PERANAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH DALAM
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
( Pemerintahan Yang Bersih Bebas
Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme)
Dosen
Pembina : Dra. Elisabeth Sitepu, M.Si
Mata
Kuliah :Etika Pemerintahan
Disusun
Oleh Kelompok I
Nama-Nama Kelompok :
1.
Berkat
Gowasa (Ketua)
2.
Fahami
Gowasa (wakil ketua)
3.
Supardi
Bali
4.
Terulin
Singarimbun
5.
Yustina
Dinar Purba
6.
Raliman
Damanik
7.
Khairunnisa
Hoesein
8. Yurita
Lajira
9. Yurmina
Luaha
10. Yurliana
Gaho
11.
Anwar Amajihono
Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Program
Studi Ilmu Pemerintahan
Universitas
Darma Agung
Medan
T.A
2012/2013
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita sehingga kita masih
diberi nafas kehidupan dan kenikamatan dunia serta kita dapat berkumpul
ditempat ini kembali dengan sehat walaifiat. Kami berterimakasih atas bantuan
dan arahan dari dosen Pembina Drs. Elisabeth Sitepu, M.Si yang telah meluangkan
waktunya kepada kami
dalam penyelesaian tugas ini. Kami
juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa sekalian
yang telah memberikan tenaga, buah pikiran serta berbagai sumber penunjang
tugas makalah dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
Harapan kami supaya tugas ini dapat memberikan kontribusi (masukan) dalam pemahaman masyarakat banyak dan juga
mahasiswa serta kepada aparatur negara pada khususnya agar mind set (pola pikir) mengarah pada Penciptaan Otonomi Daerah yang bebas dari KKN yang nantinya bisa diterapkan dalam
penyelenggaraan negara dan sebagai penambah khazanah ilmu pengetahuan dalam
civitas akademika dalam diri mahasiswa.
Kami menyusun makalah ini dengan judul “ Peranan Aparatur Negara
Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ” dimana prinsip ini menawarkan sebuah solusi
kepada pemerintah agar dalam penyelenggaraan pemerintahan selalu mengendepankan
kepentingan masyarakat
banyak dengan memberikan
pelayanan public (public sevice) yang
prima tanpa memandang golongan, ras, suku, agama, etnis dll serta menghilangkan
budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan
Neopitisme) karena dapat menjatuhkan atau menghancurkan suatu bangsa dan
Negara. Seperti kata Niccolo Machiavelli mengatakan “menjalankan
sejumlah korupsi dalam sebuah Negara
maka akan menghancurkan Negara itu sendiri”.
Medan, 26 Juni 2013
Hormat
Kami
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar
....................................................................................................................................................i
Daftar
Isi
................................................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
............................................................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah......................................................................................................................................
2
1.3
Tujuan Penulisan........................................................................................................................................
2
1.4 Manfaat
Penulisan.....................................................................................................................................
2
BAB
II LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian Aparatur Negara ................................................................................................................
4
2.2 Pengertian
Otonomi Derah ...................................................................................................................
5
2.3 Pengertian
Korupsi, Kolusi, Nepotisme ………………………………………………………...……… 6
BAB
III PEMBAHASAN
3.1 Etika Pemerintahan Di
Indonesia……………………………………………………………………….10
3.2 Desentralisasi Pemerintahan……………………………………………………………………………..11
3.3 Gaya
Kepemimpinan Aparatur Pemerintah …………………………………………………………12
3.4 Kinerja Aparatur
Pemerintah……………………………………………………………………………..13
3.5 Pelaksanaan Otonomi Daerah……………………………………………………………………………..14
3.6 Kewajiban Dan Hak Pegawai Negeri Sipil
……………………………………………………………21
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
...............................................................................................................................................
22
4.2
Saran.............................................................................................................................................................
23
Daftar Pustaka ..............................................................................................................................................
24
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan
dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya masyarakat mengharapkan
adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan
masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan
publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat perhatian dari
pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum
menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat
tersebut. Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai
penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk
didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi
daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan
kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak
pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di
daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan
melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan
tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
Berkaitan dengan
pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis
dan akuntabel, merupakan isu yang sangat penting dan strategis. Hal tersebut
sesungguhnya merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang semestinya
memungkinkan:
(1)
Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat;
(2)
Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
(3)
Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan daerah;
(4)
Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Keempat faktor tersebut
hanya dapat berlangsung dalam suatu pemerintahan yang demokratis dan akuntabel.
Pelaksanaan otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang demokratis dan akuntabel, pada hakekatnya otonomi daerah tersebut
telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang
demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek tataran proses maupun aspek
tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis
secara proses, apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka
ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam semua pembuatan maupun pengkritisan
terhadap sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Penyelenggaraan
pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara substansial apabila
kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah mencerminkan
aspirasi masyarakat.
Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel, apabila ia
mampu menjalankan prosedur-prosedur yang telah ada dan dapat
dipertanggungjawabkannya kepada publik dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan
dengan aspirasi masyarakat maupun peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, demikian pula dengan tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan
kebijakan daerah antara kepala daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di
berbagai daerah.
