ABSTRAK
Kesehatan merupakan hal yang mendasar bagi setiap individu. Kesehatan juga merupakan topik yang tak per nah habis jika di bicarakan. Selalu mengundang perhatian dari berbagai pihak. Banyaknya sorotan baik yang sifatnya sebagai saran, kritikan bahkan gunjingan tak pernah lepas dari dunia kesehatan. Ini merupakan masalah yang hakiki. Masalah kita bersama. Masa lah kesehatan bukan hanya masalah individu, akan tetapi masalah kita semua, masalah kelompok. Masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang, pada dasarnya menyangkut dua aspek utama. Pertama ialah aspek fisik, seperti misalnya tersedianya sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, sedangkan yang kedua adalah aspek non fisik yang menyangkut perilaku kesehatan. Guna meningkat kan derajat kesehatan masyarakat tentu saja diperlukan upaya-upaya optimal dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada, sehingga nantinya dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Di kalangan masyarakat perlindungan sosial dibidang kesehatan merupakan salah satu bentuk dan strategi perlindungan sosial dalam dalam meningkatkan kualitas kesehatan khususnya di Des a Panyili. Dibanding dengan negara-negara tetangga lainnya, kualitas kesehatan di Indonesia masih dan terus tertingal.Salah satu penyebabnya adalah rendahnya akses terhadap perawatan kesehatan dikarenakan mahalnya biaya perawatan. Situasi ini terjadi teru t ama dikalangan orang miskin yang tidak memiliki jaminan sosial di bidang kesehatan. Sumbangsih pemerintah pun telah terlihat, dengan pembangunan Puskesmas dan Pustu di berbagai kecamatan bahkan pedesaan. Tidak hanya itu pemerintah pun mensahkan adanya pro gram pelayanan kesehatan gratis dengan penyediaan obat-obat generik, perawatan kesehatan ibu dan anak, dan banyak lagi pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Salah satu cara yang harus ditempuh adalah dengan lebih me mpercepat terwujudnya tujuan dari puskesemas di masyarakat khususnya masyarakat pedesaan yaitu dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, pemuka-pemuka agama, dan gencar melakukan penyuluhan-penyuluhan mengenai kesehatan.Terlebih lagi saat sekarang ini sud ah ada Program Pelayanan Kesehatan Gratis yang telah disahkan oleh pemerintah yang semestinya sudah bisa menjadi daya tarik untuk masyarakat agar lebih bisa menerima dan menggunakan sarana Puskesmas ini.
Dengan adanya kesadaran dan kemauan di kalangan masy arakat, tentu saja animo/respon masyarakat perlahan-lahan akan berubah, dan akhirnya diharapakan kemudian menjadi pengguna pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas. Bahkan tidak saja sebagai pengguna jasa Puskesmas namun juga akan dengan sukarela serta b erperan aktif di setiap kegiatan yang berkenaan dengan pelaksanaan program kesehatan di Puskesmas.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kesehatan di Indonesia adalah salah satu hak yang harus dimiliki oleh tiap warga negara. Didalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah sat u unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maup un sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping kebutuhan akan sandang dan pangan, pemukiman dan pendidikan. Karena hanya dalam keadaan sehatlah man usia dapat hidup, tumbuh, berkarya dan berkreasi dengan baik.
Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya. P embangunan kesehatan ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. Di samping itu pula dilakukan perbaikan dan peningkatan sistem pembiayaan kesehatan sehingga menjadi lebih jelas, sarana dan prasarana j uga perlu diperhatikan mutunya, agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal.
Dalam Undang-undang No.9 tahun 1960 tentang “Pokok-Pokok Kesehatan” (Maryati Sukarni, 1988) menyatakan bahwa : “Yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit/cacat dan kelemahan”.
Gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan prilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan empat misi pembangunan kesehatan, diantaranya adalah memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi, merata dan terjangkau, yang mengandung makna bahwa salah satu tanggung jawab sektor kesehatan adalah menjamin tersedianya pelayanan kesehatan ya ng bermutu, merata dan terjangkau bagi masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak semata-mata berada di tangan pemerintah, melainkan mengikutsertakan sebesar-besarnya peran serta aktif segenap anggota masyarakat dan berbagai potensi swasta (Dep kes RI, 1999: 33-35).
Pada hakikatnya derajat kesehatan seseorang dipengaruhi oleh empat faktor penentu yaitu faktor bawaan, pelayanan kesehatan, perilaku dan faktor (fisik, biologis, dan kemasyarakatan). Dua faktor tersebut terakhir merupakan faktor penent u ini berada dalam kondisi interaksi dengan faktor-faktor kependudukan, sosial budaya, ekologi, sumber daya alam dan ekonomi (Maryati Sukarni, 1998). Derajat kesehatan kini dipertanyakan dalam kondisi masyarakat yang semakin heterogen. Rendahnya derajat ke sehatan ini disebabkan karena kurang optimalnya pelayanan kesehatan. Kurang optimalnya pelaksanaan pelayanan kesehatan ini tak lepas dari berbagai faktor sosial dan ekonomi. Dari sektor ini tentu saja masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan sosial, memiliki perbedaan pendapatan oleh masing-masing masyarakat. Faktor lain yang bisa menjadi penyebab dari kurang optimalnya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yakni pola penyakit, kondisi geografis yang sulit untuk menjangkau sarana kesehatan, perkembangan teknologi di bidang kesehatan yang semakin maju.
Itulah sebabnya maka upaya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal merupakan upaya penting yang dilaksanakan oleh masyarakat seluruh dunia. Di sektor kesehatan, kesadaran dan k emampuansetiap masyarakat untuk hidup sehat merupakan faktor utama untuk mewujudkan suatu masyarakat yang memiliki derajat kesehatan yang optimal. Oleh karena itu dalam “Sistem Kesehatan Nasional” dinyatakan bahwa: “...pembangunan kesehatan dilaksanakan de ngan tujuan tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal“. Selanjutnya untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan, pemerintah Sulawesi Selatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Da sar 1945 memprogramkan pelayanan kesehatan gratis guna memberikan akses seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan.
Kemudian, masalah kesehatan masyarakat terutama di negara-negara seperti Indonesia pada dasarnya menyangkut pada dua aspek penting. Pertama adalah aspek fisik (berupa tersedianya sarana kesehatan yang memadai dan pengobatan penyakit). Kedua adalah non-fisik yang menyangkut prilaku kesehatan. Dan salah satu indikasi dar i keseriusan pemerintah dalam penanganan kesehatan tersebut yaitu dengan adanya pembangunan sarana Puskesmas sebagai bantuan Inpres yang tidak hanya terbatas di perkotaan saja, tetapi di tingkat kecamatan bahkan sampai di tingkat pedesan dengan maksud mem berikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Dengan demikian, maka pemerintah mencanangkan upaya perluasan melalui Puskesmas yang menekankan pada upaya pelayanan kesehatan masyarakat (Mustamin Alwi,1991,1). Melihat kondisi sekarang ini, dimana banyak piha k yang memandang sebelah mata peranan Puskesmas kemudian menjadi hal mutlak yang perlu diketahui jika keberadaan Puskesmas sangatlah mendukung akan terciptanya kondisi sehat dalam masyarakat, hanya saja sebagian masyarakat belum memanfaatkan puskesmas secara maksimal. Hal tersebut terjadi karena sebagian masyarakat belum mengetahui dan mengahayati tata cara hidup sehat.
Menyadari bahwa puskesmas memiliki peranan yang cukup besar dan memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat, maka setiap warga senantiasa bisa menggunakan pelayanan kesehatan di puskesmas dengan baik.
Perhatian pemerintah akan pentingnya kesehatan bagi masyarakat kemudian semakin lengkap dengan adanya program kesehatan gratis. Ini pun sebagai acuan bagi masyarakat maupun tenaga medis agar dapat mengoptimalkan peranan Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan yang posisinya terkadang dipandang sepele bagi sebagian orang.
B.RUMUSAN MASALAH
Upaya kesehatan di teluk dalam, belum terselengg ara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan kesehatan yang bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih dirasakan kurang. Meskipun sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah seperti Puskesmas telah terdap at dihampir semua kecamatan, namun upaya kesehatan belum dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Potensi pelayanan kesehatan swasta dan upaya kesehatan berbasis masyarakat yang semakin meningkat, belum didayagunakan sebagaimana mestinya.
Sementara itu keterlibatan dinas kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat dan keterkaitannya dengan pelayanan rumah sakit sebagai sarana pelayanan rujukan masih dirasakan sangat kurang. Jumlah sumber daya manusia (SDM) kesehatan pun dirasa belum memadai. Rasio tenaga kesehatan dan jumlah penduduk masih rendah. Penyebaran SDM kesehatan juga belum menggembirakan. Selain itu mutu SDM kesehatan masih membutuhkan pembenahan. Hal ini tercermin dari kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang masih rendah. Jumlah sarana dan prasarana kesehatan masih belum memadai untuk memberikan akses layanan kesehatan secara optimal.
Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan pemberdayaan masyarakat yang berarti mengembangkan kesempatan yang lebih luas bagi masy arakat dalam mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan tentang kesehatan secara bersama-sama. Jaringan kemitraan dengan berbagai pihak termasuk sektor pemerintahan dan dunia usaha belum dikembangkan secara optimal.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1.Bagaimanakah respon masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas Bantasari kecamatan teluk dalam kabupaten nias selatan ?
2.Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kinerja Puskesmas?
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui bagaimana respon masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas Bantasari kecamatan teluk dalam Kabuoaten nias selatan.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Puskesmas
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1.Bagi peneliti
a. Penelitian ini merupakan kesempatan baik dalam menerapkan ilmu dan mengembangkan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian.
2.Bagi Puskesmas bantarsari kabupaten teluk dalam.
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi Puskesmas yang bersangkutan dalam hubungannya dengan jasa pelayanan kesehatan.
b. Sebagai input atau bahan masukan untuk perbaikan kualitas pelayanan guna memenuhi kepuasan pasien, sehingga dapat menentukan langkah-lan gkah selanjutnya yang diambil dalam mengukur kebijaksanaan dimasa yang akan datang.
3.Bagi pihak lain
a.Sebagai sumbangan bagi ilmu pengetahuan.
b.Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi
c.pembaca kajian ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dibidang operasional umumnya atau tentang kualitas pelayanan.
E. Kerangka Konseptual
Banyak masyarakat beranggapan bahwa sakit adalah takdir yang merupakan ujian dalam hidup sehingga terkadang menyebabkan masyarakat cenderung men yepelekan penyakitnya. Misalnya, bekerja sepanjang hari tanpa diimbangi istirahat serta asupan gizi yang cukup. Masyarakat lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan kesehatan dirinya sendiri dan generasi yang lebih tua kebanyakan masih mengandalkan warisan ilmu ”gaib” (jampi–jampi) sehingga terkadang penyakitnya dapat disembuhkan tanpa bantuan medis. Selain faktor tersebut di atas, hal lain yang menjadikan masyarakat mengabaikan kesehatan dan lebih menggunakan pengobatan diri sendiri yakni jarak tempuh menuju tempat pelayanan kesehatan yang cukup jauh dan sulit dijangkau. Perjalanan yang begitu rumit dan melelahkan membuat mereka cenderung menggunakan media supranatural sebagai pertolongan dalam menyembuhkan penyakitny a sehingga terkadang ada masyarakat yang menderita penyakit tidak tersentuh dengan pelayanan kesehatan.
Selain masalah kurangnya kepedulian masyarakat akan kesehatannya, kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan terhadap masyarakat serta biaya untuk berobat. Masalah masih tingginya kepercayaan supranatural atau jampi-jampi di Bone. Hal ini menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut di Puskesmas Palakka.
Melihat bagaimana respon masyarakat akan adanya sarana kesehatan yan g ada di Kecamatan Palakka, kemudian membandingkan apa yang sebenarnya menjadi kendala ataupun yang bisa mensukseskan program pemerintah, ”Indonesia Sehat 2010”. Di tambah lagi mengingat tahun ini selayaknya visi itu sudah seharusnya tercapai.
Untuk mencapai mutu kesehatan tersebut diperlukan wadah atau sarana seperti puskesmas. Puskesmas kemudian memiliki peranan yang sangat besar. Puskesmas sebagai unit terkecil dari bentuk pelayanan kesehatan yang ada. Puskesmas merupakan unit pelaksana di wi layah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan kesehatan di tingkat wilayah kecamatan. Pembangunan puskesmas di tiap kecamatan memiliki peran yang sangat penting dalam memelihara kesehatan masyarakat. Apabila berfungsi, maka akan ma mpu memberikan pelayanan masyarakat yang membutuhkan puskesmas.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, puskesmas terlebih dahulu harus dapat mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Masalah ketenagakerjaan baik itu dari sisi kebijakan pemerintah daerah, ket ersediaan dan jaringan, mutu dan distribusi antar perkotaan, pedesaan dan desa tertinggal, pandangan yang ada di masyarakat mengenai mutu pelayanan puskesmas, serta kurang jelasnya peran puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, merupakan bagian dari masalah-masalah yang terlebih dahulu harus diselesaikan untuk mencapai tujuan didirikannya puskesmas.
Adanya puskesmas yang telah mendapatkan sertivikasi ISO 9002 merupakan bukti nyata adanya komitmen pemerintah daerah dan tim manajerial puskesm as serta seluruh tenaga kerja puskesmas dalam usaha peningkatan mutu puskesmas. Mutu pelayanan kesehatan diharapkan dapat meningkat dengan adanya program kesehatan gratis yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah. Diharapkan dengan adanya program kes ehatan ini bisa lebih memacu kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya serta lebih peduli dengan kesehatannya.
Tidak hanya itu, dengan adanya program kesehatan gratis ini di harapkan pula akan banyak respon positif di kalangan masyarakat khusus nya pada masyarakat kalangan menengah ke bawah. Respon positif ini akan didapat apabila sikap atau tindakan yang di perlihatkan oleh pemerintah ataupun pihak puskesmas itu positif. Dengan kata lain masyarakat akan menerima segala kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah apabila penyampaian informasi akan kebijakan tersebut melibatkan masyarakat dan di sosialisasikan dengan benar.
Bukan hanya kebijakan yang sifatnya menguntungkan bagi pihak pemerintah saja dan diambil secara sepihak. Hal seperti in i tentu akan membawa respon negatif di kalangan masyarakat. Sebab, penyampaian yang tidak merata dan pelayanan yang di berikan kurang memuaskan tentu animo masyarakat untuk datang dan berobat ke puskesmas tentu saja akan semakin menurun. Apalagi melihat k ondisi sekarang mengenai image ”gratis” itu kurang baik. Dimana segala sesuatu yang gratis selalu dikaitkan dengan pelayanan yang standar dan terkesan tidak maksimal. Disini pemerintah dan juga segala pihak yang terkait seharusnya berperan penting dalam pen yampaian informasi hingga pemberian layanan secara prima dan optimal, sehingga masyarakat dapat menilai positif akan program pelayanan kesehatan yang lebih baik. Respon positif dan negatif adalah dua hal yang akan memberikan keuntungan dalam hal pemberian citra positif pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia sekaligus akan memberikan citra negatif kepada pemerintah apabila dalam prosesnya dianggap tidak memuaskan oleh masyarakat.
Respon positif akan di dapatkan apabila :
1. Layanan yang diberika n pihak puskesmas memuaskan. Memuaskan dalam hal ini menyangkut perhatian dan kepedulian petugas puskesmas dalam memberikan layanan kepada pasien yang datang ke puskesmas tanpa melihat atau membedakan latar belakang pasien.
2. Informasi mengenai program k esehatan yang ada di puskesmas disebarkan secara merata melalui penyuluhan-penyuluhan kesehatan.
3. Memperhatikan kebutuhan imunisasi ibu dan bayi serta keselamatan ibu dan bayi
4. Memperhatikan ketersediaan tenaga kesehatan di puskesmas
5. Memperhatikan ketepatan waktu kunjungan, jadwal posyandu dan puskesmas keliling agar.
Sayangnya setelah lebih dari 71 tahun merdeka, pelayanan kesehatan di negeri ini masih jauh dari harapan. Memang, di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, telah banyak berdiri rumah sakit-rumah sakit swasta bertaraf internasional. Tetapi, mereka membidik pasien-pasien berkantong tebal karena biaya sekali berobat tak cukup ditebus dengan upah minimum provinsi (UMP) seorang buruh. Bahkan belakangan ini, biaya berobat di beberapa rumah sakit swasta semakin menggila, sehingga kalangan berduit pun mulai beralih untuk berobat di negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Biaya berobat di Indonesia terkenal mahal.
