun 2002 telah menyatakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan alat utama pelestarian kebudayaan. Dalam konteks tersebut, sudah selayaknya bagi Indonesia untuk menjadikan pembangunan kepariwisataan sebagai pendorong pelestarian kebudayaan di
berbagai daerah.
e. Pemenuhan Kebutuhan Hidup dan Hak Azasi Manusia
    Pariwisata pada masa kini telah menjadi kebutuhan dasar kehidupan masyarakat modern. Pada beberapa kelompok masyarakat tertentu kegiatan melakukan perjalanan wisata bahkan telah dikaitkan dengan hak azasi manusia khususnya melalui pemberian waktu libur yang lebih panjang dan skema paid holidays.
f. Peningkatan Ekonomi dan Industri
    Pengelolaan kepariwisataan yang baik dan berkelanjutan seharusnya mampu memberikan kesempatan bagi tumbuhnya ekonomi di suatu destinasi pariwisata. Penggunaan bahan dan produk lokal dalam proses pelayanan di bidang pariwisata akan juga memberikan kesempatan kepada industri lokal untuk berperan dalam penyediaan barang dan jasa. Syarat utama dari hal tersebut di atas adalah kemampuan usaha pariwisata setempat dalam memberikan pelayanan berkelas dunia dengan menggunakan bahan dan produk lokal yang berkualitas.
g. Pengembangan Teknologi
    Dengan semakin kompleks dan tingginya tingkat persaingan dalam mendatangkan wisatawan ke suatu destinasi, kebutuhan akan teknologi tinggi khususnya teknologi industri akan mendorong destinasi pariwisata mengembangkan kemampuan penerapan teknologi terkini mereka. Pada daerah-daerah tersebut akan terjadi pengembangan teknologi maju dan tepat guna yang akan mampu memberikan dukungan bagi kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian pembangunan kepariwisataan akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintahan di berbagai daerah yang lebih luas dan bersifat fundamental. Kepariwisataan akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan suatu daerah dan terintegrasi dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
4.1. Partisipasi Masyarakat Setempat
    Partisipasi masyarakat akan timbul, ketika alam/budaya itu memberikan manfaat langsung/tidak langsung bagi masyarakat. Agar bisa memberikan manfaat maka alam/ budaya itu harus dikelola dan dijaga. Begitulah hubungan timbal balik antara atraksi wisata-pengelolaanmanfaat yang diperoleh dari ekowisata dan partisipasi. Partisipasi masyarakat penting bagi suksesnya ekowisata di suatu daerah tujuan wisata. Hal ini bisa dimulai dari diri kita sendiri. Jangan terlalu berharap pemerintah akan melakukan semua hal karena kita juga memiliki peranan yang sama dalam melakukan pembangunan di daerah kita. Partisipasi dalam kegiatan pariwisata akan memberikan manfaat langsung bagi kita, baik untuk pelestarian alam dan ekonomi. Bila kita yang menjaga alam tetap lestari dan bersih, maka kita sendiri yang akan menikmati kelestarian alam tersebut, bila kita berperan dalam kegiatan pariwisata, maka kita juga yang akan mendapatkan manfaatnya secara ekonomi.
6. REKOMENDASI
Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki kawasan Indonesia menjadikan Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan baik dalam sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, industri dan pariwisata. Selain kekayaan sumber daya alam yang melimpah, unsur keindahan alam, keunikan budaya, peninggalan sejarah, keanekaragaman flora dan fauna serta keramahan penduduk lokal menjadi nilai tambah bagi pengembangan sektor periwisata di Indonesia.
Sektor pariwisata pada saat ini merupakan penerimaan negara yang paling diandalkan setelah penerimaan negara sektor minyak bumi dan gas alam merosot. Sehubungan dengan hal ini upaya peningkatan pembangunan sektor pariwisata sangat diperlukan. Maka diperlukan berbagai pernanan koordinasi Lintas Sektor dalam mengembangkan kemitraan antara seluruh stakeholders pembangunan kepariwisataan melalui upaya koordinasi, sinkronisasi dan konsolidasi yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat, asosiasi/usaha pariwisata,DPR/DPRD, maupun pemerintah.


maka penulis menyarankan beberapa hal kepada stakeholders :
1.    Untuk melaksanakan pembangunan bidang pariwisata harus melibatkan berbagai unsur masyarakat agar sesuai dengan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional.
2.    Dalam mengembangkan pariwisata maka dinas kepariwisataan lebih duluan menaruh perhatian dan melakukan pekerjaan secara nyata dalam membangun daerah kunjungan wisatawan.
3.    Dalam hal penerapan kebijakan bidang pariwisata maka dalam hal ini agar tidak melakukan tindak pidana korupsi, kolusi dan neopotisme dilikungan kepariwisata.
4.    Dan diatas semua hal itu diharapkan kepada seluruh stakeholders yang terlibat untuk menaati seluruh peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsinya dan serta memiliki pola perilaku yang baik dan benar.