Dengan demikian tidak ada kejelasan mengenai produk hukum daerah, yang
dapat mendukung proses mengalirnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses
pembuatan kebijakan daerah dan atau pengkritisan atas suatu pelaksanaan setiap
kebijakan daerah. Dengan perkataan lain tidak ada kejelasan mengenai pranata
hukum daerah yang mengatur mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat guna
mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang bersih bebas dari KKN. Perlu disadari pula bahwa prinsip dasar pelaksanaan
otonomi daerah adalah kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan pembangunan. Dengan demikian, untuk menghadapi berbagai persoalan di
daerah, terutama terkait kemiskinan dan pengangguran, peran dan tanggung jawab
aparatur pemerintah daerah akan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah tersebut di tingkat lokal. Di dalam kewenangan otonomi tersebut, melekat
pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan
pengentasan kemiskinan dan pengangguran di daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdarkan uraian
diatas, maka dalam penulisan makalah ini kami merumuskan masalah dan memberikan batasan pada
masalah Peranan Apatur Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah .
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tugas makalah ini adalah : Dalam pelaksanaan otonomi daerah telah
memberikan peluang pembangunan di daerah namun juga terjadi penyimpangan dalam
pelaksanan peraturan perundang-undangan seperti tindakan korupsi, kolusi dan
nepotisme.
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang penulis harapkan dapat
dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a.
Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh kemampuan aparatur Pemerintah Daerah terhadap
pelaksanaan otonomi daerah.
b.
Untuk
mengetahui pelaksanaan otonomi daerah.
c.
Untuk
mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui aparatur Pemerintah Daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a.
Pemberian
masukan-masukan yang bermanfaat bagi pelaksanaan otonomi daerah.
b.
Karya tulis
ini di harapkan dapat memperkaya referensi ilmiah di bidang Ilmu Pemerintahan,
sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.
c.
Melatih dan
mengembangkan kemampuan berpikir melalui teori dan konsep sehingga dapat
diterapkan dalam pelaksanaan penyelenggara pemerintahan daerah.
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian
Aparatur Negara
Dalam konteks pemerintahan daerah,
di era otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan,
dan kreativitas dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Daerah. Dalam dunia
yang penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya
aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan
secara akurat, bijaksana, adil dan efektif. Dengan demikian aparatur merupakan
faktor yang dominan bagi berhasilnya penyelenggaraan Pemerintahan di daerah.
1. Pejabat Negara
Yang dikatakan Pejabat Negara adalah mereka yang diangkat atau
duduk memegang jabatan pada Lembaga-
lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara termasuk para Kepala Daerah
Tk. I dan Tk. II serta para Duta Besar serta para Pejabat lainnya yang
ditetapkan dengan Undang-Undang. Sesuai dengan penjelasan pasal 11 UU No. 8
tahun 1974: yang termasuk Pejabat Negara adalah: Presiden dan Wakil Presiden,
Anggota MPR dan DPR, Anggota Pengawas Keuangan, Ketua/Wakil Ketua, Ketua Muda
dan Hakim Mahkamah Agung, Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Para Menteri, Para
Gubernur, Bupati, Walikota Kepala Daerah.
2. Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 (1) UU 8/’74 adalah
mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan diangkat oleh Pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam statu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan
berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang
berlaku, dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pasal 1 UU 8/’74 dijelaskan bahwa Pegawai Negeri itu terdiri dari:
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS),
terbagi lagi menjadi 3 yaitu:
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat, yang dimaksud Pegawai Negeri Sipil Pusat
adalah: Pegawai Negeri Sipil Pusat yang gajinya dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara, instansi
Vertikal di Daerah-daerah dan Kepaniteraan Pengadilan.
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah
Otonom.
3. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa Pegawai Negeri adalah Unsur Aparatur Negara.
Sebagai unsur Aparatur Negara Pegawai Negeri merupakan alat Negara dan sebagai
alat negara Pegawai Negeri diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas Negara
yaitu tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, disamping itu Pegawai Negeri
Sipil adalah pelaksana Peraturan Perundang-undangan, oleh sebab itu wajib
berusaha agar setiap peraturan perundang-undangan ditaati oleh masyarakat, yang
berhubungan dengan itu Pegawai Negeri Sipil berkewajiban untuk memberi contoh
yang baik dalam mentaati dan melaksanakan segala peraturan Perundang-undangan
termasuk didalamnya kebijakan-kebijakan pimpinan atau atasan sepanjang
tidak bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku.
2.2 Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi
daerah berasal dari Bahasa Yunani yaitu autos
yang berarti sendiri dan nomos yang
berarti peraturan. Jadi, otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang
sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri.
Pengertian
otonomi menurut UUD 1945 adalah hak dan wewenang daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Otonomi
menurut UUD 1945 tersebut adalah otonomi yang berkedaulatan rakyat dengan
menerapkan pemerintahan daerah yang bersendi atas dasar permusyawaratan rakyat
dan daerah yang dimaksud dalam UUD 1945 itu adalah daerah provinsi dan daerah
yang lebih kecil dari provinsi dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan undang-undang.