Sedangkan rumah sakit milik pemerintah yang bagus jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Rumah sakit-rumah sakit daerah tak sepenuhnya mampu memberi pelayanan yang baik karena keterbatasan peralatan dan tenaga medis. Demikian juga dengan sebagian besar pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan puskesmas pembantu, tak mampu memberi pelayanan maksimal untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat.
Apalagi, masih banyak rakyat Indonesia yang masuk kategori miskin dan hampir miskin, sehingga bila ada anggota keluarga yang sakit keras, pilihannya hanya dua, yakni menjual harta dan berutang untuk menutup biaya pengobatan, sehingga kehidupan mereka menjadi semakin terpuruk atau pasrah pada kehendak Tuhan dengan melakukan pengobatan seadanya.
Kenyataan tersebut sekaligus membuat beberapa indikator kesehatan Indonesia tergolong paling rendah di ASEAN dan Asia. Sebut saja, angka kematian ibu (AKI) berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan PBB tahun ini tercatat 220 per 100.000 kelahiran hidup, sementara Singapura 3, Brunei 24, Malaysia 29, Thailand 48, Vietnam 59, dan Filipina 99. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos, dan Timor Leste.
Angka kematian bayi (AKB) pun masih tinggi, yakni 32 per 1.000 kelahiran pada 2012, sehingga sulit mencapai target 24 per 1.000 kelahiran pada 2014. Demikian juga dengan penurunan annual parasite index penyakit malaria yang masih sulit mencapai target dan target usia harapan hidup 72 tahun pada 2014, juga relatif sulit terwujud. Semua itu menggambarkan pelayanan kesehatan yang kurang memadai bagi seluruh rakyat akibat mahalnya biaya kesehatan.
Setidaknya ada tiga faktor penyebab mahalnya biaya kesehatan, yakni peralatan kesehatan, obat, serta jasa dokter. Investasi mendirikan rumah sakit sangat besar, terutama dipicu mahalnya peralatan kesehatan. Sebagian besar peralatan masih diimpor. Celakanya, pemerintah mengelompokkan peralatan kesehatan sebagai barang mewah, sehingga wajib dikenai pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Akibatnya, harga yang harus ditebus menjadi semakin mahal.
Demikian juga dengan obat-obatan. Sebagian besar obat diproduksi oleh perusahaan asing, sehingga harus diimpor. Pemerintah pun mengenakan pajak terhadap obat-obatan, sehingga harganya pun mahal. Jasa dokter pun terbilang mahal karena ongkos yang dikeluarkan selama menempuh pendidikan dokter juga banyak. Fakultas kedokteran merupakan salah satu fakultas yang terkenal mahal.
Pemerintah bisa menempuh langkah cepat untuk membuat biaya kesehatan semakin terjangkau dengan menghapus PPnBM peralatan kesehatan. Pemerintah baru saja menghapus PPnBM bagi beberapa barang elektronik rumah tangga dan seharusnya hal serupa dilakukan pada peralatan kesehatan. Kemudian, memberi insentif bagi industri farmasi di dalam negeri. Bahan baku sebenarnya melimpah, sehingga harga obat yang diproduksi bisa lebih murah. Harapan ini tentu harus ditunjang dukungan dana riset pengobatan, baik oleh pemerintah maupun swasta.
Selain itu, pemerintah juga harus menekan biaya pendidikan kedokteran dengan menyediakan laboratorium, fasilitas praktik, dan beasiswa, agar kelak jasa dokter bisa diturunkan dan semakin banyak anak bangsa yang berprofesi dokter untuk menutupi kekurangan saat ini. Dukungan lain yang bisa diberikan pemerintah adalah memenuhi amanat UU Kesehatan dengan mengalokasikan 5% APBN untuk pembangunan bidang kesehatan, serta memastikan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) beroperasi mulai 1 Januari 2014.
Tidak ada yang berharap dirinya sakit. Kalau ternyata kita sakit, pertanyaan yang pertama kali hinggap di pikiran adalah mengapa biaya berobat mahal?
Sepertinya setiap dokter menerapkan tarif yang berbeda. Ada yang mengatakan, di dokter A cuman dapat resep, ditarik Rp. 50.000,00. Kalau di dokter B, selain dapat suntik, juga dapat obatnya, ditarik Rp. 75.000,00. Bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas, ya tidak masalah. Namun bagi yang penghasilannya pas-pasan, biaya berobat sebesar itu tentu sangat memberatkan. Sebenarnya mengapa biaya berobat mahal?
Banyak hal yang menjadi penyebab mengapa biaya berobat mahal. Seperti dikutip dari MSN, mahalnya biaya kesehatan disebabkan karena beberapa hal, diataranya:
1. Dokter terlalu banyak menuntut
Dokter sering memberikan pemeriksaan diagnosis, prosedur dan terapi yang sebenarnya tidak diperlukan oleh pasien. Pasien, karena ketidaktahuannya, mudah sekali manut apa kata dokter. Oleh karena itu, tidak ada salahnya anda menanyakan hal tersebut kepada dokter. Tanyakan tentang manfaat dan keharusan anda melakukan anjuran dokter.
2. Karena anda perempuan
Penelitian dari National Woman Law Center menemukan fakta bahwa perempuan memiliki biaya kesehatan yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Ini karena perempuan lebih sering mengunjungi dokter untuk melakukan pemeriksaan atau cek kesehatan. Perempuan lebih peduli dengan kesehatannya sejak masih usia produktif. Sedangkan laki-laki biasanya mau berobat setelah berusia 50 tahun atau setelah terkena penyakit seperti sakit jantung atau diabetes.
3. Lebih memilih mengobati daripada mencegah
Semua orang tahu, bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Namun kebanyakan kita malas untuk memeriksakan diri ke dokter. Kita lebih suka menggunakan uang kita untuk hal lain. Padahal uang yang akan dikeluarkan untuk mencegah suatu penyakit lebih sedikit dibandingkan dengan uang yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan. Mengapa? Sebab penyakit-penyakit tersebut biasanya penyakit kronis yang membutuhkan waktu dan biaya yang besar untuk mengobatinya. Seperti contoh, kemoterapi atau operasi jantung.
4. Dokter dibayar untuk apa yang telah dilakukannya
Kadang saat kita ke dokter untuk berobat, pasien menrima tindakan yang seharusnya tidak diperlukan. Pasien hanya menerima obat yang harus diminum meskipun jumlahnya banyak. Padahal belum tentu semua obat yang diberikan oleh dokter tersebut benar-benar dibutuhkan pasien. Dokter yang peduli dengan pasiennya pasti akan memberikan penjelasan terhadap segala sesuatu yang dilakukan atau yang diberikan kepada pasien.
5. Mahalnya peralatan kedokteran
Kemajuan teknologi juga menyebabkan mahalnya biaya pengobatan. Teknologi kedoteran saat ini sanagt berkembang pesat. Banyak alat-alat baru diciptakan untuk bisa mengobati berbagai penyakit.
Iklan Produk
Saturday, June 10, 2017
MAKALAH MEDIATOR
PERANAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN X
PERANAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN X
1. Latar Belakang Masalah
Pmutusan hubungan Kerja (PHK) adalah suatu kondisi tidak bekerjanya lagi karyawan pada suatu perusahaan karena hubungan kerja antara yang bersangkutan dengan perusahaan terputus atau tidak diperpanjang lagi (Sedarmayanti, 2009:313).
Sementara itu menurut pasal 1 ayat 25 UU N0. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya haka dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut akan menimbulkan risiko bagi perusahaan maupun karyawan. Bagi pihak perusahaan, menurut Sedarmayanti (2009:313) pemutusan hubungan kerja ini akan menimbulkan risiko antara lain :
1) Melepas karyawan yang sudah berpengalaman dan setia
2) Terhentinya produksi sementara dengan adanya pemtusan hubungan kerja
3) Harus mencari penggantinya dengan karyawan baru
4) Untuk mengganti perlu biaya yang besar guna merekrut
5) Hasil kerja karyawan pengganti belum tentu sebaik karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja.
Risiko pemutusan hubungan kerja bagi kaeryawan, menurut Sedarmayanti (2009:313) akan terlihat pada :
1) Hilangnya atau berkurangnya penghasilan yang diterima untuk membiayai keluarga
2) Timbulnya situasi yang tidak enak karena harus menganggur
3) Berkurangnya rasa harga diri apalagi bila selama ini memangku suatu jabatan
4) Terputusnya hubungan (relasi) dengan teman-teman sekerja
5) Harus lagi bersusah payah mencari pekerjaan baru.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan kebijakan pemerintah dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, karena peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi implementasi kebijakan publik. Undang-Undang ini memberikan keutamaan terhadap perundingan bipartit untuk penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial diikuti dengan proses penyelesaian di luar pengadilan yaitu mediasi, konsiliasi, arbitrasi dan dimungkinkan berlanjut melalui proses Pengadilan Hubungan Industrial maupun Mahkamah Agung.
Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/06/M.PAN/4/2009).
Mediasi adalah proses dimana pihak ketiga yang netral membantu orang yang terlibat dalam konflik untuk mengungkapkan dan memahami perbedaan mereka dan, jika mungkin mendamaikan mereka (Crawley dan Katherina Graham, 2002:4).
Bertitik tolak dari uraian diatas, dapat dikatan bahwa salah satu masalah ketenagakerjaan yang terjadi adalah perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini pemutusan hubungan kerja (PHK), yang kewenangan penyelesaiannya ada pada Mediator hubungan industrial.
Menurut pasal 1 ayat 12 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyebutkan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dapat dicatat bahwa mediasi adalah bagian yang penting dari sistem penyelesaian perselisihan dan merupakan langkah pertama yang dianjurkan bagi para pihak yang berselisih untuk melakukan bipartit terlebih dahulu dan diikuti jika perundingan bipartit gagal maka dapat dilanjutkan ke pada mediasi.
2. Kondisi Eksistency
Perusahaan PT. X bergerak di bidang retail, Sdr. T bekerja sebagai kasir. Pada tanggal 14 Januari 2015 perusahaan melakukan perhitungan barang sampai dengan tanggal 15 Januari 2015. Kemudian, pada tanggal 16 Januari 2015 disuruh ke Kantor pusat perusahaan PT. X untuk mempertanggungjawabkan Nota Barang Hilang 70 (NBH 70).
Pada tanggal 17 Januari 2015 Sdr. T ditelepon oleh Pak N sebagai Asisten chip store (Acos) untuk datang ke toko karena tidak ada personil perbantuan untuk membuka toko tersebut. Pada hari itu juga Sdr. T menelepon Pak A sebagai koordinator bahwa server computer tidak bisa untuk mengakses dan mencetak label pres (daftar harga) untuk barang dan cetak setoran untuk dikirim ke pusat.
Pada hari itu juga, Pak A menyuruh/memerintahkan personil yang lain untuk menjaga toko, karena Sdr. T dan rekan-rekannya ada 6 (enam) orang diperintahkan ke Kantor Pusat perusahaan PT. X untuk memperjelas Stock of name Nasional (Sonas) atau perhitungan barang secara nasional. Berdasarkan hasil Sonas ternyata ada kehilangan barang senilai kurang lebih Rp. 70 juta. Sdr. T diminta untuk mempertanggungjawabkannya..
Pada tanggal 18 Januari 2015, Sdr. T datang ke toko untuk mengklarifikasi barang hilang sekaligus mengisi absen, tetapi Pak A sebagai koordinator tidak menginjinkannya untuk absen. Setelah itu, mulai tanggal 19 Januari 2015 Sdr. T tidak pernah masuk bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut.
Kemudian, pada tanggal 16 Pebruari 2015 Sdr. T menerima Surat Panggilan I dari perusahaan PT. X yang isinya karena ketidakhadiran Sdr. T selama lebih dari 3 (tiga) hari berturut-turut sejak tanggal 5 Pebruari 2015 sampai dengan tanggal 16 Pebruari 2015 dan tanpa memberikan keterangan ke perusahaan, maka Sdr. T diminta hadir pada tanggal Pebruari 2015 untuk menghadap Pak N dan memberikan keterangan serta menyerahkan bukti yang sah atas ketidakhadiran Sdr. T bekerja selama lebih dari 3 (tiga) hari tersebut.
Selanjutnya, pada tanggal 18 Pebruari 2015 Sdr. T datang ke Kantor Pusat perusahaan PT X, tetapi Pak N tidak ada di tempat, namun pada saat itu juga Sdr. T menerima Surat Panggilan ke II dari perusahaan PT. X yang isinya agar Sdr. T diminta hadir pada tanggal 23 Pebruari 2015 untuk menghadap Pak T dan memberikan keterangan serta menyerahkan bukti yang sah atas ketidakhadiran Sdr. T. Apabila Sdr. T tidak hadir pada panggilan yang ke II itu, dan atau apabila Sdr. T hadir namun tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang sah, maka sesuai pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Sdr. T akan dikualifikasikan mengundurkan diri.
Untuk lebih jelasnya, bunyi pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : “pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri”.
Pada tanggal 6 Mei 2015 Sdr. T mengirim surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini pemutusan hubungan kerja (PHK), kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diajukan Sdr. T tersebut, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigras Provinsi Sumatera Utara menunjuk Mediator untuk mengadakan perundingan/mediasi kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr. T tersebut.
3. Masalah
Adapun yang menjadi masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr, T oleh Perusahaan PT. X.
Menurut pasal 1 ayat (25) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa “pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”
Timbulnya pemutusan hubungan kerja (PHK) itu, menurut Sedarmayanti (2009:313-314) bisa bersumber dari :
1) Permintaan karyawan sendiri
2) Kebijaksanaan organisasi atau perusahaan
3) Tidak ada pengembangan karir
4) Masalah keluarga
5) Masalah kesehatan yang tidak cocok
6) Merasa pekerjaan tidak cocok dengan minat dan bakat
7) Perlakuan yang dirasa kurang adil, dan sebagainya.
Kebijaksanaan PHK untuk sebagian karyawan, menurut Sedarmayanti (2009:314) terpaksa diambil karena misalnya :
1) Karyawan tidak disiplin
2) Karyawan kurang cakap dan tidak produktif
3) Karyawan mempunyai prilaku asusila
4) Karyawan tidak dapat bkerja sama
5) Penyederhanaan organisasi dalam perusahaan dan sebagainya.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) atas kehendak perusahaan menurut Sedarmayanti (2009:314) dapat menimbulkan akibat bagi perusahaan, antara lain :
1) Perusahaan harus member uang pesangon (uang tolak) atau pembayaran pensiun kepada karyawan yang di PHK
2) Perusahaan dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bila PHK tidak tepat.
Saat ini, perusahaan dapat digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial, bukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara lagi (UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Menurut Sedarmayanti (2009:314-315), peraturan perundang-undangan mengatur bahwa seorang yang terkena peraturan harus Di PHK, yaitu bila karyawan tersebut :
1) Meninggal dunia atau hilang tak tahu rimbanya
2) Telah mencapai batas usia untuk PHK
3) Melanggar peraturan yang berlaku
4) Berakhirnya kontrak dengan perusahaan
5) Terlibat dengan kegiatan yang menentang pemerintah.
4. Pemecahan Masalah
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi, menyebutkan bahwa Mediator Hubungan Industrial mempunyai kewenangan :
1) Meminta para pihak untuk memberikan keterangan secara lisan dan tertulis;
2) Meminta dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan dari para pihak;
3) Menghadirkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan;
4) Meminta dokumen dan surat-surat yang diperlukan dari Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota atau lembaga terkait;
5) Menolak kuasa para pihak yang berselisih apabila tidak memiliki surat kuasa khusus;
6) Menolak kuasa para pihak dan/atau pemegang surat kuasa apabila ada indikasi menghambat proses mediasi;
7) Sebelum melakukan proses mediasi dapat mengundang para pihak yang berselisih untuk melakukan klarifikasi permasalahan atau perselisihan hubungan industrial yang dihadapi para pihak.
Sebelum melaksanakan sidang mediasi, Mediator hubungan industrial dapat melakukan klarifikasi dengan mengundang para pihak. Langkah-langkah sebelum mediasi antara lain :
1. Tujuan Klarifikasi
a. Mengetahui kejelasan posisi kasusnya
b. Mengetahui kebenaran kasus yang diadukan sudah pernah diproses oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau belum diproses. Mendapat kejelasan jurisdiksi relative, apakah menjadi kewenangan Kementerian atau instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi atau Kabupaten/Kota.
2. Klarifikasi tidak termasuk dalam jangka waktu mediasi
3. Jika dilakukan klarifikasi, dicantumkan dalam buku register klarifikasi sebelum dicatatkan ke register pencatatan penyelesaian perselisihan
4. Dalam klarifikasi permasalahan perselisihan hubungan industrial tentang tentang duduk permasalahannya, maka yang berwenang untuk memberikan penjelasan klarifikasi adalah pejabat atau aparat yang berwenang di bidang hubungan industrial
5. Asas kepatutan waktu pengiriman surat undangan. Klarifikasi disesuaikan dengan kondisi dan letak geografis
6. Undangan klarifikasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja dan dapat lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berdasarkan kesepakatan yang dibuat para pihak
7. Penegasan adanya tambahan waktu untuk klarifikasi dengan syarat disepakati para pihak dan tidak dapat dihitung waktu dalam proses mediasi
8. Apabila sudah pernah diproses oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan lain dan belum dikeluarkan anjuran tertulis oleh Mediator hubungan industrial, harus dibuat kesepakatan oleh para pihak
9. Apabila pihak yang mengadukan permasalahan perselisihan hubungan industrial tidak hadir dalam undangan klarifikasi tanpa alasan yang jelas, maka pengaduannya tidak ditindaklanjuti
10. Dalam hal pihak yang diadukan tidak memenuhi panggilan klarifikasi, maka akan diproses sesuai peraturan perundangan yang berlaku
11. Hasil keterangan dan/atau kelengkapan data perselisihan yang telah diperoleh dari para pihak dituangkan dalam Risalah Klarifikasi selama tidak dilanjutkan ke tahap mediasi.
Setelah dilakukan klarifikasi atau dokumen dan surat-surat terkait dengan permasalahannya sudah dianggap cukup, Mediator hubungan industrial dapat melakukan panggilan mediasi. Langkah-langkah yang dilakukan selama mediasi :
1. Pihak pekerja dan pengusaha yang berselisih dapat didampingi oleh perangkat organisasinya (SP/SB atau Apindo) atau kuasa hukum di luar SP/SB atau Apindo, dengan memberikan surat kuasa khusus
2. Para pihak yang berselisih berkewajiban memberikan fakta, data yang relevan, keterangan, kronologis, dan pendirian akhir secara tertulis kepada Mediator hubungan industrial
3. Apabila para pihak tidak dapat memberikan keterangan, kronologis, dan pendirian akhir pada sidang mediasi yang pertama, maka untuk sidang mediasi yang kedua dibuat kesepakatan para pihak berkewajiban memberikan/menyerahkan keterangan, kronologis, dan pendirian akhir
4. Apabila dalam proses mediasi terdapat perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diikuti oleh perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan, maka Mediator hubungan industrial mendahulukan penyelesaian perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan
5. Sebelum Mediator hubungan industrial mengeluarkan Anjuran tertulis harus berupaya mendapatkan informasi dan data yang selengkapnya-lengkapnya sebagai bahan pertimbangan hukum
6. Sebelum mengeluarkan Anjuran tertulis, Mediator hubungan industrial perlu berkoordinasi dengan Pengawas Ketenagakerjaan dalam hal terdapat Nota Pemeriksaan terkait dengan perselisihan hak
7. Anjuran tertulis Mediator hubungan industrial harus memuat pertimbangan mengenai ketentuan perundangan yang terkait dengan perselisihan hubungan industrial
8. Jangka waktu mediasi maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dimulai mediasi dan dapat diperpanjang jika para pihak menyetujui.
Selanjutnya, langkah-langkah yang dilakukan setelah mediasi antara lain :
1. Dalam hal mediasi kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan, Mediator hubungan industrial mengeluarkan Anjuran tertulis dan menyampaikan Anjuran tertulis kepada pihak pekerja dan pengusaha yang mencatatkan perselisihan
2. Setelah menyampaikan Anjuran tertulis tersebut, Mediator hubungan industrial menunggu jawaban Anjuran tertulis dari kedua belah pihak tersebut
3. Mediator hubungan industrial membuat Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setelah menerima jawaban Anjuran tertulis atau setelah melebihi 10 (sepuluh) hari sejak dikeluarkannya Anjuran tertulis
Mediator melakukan pemanggilan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perundingan mediasi, yakni pemanggilan I pada tanggal 20 Mei 2015 untuk berunding pada tanggal 28 Mei 2015 dimana pihak kuas karyawan dan pihak pengusaha hadir, tetapi belum mencapai kesepakatan.
Kemudian, dilakukan pemanggilan ke II pada tanggal 8 Juni 2015, tetapi kedua belah pihak belum juga ada kesepakatan. Selanjutnya, pada pemanggilan ke III, dilakukan perundingan mediasi pada tanggal 15 Juni 2015, dihadiri kedua belah pihak, tetapi tidak ada kesepakatan.
Sehubungan dengan itu, pnyelesaian perselisihan hubungan industrial tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) antara karyawan Sdr. T melalui kuasa Biro Konsultasi Bantuan Hukum FH dengan perusahaan PT. X yang beralamat di Medan tidak mencapai kesepakatan di tingkat mediasi, maka sesuai ketentuan UU No. Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pasal 13 ayat (2) Mediator mengeluarkan anjuran sebagai bahan pertimbangan setelah mendengar keterangan-keterangan pihak karyawan dan pihak pengusaha.
Keterangan Kuasa Karyawan
Pihak karyawan melalui kuasanya bahwa pihak karyawan bekerja di perusahaan PT.X mulai tanggal 26 Agustus 2013 sampai dengan 26 Agustus 2014, dan diperpanjang lagi mulai 26 Agustus 2014 sampai dengan 26 Agustus 2015 dengan jabatan sebagai kasir. Pihak karyawan menerima upah sebesar Rp. 1,800.000,-/bulan.
Pada tanggal 18 Januari 2015 pihak karyawan ingin memulai pekerjaan, namun Pak A sebagai koordinator wilayah tidak mengijinkan karyawan untuk bekerja dan menyatakan “ngapain datang lagi mau merusak perusahaan ya”. Kemudian, mulai tanggal 19 Januari 2015 karyawan itu tidak masuk lagi bekerja.
Selanjutnya, pada tanggal 16 Pebruari 2015 pihak karyawan menerima Surat Panggilan I dari Perusahaan PT. X. Kemudian, pada tanggal 18 Pebruari 2015 pihak karyawan kembali menerima Surat Panggilan ke II dari Perusahaan PT. X. Setelah surat tersebut diterima pihak karyawan dilarang untuk masuk bekerja kembali ke perusahaan PT.X.
Melalui sidang mediasi di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 23 JUli 2015, melalaui kuasa pihak karyawan meminta kepada pihak perusahaan untuk membayar hak-hak karyawan sesuai aturan ketenagakerjaan.
Keterangan Pihak Pengusaha
Pihak perusahaan menganggap pihak karyawan sudah termasuk kkualifikasi mengundurkan diri, karena pihak karyawan sudah tidak masuk bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut. Pihak perusahaan menyatakan pada tanggal 18 Januari 2015, pihak karyawan dipanggil untuk klarifikasi barang yang hilang. Dan pihak perusahaan hanya bisa memberikan uang sisa cuti yang belum diambil.
Meskipun, pihak perusahaan telah membuat Surat Panggilan I dan Surat Panggilan ke II, namun pihak perusahaan mengatakan bahwa pihak karyawan tidak bersalah dalam kehilangan barang tersebut.
Pendapat Mediator
Mediator setelah mendengar keterangan dari pada kedua belah pihak, permasalahan yang timbul karena pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana perusahaan PT.X mengatakan bahwa pihak karyawan dikualifikasikan mengundurkan diri sesuai dengan pasal 168 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat diterima karena karena pihak karyawan datang ke Kantor PT. X tetapi tidak ada pihak perusahaan yang dijumpai. Bahkan pihak karyawan telah berulangkali datang ke Kantor sesuai dengan perintah Manager Area, tetapi tidak pernah pihak perusahaan dan pihak karyawan klarifikasi karena pihak perusahaan tidak datang.
Selain itu, berdasarkan keterangan dari pihak perusahaan bahwa pihak karyawan tidak ada salah dalam kehilangan barang, maka guna menyelesaikan masalah tersebut Mediator menganjurkan agar pimpinan Perusahaan PT.X membayarkan hak-hak pihak karyawan dengan masa kerja 1 tahun 6 bulan dengan upah sebesar Rp. 1.800.000,-/bulan/dengan perincian sebagai berikut :
a. Uang pesangon sebesar 2x2xRp.2.037.000,- = Rp. 9.048.000,-
b. Uang penggantian perumahan dan pengobatan 15 % x Rp. 9.048.000,-
= Rp. 1.422.000,-
Total Rp. 10.470.000,- (Sepuluh jta empat ratus tujuh puluh ribu rupiah).
5. Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan yang dikemukakan, maka penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1) Apabila pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindari, maka sebaiknya perusahaan PT. X terlebih dahulu/wajib dirundingkan secara bipartit.
2) Seyogianya perusahaan PT. X dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
3) Seyogianya perusahaan PT. X membayar hak-hak karyawan sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Crawley, John & Katherine Graham. 2002. Mediation for Managers. Penyelesaian Konflik dan Pemulihan Kembali Hubungan di Tempat Kerja. Penerbit Bhuana Ilmu Populer. Jakarta
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/06/M.PAN/4/2009 tentang Jabatan Fungsional Mediator Hubungan Industrial Dan Angka Kreditnya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 17 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi.
PERANAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN X
1. Latar Belakang Masalah
Pmutusan hubungan Kerja (PHK) adalah suatu kondisi tidak bekerjanya lagi karyawan pada suatu perusahaan karena hubungan kerja antara yang bersangkutan dengan perusahaan terputus atau tidak diperpanjang lagi (Sedarmayanti, 2009:313).
Sementara itu menurut pasal 1 ayat 25 UU N0. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya haka dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut akan menimbulkan risiko bagi perusahaan maupun karyawan. Bagi pihak perusahaan, menurut Sedarmayanti (2009:313) pemutusan hubungan kerja ini akan menimbulkan risiko antara lain :
1) Melepas karyawan yang sudah berpengalaman dan setia
2) Terhentinya produksi sementara dengan adanya pemtusan hubungan kerja
3) Harus mencari penggantinya dengan karyawan baru
4) Untuk mengganti perlu biaya yang besar guna merekrut
5) Hasil kerja karyawan pengganti belum tentu sebaik karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja.
Risiko pemutusan hubungan kerja bagi kaeryawan, menurut Sedarmayanti (2009:313) akan terlihat pada :
1) Hilangnya atau berkurangnya penghasilan yang diterima untuk membiayai keluarga
2) Timbulnya situasi yang tidak enak karena harus menganggur
3) Berkurangnya rasa harga diri apalagi bila selama ini memangku suatu jabatan
4) Terputusnya hubungan (relasi) dengan teman-teman sekerja
5) Harus lagi bersusah payah mencari pekerjaan baru.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan kebijakan pemerintah dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, karena peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi implementasi kebijakan publik. Undang-Undang ini memberikan keutamaan terhadap perundingan bipartit untuk penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial diikuti dengan proses penyelesaian di luar pengadilan yaitu mediasi, konsiliasi, arbitrasi dan dimungkinkan berlanjut melalui proses Pengadilan Hubungan Industrial maupun Mahkamah Agung.
Mediasi hubungan industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral (Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/06/M.PAN/4/2009).
Mediasi adalah proses dimana pihak ketiga yang netral membantu orang yang terlibat dalam konflik untuk mengungkapkan dan memahami perbedaan mereka dan, jika mungkin mendamaikan mereka (Crawley dan Katherina Graham, 2002:4).
Bertitik tolak dari uraian diatas, dapat dikatan bahwa salah satu masalah ketenagakerjaan yang terjadi adalah perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini pemutusan hubungan kerja (PHK), yang kewenangan penyelesaiannya ada pada Mediator hubungan industrial.
Menurut pasal 1 ayat 12 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, menyebutkan Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dapat dicatat bahwa mediasi adalah bagian yang penting dari sistem penyelesaian perselisihan dan merupakan langkah pertama yang dianjurkan bagi para pihak yang berselisih untuk melakukan bipartit terlebih dahulu dan diikuti jika perundingan bipartit gagal maka dapat dilanjutkan ke pada mediasi.
2. Kondisi Eksistency
Perusahaan PT. X bergerak di bidang retail, Sdr. T bekerja sebagai kasir. Pada tanggal 14 Januari 2015 perusahaan melakukan perhitungan barang sampai dengan tanggal 15 Januari 2015. Kemudian, pada tanggal 16 Januari 2015 disuruh ke Kantor pusat perusahaan PT. X untuk mempertanggungjawabkan Nota Barang Hilang 70 (NBH 70).
Pada tanggal 17 Januari 2015 Sdr. T ditelepon oleh Pak N sebagai Asisten chip store (Acos) untuk datang ke toko karena tidak ada personil perbantuan untuk membuka toko tersebut. Pada hari itu juga Sdr. T menelepon Pak A sebagai koordinator bahwa server computer tidak bisa untuk mengakses dan mencetak label pres (daftar harga) untuk barang dan cetak setoran untuk dikirim ke pusat.
Pada hari itu juga, Pak A menyuruh/memerintahkan personil yang lain untuk menjaga toko, karena Sdr. T dan rekan-rekannya ada 6 (enam) orang diperintahkan ke Kantor Pusat perusahaan PT. X untuk memperjelas Stock of name Nasional (Sonas) atau perhitungan barang secara nasional. Berdasarkan hasil Sonas ternyata ada kehilangan barang senilai kurang lebih Rp. 70 juta. Sdr. T diminta untuk mempertanggungjawabkannya..
Pada tanggal 18 Januari 2015, Sdr. T datang ke toko untuk mengklarifikasi barang hilang sekaligus mengisi absen, tetapi Pak A sebagai koordinator tidak menginjinkannya untuk absen. Setelah itu, mulai tanggal 19 Januari 2015 Sdr. T tidak pernah masuk bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut.
Kemudian, pada tanggal 16 Pebruari 2015 Sdr. T menerima Surat Panggilan I dari perusahaan PT. X yang isinya karena ketidakhadiran Sdr. T selama lebih dari 3 (tiga) hari berturut-turut sejak tanggal 5 Pebruari 2015 sampai dengan tanggal 16 Pebruari 2015 dan tanpa memberikan keterangan ke perusahaan, maka Sdr. T diminta hadir pada tanggal Pebruari 2015 untuk menghadap Pak N dan memberikan keterangan serta menyerahkan bukti yang sah atas ketidakhadiran Sdr. T bekerja selama lebih dari 3 (tiga) hari tersebut.
Selanjutnya, pada tanggal 18 Pebruari 2015 Sdr. T datang ke Kantor Pusat perusahaan PT X, tetapi Pak N tidak ada di tempat, namun pada saat itu juga Sdr. T menerima Surat Panggilan ke II dari perusahaan PT. X yang isinya agar Sdr. T diminta hadir pada tanggal 23 Pebruari 2015 untuk menghadap Pak T dan memberikan keterangan serta menyerahkan bukti yang sah atas ketidakhadiran Sdr. T. Apabila Sdr. T tidak hadir pada panggilan yang ke II itu, dan atau apabila Sdr. T hadir namun tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan bukti yang sah, maka sesuai pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Sdr. T akan dikualifikasikan mengundurkan diri.
Untuk lebih jelasnya, bunyi pasal 168 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : “pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri”.
Pada tanggal 6 Mei 2015 Sdr. T mengirim surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini pemutusan hubungan kerja (PHK), kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan surat permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diajukan Sdr. T tersebut, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigras Provinsi Sumatera Utara menunjuk Mediator untuk mengadakan perundingan/mediasi kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr. T tersebut.
3. Masalah
Adapun yang menjadi masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) Sdr, T oleh Perusahaan PT. X.
Menurut pasal 1 ayat (25) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyatakan bahwa “pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”
Timbulnya pemutusan hubungan kerja (PHK) itu, menurut Sedarmayanti (2009:313-314) bisa bersumber dari :
1) Permintaan karyawan sendiri
2) Kebijaksanaan organisasi atau perusahaan
3) Tidak ada pengembangan karir
4) Masalah keluarga
5) Masalah kesehatan yang tidak cocok
6) Merasa pekerjaan tidak cocok dengan minat dan bakat
7) Perlakuan yang dirasa kurang adil, dan sebagainya.
Kebijaksanaan PHK untuk sebagian karyawan, menurut Sedarmayanti (2009:314) terpaksa diambil karena misalnya :
1) Karyawan tidak disiplin
2) Karyawan kurang cakap dan tidak produktif
3) Karyawan mempunyai prilaku asusila
4) Karyawan tidak dapat bkerja sama
5) Penyederhanaan organisasi dalam perusahaan dan sebagainya.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) atas kehendak perusahaan menurut Sedarmayanti (2009:314) dapat menimbulkan akibat bagi perusahaan, antara lain :
1) Perusahaan harus member uang pesangon (uang tolak) atau pembayaran pensiun kepada karyawan yang di PHK
2) Perusahaan dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bila PHK tidak tepat.