Pengertian
otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa : “Otonomi Daerah
adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan
pengertian dari daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerinatahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.3
Pengertian Korupsi, Kolusi, Nepotisme
Korupsi adalah setiap perbuatan yang dilakukan siapa pun juga
untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan dan
perekonomian negara. Selain dari itu, korupsi diartikan pula sebagai setiap
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah keuangan
negara ataupun suatu badan yang menerima bantan dari keuangan negara atau
daerah yang dengan mempergunakan kesempatan (kewenangan/kekuasaan) yang
diberikan padanya oleh jabatan (langsung/tidak langsung) membawa keuntungan
materil baginya.
Kolusi adalah kerja sama seseorang atau sekelompok orang yang
memangku jabatan atau memiliki kewenangan tertentu dalam pemerintahan dengan
masyarakat atau pejabat yang memerlukan bantuan saling memberikan jasa ( jasa,
komisi, atau materi lainnya) yang menimbulkan ketidakadilan dalam percaturan
sumber daya manusia, karena mestinya memperoleh hasil pembangunan yang lebih
baik tetapi tidak diterima secara optimal, misalnya karena adanya pejabat yang
memperoleh komisi dari pegusaha, sehingga pada suatu ketika nanti apabila pada
penyerahan barang-barang pembelian atau pembangunan tertentu, ternyata tidak
memenuhi syarat, maka para pemimpin pemerintahan tidak lagi berkuasa
memprotesnya.
Nepotisme adalah pandangan bulu dalam memilih orang, baik karena
hubungan saudara, agama, suku, almamater kendati yang ditolong (ditunjuk)
relatif lebih buruk dari pihak kandidat lainnya. Jadinya dalam hal ini, uang
dan barang tidak hilang dari negara, tetapi negara mengalami kerugian karena
pemberian kemenangan tender dan pemilihan pihak kerjasama adalah orang yang
tidak memiliki kualifikasi terbaik dan tender di depan umum adalah sebuah
kebohongan publik.
BAB III
PEMBAHASANA
Desentralisasi
merupakan salah satu penanda yang penting bagi dimulainya upaya reformasi di
Indonesia. Inisiatif desentralisasi lahir dari semangat mengembangkan
prinsip-prinsip demokrasi lokal yang diabaikan selama orde baru dengan
dikeluarkan Otonomi Daerah adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik. Bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota meliputi: pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan
perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja.
Dewasa ini korupsi adalah masalah serius dibanyak-banyak negara-negara Asia
begitu seriusnya, perkembangan korupsi telah mengancam stablistas dan keamanan
masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai
demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan
penegakan hukum.
Di daerah-daerah bersifat otonom atau bersifat
administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan
undang-undang.” Di daerah-daerah bersifat otonom maka adanya Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Oleh karena itu, didaerah pun, akan bersendi atas dasar
permusyawaratan. Dengan demikian, Undang Undang Dasar 1945 merupakan landasan
yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam
perkembangan sejarah Negara Republik Indonesia, untuk melaksanakan pasal 18
Undang Undang Dasar 1945 tersebut, telah dikeluarkan undang-undang yang
mengatur Pemerintahan Daerah, dan sudah beberapa kali diadakan perubahan dan
penyempurnaan sehingga yang berlaku hingga pada saat ini adalah Undang-undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan otonomi daerah ini
memberikan kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Kota didasarkan pada
asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab. Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antar level
pemerintahan dalam lingkup suatu negara, yang diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan pemerataan dan keadilan.
Melihat
berbagai uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan Otonomi Daerah
adalah memungkinkan daerah meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan
untuk kemajuan daerah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan publik, serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan
politik dan kesatuan bangsa.
Inti dari
pelaksanaan Otonomi Daerah adalah terdapatnya keleluasan Pemerintah Daerah
(discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar
prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka
mengembangkan dan memajukan daerahnya. Otonomi Daerah tidak hanya berarti
melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong aktivitas
masyarakat untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi
lingkungannya. Pelaksanaan Otonomi Daerah kelihatannya memang sederhana. Namun
sebenarnya mengandung pengertian yang cukup rumit, karena didalamnya tersimpul
makna pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat daerah, pemberdayaan
masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat yang berkeadilan.
Menurut Josep Riwu Kaho, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
Otonomi Daerah, salah satunya manusia pelaksananya harus baik.
Memang ada
banyak hal yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah, namun masalah sumber
daya manusia merupakan masalah yang sangat mendasar karena dengan ditetapkannya
status sebagai daerah otonom yang luas disertai kadar desentralisasi yang tinggi,
memungkinkan setiap daerah mengembangkan kreasi dan inovasi yang tinggi dalam
mengurus rumah tangganya. Dalam format seperti ini, kebutuhan tersedianya
sumber daya manusia yang berkualitas menjadi dasar pertimbangan utama yang
memerlukan langkah-langkah prioritas yang terprogram secara sistematik.
Faktor
manusia merupakan unsur yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Hal ini disadari karena manusialah yang menjalankan mekanisme pemerintahan.