Saat ini, perusahaan dapat digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial, bukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara lagi (UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
Menurut Sedarmayanti (2009:314-315), peraturan perundang-undangan mengatur bahwa seorang yang terkena peraturan harus Di PHK, yaitu bila karyawan tersebut :
1) Meninggal dunia atau hilang tak tahu rimbanya
2) Telah mencapai batas usia untuk PHK
3) Melanggar peraturan yang berlaku
4) Berakhirnya kontrak dengan perusahaan
5) Terlibat dengan kegiatan yang menentang pemerintah.
4. Pemecahan Masalah
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi, menyebutkan bahwa Mediator Hubungan Industrial mempunyai kewenangan :
1) Meminta para pihak untuk memberikan keterangan secara lisan dan tertulis;
2) Meminta dokumen dan surat-surat yang berkaitan dengan perselisihan dari para pihak;
3) Menghadirkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan;
4) Meminta dokumen dan surat-surat yang diperlukan dari Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota atau lembaga terkait;
5) Menolak kuasa para pihak yang berselisih apabila tidak memiliki surat kuasa khusus;
6) Menolak kuasa para pihak dan/atau pemegang surat kuasa apabila ada indikasi menghambat proses mediasi;
7) Sebelum melakukan proses mediasi dapat mengundang para pihak yang berselisih untuk melakukan klarifikasi permasalahan atau perselisihan hubungan industrial yang dihadapi para pihak.
Sebelum melaksanakan sidang mediasi, Mediator hubungan industrial dapat melakukan klarifikasi dengan mengundang para pihak. Langkah-langkah sebelum mediasi antara lain :
1. Tujuan Klarifikasi
a. Mengetahui kejelasan posisi kasusnya
b. Mengetahui kebenaran kasus yang diadukan sudah pernah diproses oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau belum diproses. Mendapat kejelasan jurisdiksi relative, apakah menjadi kewenangan Kementerian atau instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi atau Kabupaten/Kota.
2. Klarifikasi tidak termasuk dalam jangka waktu mediasi
3. Jika dilakukan klarifikasi, dicantumkan dalam buku register klarifikasi sebelum dicatatkan ke register pencatatan penyelesaian perselisihan
4. Dalam klarifikasi permasalahan perselisihan hubungan industrial tentang tentang duduk permasalahannya, maka yang berwenang untuk memberikan penjelasan klarifikasi adalah pejabat atau aparat yang berwenang di bidang hubungan industrial
5. Asas kepatutan waktu pengiriman surat undangan. Klarifikasi disesuaikan dengan kondisi dan letak geografis
6. Undangan klarifikasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja dan dapat lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berdasarkan kesepakatan yang dibuat para pihak
7. Penegasan adanya tambahan waktu untuk klarifikasi dengan syarat disepakati para pihak dan tidak dapat dihitung waktu dalam proses mediasi
8. Apabila sudah pernah diproses oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan lain dan belum dikeluarkan anjuran tertulis oleh Mediator hubungan industrial, harus dibuat kesepakatan oleh para pihak
9. Apabila pihak yang mengadukan permasalahan perselisihan hubungan industrial tidak hadir dalam undangan klarifikasi tanpa alasan yang jelas, maka pengaduannya tidak ditindaklanjuti
10. Dalam hal pihak yang diadukan tidak memenuhi panggilan klarifikasi, maka akan diproses sesuai peraturan perundangan yang berlaku
11. Hasil keterangan dan/atau kelengkapan data perselisihan yang telah diperoleh dari para pihak dituangkan dalam Risalah Klarifikasi selama tidak dilanjutkan ke tahap mediasi.
Setelah dilakukan klarifikasi atau dokumen dan surat-surat terkait dengan permasalahannya sudah dianggap cukup, Mediator hubungan industrial dapat melakukan panggilan mediasi. Langkah-langkah yang dilakukan selama mediasi :
1. Pihak pekerja dan pengusaha yang berselisih dapat didampingi oleh perangkat organisasinya (SP/SB atau Apindo) atau kuasa hukum di luar SP/SB atau Apindo, dengan memberikan surat kuasa khusus
2. Para pihak yang berselisih berkewajiban memberikan fakta, data yang relevan, keterangan, kronologis, dan pendirian akhir secara tertulis kepada Mediator hubungan industrial
3. Apabila para pihak tidak dapat memberikan keterangan, kronologis, dan pendirian akhir pada sidang mediasi yang pertama, maka untuk sidang mediasi yang kedua dibuat kesepakatan para pihak berkewajiban memberikan/menyerahkan keterangan, kronologis, dan pendirian akhir
4. Apabila dalam proses mediasi terdapat perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diikuti oleh perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan, maka Mediator hubungan industrial mendahulukan penyelesaian perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan
5. Sebelum Mediator hubungan industrial mengeluarkan Anjuran tertulis harus berupaya mendapatkan informasi dan data yang selengkapnya-lengkapnya sebagai bahan pertimbangan hukum
6. Sebelum mengeluarkan Anjuran tertulis, Mediator hubungan industrial perlu berkoordinasi dengan Pengawas Ketenagakerjaan dalam hal terdapat Nota Pemeriksaan terkait dengan perselisihan hak
7. Anjuran tertulis Mediator hubungan industrial harus memuat pertimbangan mengenai ketentuan perundangan yang terkait dengan perselisihan hubungan industrial
8. Jangka waktu mediasi maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dimulai mediasi dan dapat diperpanjang jika para pihak menyetujui.
Selanjutnya, langkah-langkah yang dilakukan setelah mediasi antara lain :
1. Dalam hal mediasi kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan, Mediator hubungan industrial mengeluarkan Anjuran tertulis dan menyampaikan Anjuran tertulis kepada pihak pekerja dan pengusaha yang mencatatkan perselisihan
2. Setelah menyampaikan Anjuran tertulis tersebut, Mediator hubungan industrial menunggu jawaban Anjuran tertulis dari kedua belah pihak tersebut
3. Mediator hubungan industrial membuat Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setelah menerima jawaban Anjuran tertulis atau setelah melebihi 10 (sepuluh) hari sejak dikeluarkannya Anjuran tertulis
Mediator melakukan pemanggilan kepada kedua belah pihak untuk melakukan perundingan mediasi, yakni pemanggilan I pada tanggal 20 Mei 2015 untuk berunding pada tanggal 28 Mei 2015 dimana pihak kuas karyawan dan pihak pengusaha hadir, tetapi belum mencapai kesepakatan.
Kemudian, dilakukan pemanggilan ke II pada tanggal 8 Juni 2015, tetapi kedua belah pihak belum juga ada kesepakatan. Selanjutnya, pada pemanggilan ke III, dilakukan perundingan mediasi pada tanggal 15 Juni 2015, dihadiri kedua belah pihak, tetapi tidak ada kesepakatan.
Sehubungan dengan itu, pnyelesaian perselisihan hubungan industrial tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) antara karyawan Sdr. T melalui kuasa Biro Konsultasi Bantuan Hukum FH dengan perusahaan PT. X yang beralamat di Medan tidak mencapai kesepakatan di tingkat mediasi, maka sesuai ketentuan UU No. Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pasal 13 ayat (2) Mediator mengeluarkan anjuran sebagai bahan pertimbangan setelah mendengar keterangan-keterangan pihak karyawan dan pihak pengusaha.
Keterangan Kuasa Karyawan
Pihak karyawan melalui kuasanya bahwa pihak karyawan bekerja di perusahaan PT.X mulai tanggal 26 Agustus 2013 sampai dengan 26 Agustus 2014, dan diperpanjang lagi mulai 26 Agustus 2014 sampai dengan 26 Agustus 2015 dengan jabatan sebagai kasir. Pihak karyawan menerima upah sebesar Rp. 1,800.000,-/bulan.
Pada tanggal 18 Januari 2015 pihak karyawan ingin memulai pekerjaan, namun Pak A sebagai koordinator wilayah tidak mengijinkan karyawan untuk bekerja dan menyatakan “ngapain datang lagi mau merusak perusahaan ya”. Kemudian, mulai tanggal 19 Januari 2015 karyawan itu tidak masuk lagi bekerja.
Selanjutnya, pada tanggal 16 Pebruari 2015 pihak karyawan menerima Surat Panggilan I dari Perusahaan PT. X. Kemudian, pada tanggal 18 Pebruari 2015 pihak karyawan kembali menerima Surat Panggilan ke II dari Perusahaan PT. X. Setelah surat tersebut diterima pihak karyawan dilarang untuk masuk bekerja kembali ke perusahaan PT.X.
Melalui sidang mediasi di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 23 JUli 2015, melalaui kuasa pihak karyawan meminta kepada pihak perusahaan untuk membayar hak-hak karyawan sesuai aturan ketenagakerjaan.
Keterangan Pihak Pengusaha
Pihak perusahaan menganggap pihak karyawan sudah termasuk kkualifikasi mengundurkan diri, karena pihak karyawan sudah tidak masuk bekerja selama 2 (dua) minggu berturut-turut. Pihak perusahaan menyatakan pada tanggal 18 Januari 2015, pihak karyawan dipanggil untuk klarifikasi barang yang hilang. Dan pihak perusahaan hanya bisa memberikan uang sisa cuti yang belum diambil.
Meskipun, pihak perusahaan telah membuat Surat Panggilan I dan Surat Panggilan ke II, namun pihak perusahaan mengatakan bahwa pihak karyawan tidak bersalah dalam kehilangan barang tersebut.
Pendapat Mediator
Mediator setelah mendengar keterangan dari pada kedua belah pihak, permasalahan yang timbul karena pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana perusahaan PT.X mengatakan bahwa pihak karyawan dikualifikasikan mengundurkan diri sesuai dengan pasal 168 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat diterima karena karena pihak karyawan datang ke Kantor PT. X tetapi tidak ada pihak perusahaan yang dijumpai. Bahkan pihak karyawan telah berulangkali datang ke Kantor sesuai dengan perintah Manager Area, tetapi tidak pernah pihak perusahaan dan pihak karyawan klarifikasi karena pihak perusahaan tidak datang.
Selain itu, berdasarkan keterangan dari pihak perusahaan bahwa pihak karyawan tidak ada salah dalam kehilangan barang, maka guna menyelesaikan masalah tersebut Mediator menganjurkan agar pimpinan Perusahaan PT.X membayarkan hak-hak pihak karyawan dengan masa kerja 1 tahun 6 bulan dengan upah sebesar Rp. 1.800.000,-/bulan/dengan perincian sebagai berikut :
a. Uang pesangon sebesar 2x2xRp.2.037.000,- = Rp. 9.048.000,-
b. Uang penggantian perumahan dan pengobatan 15 % x Rp. 9.048.000,-
= Rp. 1.422.000,-
Total Rp. 10.470.000,- (Sepuluh jta empat ratus tujuh puluh ribu rupiah).
5. Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan yang dikemukakan, maka penulis memberikan rekomendasi sebagai berikut :
1) Apabila pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat dihindari, maka sebaiknya perusahaan PT. X terlebih dahulu/wajib dirundingkan secara bipartit.
2) Seyogianya perusahaan PT. X dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
3) Seyogianya perusahaan PT. X membayar hak-hak karyawan sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Crawley, John & Katherine Graham. 2002. Mediation for Managers. Penyelesaian Konflik dan Pemulihan Kembali Hubungan di Tempat Kerja. Penerbit Bhuana Ilmu Populer. Jakarta
UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/06/M.PAN/4/2009 tentang Jabatan Fungsional Mediator Hubungan Industrial Dan Angka Kreditnya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 17 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi.
Friday, February 17, 2017
MAKALAH ORGANISASI DAN MANAJEMEN PEMERINTAHAN
ORGANISASI DAN MANAJEMEN PEMERINTAHAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNya yang telah dilimpahkan kepada kita sehingga kita masih diberi nafas kehidupan dan dapat berkumpul ditempat ini kembali. Kami berterimakasih atas bantuan dan arahan dari dosen pemimbing yang telah meluangkan waktunya kepada kami dalam penyelesaian makalah ini dan juga kami tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada teman-teman sekalian yang telah memberikan tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan makalah ini sehingga selesai pada waktunya. Harapan kami supaya makalah ini dapat membantu pemahaman masyarakat banyak dan juga mahasiswa-mahasiswi agar pola pemikiran mangarah pada pelayanan publik yang baik dan menuju pada kesejahteraan bersama.
Kami menyusun makalah ini dengan judul “ Pemerintah Katalis” pemerintah katalis mengendalikan lebih baik dari mengayuh (merangkul) dimana prinsip ini mengandung pengertian bahwa pemerintah lebih baik mengayuh dari pada urusan sendiri dari pelayanan.
Medan, 19 Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pegantar ........................................................................................................................... i
Daftar Isi ....................................................................................................................................ii
Bab.I Pendahuluan ..................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang …………....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ………………...................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ………………….................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan …………………………...................................................................... 2
Bab. II Landasan Teori ............................................................................................................ 3
2.1 Pengertian Organisasi ……………………........................................................................ 3
2.2 Pengertian Manajemen ……………………....................................................................... 3
2.3 Pengertian Pemerintahan …………………………............................................................ 4
Bab III Pembahasan Tentang Pemerintahan Katalis Dilihat Dari Organisasi dan Manajemen Pemerintahan .......................................................................................................................... 6
3.1 Pemerintahan Serba Negara Berorientasi Ke Pasar (Market Oriented Government)…..... 6
3.2 Pemerintahan Sentralistik ke Desentralisasi………………………....................................8
3.3 Reinventing Government dan Good Governance …………………….............................. 9
3.3.1 Reinventing Government .................................................................................... 9
3.3.2 Good Governance .............................................................................................. 15
Studi kasus yang dikutip dari koran ....................................................................................... 17
Bab. IV Kesimpulan dan saran ………………………….......................................................19
Bab. IV Daftar Pustaka ………………...................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuntutan masyarakat tentang terwujudnya masyarakat yang Civil Society (masyarakat madani) merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia sekarang ini. Tuntutan ini menjadi semakin mendesak setelah pintu tirani kekuasaan terbuka lebar, yang memungkinkan seluruh rakyat Indonesia melihat dengan jelas hakekat kekuasaan. Hakekat kekuasaan negara tersebut adalah kekuasaan yang diperoleh dari rakyat dan pertanggung jawaban atas kekuasaan tersebut juga kepada rakyat. Sebagai pihak yang telah diberikan kekuasaan oleh rakyat, tentulah pihak pemerintah harus memberikan out put yang terbaik buat rakyat. Sekarang sudah saatnya pemerintah mengembalikan hak-hak politik masyarakat yang selama ini dikekang oleh pemerintah yang berkuasa dengan demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Senada dengan perubahan di dalam manajemen pemerintahan, muncul paradigma baru dalam pengelolaan aset, dimana pengelolaan kabupaten/kota harus dilaksanakan secara profesional selayaknya perusahaan yang berbentuk holding company. Dengan paradigma tersebut, pengelolaan daerah termasuk aset-aset pemda bisa dilakukan secara benar dan optimal. Aset pemda baik berupa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun kekayaan alam lainnya seperti pertambangan, kehutanan, perikanan harus dikelola seperti pengelolaan perusahaan swasta. Fokus utama pengelolaan adalah optimalisasi profit, disamping aspek sosial sebagai public good tetap harus diperhatikan dari sisi yang lain. Pengelolaan aset secara profesional ini mengarah pada privatisasi, karena dengan privatisasi, pengelolaan aset pemda benar-benar dapat dioptimalkan
Disamping itu sistem pemerintahan yang sentralistik mengakibatkan lambannya proses penetapan kebijakan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Daerah tidak mau membuat kebijakan publik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena harus menunggu petunjuk dari pemerintah pusat. Meskipun turun petunjuk dari pemerintah pusat, tetapi hal tersebut sudah "out of date" sudah tidak cocok dengan kebutuhan. Kondisi ini akan menambah rasa ketidak puasan masyarakat kepada pemerintah.