Diantara beberapa sumber daya manusia yang secara potensial sangat berpengaruh
terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah adalah aparatur pemerintah daerah. Unsur
ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan juga menentukan arah
ke mana suatu daerah akan di bawa. Dimana aparatur Pemerintah Daerah adalah
pelaksana kebijakan publik yang mengemban tugas dan fungsi-fungsi pelayanan,
perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga diperlukan persyaratan
kualitas yang memadai dari unsur sumber daya manusia ini. Secara teoritik,
kemampuan pemerintah, antara lain terbentuk melalui penerapan azas
desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi,
kepada tingkat bawahnya secara hirarkis (Ryaas Rasyid, 1997). Melalui pelimpahan wewenang itulah
pemerintah pada tingkat bawah diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif dan
mengembangkan kreativitas, mencari solusi terbaik atas setiap masalah yang
dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Namun
demikian, kenyataannya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah kapasitas aparatur
pemerintah masih sangat terbatas dimana bukan saja kuantitasnya yang
memprihatinkan tetapi juga kualitas dari produk yang dihasilkan masih belum
bisa memenuhi harapan semua pihak, termasuk yang diakui sebagian aparatur
Pemerintah sendiri. Apalagi ada predikat tambahan yaitu “termasuk peringkat
atas sebagai negara korup di dunia”.
Kondisi
aparatur pemerintah beberapa waktu yang lalu pernah diamati oleh sebuah lembaga
yang hasilnya cukup memprihatinkan. Ketika jam kerja, banyak dijumpai aparatur
yang hanya baca koran, hanya berbincang-bincang, dan bahkan tidak berada
ditempat kerjanya, sehingga kebanyakan aparatur tidak mengetahui tugas-tugas
rutinnya. Selain itu pendidikan formal aparatur pemerintahan kesempatan
mengikuti pelatihan atau program pemerintah sangat terbatas, keterbatasan ini
menimbulkan perbedaan persepsi dalam menafsirkan dan memahami setiap tugas dan
tanggung jawab yang diberikan kepada setiap aparatur. Apalagi dengan adanya
kebijakan otonomi daerah ini yang memerlukan kemampuan setiap aparatur untuk mengemban
tugas sebagai aparatur daerah otonom, jika kondisi aparatur seperti kondisi ini
maka menghambat percepatan pelaksanaan otonomi daerah karena sebagian
diantaranya merasa takut akan kehilangan kekuasaan akibat kurangnaya pemahaman
tentang otonomi daerah dan sebaliknya sebagian lagi kebablasan dalam
menerapkan otonomi daerah.
3.1 Etika Pemerintahan Di Indonesia
Kejahatan kerah
putih tidak menakutkan, karena pelakunya berdasi, berpangkat, bergelar, dan
naik turun mobil mewah, teduh indah dengan sederetan para pegawal dan para
pembela. Namun demikian sejak turunnya Jenderal Soeharto dari kursi kekuasaan
yang selama 32 tahun telah berkuasa, para demonstrasi yang sebagian besar
terdiri dari perwakilan mahasiswa se Indonesia (terutama dari pulau jawa)
istilah dan spanduk yang paling banyak diangkat adalah pemberatasan KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Karena pemerintahan dalam arti luas juga berarti legislatif,
yudikatif, inspektif, konsultif dan konstitutif selain dari eksekutif sendiri,
maka tidak menutup kemungkinan korupsi, kolusi dan nepotisme ini melibatkan
pihak tersebut di atas. Misalnya terjadinya penyogokan anggota legislatif untuk
meloloskan suatu undang-undang atau peraturan daerah, terjadinya penyogokan
pada pejabat yudikatif untuk meloloskan suatu perkara.
Ada beberapa patologi yang merupakan duka Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini, dan hal ini harus disembuhkan yaitu antara lain sebagai berikut
:
Loyalitas kepada atasan, maksudnya seorang pejabat yang baru saja
dilantik maka kita tidak mengetahui apakah dia akan bekerja dengan baik atau
buruk, apakah dia akan bekerja dengan benar atau salah, maka biarlah kita
memberikan penilaian setelah masa jabatannya berakhir, tetapi di Indonesia,
begitu seseorang baru dilantik para staf lalu berbondong-bondong memperlihatkan
kedekatan. Jadi seharusnya loyalitas para staf adalah kepada tugas bukan kepada
atasan yang tidak menutup kemungkinan untuk keliru sebagai manusia.
Budaya feodalistik, maksudnya ketika bangsa indonesia dijajah
Belanda kita melihat mereka berkulit putih berdampingan dengan kerajaan maka
derajat mereka ditinggikan dan disebut pula dengan berdarah biru, setelah
indonesia merdeka maka pegawai negari dianggap pemerintah menggantikan, oleh
karena itu untuk menjadi pegawai orang berkenan menyogok sebanyak apa pun. Oleh
karena itu bagi pemegang jabatan sudah tentu dianggap ningrat, mereka terlalu
dihormati, masyarakat menunduk bila lewat di depan pejabat pemerintah karena
dianggap raja yang berkuasa dan harus dihormati.
Pelayanan lemah, maksudnya pelayanan adalah sama apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat dengan apa yang diberikan pemerintah, kalau
pemerintah mendirikan pasar disuatu tempat yang sulit dikunjungi pembeli dan
penjual dan harga retribusi yang tidak sebanding maka berarti pemerintah tidak
berbangga bahwa telah melakukan pelayanan karena masyarakat tidak butuh apa
yang diberikan oleh pemerintah.