1.2 Rumusan Masalah
Yang menjadi sorotan utama dalam makalah ini adalah :
1. Kajian tentang pengertian Organisasi dan Manajemen Pemerintahan ?
2. Pola dan bentuk-bentuk pemerintahan ?
3. Kajian tentang pengertian Pemerintah Katalis ?
4. Menjabarkan tentang perlunya Reformasi Birokrasi dalam Manajemen Pemerintahan ?
5. Menjelaskan hakekat Reinventing Government ?
6. Fungsi dan tujuan Reinventing Goverment dan Good Governance ?
7. Menjabarkan suatu studi kasus yang dikutip dari koran
1.3 Tujuan Penulisan
Ada pun yang menjadi tujuan kami menyusun makalah ini adalah :
1. Pemahaman tentang arti, konsep, bentuk dan pola Organisasi dan Manajemen Pemerintahan
2. Pemahaman tentang Reinventing Government beserta hakekatnya
3. Mengarahkan kesadaran masyarakat dan mahasiswa untuk memahami Pemerintah yang Katalis yang baik
4. Memberikan informasi penting Manajemen Pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini semoga dapat memberikan manfaat kepada pembaca yaitu :
1. Mengetahui praktek Manajeman Pemerintahan guna menciptakan dan menghasilkan sumber daya serta demi tercapainya cita-cita bangsa
2. Mendapatkan pemahaman tentang Manajemen Pemerintahan baik di luar maupun di dalam
3. Memberi pemahaman tentang sikap para masyarakat, mahasiswa dalam menilai para aparatur negara dalam Manajemen Pemrintahan
Bab II
Landasan Kerangka Teori
Agar pemerintah Indonesia tetap mendapat tempat dihati masyarakat Indonesia, maka pemerintah perlu melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki diri. Salah satu caranya adalah dengan mengefisienkan manajeman pemerintahan atau melaksanakan manajemen yang biasanya dilakukan oleh pihak swasta atau yang lebih dikenal dengan "Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government)".
Kerangka Teori
2.1 Pengertian Organisasi
1. Chester I. Barnard (1938) dalam bukunya “The Executive Functions” mengemukakan bahwa : “ Organisasi adalah system kerjasama antara dua orang atau lebih” (I define organization as a system of cooperatives of two more persons)
2. James D. Mooney mengatakan bahwa : “Organization is the form of every human association for the attainment of common purpose” (Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan bersama)
3. Menurut Dimock, organisasi adalah : “Organization is the systematic bringing together of interdependent part to form a unified whole through which authority, coordination and control may be exercised to achive a given purpose” (organisasi adalah perpaduan secara sistematis daripada bagian-bagian yang saling ketergantungan/berkaitan untuk membentuk suatu kesatuan yang bulat melalui kewenangan, koordinasi dan pengawasan dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan).
2.2 Pengertian Manajemen
1. Drs. Oey Liang Lee ; Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan pengorganisasian,penyusunan,pengarahan dan pengawasan daripada sumberdaya manusia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. James A.F. Stoner; Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunakan sumberdaya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi tang telah ditetapkan.
3. GR. Terry ; Manajemen merupakan suatu proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya.
4. Lawrence A. Appley; Manajemen adalah seni pencapaian tujuan yang dilakukan melalui usaha orang lain
5. Horold Koontz dan Cyril O’donnel ; Manajemen adalah usaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain.
6. Haiman, manajemen yaitu fungsi untuk mencapai suatu tujuan melalui kegiatan orang lain, mengawasi usaha-usaha yang dilakukan individu untuk mencapai tujuan.
7. Marry Parker FoUett menyatakan bahwa manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.
2.3 Pengertian Pemerintahan
1. Budi Supriyatno 2009:37; Ilmu Pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari kinerja pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk mewujudkan tujuan negara.
2. Taliziduhu Ndraha 2000; Ilmu Pemerintahan adalah sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pemerintah sebagai unit kerja publik dalam memenuhi dan melindungi tuntutan masyarakat yang diperintah
3. C.F Strong 1960:6; Pemerintahan adalah organisasi dalam mana diletakkan hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat atau tertinggi, pemerintahan mempunyai kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif
4. Ramlan Surbakti 1992:168; Pemerintahan dan pemerintah berbeda artinya pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan sedangkan pemerintah artinya aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara
5. Inu Kencana Syafiie 2001:24; “Ilmu Pemerintahan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana melaksanakan pengurusan (eksekutif), pengaturan (legislatif), kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan (baik pusat dengan daerah maupun rakyat dengan pemerintahnya) dalam berbagai peristiwa dan gejala pemerintahan, secara baik dan benar”.
Menurut kesimpulan yang kami kutip dari beberapa pendapat para ahli :
Pengertian Organisasi Manajemen Pemerintahan adalah kumpulan orang-orang 2, 3 atau lebih yang bekerjasama dalam kegiatan serta mempelajari cara-cara pengelolahaan pemerintahan oleh penguasa atau penyelenggara negara dalam rangka mencapai tujuan yang telah disepakati atau yang telah ditentukan seperti mencapai kesejahteraan rakyat.
BAB III
PEMBAHASAN
KAJIAN TENTANG PEMERINTAH KATALIS DILIHAT DARI
ORGANISASI DAN MANAJEMEN PEMERINTAHAN
3.1 Pemerintahan Serba Negara Berorientasi Ke Pasar (Market Oriented Government)
Sebagai salah satu konsep pemikiran yang termasuk dalam prinsip-prinsip market oriented government, konsep ini mencerminkan pergeseran yang cukup mendasar karena dari seluruh urusan masyarakat diselenggarakan oleh negara, jadi negara melaksanakan berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Negara menjadi sentral kekuasaan, segala pertimbangan menyangkut kepentingan masyarakat harus melalui otoritas negara. Namun kondisi yang dihadapi negara dan pemerintah semakin kompleks, negara semakin kewalahan dan kepentingan pelayanan publik semakin tidak terurus, negara justru mengurus dirinya sehingga terasing dengan konteks masyarakatnya. Pemerintah sudah mulai berorientasi kepada pasar (market)
Dalam pengertian pasar sebagai publik atau masyrakat. Dalam konsep tersebut pemerintah lebih berorientasi pada “menciptakan” arena transaksional yang lebih terbuka dalam masyarakat, yakni sebagaimana hukum permintaan dan penawaran dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu, supaya mekanisme pasar dapat berjalan maka pemberdayaan masyarakat (empowering) menjadi kebijakan pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena itu, apabila pemerintah dan bersama aparatur birokrasinya harus selalu terbuka dengan segala kebijakan yang akan dijalankan sehingga pemerintah tidak memanipulasi kerahasiaan akses informasi kepada masyarakat dan masyarakatlah yang akan mengurus dirinya sesuai dengan pilihan yang terbaik dan adil atas kebutuhannya.
Dengan demikian negara dan pemerintah semakin sedikit memerintah (less government) maka masyarakat semakin mudah dan murah untuk mendapatkan kepentingannya. Meskipun otoritas pemerintah berkurang karena sudah diberikan kewenangan kepada masyarakat tersebut melalui konsep pemberdayaan (empowering), partisipasi masyarakat lebih intensif baik dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat, pembentukan yayasan atas prakarsa masyarakat, sampai pada bentuk privatisasi. Dengan berkurangnya fungsi pemerintah bukan berarti pemerintah menjadi berkurang kewibawaannya, tetapi justru dengan model kewenangan dan fungsi pemerintah sebagai pengarah dan regulator serta pengendali dalam mandat, ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat, sehingga fungsi pemerintah bisa berjalan efisien dan efektif.
Jika dicermati lebih jauh sebenarnya dalam kegiatan pemerintah sudah cukup banyak mengadopsi dan menerapkan konsep praktek paradigma New Public Manajemen dalam meningkatkan kinerja tugas pokok dan funsi organisasi pemerintahan. Tapi seringkali perkembangan yang sudah cukup baik terhenti karena kemungkinan tidak didukung oleh anggaran yang cukup dan kurang mendapat dukungan dari pimpinan secara berkesinambungan.
Untuk melengkapi argumentasi bahwa sesungguhnya dalam beberapa kegiatan pemerintah yang sudah mendapat esensi atau substansi yang dapat dikategorikan dalam pembangunan kegiatan kinerja program pemerintah sebagai berikut :
1. Dalam penyelenggaraan pemerintah dengan penerapan program kegiatan yang mengacu pada prinsip management by Obyective (MBO). Berfokus pada kegiatan organisasi dengan kelompok kerja (team work), sehingga suasana kerja lebih inovatif, dinamis dan kreatif sesuai dengan prinsip bisnis bahwa pemerintah berorientasi pada dasar yang terdapat banyak kompetitor.
2. Penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi hasil dengan lebih menekankan pada kualitas hasil melalui pembentukan gugus kendali mutu (total quality control). Mekanisme kerja TQC juga lebih mencerminkan keterbukaan, dialogis, konsensus dan prinsip persamaan. Melalui kelembagaan penjamin mutu, yang disebut manajemen mutu merupakan kebijakan pemerintah mekanisme pasar.
3. Debirokrasi dalam pemberian palayanan publik yang sudah diberikan unit-unit pelayanan seperti pembentukan Unit Pelayanan Satu Atap, dibeberapa instansi pemerintah contohnya kantor samsat dengan upaya mendekatkan dan memudahkan pelayanan kepada masyarakat, sudah mencerminkan pemerintah milik rakyat dan mengikuti apa yang diinginkan masyarakat sebagai konsumen.
4. Pemberian pekerjaan dari kegiatan pemerintah berupa program atau proyek pemerintah kepada masyarakat atau badan swasta semakin besar melalui tender yang transparan dan obyektif serta akuntabel. Dengan demikian tindakan pemerintah sudah berorientasi pada prinsip mendorong partisipasi masyarakat yang lebih banyak namun harus dilandasi dengan mutu atau keterlibatan masyarakat melalui pada usaha yang lebih profesional melalui arena kompetisi yang lebih fair (adil)
3.2 Pemerintah Sentralistik ke Desentralistik
Pemerintah Sentralistik adalah kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara terpusat artinya semua keputusaan dianggap strategis menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan kewenangan pemerintahan daerah (local government) hanya melaksanakan oparasional dan lebih sedikit kewenangan yang merupakan kebijakan strategis.
Bekaitan dengan desentralistik menurut Lit vack dan sedden (1992:2) dalam Sadu Wasistiono 2002 mengatakan bahwa “the trasfer of authority and responbility for public from central government to subordinate or quasi independent government organization or private sector” artinya Desentralisasi adalah tranfer kewenangan dan tanggung jawab fungsi-funsi publik, transfer ini dilakukan dari pemerintah yang semi bebas ataupun kepada sektor swasta. Pandangan ini senada dengan pendapat Cheeema dan Rondineli (1983).
Selanjutnya dikatakan bahwa berkaitan dengan pandangan diatas perlu dikembangkan model pembagian kewenangan dalam rangka desentralisasi yang juga melibatkan sektor privat didalamnya. Dalam ketentuan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian telah diperbaharui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah daerah dimana terjadi penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom. Dari pengertian diatas sangat jelas bahwa otonomi daerah diberikan kepada kesatuan masyarakat hukum, bukan hanya kepada pemerintah daerah saja. Dalam kaitan ini perlu kiranya upaya privatisasi dilakukan (Drucker, 1995). Privatisasi merupakan suatu upaya mengurangi peran Birokrasi Pemerintah atau meningkatkan peran sektor swasta, di dalam suatu aktifitas atau di dalam kepemilikan asset (Savas,1987, dalam Miftah Thoha, 2003).
Desentralisasi yang telah digulirkan akan membawa dampak yang cukup signifikan karena ruang gerak pemerintahan daerah diberikan kekuasaan yang lebih luas agar supaya daerah mampu melaksanakan otonominya dalam arti menyelesaikan masalah di daerahnya, dengan cara setempat oleh masyarakat setempat sehingga birokrasi pemerintah pusat lebih mampu berperan sebagai “steering rather than rowing” .
beberapa konsep yang bisa dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah yaitu sebagai berikut :
1. Perencanaan pembangunan dengan model “Buttom Up” artinya pembangunan didaerah berjalan secara efektif dan efesien yang telah dicapai akan selalu tepat sasaran.
2. Model demokrasi langsung yang selama ini sudah berjalan dalam pemilihan pejabat publik, baik di tingkat pusat dan daerah di harapkan mampu memperkuar legitimasi dan komitmen kepemimpinan untuk tetap berorientasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
3. Model Privatisasi dan pemberdayaan masyarakat (empowering), dapat dikembangkan melalui berbagai inovasi dan kreatifitas, terhadap berbagai kewenangan yang selama ini dijalankan pemerintah.
4. Politik Anggaran, dengan pengelolaan anggaran yang sudah di desentralisasikan tersebut pemerintah daerah dituntut kreatif dan inovatif dalam menggali sumber dana untuk memperbesar APBD, sehingga pemerintah daerah lebih dekat dengan rakyatnya dibanding pemerintah pusat, maka secara proporsional ralatif berpihak pada kepentingan publik ketimbang untuk belanja birokrasi pemerintah yang selama ini dinilai tidak efisien.
3.3 Reinventing Government dan Good Governance
3.3.1 Reinventing Government
Konsep ini sesungguhnya sangat menarik atas semangat perubahan dalam rangka percepatan mewujudkan pelayanan publik dengan cara yang lebih partisipatif dan pengelolaan pemerintahan dengan cara bisnis dan private. Meskipun secara konseptual pengelolaan pemerintahan dengan pengelolaan bisnis nampak sangat berbeda. Misalnya pemerintah dalam mendapatkan uang melalui pungutan pajak, sedang dalam bisnis cara mendapatkan uang dari konsumen atau pelanggan, motif pemerintah tidak mencari keuntungan atau nirlaba sedangkan motif bisnis mendapatkan keuntungan.
Dari perbedaan yang sangat fundamental tersebut sepertinya teori manapun praktek dalam bisnis seolah olah tidak mungkin diterapkan dalam pengelolaan pemerintahan. Namun barangkali yang dapat kita peti dari paradigma reinventing government ini adalah bukan secara aksidensi praktek bisnisnya akan tetapi SPIRIT atau semangat dalam pengelolaan seperti pebisnis yaitu : inovatif, kreatif, dinamis, kerja keras, ulet, berani mengambil resiko dan kemampuan melakukan negosiasi. Jika norma dan nilai-nilai tersebut menjadi referensi dan menjadi kekuatan yang bisa dimiliki bagi para aparatur negara, niscaya dalam penyelenggaran pemerintah yang efisien dan efektif akan mudah terwujud dan pelayanan publik juga akan lebih prima. Secara konseptual Reinventing Government dan Good Governance sesungguhnya memberikan jalan keluar kearah perubahan yang sistematik dan struktural untuk melengkapi kekurangan terhadap program pembangunan aparatur birokrasi tersebut.
Konsep dan paradigma “Reinventing Gonernment” dari David Osborne dan Ted Gaebler yang sangat terkenal menjadi acuan dari berbagai Negara di belahan dunia termasuk indonesia. Paradigma ini memang menawarkan suatu pembaharuan untuk melaksanakan efisiensi dan efektifitas birokrasi yang waktu itu terjadi di negara Paman Sam Amerika Serikat. Pada waktu itu pemerintah Amerika Serikat sedang mengalami defisit anggaran cukup besar dan diajukan konsep reinventing government dari David Osborne yang mengalahkan konsep lain yang diajukan kepada pemerintah waktu itu.
Sebab Pemerintahan yang sentralistik, otoriter dan serba negara sangat sulit untuk merubah peran yang lebih sedikit memerintah yaitu dengan sebagai pengarah, regulator dan pengendali, maka untuk urusan yang bersifat operasional lebih banyak memberikan peran kepada masyarakat untuk menyelenggarakan urusan yang menjadi keinginan dan kebutuhannya. Jadi memang memerlukan kesungguhan dan kemauan untuk melaksanakan perubahan paradigma terutama pemegang kekuasaan. Seperti dikatakan oleh Ritzer (1975) dalam Mansour Fakih (2011). Bahwa paradigma yang dianut oleh pemegang kekuasaan bukan terletak pada paradigma tersebut benar atau salah akan tetapi bagaimanapun juga pada tingkat implementasi paradigma apabila paradigma yang memang sangat diyakini akan membawa perubahan sosial dari yang memegang kekuasaan.
Mengenai konsep dan teori Reinventing Government
Kata Reinventing Government (pemerintahan wirausaha) berasal dari kata "wirausaha dan pemerintah". Wirausaha (entrepreneur) tidak sekedar mempunyai arti menjalankan bisnis, oleh J.B Say (1800) diartikan sebagai memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah yang produktivitasnya rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasilnya lebih besar . Dengan kata lain, seorang wirausahawan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Dengan demikian pemerintahan wirausaha adalah pemerintahan yang mempunyai kebiasaan bertindak dengan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk meningkatkan/ mempertinggi efisiensi dan efektifitasnya.
Definisi J.B Say (1800) berlaku bagi sektor swasta, pemerintah, dan sukarelawan atau sektor ketiga. Jika dihubungaan dengan kata pemerintah, maka pemerintahan wirausaha berarti usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah mengelola berbagai sumber daya dari cara dengan produktifitas rendah ke cara dengan produktifitas tinggi dengan hasil yang lebih besar.
Menurut Drucker, organisasi yang berhasil memisahkan manajemen puncak dari operasi, akan memungkinkan manajemen puncak konsentrasi pada pengambilan keputusan dan pengarahan. Sedangkan operasi sebaiknya dijalankan oleh staf sendiri, masing-masing memiliki misi, sasaran, ruang lingkup dan tindakan serta otonomi sendiri. Jika tidak para manajer akan terkacaukan oleh tugas-tugas operasional dan tidak dapat menghasilkan keputusan dasar yang bersifat mengarahkan.