Mutu pegawai rendah, maksudnya setiap ada penerimaan pegawai
selalu yang diterima anak pejabat atau anak mereka yang mempunyai uang maka
banyak sekali kepala bagian kepegawaian yang kaya raya, resikonya pegawai
negeri yang diterima tidak lagi memperhatikan mutu mulai dari tingkat
kecerdasan, moral sampai pada ketrampilan kerja, dengan demikian prestasi sudah
dilupakan, bahkan pemberian penghargaan dikantor-kantor hanya berdasarkan
selera atasan.
3.2 Desentralisasi
Pemerintahan
Bagaimanapun kecilnya suatu
negara, negara tersebut tetap akan membagi-bagi pemerintahan menjadi sistem
yang lebih kecil (pemerintahan daerah) untuk memudahkan pelimpahan tugas dan
wewenang, namun demikian pemerintahan pusat juga merasa curiga terhadap
timbulnya separatisme dari hasil pemberian otonomi daerah ini. Desentralisasi
pemerintahan yang pelaksanaanya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada
daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkinkan daerah-daerah tersebut
meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemmerintah dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian daerah perlu
diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan
rumah tangganya, serta sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti pajak-pajak
daerah, retribusi dan pendapatan lain yang sah.
Berikut ini ada
berbagai kebaikan diadakannya desentralisasi pemerintahan, yaitu sebagai
berikut (Inu kencana 2011:58) :
1. Meringankan
beban, karena aparat pemerintah pusat tidak perlu lagi jauh-jauh ke daerah
dimana aparat derah sudah difungsikan dengan baik.
2. Generalistik
berkembang, karena seluruh lapisan masyarakat dengan segala macam kemampuannya
dikembangkan.
3. Semangat
kerja ada karena setiap individu terpakai dan diakui keberadaannya.
4. Siap pakai,
karena tenaga-tenaga yang akan dipakai sudah berada didaerahnya masing-masing.
Jadi dalam sistem kepegawaian tidak diperlukan lagi pemindahan status
kepegawaian.
5. Efisiensi,
karena dalam penghematan waktu pemerintah tidak terlalu lama mengisi formasi
yang kosong.
6. Manfaat yang
diperoleh besar, karena batin masyarakat terpenuhi melalui pendemokrasian
didaerah ini.
7. Resiko
tinggi, karena masalah-masalah yang timbul didaerah bukan hanya dipikirkan dan
dipecahkan oleh aparat pusat, tetapi juga dipikirkan penanggulangannya oleh masyarakat
daerah.
8. Tepat untuk
penduduk yang beraneka ragam
9. Memudahkan
pekerjaan karena pekerjaan dapat dibagi-bagi antara pusat dan daerah dan antara
daerah dengan daerah lain.
10. Unsur
individu menonjol pengaruhnya, karena setiap setiap individu yang memiliki keahlian
di daerahnya, akan segera terlihat.
11. Menciptakan
administrasi yang relatif lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif karena dalam
rangka kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut, muncul kreasi, keinginan untuk
maju, berkembang, serta luwes dalam menyelesaikan permasalahan kedaerahan.
12. Kesewenangan
berkurang, karena pemerintah pusat telah memberikan otonomi kepada daerah untuk
mengatur rumah tangganya sendiri, maka ketergantungan daerah kepada pusat
berkurang .
Indonesia memang
boleh berbangga telah menerapkan sistem di mana merupakan alat untuk memberikan
pelayanan publik yang baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik
yang lebih demokratis serta tata kelola daerah menjadi tanggungjawab daerah
sendiri atau kita kenal dengan istilah desentralisasi. Hal tersebut kemudian
mengacu pada dua aspek yang menjadi tujuan, yakni dibidang ekonomi dan politik
yang mengedepankan pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat daerah seperti yang
termuat dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
3.3 PEMIMPIN SEPERTI APA
YANG KITA IKUTI
Saat pemimpin
tersebut memutuskan (baik secara sadar atau tidak) untuk mengikuti kepemimpinan
nya, keputusan itu terutama karena satu atau dua hal berikut:karakter
pemimpinnya atau kemampuannya. Seorang pemimpin yang luar biasa, harus mampu
meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya.
Dia menafkahkan lebih banyak pemikiran dan segenap kemampuannya. Dia bekerja
lebih keras dan berpikir lebih kuat, lebih lama, dan lebih mendalam dibanding
orang yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani,
selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang
dipimpinnya.
Tentu ada
banyak pertimbangan, untuk mengetahui macam-macam karakter pemimpin yang membuat
orang lain mengikuti kepemimpinan. Ada beberapa hal yang dimiliki seorang
pemimpin adalah :
a.
Gaya kepemimpinan analitis
(Analytical). Dalam gaya kepemimpinan tipe ini, biasanya
pembuatan keputusan didasarkan pada proses analisis, terutama analisis
logika pada setiap informasi yang diperolehnya. Gaya ini berorientasi pada
hasil dan menekankan pada rencana-rencana rinci serta berdimensi jangka
panjang. Kepemimpinan model ini sangat mengutamakan logika dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan yang masuk akal serta kuantitatif.
b.
Gaya kemimpinan asertif
(Assertive). Gaya kepemimpinan ini sifatnya lebih agresif dan
mempunyai perhatian yang sangat besar pada pengendalian personal dibandingkan
dengan gaya kepemimpinan lainnya. Pemimpin tipe asertif lebih terbuka dalam
konflik dan kritik. Pengambilan keputusan muncul dari proses argumentasi dengan
beberapa sudut pandang sehingga muncul kesimpulan yang memuaskan.
c.
Gaya kepemimpinan entepreneur. Gaya
kepemimpinan ini sangat menaruh perhatian kepada kekuasaan dan hasil akhir
serta kurang mengutamakan pada kebutuhan akan kerjasama. Gaya
kepemimpinan model ini biasannya selalu mencari pesaing dan menargetkan standar
yang tinggi.
Dalam era
turbulensi lingkungan seperti sekarang ini, setiap pemimpin harus siap dan
dituntut mampu untuk melakukan transformasi terlepas pada gaya
kepemimpinan apa yang mereka anut. Pemimpin harus mampu mengelola perubahan,
termasuk di dalamnya mengubah budaya organiasi yang tidak lagi kondusif dan
produktif. Pemimpin harus mempunyai visi yang tajam, pandai mengelola
keragaman dan mendorong terus proses pembelajaran
karena dinamika perubahan lingkungan serta persaingan yang semakin
ketat
3.3 Kinerja Aparatur Pemerintah
Secara etimologi,
kinerja berasal dari kata performance.
Performance berasal dari kata to perform yang
mempunyai arti Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau
sekelompok pegawai dalam suatu oganisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
Rumusan diatas
menjelaskan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau lembaga
dalam melaksanakan pekerjaannya. Dari definisi diatas terdapat beberapa
indikator yaitu :
1.
Hasil kerja yang dicapai secara individual atau secara institusi,
yang berarti kinerja tersebut adalah hasil akhir yang diperoleh atau dicapai
2.
Dalam melaksanakan tugas, orang atau lembaga diberikan wewenang
dan tanggung jawab, yang berarti orang atau lembaga diberikan hak dan kekuasaan
untuk bertindak sehingga pekerjaannya dapat dilakukan dengan baik. Meskipun
demikian orang atau lembaga tersebut tetap harus dalam kedali, yakni
mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada pemberi hak dan wewenang, sehingga dia
tidak akan menyalahgunakan hak dan wewenangnya tersebut.
3.
Pekerjaan haruslah dilakukan secara legal, yang berarti dalam
melaksanakan tugas individu atau lembaga tentu saja harus mengikuti aturan yang
telah ditetapkan.
4.
Pekerjaan tidaklah bertentangan dengan moral dan etika, artinya
selain mengikuti aturan yang telah ditetapkan, tentu saja pekerjaan tersebut
haruslah sesuai dengan moral dan etika yang berlaku umum.
Dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, pimpinan melakukan
tugasnya dibantu oleh pimpinan yang lain bersama pegawai. Jika kinerja pegawai
baik akan mempengaruhi kinerja pimpinan dan selanjutnya kinerja organisasi.
Agar kinerja
dapat dioptimalkan haruslah membuat deskripsi jabatan bagi setiap pegawai,
sehingga mereka mengerti apa fungsi dan tanggung jawabnya. Deskripsi jabatan
yang baik akan dapat menjadi landasan untuk:
1.
Penentuan gaji. Hasil deskripsi jabatan akan berfungsi menjadi
dasar untuk perbandingan pekerjaan dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan
sebagai acuan pemberian gaji yang adil bagi pegawai dan sebagai data pembanding
dalam persaingan dalam perusahaan.
2.
Seleksi pegawai. Deskripsi jabatan sangat dibutuhkan dalam
penerimaan, seleksi dan penempatan pegawai. Selain itu juga merupakan sumber
untuk pengembangan spesifikasi pekerjaan yang dapat menjelaskan tingkat
kualifikasi yang dimiliki oleh seorang pelamar dalam jabatan tertentu.
3.
Orientasi. Deskripsi jabatan dapat mengenalkan tugas yang baru
kepada pegawai dengan cepat dan efisiensi.
4.
Penilaian kinerja. Deskripsi jabatan menunjukkan perbandingan
bagaimana seseorang pegawai memenuhi tugasnya dan bagaimana tugas itu
seharusnya dipenuhi.
5.
Pelatihan dan pengembangan. Deskripsi jabatan akan memberikan
analisis yang akurat mengenai pelatihan yang diberikan dan perkembangan untuk
membantu pengembangan karier.
6.
Uraian dan perencanaan organisasi. Perkembangan awal dari
deskripsi jabatan menunjukkan dimana kelebihan dan kekurangan dalam
pertanggungjawaban. Dalam hal ini deskripsi jabatan akan menyeimbangkan tugas
dan tanggung jawab.
7.