Konsep dan teori Reinventing Government diperkenalkan kepada pemerintahan Amerika Serikat tahun 1990-an oleh pengarangnya yaitu : David Osborne dan Ted Gaebler yang oleh pemerintah Amerika Serikat atas prakarsa Wapres Al Gore, dipakai sebagai konsep untuk membenahi birokrasi pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu mengalami defisit anggaran yang besar.
Teori dan konsep yang dapat mendorong terwujudnya efisiensi dan profesionalisme melalui reinventing government seperti yang diajukan David Osborne dan Ted Gaebler diatas dapat diuraikan yang dikutip dari Mardiasmo (2002: 18) dan beberapa hal ada yang dielaborasi oleh penulis sesuai konteksnya yaitu sebagai berikut :
1. Pemerintahan Katalis (Catality Government)
Fokus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah harus menyediakan (producing) beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya, sebaliknya pemerintah menfokuskan diri pada pemberian arahan sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan kepada swasta dan atau sektor ketiga (LSM dan swadaya masyarakat). Pemerintah daerah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh lembaga non pemerintah. Pemerintahan harus lebih bersifat mengarahkan daripada mengayuh. Secara etimologis bahwa kata pemerintahan (government) berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengarahkan. Tugas pemerintah adalah mengarahkan, bukan mengayuh, sementara memberikan pelayanan adalah mengayuh.
2. Pemerintahan milik masyarakat.
Sudah saatnya bahwa pemerintah harus memberi wewenang kepada masyarakat daripada melayani, atau mengalihkan kepemilikan dari birokrasi ke masyarakat. Hal ini akan menimbulkan rasa handarbeni (memiliki) pada masyarakat akan sebuah program pemerintah, dan mereka juga merasa sebagai pelaku dalam pembangunan.
Pemerintah milik masyarakat mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya ke tangan masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, pegawai negeri (dan juga pejabat terpilih, politisi) akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah. Sehingga akan tercipta pelayanan profesional versus pemeliharaan masyarakat.
Partisipasi masyarakat merujuk pada keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat lebih mengenal warganya berikut cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapi, cara atau jalan keluar yang disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan sebagainya.
3. Pemerintahan yang kompetitif.
Pemerintahan kompetitif mensyaratkan persaingan di antara penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Mereka memahami bahwa kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah untuk melakukan perbaikan. Namun persoalannya bukanlah negeri versus swasta, melainkan kompetisi versus monopoli. Dengan model kompetisi ini akan banyak keuntungannya, keuntungan yang nyata adalah :
(1) efisiensi yang lebih besar,
(2) memaksa monopoli pemerintah (atau swasta) untuk merespon segala kebutuhan pelanggannya,
(3) kompetisi menghargai inovasi; sementara monopoli melumpuhkannya,
(4) kompetisi membangkitkan rasa harga diri dan semangat juang pegawai negeri.
Disamping itu juga merupakan upaya penilaian dan evaluasi terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, serta upaya perbaikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi.
Semua kegiatan pemerintahan berupa pelayan publik dan pembangunan diberbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi yang jelas disertai strategi pelaksanaan yang tepat sasaran. Rencana Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Daerah, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Strategis Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah merupakan wujud prinsip wawasan ke depan. Tidak adanya visi dan misi yang jelas akan menyebabkan pelaksanaan pemerintahan berjalan tanpa arah yang jelas.
Hal ini tidak lain adalah mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi digerakkan oleh misi. Pemerintah berorientasi misi melakukan deregulasi internal, menghapus banyak peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan sistem administratif, seperti anggaran, kepegawaian, dan pengadaan. Mereka mensyaratkan setiap badan pemerintah untuk mendapatkan misi yang jelas, kemudian memberi kebebasan kepada manajer untuk menemukan cara terbaik mewujudkan misi tersebut, dalam batas-batas legal. Keunggulan dari pemeritahan yang digerakkan oleh misi adalah lebih efisien, efektif, inovatif, fleksibel dan mempunyai semangat lebih tinggi.
5. Pemerintahan berorientasi pada hasil.
Pemerintahan yang berorientasi pada hasil, akan lebih menekankan pada capaian (output) dan juga pada dampak (impact). Tidak lagi berbicara berapa penduduk miskin yang telah disantuni, tetapi berapa turunnya angka kemiskinan. Pemerintah yang result-oriented mengubah fokus dari input (kepatuhan pada peraturan dan membelanjakan anggaran sesuai ketetapan) menjadi akuntabilitas pada keluaran atau hasil. Mereka mengukur kinerja badan publik, menetapkan target, memberi imbalan kepada badan-badan yang mencapai atau melebihi target, dan menggunakan anggaran untuk mengungkapkan tingkat kinerja yang diharapkan dalam bentuk besarnya anggaran.
6. Pemerintahan berorientasi pelanggan.
Pemerintah berorientasi pelanggan adalah memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan kebutuhan birokrasi; memperlakukan masyarakat yang dilayani yakni siswa, orangtua siswa, pembayar pajak, orang mengurus KTP, pelanggan telpon dan sebagainya. Dengan masukan dan insentif ini, mereka meredesain organisasinya untuk menyampaikan nilai maksimum kepada pelanggan.
7. Pemerintahan wirausaha.
Pemerintah berusaha memfokuskan energinya bukan sekedar untuk menghabiskan anggaran, tetapi juga menghasilkan uang. Mereka meminta masyarakat yang dilayani untuk membayar; menuntut return on investment. Mereka memanfaatkan insentif seperti dana usaha, dana inovasi untuk mendorong para pimpinan badan pemerintah berpikir mendapatkan dana operasional.
8. Pemerintahan antisipatif.
Pemerintah antisipatif adalah pemerintahan yang berpikir ke depan. Mereka mencoba mencegah timbulnya masalah daripada memberikan pelayanan untuk menghilangkan masalah. Mereka menggunakan perencanaan strategis, pemberian visi masa depan, dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan.
Memiliki daya tanggap (responsiveness) adalah tindakan aparatur pemerintahan yang secara cepat menanggapi dan mengambil prakarsa untuk menyelesaikan masalah. Secara nyata kegiatan tersebut antara lain dapat berupa penyediaan penyediaan pusat layanan pengaduan masyarakat, pusat layanan masyarakat (crisis center), kotak surat saran/pengaduan, tanggapan surat pembaca, website, forum pertemuan publik dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu menghadapi berbagai masalah dan krisis sebagai akibat dari perubahan situasi dan kondisi. Dalam situasi seperti ini, aparatur pemerintahan tidak sepantasnya memiliki sifat “masa bodoh”, tetapi harus cepat tanggap dengan mengambil prakarsa untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
9. Pemerintahan desentralisasi.
Wujud nyata dari prinsif desentralisasi dalam tata kepemerintahan adalah pendelegasian urusan pemerintahan disertai sumber daya pendukung kepada lembaga dan aparat yang ada dibawahnya untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Pemerintah desentralisasi adalah pemerintah yang mendorong wewenang dari pusat pemerintahan melalui organisasi atau sistem. Mendorong mereka yang langsung melakukan pelayanan, atau pelaksana, untuk lebih berani membuat keputusan sendiri.
10. Pemerintahan berorientasi pasar.
Komitmen pada pasar yang fair, merupakan upaya pengaitan kegiatan ekonomi masyarakat dengan pasar, baik didalam daerah maupun luar daerah, sehingga dapat menumbuhkan daya saing perekonomian. Pengalaman bijak yang tidak berkomitmen pada pasar telah membuktikan bahwa campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi seringkali berlebihan sehingga akhirnya membebani anggaran belanja dan bahkan merusak pasar. Untuk itu maka bantuan pemerintah untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, harus diikuti dengan pembangunan atau pemantapan ekonomi.
Sebagaimana sepuluh prinsip diatas diharapkan mampu mewujudkan efisiensi, efektifitas serta produktifitas pemerintahan dimaksudkan sebagai pendorong untuk melakukan promosi dan sekaligus menggerakkan daya tarik investasi bagi pembangunan ekonomi dalam rangka menyongsong era globalisasi ekonomi. Berdasarkan prinsip tersebut membawa kesuksesan bagi pemerintahan di Indonesia sudah melaksanakan prinsip diatas seperti : desentralisasi, privatisasi, dibidang keuangan misalnya kebijakan pengelolaan Pandapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Unit pelayanan pemerintah yang sifatnya tidak manopolitis dan memiliki kompetitor diluar instansi pemerintah, maka unit pelayanan tersebut memiliki potensi pendapatan yang prospektif diberikan kebebasan untuk mengelola keuangan secara mandiri dalam rangka mendorong untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Namun perkembangan implementasi Reinventing Government perlu kajian yang lebih mendalam, ketika hasil penerapan itu belum mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kemungkinan konsep pemikiran tersebut belum dilaksanakan secara sistematik atau masih bersifat partial dan graduil, terutama perubahan paradigma para elite pejabat publik dan aparatur pemerintah masih belum berubah menjadi paradigma pelayanan karena pada kenyataannya menghilangkan sifat feodlistik para elite penguasa dan para birokrat masih sulit dan tidak mudah, bahkan bermunculan orang kaya baru, justru ikut menumbuhkan gaya para kaum feodal baru baik di pemerintahan pusat maupun di daerah.
3.3.2 Good Governance
Fungsi pemerintah adalah mengayomi warganegaranya melalui pengaturan atau regulasi,pembangunan nasional disegala bidang, pembinaan kemasyarakatan , menjaga ketertiban dan menegakkan negara kesatuan Republik Indonesia dengan membangun pertahanan keamanan yang kokoh.
Fungsi pemerintahan tersebut akan dapat terselenggara apabila pemerintahan menjadi pemerintahan yang good governance. Good governance adalah cara yang baik mengelola urusan-urusan publik. Wordl Bank mendefinisikan governance sebagai; “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society” Suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi , dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frame work bagi tumbuhnya aktifitas usaha.
Sedangkan United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”.
Menurut UNDP ada beberapa karakteristik pelaksanaan good governance antara lain;
1. Pimpinan, mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini dibangun atas dasar kebebasan berpendapat.
2. Rule Of Law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan terutama hukum hak asasi manusia
3. Transparency, keterbukaan dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
4. Responsiveness, lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap aspirasi masyarakat.
5. Consensus Oriented, “Good Governance” menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
6. Effectivitas and Efficiency, proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin
7. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik.
8. Strategic Vision, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif “Good Governance” dan pengembangan manusia yang luas serta daerah jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Paradigma tradisional ini menyebabkan pemerintah tidak bisa lagi berpikir jernih untuk meningkatkan mutu kerjanya, karena sudah dililit oleh aktivitas-aktivitas rutin untuk melayani kebutuhan masyarakat. Agar pemerintah tidak lagi terjerat dengan kegiatan rutin sebagai pelayan masyarakat, maka pemerintah perlu memikirkan untuk menyerahkan tugas-tugas pelayanan tersebut kepada masyarakat. Pemerintah yang banyak melaksanakan tugas pelayanan akan semakin memberikan peluang kepada gagalnya atau lemahnya mutu pekerjaan, maka dalam kondisi ini akan lebih baik jika pemerintah menyerahkan urusan tersebut kepada swasta dan pemerintah hanya menetapkan peraturan-peraturan yang akan dilaksanakan oleh pihak swasta.
2. Karena sistem otoriter tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka perlu dilakukan perubahan dengan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat atau pemberdayaan rakyat (Empowering). Melalui sistem ini rakyat tidak lagi sebagai objek pemerintahan tetapi juga sebagai subjek pemerintahan. Rakyat harus diberikan kewenangan untuk mengurus dirinya sendiri.
3. Gejala yang selama ini ada para administrator bekerja untuk mendapatkan prestasi yang akan dinilai baik oleh atasannya. Sedangkan masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan yang baik dari para administrator menjadi faktor sampingan. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat para administrator harus merubah orientasi pelayananan dari melayani kebutuhan para birokrat menjadi melayani kebutuhan masyarakat.
4. Sifat pemerintahan yang selalu berusaha untuk menghabiskan dana, tanpa perlu memikirkan bagaimana mendapatkan dana tersebut perlu dirobah. Karena sumber dana pemerintah makin berkurang, biaya yang dibutuhkan untuk membiayai berbagai program pemerintah semakin tinggi. Untuk itu instansi pemerintah harus mampu menghasilkan dana untuk membiayai berbagai programnya.
5. Pemerintah selama ini cenderung untuk menyelesaikan suatu masalah setelah masalah menjadi masalah besar. Setelah menjadi masalah besar, maka pemerintah akan kesulitan untuk mengatasi, baik dari segi kerumitan maupun pembiayaan. Untuk itu perlu tindakan pencegahan terhadap timbulnya suatu masalah.
6. Hal-hal di atas akan terlaksana jika di Indonesia telah terwujud Civil society. Civil society menghendaki masyarakat yang sudah dewasa dan mempunyai aktivitas dan kreativitas yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana. 2006. Materi Kuliah Dasar-dasar Manajemen Aset. ITS Surabaya.
Istianto Bambang. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Penerbit Mitra wacana media. Jakarta
Damai Darmadi, Sukidin. 2011. Administasi Publik. Penerbit laksbang.Yogyakarta
Waluyo. 2007. Manajemen Publik. Penerbit. Mandar Maju. Sumedang
Supriyanto budi. 2009. Manajemen Pemerintahan. Penerbit Media Brilian. Tangerang
Osborne, David and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi). PPM Jakarta 2003
David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) terjemahan, PPM, Jakarta, 1999.
Gaffar, Afan, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Jogyakarta,1999
Imawan, Riswandha. Hand Out mata kuliah Sistim Politik dan Pemerintahan RI pada MAP UGM.
Imawan, Riswandha, Membedah Politik Orde Baru, Pustaka Pelajar, Jogyakarta 1998.
Mas`oed, Mohtar, Politik Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Jogyakarta 1994.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Utama, Jakarta,1998
Sunday, January 22, 2017
MAKALAH PEMBANGUNAN DESA
PARTISIPASI MASYARAKAAT DI ERA OTONOMI DESA DALAM MENINGKATKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERDESAAN DI DESA HILIAMAETALUO KECAMATAN TOMA
KABUPATEN NIAS SELATAN
Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA
Mata Kuliah: Proses Perumusan dan Kebijakan Publik
Oleh:
BERKAT GOWASA
14.013.121.005
MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
MEDAN
2015
KATA PENGANTARPuji syukur kita haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang masih dilimpahkan kepada kita semua sehingga kita masih diberi nafas kehidupan dan masih diberi kesempatan untuk berkumpul ditempat ini kembali dalam keadaan sehat walafiat. Saya berterimakasih atas bantuan dan bimbingan dosen pengasuh mata kuliah Proses Perumusan dan Kebijakan Publik oleh Bapak Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA sehingga makalah dapat terselesaikan tepat pada waktunya dan juga saya berterimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana yang telah menuangkan hasil pemikirannya dalam tugas ini.
Penulis juga menyadari dalam penyusunan makalah ini serat akan kekurangan dan belumlah sempurna berdasarkan metode penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu saya mengharapkan saran dan kritik dari dosen pembina dan rekan-rekan teman mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan.
Demikian kata pengantar makalah yang saya susun, terimakasih bagi semua pihak yang telah berparistisipasi dalam penyususnan makalah ini.
Hormat Saya
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………i
Daftar Isi ………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………1
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………3
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………4
1.4 Manfaat Penulisan ……………………………………… 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………....5
2.1. Pengertian Partisipasi Masyarakat ………………………5
2.2. Konsep Pembangunan ………………………………… 7
2.3. Ciri-ciri dan Prinsip Pembangunan Desa …...……………8
BAB III METODE PENELITIAN …………………………10
3.1. Jenis Penelitian …………………………………………10
3.2. Fokus Penelitian ………………………………………10
3.3. Teknik Pengumpulan Data ……………………………10
BAB IV PEMBAHASAN ………………………………… 11
4.1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Hiliamaetaluo ……11
1. Partisipasi Pikiran ……………………….......………… 13
2. Partisipasi Tenaga ………………….......……………… 13
3. Partisipasi Keahlian …………………….........………… 14
4. Partisipasi Barang ……………………………...........… 15
BAB IV PENUTUP …………………………............……16
5.1. Kesimpulan ………………………...……….............. 16
5.2. Saran ……………………………………….............. 16
DAFTAR PUSTAKA ………………………….........……17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu persoalan mendasar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa adalah bagaimana membangun atau menciptakan mekanisme pemerintahan yang dapat mengemban misinya dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara berkeadilan. Pemerintah harus melaksanakan pembangunan berdasarkan aspirasi masyarakat, dan memberikan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dinyatakan oleh (Solekhan, 2012:13) bahwa hakekat keberadaan pemerintahan dan birokrasi adalah dalam rangka menjalankan tugas memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Pemerintahan desa sebagai unit lembaga pemerintah yang paling berdekatan dengan masyarakat, posisi dan kedudukan hukumnya seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berimplikasi pada perubahan tata hubungan desa dengan relasi kekuasaan antar kekuatan politik di level desa. Perubahan kearah interaksi yang demokratik itu terlihat dari beberapa fenomena, diantaranya: (1) Dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya peran institusi adat dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-sehari; (2) Semangat mengadopsi demokrasi delegatif-liberatif cukup besar dalam Undang-Undang yang baru tentang Badan Permusyawaratan Desa berperan sebagai pengayom adat-istiadat, membuat Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa dan (3) semangat partisipasi masyarakat sengat ditonjolkan artinya proses politik, pemerintahan dan pembangunan di desa yang tidak merata.