Uraian tanggung jawab. Deskripsi jabatan akan membantu individu
untuk memahami berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
3.3 Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Daerah otonom,
oleh pemerintah pusat diberikan wewenang yang luas untuk mengurus rumah
tangganya sendiri. Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah
dan DPRD menurut asas desentralisasi, asas dekosentrasi, dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang
di tetapkan dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip
otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah
ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi
dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah
tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Prinsip otonomi yang bertanggungjawab
adalah otonomi dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan
dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu
penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian antar daerah
dengan daerah lainnya artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal
yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin
hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu
memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru mewajibkan pemerintah melakukan
pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam dalam penelitian,
pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula
standar, arahan bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,
pemantauan, dan evaluasi. Bersama itu pemerintah wajib memberikan fasilitas
yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah
agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efesien dan efektif.
Penyelenggaraan desentralisasi menurut undang-undang ini mensyaratkan adanya
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian
urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai
urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah.
Kewenangan tersebut dalam prakteknya masih akan dibatasi oleh kewenangan
pemerintah pusat dibidang lainnya, seperti diatur dalam pasal 7 ayat 1 yang
berbunyi “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali dalam kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain”
(Undang-Undang Otonomi Daerah, 2004:7).
Disamping itu, terdapat bagian urusan
pemerintah yang bersifat concurrent, artinya urusan pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Urusan yang menjadi kewenangan
daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan
yang berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan ;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan
tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan bidang pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan;
n. pelayanan administrasi
penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan
dasar lainnya;
p. urusan wajib lainnya yang
diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan
pemerintahan daerah yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Disamping
itu penyelenggaraan Otonomi Daerah harus pula didasarkan pada semangat dan
prinsip yang dijadikan pedoman dalam UU. No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, yaitu:
a)
Penyelenggaraan
otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat, dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh
dalam masyarakat.
b)
Efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menekankan hubungan
antar susunan pemerintahan serta pemberian hak dan kewajiban otonomi daerah;
dengan prinsip: demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan
daerah.
c)
Asas-asas
penyelenggaraan pemerintahan seperti desentralisasi, dekosentrasi, dan tugas
pembantuan, diselenggarakan secara proposional sehingga saling menunjang.
d)
Tujuan
pemberian otonomi daerah tetap seperti yang dirumuskan sampai saat ini yaitu
untuk memberdayakan potensi daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa
dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Disamping
itu untuk lebih meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas penyelenggaraan
fungsi-fungsi seperti pelayanan, pengembangan, dan perlindungan terhadap
masyarakat dalam ikatan NKRI.
Pada dasarnya pemerintah telah melakukan
berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi,
murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah
nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena
ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat
birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum
memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan
publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan atau mengutamakan
kepentingan pimpinan atau organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna
seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau
tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan
publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih
memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus
mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain
organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian
pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan
menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan
untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi
penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga
menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Birokrasi di Indonesia hingga saat
ini belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan
cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial, dan
politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka.
Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin tidak profesionalnya kerja
penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah
budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat.
Perubahan kepemimpinan yang terjadi ditingkat nasional maupun daerah ternyata
tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra birokrat
dan sistim birokrasi kita. Para pejabat
politik baru pun harus berkonflik atau berkolusi di bawahnya karena dominasi
mereka yang begitu kuat. Karenanya di era reformasi ini, perubahan pejabat
politik di level nasional maupun daerah yang dimotori oleh partai politik baru
dengan minimnya jaringan birokrasi, pasti mengalami resistensi tinggi.
Terwujudnya pelaksanaan
otonomi daerah yang menuju pada good
governance memerlukan terlaksananya sistem checks and balance yang berkembang dari dan dalam keseluruhan unsur
penyelenggaraan negara. Sementara itu, menurut United Nation Development (UNDP), Lembaga Administrasi Negara (LAN)
merumuskan aspek fundamental (asas/prinsip) yang harus diperhatikan, yaitu :
1.
Partisipasi (participation); yaitu keikut sertaan warga masyarakat dalam
pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah
dan mewakili kepentingan mereka. Bentuk partisipasi dimaksudkan dibangun atas
dasar prinsip demokrasi, yaitu kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat
secara konstruktif. Dalam hal ini perlu deregurasi birokrasi, sehingga proses
sebuah usaha efektif dan efesien.
2.
Penegakan hukum (rule of law); yaitu bahwa pengelolaan pemeritahan yang
profesional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa, karena tanpa
ditopang oleh aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, maka partisipasi
masyarakat dapat berubah menjadi tindakan yang anarkis.
3.
Transparansi (transparency); asas transparansi adalah unsur penting yang
menompang terwujudnya good dan clean governance. Transparansi dibangun atas
dasar arus informasi arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dan informasi yang bersedia harus memadai agar dapat dimengerti
dan dipantau.
4.
Responsif; yaitu tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat
dalam hal ini pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat dan proaktif,
bukan menunggu mereka menyampaikan keinginan. Untuk setiap unsur pemerintah
harus memiliki dua etika, yakni etika individual dan etika sosial.
5.
Consensus (orientasi kesepakatan); yaitu bahwa keputusan apapun harus dilakukan
melalui kesepakatan dalam suatu permusyawaratan. Melalui cara ini akan
memuaskan semua pihak sehingga semuanya merasa terikat untuk melakukan
konsensus.
6.
Kesetaraan (equity); yaitu kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan
publik. Hal ini mengharuskan setiap pelaksana pemerintah bersikap dan
berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan,
suku, jenis kelamin, dan kelas sosial.