Partisipasi anggota masyarakat adalah ketertiban anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan dalam masyarakat lokal. Pastisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan (pedesaan) merupakan aktualisasi dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat berkorban dan berkoordinasi dalam implemetasi program/proyek yang dilaksanakan.
Dimaklumi bahwa anggaran pembangunan yang tersedia adalah relatif terbatas sedangkan program/proyek pembangunan yang dibutuhkan (yang telah direncanakan) jumlahnya relative banyak, maka perlu dilakukan peningkatan pertisipasi masyarakat untuk menunujang implementasi pembangunan program/proyek di masyarakat.
Anggota masyarakat bukan merupakan proyek pembangunan. Anggota masyarakat daerah pedesaan sebagian besar terdiri dari petani, yang sebagian besarnya pentani kecil dan sebagian besarnya merupakan buruh tani. Petani umumnya lemah kedudukannya karena tingkat pendidikannya dan keterampilannya masih rendah, kemampuan modal dan pemasaran mereka relative terbatas.
Kabupaten Teluk Bintuni dalam menunjang kegiatan pembangunannya, maka visi dan misi yang harus dicapai adalah peningkatan kinerja pembangu¬nan daerah. Oleh karena itulah, dalam menunjang visi dan misi tersebut, maka keterlibatan atau partisipasi dari masyarakat dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evalu¬asi hasil pembangunan sangat penting utamanya di tingkat desa.
Namun jika kita melihat ke belakang, bahwa mulai dari tahap perencanaan pembangunan yang menggunakan pola berjenjang dari bawah ke atas (Bottom-Up) ternyata tidak banyak menjanjikan as¬¬pirasi murni warga desa didengar. Begitu pun halnya dalam pelaksanaan proyeknya yang ma¬sih menggunakan sistem tender, di mana tender yang dimaksud melibatkan para kontraktor sebagai pihak ketiga dalam pelaksanaan pembangunan daerah yang basisnya tentu berada di desa. Hal tersebut menun¬jukkan bahwa, ternyata keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanya selesai pada tahap perencanaan yang pada tahap itu pun masih banyak langkah-langkah yang belum terlaksana dengan baik, sehingga implementasi pola tersebut dapat dikritisi mengandung banyak kelemahan. Misalnya, partisi¬pasi masyarakat selaku penerima manfaat sangat le¬mah, hasil dari berbagai forum koordinasi di tingkat lebih rendah desa kadang tidak digubris oleh pemerintah yang lebih tinggi, mekanisme peren-canaan mulai dari musrenbang desa hanya bersifat mencatat daftar kebutuhan masyarakat ketimbang sebagai proses perencanaan yang partisipatif. Pros¬es tersebut akhirnya menjadi proses birokratis yang sangat panjang dan lama, sehingga masyarakat tidak mendapat kepastian kapan kebutuhannya akan ter¬wujud.
Bila demikian adanya, maka realita ini tentu saja dapat menghambat jalannya proses pembangu¬nan yang melibatkan masyarakat di dalamnya parti¬sipatif. Padahal, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa macetnya pembangunan partisipatif akan memunculkan pola-pola pembangunan yang tidak aspiratif. Hal tersebut di atas kemudian me¬munculkan pertanyaan di Kabupaten Nias Selatan, khususnya di Desa Hiliamaetaluo bahwa apakah partisisipasi masyarakat di dalam pelaksa¬naan pembangunan telah terlaksana dengan baik, di mana masyarakat tidak lagi menjadi objek pemban¬gunan, akan tetapi telah menjadi subyek pembangu¬nan. Dengan maksud bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bukan hanya seke¬dar dilihat dari antusiasme masyarakat dalam meng¬hadiri Musrenbang, akan tetapi, bagaimana kepent¬ingan mereka telah direspon oleh pemerintah, serta bagaimana proses pelibatan mereka baik dalam tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan proyek pem-bangunannya. Karena antusiasme masyarakat kemu¬dian lahir ketika substansi dari proses pembangunan itu telah tercipta.
Melalui penelitian awal, ditemukan bahwa meski dalam pelaksanaan pembangunan yang telah terlaksana di Desa Hiliamaetaluo masih belum mencapai substansi pembangunan baik itu dalam tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan, namun setelah adanya beberapa program pember¬dayaan masyarakat di desa tersebut, semangat partisipasi masyarakat masyarakat kembali tumbuh. Be¬berapa program tersebut telah memunculkan kembali semangat gotong royong masyarakat, terutama pro¬gram PNPM Mandiri pedesaan. Berdasar pada uraian dalam latar belakang, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk menemu¬kan aspek-aspek yang terkait dengan partisipasi ma¬syarakat dalam judul: “Partisipasi masyarakat di era Otonomi Desa dalam meningkatkan pembangunan masyarakat di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Kabupaten Nias Selatan”.
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah sangat penting dalam suatu penelitian agar diketahui arah jalan penelitian tersebut. Arikunto (1993:17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahn¬ya, sehingga jelas dari mana harus memulai, ke mana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan penelitian.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Partisipasi Masyarakat di era Otonomi Desa dalam Meningkatkan Pembangunan Di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Toma Kabupaten Teluk Dalam?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diper¬oleh setelah penelitian selesai. Dengan demikian, pada dasarnya tujuan penelitian memberikan infor¬masi mengenai apa yang akan diperoleh setelah sele¬sai melakukan penelitian (Hasan, 2002:44). Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini, yakni: “Un¬tuk Mengetahui Bagaimana Partisipasi Masyarakat di era Otonomi Desa dalam Meningkatkan Pembangunan di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Toma Kabupaten Teluk Dalam”.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara praktis, yakni memberikan data dan infor¬masi yang berguna bagi semua kalangan teruta¬ma mereka yang secara serius mengamati jalan¬nya partisipasi masyarakat, serta memberikan masukan bagi masyarakat khususnya di tempat penelitian ini dilaksanakan agar dapat terus me¬ningkatkan peran aktifnya dalam membangun daerahnya.
2. Secara akademis, yakni penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi baik secara lang¬sung atau tidak bagi kepustakaan jurusan Ilmu pemerintahan dan bagi kalangan penulis lainya yang tertarik untuk mengeksplorasi kembali kajian tentang model partisipasi publik dalam proses perencanaan pembangunan di daerah lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Pengertian partisipasi selalu dikaitkan atau bersinonim dengan peran serta. Seorang ilmuan yang bernama Keith Davis mengemukakan definisinya tentang partisipasi yang dikutif oleh R.A. Santoso Sastropoetro (1988:13) sebagai berikut: “Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental atau pikiran atau moral atau perasaan di dalam situasi ke¬lompok yang mendorong untuk memberikan sum¬bangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.” Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka partisipasi itu tidak berdasarkan ket¬erlibatan secara fisik dalam pekerjaannya tetapi me¬nyangkut keterlibatan diri seseorang sehingga akan menimbulkan tanggung jawab dan sumbangan yang besar terdapat kelompok.
Sejalan dengan pendapat di atas, Gordon W. Allport (Santoso Sastropoetro, 1988:12) menyatakan bahwa: “Seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifat¬nya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja, dengan keterlibatan dirinya berarti keter¬libatan pikiran dan perasaannya.” Berdasarkan per¬nyataan tersebut di atas, maka ada tiga buah unsur penting dalam partisipasi yaitu:
1. Partisipasi merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.
2. Ketersediaan memberi sesuatu sumbangan kepa¬da usaha mencapai tujuan kelompok, ini berarti terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk mem¬bantu kelompok.
3. Dalam partisipasi harus ada tanggung jawab, unsur tanggung jawab ini merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa partisipasi menyangkut keterlibatan diri/ego dan tidak semata-mata keterlibatan fisik dalam pekerjaan atau tugas saja, dan ketiga unsur partisipasi tersebut di dalam re¬alitanya tidak akan terpisahkan satu sama lain, tetapi akan saling menunjang. Dalam realitasnya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber¬negara, istilah partisipasi ini sering dikaitkan dengan usaha di dalam mendukung program pembangunan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Santoso S. Hamidjoyo (1988:67), bahwa parti¬sipasi mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Partisipasi berarti turut memikul beban pem¬bangunan.
2. Menerima kembali hasil pembangunan dan ber¬tanggung jawab terhadapnya.
3. Partisipasi berarti terwujudnya kreativitasnya dan oto aktifitas.
Menurut Davis, seperti yang dikutip oleh Sas¬tropoetro (1988:16), mengemukakan jenis-jenis par¬tisipasi masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1. Pikiran (Psychological participation).
2. Tenaga (Physical participation).
3. Pikiran dan tenaga (Psychological dan Physical participation).
4. Keahlian (Participation with skill).
5. Barang (Material participation).
6. Uang (Money participation).
Menurut Sherry R. Arnstein dalam Suryono (2001: 127) memberikan model delapan anak tangga partisipasi masyarakat (Eight Rungs on Ladder of Citizen Participation). Hal ini bertujuan untuk men¬gukur sampai sejauh mana tingkat partisipasi ma¬syarakat di sebuah negara.
Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988:16-18) prasyarat untuk dapat melaksanakan partisipasi secara efektif adalah sebagai berikut:
1. Adanya waktu.
2. Kegiatan partisipasi memerlukan dana perang¬sang secara terbatas.
3. Subyek partisipasi hendaklah berkaitan dengan organisasi dimana individu yang bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi perhatian¬nya.
4. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk ber¬partisipasi dalam arti kata yang bersangkutan me¬miliki pemikiran dan pengalaman yang sepadan.
5. Kemampuan untuk melakukan komunikasi tim¬bal balik.
6. Bebas melaksanakan peran serta sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
7. Adanya kebabasan dalam kelompok, tidak adan¬ya pemaksaan atau penekanan.
2.2. Konsep Pembangunan
Todaro (2000:18), menyatakan bahwa pem¬bangunan bukan hanya fenomena semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus melam¬paui sisi materi dan keuangan dari kehidupan ma¬nusia. Todaro (2000:20), mendefinisikan pemban¬gunan merupakan suatu proses multidimensial yang meliputi perubahan-perubahan struktur sosial, sikap masyarakat, lembaga-lembaga nasional, sekaligus peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan. Menu¬rut Todaro (2000:21), definisi di atas memberikan be¬berapa implikasi bahwa:
1. Pembangunan bukan hanya diarahkan untuk pen¬ingkatan income, tetapi juga pemerataan.
2. Pembangunan juga harus memperhatikan aspek kemanusiaan, seperti peningkatan:
a. Life sustenance : Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
b. Self-Esteem : Kemampuan untuk menjadi orang yang utuh yang memiliki harga diri, bernilai, dan tidak “diisap” orang lain.
c. Freedom From Survitude : Kemampuan untuk melakukan berbagai pilihan dalam hidup, yang tentunya tidak merugikan orang lain.
Konsep dasar di atas telah melahirkan beber¬apa arti pembangunan yang sekarang ini menjadi popular (Todaro, 2000:24), yaitu:
1. Capacity, hal ini menyangkut aspek kemampuan meningkatkan income atau produktifitas.
2. Equity, hal ini menyangkut pengurangan kesen¬jangan antara berbagai lapisan masyarakat dan daerah.
3. Empowerment, hal ini menyangkut pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi aktif dalam mem¬perjuangkan nasibnya dan sesamanya.
4. Suistanable, hal ini menyangkut usaha untuk men¬jaga kelestarian pembangunan.
Menurut Rostow dalam Arief (1996: 29) pengertian pembangunan tidak hanya pada lebih ban¬yak output yang dihasilkan, tetapi juga lebih banyak jenis output dari pada yang diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan: masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, gerakan menuju kema¬tangan dan masa konsumsi besar-besaran. Kunci di antara tahapan ini adalah tahap tinggal landas yang didorong oleh satu sektor atau lebih (Arief, 1996:30). Menurut Gant dalam Suryono (2001:31), tujuan pem¬bangunan ada dua tahap. Pertama, pada hakikatnya pembangunan bertujuan untuk menghapuskan ke¬miskinan. Apabila tujuan ini sudah mulai dirasakan hasilnya, maka tahap kedua adalah menciptakan kesempatan-kesempatan bagi warganya untuk dapat hidup bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya.
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut, maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang di antaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Sanit (dalam Suryono, 2001:32) menjelaskan bahwa pembangu¬nan dimulai dari pelibatan masyarakat. Ada beberapa keuntungan ketika masyarakat dilibatkan dalam per¬encanaan pembangunan, yaitu, Pertama, pembangu¬nan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan masyara¬kat. Artinya bahwa, jika masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, maka akan tercipta kon¬trol terhadap pembangunan tersebut. Kedua, pem¬bangunan yang berorientasi pada masyarakat akan menciptakan stabilitas politik. Oleh karena masyara¬kat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan, sehingga masyarakat bisa menjadi kontrol terhadap pembangunan yang sedang terjadi. Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar dalam se¬rangkaian kegiatan untuk mencapai suatu perubahan dari keadaan yang buruk menuju ke keadaan yang lebih baik yang dilakukan oleh masyarakat terten¬tu di suatu Negara. Sondang P. Siagian, (1981:21) mendefinisikan pembangunan adalah: “Suatu usaha atau serangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara dan pemerintahan dalam usaha pembinaan bangsa.” Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam konsep pembangunan terdapat dua syarat yang harus dipenuhi yakni: harus ada usaha yang di¬lakukan oleh masyarakat dan pemerintahnya, dilak¬sanakan secara sadar, terarah dan berkesinambungan agar tujuan dari pembangunan itu dapat tercapai.
2.3. Ciri-ciri dan Prinsip Pembangunan Desa
Pembangunan desa dengan berbagai masalahn¬ya merupakan pembangunan yang berlangsung me¬nyentuh kepentingan bersama. Dengan demikian desa merupakan titik sentral dari pembangunan nasi¬onal Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan desa tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh satu pihak saja, tetapi harus melalui koordinasi dengan pihak lain baik dengan pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Dalam merealisasikan pemban¬gunan desa agar sesuai dengan apa yang diharapkan perlu memperhatikan beberapa pendekatan dengan ciri-ciri khusus yang sekaligus merupakan identitas pembangunan desa itu sendiri, seperti yang dikemu¬kakan oleh C.S.T Kansil, (1983:251) yaitu :
1. Komprehensif multi sektoral yang meliputi berbagai aspek, baik kesejahteraan maupun as¬pek keamanan dengan mekanisme dan sistem pelaksanaan yang terpadu antar berbagai keg¬iatan pemerintaha dan masyarakat.
2. Perpaduan sasaran sektoral dengan regional dengan kebutuhan essensial kegiatan masyara¬kat.
3. Pemerataan dan penyebarluasan pembangunan keseluruhan pedesaan termasuk desa-desa di wilayah kelurahan.
4. Satu kesatuan pola dengan pembangunan na¬na¬sional dan regional dan daerah pedesaan dan daerah perkotaan serta antara daerah pengem¬bangan wilayah sedang dan kecil.
5. Menggerakan partisipasi, prakaras dan swada¬ya gotong royong masyarakat serta mendina¬misir unsur-unsur kepribadian dengan teknolo¬gi tepat waktu.
Jadi di dalam merealisasikan pembangunan desa itu harus meliputi berbagai aspek, jangan dari satu aspek saja, agar pembangunan desa itu dapat sesuai dengan apa yang diinginkan. Pembangunan desa itu harus meliputi berbagai aspek kehidupan dan penghidupan artinya harus melibatkan semua kom¬ponen yaitu dari pihak masyarakat dan pemerintah, dan harus langsung secara terus menerus demi ter¬capainya kebutuhan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
BAB III
METOE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dengan meng¬gunakan pendekatan kualitatif, di mana penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif. Narbuko & Ach¬madi (2004:44) memberikan pengertian penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan ma¬salah yang ada sekarang berdasarkan data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalis dan menginter¬pretasi, serta juga bisa bersifat komparatif dan ko¬relatif. Hadari Nawawi (2007:33), mengungkapkan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu pene¬litian yang dilakukan untuk mengetahui atau meng¬gambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti atau penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri atau tunggal, yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. Selain itu, penelitian deskriptif juga terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah, keadaan atau peris¬tiwa sebagaimana adanya, sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta dan memberikan gam¬baran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti.
3.2. Fokus Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Hiliamaetaluo. Desa ini penulis pilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan penelitian awal Desa Hiliamaetaluo merupak¬an salah satu desa yang memiliki masyarakat yang mempunyai semangat gotong royong yang baik. Fo¬cus utama penelitian ini adalah partisipasi masyara¬kat dalam pelaksanaan pembangunan desa.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian melalui wawancara dengan infor¬man yang berkaitan dengan masalah penelitian, dan juga melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Sedangkan, data sekunder adalah data yang diperoleh baik dalam bentuk an¬gka maupun uraian. Dalam penelitian ini data-data sekunder yang diperlukan antara lain: literatur yang relevan dengan judul penelitian, misalnya materi atau dokumen-dokumen dari kantor Desa Hiliamaetaluo serta karya tulis yang relevan dengan penelitian dalam penelitian ini.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Hiliamaetaluo
Dalam pelaksanaan proyek yang dilaksanakan oleh PNPM-MP di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Toma, proyek yang akan dilaksanakan tidak langsung diputuskan secara sepihak saja oleh tim pelaksana kegiatannya ataupun oleh pemerintah desa setempat melainkan dengan melakukan penggalian gagasan yang mendalam dengan melibatkan masyarakat se¬cara keseluruhan agar semua kebutuhan masyarakat dapat tertampung semua.
Untuk menentukan kebutuhan pembangunan digali dari setiap dusun, apakah di satu dusun itu dilakukan hanya sekali ataukah lebih dari sekali dengan titik lokasi yang berbeda, bergantung dari kondisi geografis du¬sun tersebut (susah dijangkau karena medannya yang sulit ataukah factor lainnya) ini supaya semua kebu¬tuhan masyarakat yang mendesak dapat ter¬cover”
Informasi tersebut menunjukkan bahwa proyek peembangunan di desa harus benar merupakan proyek yang idenya di¬gali dari masyarakat desa Hiliamaetaluo dan telah sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dari proses penggalian gagasan tersebut, maka lahirlah beberapa usulan yang akan mewakili kebutuhan ma-syarakat, yang selanjutnya akan diranking sesuai dengan skala kebutuhan masyarakat dan dimusy¬awarahkan dalam musyawarah tingkat desa.
PNPM-MP merupakan program yang mem¬mem¬punyai transparansi yang baik serta mengupayakan keterlibatan penuhnya masyarakat di dalam proses pelaksanaannya. Oleh karena itu proyek yang telah didapatkan oleh Desa Hiliamaetaluo dari adanya program PNPM-MP, kemudian disosialisasikan ke¬pada masyarakat untuk membahas langkah apa yang sebaiknya dilakukan agar proyek dapat terlaksana dengan baik dengan memperhatikan kualitas dari proyek tersebut.
Dengan adanya Program Nasional Pemberday¬aan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP) di Desa Hiliamaetaaluo yang mengede¬pankan pemberdayaan masyarakat, maka tingkat an¬tusiasme masyarakatdesa dalam berpartisipasi dapat disandingkan, sehingga dapat melahirkan pemban¬gunan desa sesuai dengan yang menjadi harapan, yakni pembangunan partisipatif yang sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita the founding father negeri ini serta menjadi pembenaran tentang teori pemban¬gunan yang sifatnya bottom up (dari bawah ke atas). Meskipun demikian halnya, namun dalam pelaksa¬naan proyek PNPM-MP tersebut masih belum dapat terlepas dari adanya hambatan. Seperti yang didapat¬kan pada lokasi penelitian di mana main set dari ma¬syarakat mengenai proyek pembangunan yang masih selalu berfikir bahwa setiap proyek pembangunan merupakan hal yang mendatangkan untung bagi tim pelaksananya meski pun tidak demikian adanya, sep¬erti informasi yang disampaikan oleh tim pelak¬sanan kegitan PNPM-MP bahwa:
“Hanya saja di PNPM kendalanya adalah ma¬syarakat kadang mengira bahwa pengerjaan PNPM seperti pengerjaan proyek yang biasanya, dalam ar¬tian bahwa mereka kadang berpikir bahwa pen¬gurus PNPM pasti mendapat banyak untung, mis¬alnya kalau ada sisa dana pasti kami yang akan mengambil sisa dana tersebut, padahalkan yang kami dapat hanyalah upah operasional saja”
Munculnya pembahasan proyek pembangunan dari PNPM-MP dalam makalah ini dikarenakan oleh proyek pembangunan yang dikontrol oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) melalui mekanisme penggalian gagasan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) ternyata belum berjalan sesuai dengan yang telah dikonsepkan dan masih terdapat banyak celah teru¬tama dalam hal pelaksanaan proyeknya yang masih menggunakan pihak ketiga dalam hal ini kontraktor, sehingga mustahil untuk menghadirkan partisipasi masyarakat.
Dalam proyek pembangunan dari pemerin¬tah daerah yang ditangani oleh BAPPEDA dengan menggunakan pihak ke-3, jangankan partisipasi masyarakat dalam bentuk, tenaga, keahlian, barang, atau uang, partisipasi masyarakat dalam bentuk piki¬ran pun tidak ada. Sangat tidak menarik, hanya saja masyarakat tidak dapat menolak. Berbeda dengan program pembangunan yang ditangani oleh PNPM Mandiri pedesaan yang ada di desa ini, masyarakat sangat antusias dalam pelaksanaan program/proyek pembangunannya, karena betul-betul melibatkan masyarakat, mulai dari mengumpulkan masyara¬kat dan membicarakan bersama mengenai program/proyek yang akan dilaksanaan, sehingga masyarakat betul-betul berpartisipasi, mulai dari pikiran, tenaga, keahlian, barang kalau dibutuhkan, bahkan uang sek¬alipun.
“Kalau untuk proyek pembangunan yang di¬turunkan dari hasil Musrenbang yang kemudian pelaksanaannya dikerjakan oleh kontraktor me¬mang partisipasi masyarakat tidak ada. Bahwa jika proyek dari hasil MUSRENBANG yang akan dijadikan sebagai unit analisis untuk mengeta¬hui tingkat partisipasi masyarakat, maka akan men¬jadi hal yang mustahil dilakukan, sehingga dengan demikian mesti ada opsi lain yang dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti, yaitu dengan menja¬dikan salah satu proyek dari PNPM-MP yang di¬perolah Desa Hiliamaetaluo sebagai tolak ukurnya dalam hal ini proyek yang dianggarkan untuk tahun 2015, yakni pembangunan jalan setapak yang menghubungkan desa lain, pelatihan penggunaan alat pertanian, pupuk dan cara bertani, yang selanjutnya secara kualitatif ditelusuri melalui dimensi- dimensi sebagaimana dikemukakan oleh Davis yang dikutip oleh Sastropoetro (1988:16), terdiri atas: partisipasi pikiran; partisipasi tenaga; partisipasi keahlian; partisipasi barang; dan partisi¬pasi uang.
1. Partisipasi Pikiran
Mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pekerjaan proyek PNPM-MP bukanlah hal mudah. Hal ini karena, masyarakat selalu beranggapan bahwa proyek-proyek PNPM-MP merupakan proyek pemerintah yang pada dasarnya mempunyai angga¬ran yang cukup untuk melaksanakan proyek-proyek PNPM-MP tersebut. Olehnya itu, setiap orang yang terlibat dalam pekerjaan proyek-proyek itu harus mendapat upah. Tidak terkecuali proyek pembangu¬nan jalan setapak yang menghubangkan antar desa, pembangunan pertanian yang menunjang pertumbuhan ekonomi desa. Hal ini wajar karena unsur par¬tisipasi menurut Keith Davis salah satunya adalah keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari pada se¬mata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah. Pada awalnya, masyarakat Desa Hiliamaetaluo cenderung tidak mau berpartisipasi. Namun setelah mendapat pengarahan dari Kepala Desa beserta aparatnya, juga tokoh-tokoh maka masyarakat mulai memahami dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya dalam proses pelaksanaan proyek pembangunan desa. Partisipasi masyarakat dimaksud merupakan wujud kerjasama antara pemerintah desa dengan warga de¬sanya.
2. Partisipasi Tenaga
Selain partisipasi dalam bentuk pemikiran, tenaga merupakan salah satu bentuk partisipasi dari masyarakat desa yang sangat potensial diarahkan dalam proses pembangunan desa, khususnya dalam pengerjaan proyek-proyek pisik PNPM-MP. Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Indonesia, teruta¬ma mereka yang tinggal di pedesaan dapat menyele¬saikan berbagai pekerjaan atas dasar gotong-rotong atau swadaya. Dengan dana yang terbatas, mereka mampu dan berhasil menyelesaikan pekerjaan-pe¬kerjaan pisik yang mahal, misalnya rumah ibadah, balai desa, bahkan sekolah dan lain sebagain¬ya. Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa mengarahkan masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan desanya tidak semata-mata ter¬gantung pada aspek anggaran. Kepemimpinan juga merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan tingkat partisipasi masyarakat desa. Artinya, Kepala Desa beserta aparatnya harus mampu menjalankan roda pemerintahan desa secara jujur, transparan, akuntabel dan religius. Dengan demikian mayarakat yang dipimpin akan cenderung untuk mengikuti ara¬han pemerintah desa guna menyumbangkan tenaga mereka dalam pelaksanaan proyek-proyek pemban¬gunan di desanya.
3. Partisipasi Keahlian
Menyelesaikan suatu pekerjaan secara efektif dan efisien serta berkualitas sangat ditentukan oleh tingkat keahlian (skill) yang dimiliki oleh para pe¬kerjanya. Keahlian tersebut juga harus ditunjang pula dengan motif dan kondisi kejiwaan dari para pekerja pada saat mereka bekerja. Hal ini penting dikemu¬kakan mengingat partisipasi adalah keterlibatan atas dasar kerelaan yang akan mewujudkan hasil seb¬agaimana yang diharapkan.
“Bila dibandingkan proyek-proyek pembangu¬nan di desa ini yang dilaksanakan oleh pihak ke-3 dengan proyek pembangunan yang ditangani oleh PNPM Mandiri Pedesaan yang melibatkan masyara¬kat, akan sangat berbeda. Proyek yang dilaksanakan oleh pihak ke-3 sudah mulai rusak meski baru be¬berapa lama selesai pengerjaannya sedangkan yang dilaksanakan oleh PNPM kualitasnya lebih bagus, karena memang melibatkan tukang terbaik di desa ini yang juga turut berswadaya”.
Informasi ini mengindikasikan bahwa: (a) ter¬dapat partisipasi masyarakat dalam bentuk keahlian; (b) tanggung jawab terhadap kualitas hasil, lebih tinggi pada proyek PNPM-MP dibandingkan den¬gan hasil yang ditunjukkan oleh proyek-proyek yang ditangani oleh pihak ke-3; dan (c) pemelihara¬an pemelihara¬an terhadap proyek PNPM-MP lebih baik dari pada pemeliharaan terhadap hasil-hasil proyek yang di¬tangani oleh pihak ketiga. Hal ini dapat dimaklumi, karena proyek PNPM- MP oleh masyarakat desa dianggap sebagai milik sendiri, sedangkan proyek yang ditangani pihak ke-3 dianggap sebagai milik negara atau daerah yang harus dijaga dan di¬rawat oleh negara atau daerah. bagi yang memiliki keahlian sebagai tu¬kang batu, silahkan kerjakan yang bagian pemasan¬gan batu, lagian tetap diberi upah kerja. Dan sebagai partisipasi mereka, maka upah yang mereka minta pun tidak seperti jika mereka bekerja biasanya”.
Ungkapan itu menunjukkan bahwa kerelaan masyarakat untuk menyumbangkan keahlian mereka dalam pembangunan desanya adalah cukup tinggi. Mereka tetap bekerja dengan baik, meskipun upah yang mereka terima seadanya saja. Artinya upah bukanlah faktor utama dalam berpartisipasi, me¬lainkan kesediaan mereka untuk bekerja sama dalam rangka mewujudkan tujuan bersama. Sebagai pimpinan, maka seyogyanya Kepala Desa beserta jajarannya melihat potensi keahlian dan ker¬elaan bekerja ini sebagai suatu kekuatan yang dapat diorganisir dan dimobilisasi secara efektif sehingga dapat bermanfaat bagi mereka dalam rangka mem¬peroleh pendapatan yang lebih baik. kaum la¬ki-laki yang berada di desa banyak yang memiliki keahlian sebagai tukang batu, tukang kayu dan ket-erampilan teknis lainnya yang mereka peroleh dari pengalaman langsung di lapangan. Banyak diantara mereka tidak memiliki tingkat pengetahuan yang me¬madai. Dengan keahlian yang mereka miliki, dapat dimanfaatkan dan diarahkan secara optimal dalam rangka pengerjaan proyek-proyek PNPM-MP dimasa yang akan datang.
4. Partisipasi Barang
Barang yang dimaksudkan dalam skripsi ini adalah barang-barang yang dimiliki oleh warga desa yang secara sukarela disumbangkan kepada desa dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek PNPM-MP. Olehnya itu, diharapkan kesediaan warga untuk dapat menyumbangkan bahan-bahan tertentu yang dibutuhkan dalam rangka pemban-gunan pisik tersebut. Himbauan ini ternyata mendapat sambutan positif dari bebera¬pa warga dan tokoh masyarakat. Sambutan positif di¬maksud adalah pemberian secara sukarela beberapa bahan (kayu, paku, pasir dan lain-lain) yang dibu¬tuhkan pada saat dibutuhkan dalam pengerjaan pembangunan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Meskipun masih terdapat hambatan-hambatan kecil dalam membangun dan mengarahkan partisipasi masyarakat Desa Hiliamaetaluo, namun secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat desa tersebut telah cukup memadai dalam rangka pelaksa¬naan proyek di desa.
2. Dari lima jenis partisipasi yang dikaji, ternyata bentuk partisipasi tenaga memiliki sumbangan yang sangat signifikan dalam pengerjaan proyek pembangunan khususnya pembangunan pada tahun 2011.
3. Kepala Desa Hiliamaetaluo beserta aparatnya cu¬kup aktif dan berhasil menjalankan fungsi dan perannya dalam mendorong dan mengarahkan partisipasi masyarakanya sehingga cukup ber¬hasil dalam menyelesaikan salah satu proyek infrastruktur yaitu pembangunan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat desanya.
5.2. Saran
1. Diharapkan agar Kepala Desa dan aparat¬nya semakin gigih dalam berupaya mem-perjuangkan aspirasi masyarakat Desa guna mendapatkan proyek-proyek pembangunan sesuai skala prioritas kebutuhan masyarakat desanya.
2. Agar Kepala Desa beserta jajarannya semakin menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh masyarakat dan dengan masyarakat desa secara keseluruhan sehingga pertemuan-per¬temuan yang mereka selenggarakan di masa yang akan datang dapat melahirkan gagasan-gagasan dan keputusan- keputusan yang lebih baik guna menyukseskan setiap program dan proyek yang telah berhasil diperjuangkan oleh Kepala Desa.
3. Agar Kepala Desa dan aparatnya serta to¬koh-tokoh masyarakat Desa Hiliamaetaluo senan¬tiasa bersinergi menjadi teladan bagi masyara¬kat dalam memelihara dan merawat hasil-hasil pembangunan yang dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
Abe, Alexander. 2005. Perencanaan Daerah Partisi¬patif. Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri.
Adi, Isbandia Rukminto. 2001. Pemberdayaa, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Arif, Syaiful. 2006. Reformasi Birokrasi dan De¬mokratisasi Kebijaka. Malang: Averroes Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arsyad, Lincoln. 2002. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE.
Conyers, Diana. 1991. “An Introduction to Social Planning in The Third World”. By Jhon Wiley & Sons Ltd. 1994. Terjemahan
Nawawi. 2007. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan dan Pemer¬ataan). Jakarta: CIDEAS.
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pemban¬gunan Daerah. Jakarta: Erlangga.
Ndraha, Talizuduhu. 1987. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Santoso R.A. 1988. Partisipasi, Komunilasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Band¬ung: Alumni.
Sugiono. 2004. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Malang: Universitas Malang Press.
Wrihatnolo, Randy R, dan Nugroho, Riant. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia: Sebuah Pengantar Panduan. Jakarta: Elekx Media Kom¬putindo.
Subscribe to:
Posts (Atom)