7.
Efektifitas dan efisiensi; (berdayaguna dan berhasilguna). Kriteria efektif
diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau besar-besarnya kepentingan
masyarakat dari berbagai kelompok lapisan sosial sedangkan efisiensi diukur
dengan rasionalitas biaya untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat.
8.
Akuntabilitas; yaitu pertanggunggugatan pejabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurus kepentingan mereka. Dalam
hal ini setiap pejabat publik dituntut mempertanggung jawabkan semua kebijakan,
keputusan, perbuatan, moral maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.
9.
Visi strategis (strategic vision); yaitu pandangan-pandangan strategis untuk
menghadapi masa yang akan datang (forecasting)
artinya, kebijakan/keputusan apapun yang akan diambil saat ini harus
mempertimbangkan akibatnya di masa depan.
Pelaksanaan
pemerintahan pada reformasi telah membawa perubahan secara umum sasaran
penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah terciptanya tata pemerintahan yang baik,
bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan
sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan
pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat.
Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, secara khusus
sasaran yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1.
Berkurangnya secara nyata praktek KKN di birokrasi yang
antara lain ditunjukkan dengan hal-hal sebagai berikut :
a.
Tidak adanya manipulasi pajak
b.
Tidak adanya pungutan liar
c.
Tidak adanya manipulasi tanah
d.
Tidak adanya pengelapan uang Negara
2.
Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan
yang bersih, efektif, efisien, transparan, profesional dan akuntabel :
a.
Sistem kelembagaan lebih efektif, ramping dan fleksibel
b.
Kualitas tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di
pusat dan antara pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota lebih baik
3.
Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan
yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan
masyarakat.
4.
Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan
kebijakan pelayanan publik; berjalannya mekanisme dialog dan musyawarah terbuka
dengan masyarakat dalam perumusan program dan kebijakan pelayanan publik.
5.
Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan baik pusat maupun daerah.
3.5 KEWAJIBAN DAN HAK PEGAWAI NEGERI SIPIL
kewajiban dan hak yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 dan
Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, maka diberlakukan juga Peraturan Pemerintah
Kewajiban bagi pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 2, yang berbunyi:
Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib:
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
Negara, dan Pemerintah;
2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri
sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara
oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain;
3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai
Negeri Sipil;
4. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji
jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
6. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik langsung
menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum;
7. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
8. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan
Negara;
9. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan
Korps Pegawai Negeri Sipil;
10. j. Segera melaporkan kepada
atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan
Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material;
11. Mentaati ketentuan jam kerja;
12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;
13. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan
sebaik-baiknya;
14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang
tugasnya masing-masing;
15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap
bawahannya;
16. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya;
17. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya;
18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya;
19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya;
20. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan;
21. Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun
terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan;
Hormat menghormati antara sesama warganegara yang memeluk agama/
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan;
BAB IV
PENUTUP
3.4Kesimpulan
Sejak berlakunya Otonomi Daerah
yang adalah pemberian wewenang dan tanggung dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengelola dan mengurus daerah otonomi sesuai aspirasi
daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merata keseluruh wilayah,
mengurangi tingkat kesenjangan antardaerah, meningkatkan interaksi masyarakat
antardaerah, yang pada ujungnya adalah untuk menciptakan stabilitas nasional
serta memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah
melahirkan berbagai penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine
(KKN) termasuk didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol
pasca otonomi daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang
dalam pemilihan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan
instansi-instansi tertentu di daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan
meningkatkan pungutan-pungutan melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang
memberatkan masyarakat dan tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di
daerah.
3.5Saran
Sebagai
aparatur pemerintah daerah yang Dalam konteks pemerintahan daerah, di era
otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan
kreativitas dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Daerah. Dalam dunia yang
penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya aparatur
untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara
akurat, bijaksana, adil dan efektif. Dengan demikian aparatur merupakan faktor
yang dominan bagi berhasilnya penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. aparatur
pemerintah daerah Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai,
melainkan juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa.
DAFTAR
PUSTAKA
Adisasmita,
Rahardjo. 2011. Manajemen Pemerintahan Daerah. Yogyakarta. Graha Ilmu
Agustino,
Leo. 2007. Perihal Ilmu Politik. Yogyakarta. Graha Ilmu
Budiarjo,
miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik edisi
revisi. Jakarta. PT Gramedia Pustka
Utama
Darmadi.D & Sukidin. 2011. Administrasi Publik. Yogyakarta.
LaksBang PRESSindo.
Kaloh,
Jeremis. 2010. Kepemimpinan Kepala Daearah. Jakarta. Sinar Grafika
Ndraha,
Taliziduhu. 2010. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta
Nugroho.
Riant & Wrihatnolo. Randy. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia. Jakarta.
PT Gramedia
Supriyatna,
budi. 2009. Manajemen Pemerintahan: (plus
dua belas langkah strategis). Jakarta: CV. Media Berlian.
Syafiie,
Inu Kencana. 2010. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta
Syafiie,
Inu Kencana. 2011. Etika Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta
Salam,
Dharma Setyawan. 2007. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Djambatan
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang
Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi