PERANAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH
DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
( Pemerintahan Yang Bersih Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme)
DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
( Pemerintahan Yang Bersih Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme)
Dosen
Pembina : Dra. Elisabeth Sitepu, M.si
Mata
Kuliah : Etika Pemerintahan
Disusun Oleh:
BERKAT GOWASA
10.011.111.024
Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Program
Studi Ilmu Pemerintahan
Universitas
Darma Agung
Medan
T.A
2012/2013
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita sehingga kita masih
diberi nafas kehidupan dan kenikamatan dunia serta kita dapat berkumpul
ditempat ini kembali dengan sehat walaifiat. Kami berterimakasih atas bantuan
dan arahan dari dosen Pembina Dra. Elisabeth Sitepu, M.Si yang telah meluangkan
waktunya kepada kami
dalam penyelesaian tugas ini. Kami
juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa sekalian
yang telah memberikan tenaga, buah pikiran serta berbagai sumber penunjang
tugas makalah dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
Harapan kami supaya tugas ini dapat memberikan kontribusi (masukan) dalam pemahaman masyarakat banyak dan juga
mahasiswa serta kepada aparatur negara pada khususnya agar mind set (pola pikir) mengarah pada Penciptaan Otonomi Daerah yang bebas dari KKN yang nantinya bisa diterapkan dalam
penyelenggaraan negara dan sebagai penambah khazanah ilmu pengetahuan dalam
civitas akademika dalam diri mahasiswa.
Kami menyusun makalah ini dengan judul “ Peranan Aparatur Negara
Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ” dimana prinsip ini menawarkan sebuah solusi
kepada pemerintah agar dalam penyelenggaraan pemerintahan selalu mengendepankan
kepentingan masyarakat
banyak dengan memberikan
pelayanan public (public sevice) yang
prima tanpa memandang golongan, ras, suku, agama, etnis dll serta menghilangkan
budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan
Neopitisme) karena dapat menjatuhkan atau menghancurkan suatu bangsa dan
Negara. Seperti kata Niccolo Machiavelli mengatakan “menjalankan
sejumlah korupsi dalam sebuah Negara
maka akan menghancurkan Negara itu sendiri”.
Medan, 26 Juni 2013
Hormat
Kami
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut. Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, merupakan isu yang sangat penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:
(1) Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat;
(2) Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
(3) Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan daerah;
(4) Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keempat faktor tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, pada hakekatnya otonomi daerah tersebut telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara proses, apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam semua pembuatan maupun pengkritisan terhadap sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara substansial apabila kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah mencerminkan aspirasi masyarakat.
Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel, apabila ia mampu menjalankan prosedur-prosedur yang telah ada dan dapat dipertanggungjawabkannya kepada publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, demikian pula dengan tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan kebijakan daerah antara kepala daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di berbagai daerah.
Dengan demikian tidak ada kejelasan mengenai produk hukum daerah, yang dapat mendukung proses mengalirnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan daerah dan atau pengkritisan atas suatu pelaksanaan setiap kebijakan daerah. Dengan perkataan lain tidak ada kejelasan mengenai pranata hukum daerah yang mengatur mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat guna mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang bersih bebas dari KKN. Perlu disadari pula bahwa prinsip dasar pelaksanaan otonomi daerah adalah kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan pembangunan. Dengan demikian, untuk menghadapi berbagai persoalan di daerah, terutama terkait kemiskinan dan pengangguran, peran dan tanggung jawab aparatur pemerintah daerah akan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut di tingkat lokal. Di dalam kewenangan otonomi tersebut, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan dan pengangguran di daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdarkan uraian diatas, maka dalam penulisan makalah ini kami merumuskan masalah dan memberikan batasan pada masalah Peranan Apatur Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah . Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tugas makalah ini adalah : Dalam pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan peluang pembangunan di daerah namun juga terjadi penyimpangan dalam pelaksanan peraturan perundang-undangan seperti tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang penulis harapkan dapat dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kemampuan aparatur Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
b. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi daerah.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui aparatur Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Pemberian masukan-masukan yang bermanfaat bagi pelaksanaan otonomi daerah.
b. Karya tulis ini di harapkan dapat memperkaya referensi ilmiah di bidang Ilmu Pemerintahan, sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.
c. Melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir melalui teori dan konsep sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan penyelenggara pemerintahan daerah.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Aparatur Negara
Dalam konteks pemerintahan daerah, di era otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreativitas dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Daerah. Dalam dunia yang penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif. Dengan demikian aparatur merupakan faktor yang dominan bagi berhasilnya penyelenggaraan Pemerintahan di daerah.
1. Pejabat Negara
Yang dikatakan Pejabat Negara adalah mereka yang diangkat atau duduk memegang jabatan pada Lembaga-
lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara termasuk para Kepala Daerah Tk. I dan Tk. II serta para Duta Besar serta para Pejabat lainnya yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Sesuai dengan penjelasan pasal 11 UU No. 8 tahun 1974: yang termasuk Pejabat Negara adalah: Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR dan DPR, Anggota Pengawas Keuangan, Ketua/Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung, Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Para Menteri, Para Gubernur, Bupati, Walikota Kepala Daerah.
2. Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 (1) UU 8/’74 adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan diangkat oleh Pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam statu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 1 UU 8/’74 dijelaskan bahwa Pegawai Negeri itu terdiri dari:
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS),
terbagi lagi menjadi 3 yaitu:
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat, yang dimaksud Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah: Pegawai Negeri Sipil Pusat yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara, instansi Vertikal di Daerah-daerah dan Kepaniteraan Pengadilan.
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Otonom.
3. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Pegawai Negeri adalah Unsur Aparatur Negara. Sebagai unsur Aparatur Negara Pegawai Negeri merupakan alat Negara dan sebagai alat negara Pegawai Negeri diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas Negara yaitu tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, disamping itu Pegawai Negeri Sipil adalah pelaksana Peraturan Perundang-undangan, oleh sebab itu wajib berusaha agar setiap peraturan perundang-undangan ditaati oleh masyarakat, yang berhubungan dengan itu Pegawai Negeri Sipil berkewajiban untuk memberi contoh yang baik dalam mentaati dan melaksanakan segala peraturan Perundang-undangan termasuk didalamnya kebijakan-kebijakan pimpinan atau atasan sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
2.2 Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi daerah berasal dari Bahasa Yunani yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti peraturan. Jadi, otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri.
Pengertian otonomi menurut UUD 1945 adalah hak dan wewenang daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Otonomi menurut UUD 1945 tersebut adalah otonomi yang berkedaulatan rakyat dengan menerapkan pemerintahan daerah yang bersendi atas dasar permusyawaratan rakyat dan daerah yang dimaksud dalam UUD 1945 itu adalah daerah provinsi dan daerah yang lebih kecil dari provinsi dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.
Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa : “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan pengertian dari daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerinatahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.3 Pengertian Korupsi, Kolusi, Nepotisme
Korupsi adalah setiap perbuatan yang dilakukan siapa pun juga untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara. Selain dari itu, korupsi diartikan pula sebagai setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah keuangan negara ataupun suatu badan yang menerima bantan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan (kewenangan/kekuasaan) yang diberikan padanya oleh jabatan (langsung/tidak langsung) membawa keuntungan materil baginya.
Kolusi adalah kerja sama seseorang atau sekelompok orang yang memangku jabatan atau memiliki kewenangan tertentu dalam pemerintahan dengan masyarakat atau pejabat yang memerlukan bantuan saling memberikan jasa ( jasa, komisi, atau materi lainnya) yang menimbulkan ketidakadilan dalam percaturan sumber daya manusia, karena mestinya memperoleh hasil pembangunan yang lebih baik tetapi tidak diterima secara optimal, misalnya karena adanya pejabat yang memperoleh komisi dari pegusaha, sehingga pada suatu ketika nanti apabila pada penyerahan barang-barang pembelian atau pembangunan tertentu, ternyata tidak memenuhi syarat, maka para pemimpin pemerintahan tidak lagi berkuasa memprotesnya.
Nepotisme adalah pandangan bulu dalam memilih orang, baik karena hubungan saudara, agama, suku, almamater kendati yang ditolong (ditunjuk) relatif lebih buruk dari pihak kandidat lainnya. Jadinya dalam hal ini, uang dan barang tidak hilang dari negara, tetapi negara mengalami kerugian karena pemberian kemenangan tender dan pemilihan pihak kerjasama adalah orang yang tidak memiliki kualifikasi terbaik dan tender di depan umum adalah sebuah kebohongan publik.
BAB III
PEMBAHASAN
Desentralisasi merupakan salah satu penanda yang penting bagi dimulainya upaya reformasi di Indonesia. Inisiatif desentralisasi lahir dari semangat mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi lokal yang diabaikan selama orde baru dengan dikeluarkan Otonomi Daerah adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja. Dewasa ini korupsi adalah masalah serius dibanyak-banyak negara-negara Asia begitu seriusnya, perkembangan korupsi telah mengancam stablistas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum.
Di daerah-daerah bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan undang-undang.” Di daerah-daerah bersifat otonom maka adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, didaerah pun, akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dengan demikian, Undang Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam perkembangan sejarah Negara Republik Indonesia, untuk melaksanakan pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 tersebut, telah dikeluarkan undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dan sudah beberapa kali diadakan perubahan dan penyempurnaan sehingga yang berlaku hingga pada saat ini adalah Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan otonomi daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Kota didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antar level pemerintahan dalam lingkup suatu negara, yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan pemerataan dan keadilan.
Melihat berbagai uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan Otonomi Daerah adalah memungkinkan daerah meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan untuk kemajuan daerah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
Inti dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah terdapatnya keleluasan Pemerintah Daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Otonomi Daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong aktivitas masyarakat untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungannya. Pelaksanaan Otonomi Daerah kelihatannya memang sederhana. Namun sebenarnya mengandung pengertian yang cukup rumit, karena didalamnya tersimpul makna pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat daerah, pemberdayaan masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat yang berkeadilan. Menurut Josep Riwu Kaho, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah, salah satunya manusia pelaksananya harus baik.
Memang ada banyak hal yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah, namun masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang sangat mendasar karena dengan ditetapkannya status sebagai daerah otonom yang luas disertai kadar desentralisasi yang tinggi, memungkinkan setiap daerah mengembangkan kreasi dan inovasi yang tinggi dalam mengurus rumah tangganya. Dalam format seperti ini, kebutuhan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas menjadi dasar pertimbangan utama yang memerlukan langkah-langkah prioritas yang terprogram secara sistematik.
Faktor manusia merupakan unsur yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini disadari karena manusialah yang menjalankan mekanisme pemerintahan. Diantara beberapa sumber daya manusia yang secara potensial sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah adalah aparatur pemerintah daerah. Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa. Dimana aparatur Pemerintah Daerah adalah pelaksana kebijakan publik yang mengemban tugas dan fungsi-fungsi pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga diperlukan persyaratan kualitas yang memadai dari unsur sumber daya manusia ini. Secara teoritik, kemampuan pemerintah, antara lain terbentuk melalui penerapan azas desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi, kepada tingkat bawahnya secara hirarkis (Ryaas Rasyid, 1997). Melalui pelimpahan wewenang itulah pemerintah pada tingkat bawah diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreativitas, mencari solusi terbaik atas setiap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Namun demikian, kenyataannya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah kapasitas aparatur pemerintah masih sangat terbatas dimana bukan saja kuantitasnya yang memprihatinkan tetapi juga kualitas dari produk yang dihasilkan masih belum bisa memenuhi harapan semua pihak, termasuk yang diakui sebagian aparatur Pemerintah sendiri. Apalagi ada predikat tambahan yaitu “termasuk peringkat atas sebagai negara korup di dunia”.
Kondisi aparatur pemerintah beberapa waktu yang lalu pernah diamati oleh sebuah lembaga yang hasilnya cukup memprihatinkan. Ketika jam kerja, banyak dijumpai aparatur yang hanya baca koran, hanya berbincang-bincang, dan bahkan tidak berada ditempat kerjanya, sehingga kebanyakan aparatur tidak mengetahui tugas-tugas rutinnya. Selain itu pendidikan formal aparatur pemerintahan kesempatan mengikuti pelatihan atau program pemerintah sangat terbatas, keterbatasan ini menimbulkan perbedaan persepsi dalam menafsirkan dan memahami setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada setiap aparatur. Apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah ini yang memerlukan kemampuan setiap aparatur untuk mengemban tugas sebagai aparatur daerah otonom, jika kondisi aparatur seperti kondisi ini maka menghambat percepatan pelaksanaan otonomi daerah karena sebagian diantaranya merasa takut akan kehilangan kekuasaan akibat kurangnaya pemahaman tentang otonomi daerah dan sebaliknya sebagian lagi kebablasan dalam menerapkan otonomi daerah.
3.1 Etika Pemerintahan Di Indonesia
Kejahatan kerah putih tidak menakutkan, karena pelakunya berdasi, berpangkat, bergelar, dan naik turun mobil mewah, teduh indah dengan sederetan para pegawal dan para pembela. Namun demikian sejak turunnya Jenderal Soeharto dari kursi kekuasaan yang selama 32 tahun telah berkuasa, para demonstrasi yang sebagian besar terdiri dari perwakilan mahasiswa se Indonesia (terutama dari pulau jawa) istilah dan spanduk yang paling banyak diangkat adalah pemberatasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Karena pemerintahan dalam arti luas juga berarti legislatif, yudikatif, inspektif, konsultif dan konstitutif selain dari eksekutif sendiri, maka tidak menutup kemungkinan korupsi, kolusi dan nepotisme ini melibatkan pihak tersebut di atas. Misalnya terjadinya penyogokan anggota legislatif untuk meloloskan suatu undang-undang atau peraturan daerah, terjadinya penyogokan pada pejabat yudikatif untuk meloloskan suatu perkara.
Ada beberapa patologi yang merupakan duka Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dan hal ini harus disembuhkan yaitu antara lain sebagai berikut :
Loyalitas kepada atasan, maksudnya seorang pejabat yang baru saja dilantik maka kita tidak mengetahui apakah dia akan bekerja dengan baik atau buruk, apakah dia akan bekerja dengan benar atau salah, maka biarlah kita memberikan penilaian setelah masa jabatannya berakhir, tetapi di Indonesia, begitu seseorang baru dilantik para staf lalu berbondong-bondong memperlihatkan kedekatan. Jadi seharusnya loyalitas para staf adalah kepada tugas bukan kepada atasan yang tidak menutup kemungkinan untuk keliru sebagai manusia.
Budaya feodalistik, maksudnya ketika bangsa indonesia dijajah Belanda kita melihat mereka berkulit putih berdampingan dengan kerajaan maka derajat mereka ditinggikan dan disebut pula dengan berdarah biru, setelah indonesia merdeka maka pegawai negari dianggap pemerintah menggantikan, oleh karena itu untuk menjadi pegawai orang berkenan menyogok sebanyak apa pun. Oleh karena itu bagi pemegang jabatan sudah tentu dianggap ningrat, mereka terlalu dihormati, masyarakat menunduk bila lewat di depan pejabat pemerintah karena dianggap raja yang berkuasa dan harus dihormati.
Pelayanan lemah, maksudnya pelayanan adalah sama apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan apa yang diberikan pemerintah, kalau pemerintah mendirikan pasar disuatu tempat yang sulit dikunjungi pembeli dan penjual dan harga retribusi yang tidak sebanding maka berarti pemerintah tidak berbangga bahwa telah melakukan pelayanan karena masyarakat tidak butuh apa yang diberikan oleh pemerintah.
Mutu pegawai rendah, maksudnya setiap ada penerimaan pegawai selalu yang diterima anak pejabat atau anak mereka yang mempunyai uang maka banyak sekali kepala bagian kepegawaian yang kaya raya, resikonya pegawai negeri yang diterima tidak lagi memperhatikan mutu mulai dari tingkat kecerdasan, moral sampai pada ketrampilan kerja, dengan demikian prestasi sudah dilupakan, bahkan pemberian penghargaan dikantor-kantor hanya berdasarkan selera atasan.
3.2 Desentralisasi Pemerintahan
Bagaimanapun kecilnya suatu negara, negara tersebut tetap akan membagi-bagi pemerintahan menjadi sistem yang lebih kecil (pemerintahan daerah) untuk memudahkan pelimpahan tugas dan wewenang, namun demikian pemerintahan pusat juga merasa curiga terhadap timbulnya separatisme dari hasil pemberian otonomi daerah ini. Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaanya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkinkan daerah-daerah tersebut meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemmerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian daerah perlu diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, serta sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti pajak-pajak daerah, retribusi dan pendapatan lain yang sah.
Berikut ini ada berbagai kebaikan diadakannya desentralisasi pemerintahan, yaitu sebagai berikut (Inu kencana 2011:58) :
1. Meringankan beban, karena aparat pemerintah pusat tidak perlu lagi jauh-jauh ke daerah dimana aparat derah sudah difungsikan dengan baik.
2. Generalistik berkembang, karena seluruh lapisan masyarakat dengan segala macam kemampuannya dikembangkan.
3. Semangat kerja ada karena setiap individu terpakai dan diakui keberadaannya.
4. Siap pakai, karena tenaga-tenaga yang akan dipakai sudah berada didaerahnya masing-masing. Jadi dalam sistem kepegawaian tidak diperlukan lagi pemindahan status kepegawaian.
5. Efisiensi, karena dalam penghematan waktu pemerintah tidak terlalu lama mengisi formasi yang kosong.
6. Manfaat yang diperoleh besar, karena batin masyarakat terpenuhi melalui pendemokrasian didaerah ini.
7. Resiko tinggi, karena masalah-masalah yang timbul didaerah bukan hanya dipikirkan dan dipecahkan oleh aparat pusat, tetapi juga dipikirkan penanggulangannya oleh masyarakat daerah.
8. Tepat untuk penduduk yang beraneka ragam
9. Memudahkan pekerjaan karena pekerjaan dapat dibagi-bagi antara pusat dan daerah dan antara daerah dengan daerah lain.
10. Unsur individu menonjol pengaruhnya, karena setiap setiap individu yang memiliki keahlian di daerahnya, akan segera terlihat.
11. Menciptakan administrasi yang relatif lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif karena dalam rangka kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut, muncul kreasi, keinginan untuk maju, berkembang, serta luwes dalam menyelesaikan permasalahan kedaerahan.
12. Kesewenangan berkurang, karena pemerintah pusat telah memberikan otonomi kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, maka ketergantungan daerah kepada pusat berkurang .
Indonesia memang boleh berbangga telah menerapkan sistem di mana merupakan alat untuk memberikan pelayanan publik yang baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis serta tata kelola daerah menjadi tanggungjawab daerah sendiri atau kita kenal dengan istilah desentralisasi. Hal tersebut kemudian mengacu pada dua aspek yang menjadi tujuan, yakni dibidang ekonomi dan politik yang mengedepankan pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat daerah seperti yang termuat dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
3.3 PEMIMPIN SEPERTI APA YANG KITA IKUTI
Saat pemimpin tersebut memutuskan (baik secara sadar atau tidak) untuk mengikuti kepemimpinan nya, keputusan itu terutama karena satu atau dua hal berikut:karakter pemimpinnya atau kemampuannya. Seorang pemimpin yang luar biasa, harus mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak pemikiran dan segenap kemampuannya. Dia bekerja lebih keras dan berpikir lebih kuat, lebih lama, dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.
Tentu ada banyak pertimbangan, untuk mengetahui macam-macam karakter pemimpin yang membuat orang lain mengikuti kepemimpinan. Ada beberapa hal yang dimiliki seorang pemimpin adalah :
a. Gaya kepemimpinan analitis (Analytical). Dalam gaya kepemimpinan tipe ini, biasanya pembuatan keputusan didasarkan pada proses analisis, terutama analisis logika pada setiap informasi yang diperolehnya. Gaya ini berorientasi pada hasil dan menekankan pada rencana-rencana rinci serta berdimensi jangka panjang. Kepemimpinan model ini sangat mengutamakan logika dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang masuk akal serta kuantitatif.
b. Gaya kemimpinan asertif (Assertive). Gaya kepemimpinan ini sifatnya lebih agresif dan mempunyai perhatian yang sangat besar pada pengendalian personal dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lainnya. Pemimpin tipe asertif lebih terbuka dalam konflik dan kritik. Pengambilan keputusan muncul dari proses argumentasi dengan beberapa sudut pandang sehingga muncul kesimpulan yang memuaskan.
c. Gaya kepemimpinan entepreneur. Gaya kepemimpinan ini sangat menaruh perhatian kepada kekuasaan dan hasil akhir serta kurang mengutamakan pada kebutuhan akan kerjasama. Gaya kepemimpinan model ini biasannya selalu mencari pesaing dan menargetkan standar yang tinggi.
Dalam era turbulensi lingkungan seperti sekarang ini, setiap pemimpin harus siap dan dituntut mampu untuk melakukan transformasi terlepas pada gaya kepemimpinan apa yang mereka anut. Pemimpin harus mampu mengelola perubahan, termasuk di dalamnya mengubah budaya organiasi yang tidak lagi kondusif dan produktif. Pemimpin harus mempunyai visi yang tajam, pandai mengelola keragaman dan mendorong terus proses pembelajaran karena dinamika perubahan lingkungan serta persaingan yang semakin ketat
3.3 Kinerja Aparatur Pemerintah
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata performance. Performance berasal dari kata to perform yang mempunyai arti Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu oganisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
Rumusan diatas menjelaskan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau lembaga dalam melaksanakan pekerjaannya. Dari definisi diatas terdapat beberapa indikator yaitu :
1. Hasil kerja yang dicapai secara individual atau secara institusi, yang berarti kinerja tersebut adalah hasil akhir yang diperoleh atau dicapai
2. Dalam melaksanakan tugas, orang atau lembaga diberikan wewenang dan tanggung jawab, yang berarti orang atau lembaga diberikan hak dan kekuasaan untuk bertindak sehingga pekerjaannya dapat dilakukan dengan baik. Meskipun demikian orang atau lembaga tersebut tetap harus dalam kedali, yakni mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada pemberi hak dan wewenang, sehingga dia tidak akan menyalahgunakan hak dan wewenangnya tersebut.
3. Pekerjaan haruslah dilakukan secara legal, yang berarti dalam melaksanakan tugas individu atau lembaga tentu saja harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
4. Pekerjaan tidaklah bertentangan dengan moral dan etika, artinya selain mengikuti aturan yang telah ditetapkan, tentu saja pekerjaan tersebut haruslah sesuai dengan moral dan etika yang berlaku umum.
Dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, pimpinan melakukan tugasnya dibantu oleh pimpinan yang lain bersama pegawai. Jika kinerja pegawai baik akan mempengaruhi kinerja pimpinan dan selanjutnya kinerja organisasi.
Agar kinerja dapat dioptimalkan haruslah membuat deskripsi jabatan bagi setiap pegawai, sehingga mereka mengerti apa fungsi dan tanggung jawabnya. Deskripsi jabatan yang baik akan dapat menjadi landasan untuk:
1. Penentuan gaji. Hasil deskripsi jabatan akan berfungsi menjadi dasar untuk perbandingan pekerjaan dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan sebagai acuan pemberian gaji yang adil bagi pegawai dan sebagai data pembanding dalam persaingan dalam perusahaan.
2. Seleksi pegawai. Deskripsi jabatan sangat dibutuhkan dalam penerimaan, seleksi dan penempatan pegawai. Selain itu juga merupakan sumber untuk pengembangan spesifikasi pekerjaan yang dapat menjelaskan tingkat kualifikasi yang dimiliki oleh seorang pelamar dalam jabatan tertentu.
3. Orientasi. Deskripsi jabatan dapat mengenalkan tugas yang baru kepada pegawai dengan cepat dan efisiensi.
4. Penilaian kinerja. Deskripsi jabatan menunjukkan perbandingan bagaimana seseorang pegawai memenuhi tugasnya dan bagaimana tugas itu seharusnya dipenuhi.
5. Pelatihan dan pengembangan. Deskripsi jabatan akan memberikan analisis yang akurat mengenai pelatihan yang diberikan dan perkembangan untuk membantu pengembangan karier.
6. Uraian dan perencanaan organisasi. Perkembangan awal dari deskripsi jabatan menunjukkan dimana kelebihan dan kekurangan dalam pertanggungjawaban. Dalam hal ini deskripsi jabatan akan menyeimbangkan tugas dan tanggung jawab.
7. Uraian tanggung jawab. Deskripsi jabatan akan membantu individu untuk memahami berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
3.3 Pelaksanaan Otonomi Daerah
Daerah otonom, oleh pemerintah pusat diberikan wewenang yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi, asas dekosentrasi, dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang di tetapkan dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Prinsip otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian antar daerah dengan daerah lainnya artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru mewajibkan pemerintah melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula standar, arahan bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersama itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efesien dan efektif. Penyelenggaraan desentralisasi menurut undang-undang ini mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah. Kewenangan tersebut dalam prakteknya masih akan dibatasi oleh kewenangan pemerintah pusat dibidang lainnya, seperti diatur dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain” (Undang-Undang Otonomi Daerah, 2004:7).
Disamping itu, terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan ;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan bidang pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan daerah yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Disamping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah harus pula didasarkan pada semangat dan prinsip yang dijadikan pedoman dalam UU. No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu:
a) Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
b) Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menekankan hubungan antar susunan pemerintahan serta pemberian hak dan kewajiban otonomi daerah; dengan prinsip: demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan daerah.
c) Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan seperti desentralisasi, dekosentrasi, dan tugas pembantuan, diselenggarakan secara proposional sehingga saling menunjang.
d) Tujuan pemberian otonomi daerah tetap seperti yang dirumuskan sampai saat ini yaitu untuk memberdayakan potensi daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Disamping itu untuk lebih meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas penyelenggaraan fungsi-fungsi seperti pelayanan, pengembangan, dan perlindungan terhadap masyarakat dalam ikatan NKRI.
Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan atau mengutamakan kepentingan pimpinan atau organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Birokrasi di Indonesia hingga saat ini belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial, dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin tidak profesionalnya kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi ditingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra birokrat dan sistim birokrasi kita. Para pejabat politik baru pun harus berkonflik atau berkolusi di bawahnya karena dominasi mereka yang begitu kuat. Karenanya di era reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun daerah yang dimotori oleh partai politik baru dengan minimnya jaringan birokrasi, pasti mengalami resistensi tinggi.
Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang menuju pada good governance memerlukan terlaksananya sistem checks and balance yang berkembang dari dan dalam keseluruhan unsur penyelenggaraan negara. Sementara itu, menurut United Nation Development (UNDP), Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan aspek fundamental (asas/prinsip) yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Partisipasi (participation); yaitu keikut sertaan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah dan mewakili kepentingan mereka. Bentuk partisipasi dimaksudkan dibangun atas dasar prinsip demokrasi, yaitu kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat secara konstruktif. Dalam hal ini perlu deregurasi birokrasi, sehingga proses sebuah usaha efektif dan efesien.
2. Penegakan hukum (rule of law); yaitu bahwa pengelolaan pemeritahan yang profesional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa, karena tanpa ditopang oleh aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, maka partisipasi masyarakat dapat berubah menjadi tindakan yang anarkis.
3. Transparansi (transparency); asas transparansi adalah unsur penting yang menompang terwujudnya good dan clean governance. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang bersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Responsif; yaitu tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat dalam hal ini pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat dan proaktif, bukan menunggu mereka menyampaikan keinginan. Untuk setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni etika individual dan etika sosial.
5. Consensus (orientasi kesepakatan); yaitu bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui kesepakatan dalam suatu permusyawaratan. Melalui cara ini akan memuaskan semua pihak sehingga semuanya merasa terikat untuk melakukan konsensus.
6. Kesetaraan (equity); yaitu kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Hal ini mengharuskan setiap pelaksana pemerintah bersikap dan berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial.
7. Efektifitas dan efisiensi; (berdayaguna dan berhasilguna). Kriteria efektif diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau besar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok lapisan sosial sedangkan efisiensi diukur dengan rasionalitas biaya untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat.
8. Akuntabilitas; yaitu pertanggunggugatan pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurus kepentingan mereka. Dalam hal ini setiap pejabat publik dituntut mempertanggung jawabkan semua kebijakan, keputusan, perbuatan, moral maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.
9. Visi strategis (strategic vision); yaitu pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang (forecasting) artinya, kebijakan/keputusan apapun yang akan diambil saat ini harus mempertimbangkan akibatnya di masa depan.
Pelaksanaan pemerintahan pada reformasi telah membawa perubahan secara umum sasaran penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat.
Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, secara khusus sasaran yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Berkurangnya secara nyata praktek KKN di birokrasi yang antara lain ditunjukkan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Tidak adanya manipulasi pajak
b. Tidak adanya pungutan liar
c. Tidak adanya manipulasi tanah
d. Tidak adanya pengelapan uang Negara
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, transparan, profesional dan akuntabel :
a. Sistem kelembagaan lebih efektif, ramping dan fleksibel
b. Kualitas tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat dan antara pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota lebih baik
3. Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat.
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan pelayanan publik; berjalannya mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan masyarakat dalam perumusan program dan kebijakan pelayanan publik.
5. Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan baik pusat maupun daerah.
3.5 KEWAJIBAN DAN HAK PEGAWAI NEGERI SIPIL
kewajiban dan hak yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, maka diberlakukan juga Peraturan Pemerintah Kewajiban bagi pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 2, yang berbunyi:
Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib:
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain;
3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil;
4. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
6. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum;
7. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
8. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara;
9. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;
10. j. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material;
11. Mentaati ketentuan jam kerja;
12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;
13. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaik-baiknya;
14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing;
15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya;
16. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya;
17. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya;
18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya;
19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya;
20. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan;
21. Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan;
Hormat menghormati antara sesama warganegara yang memeluk agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan;
BAB IV
PENUTUP
3.4 Kesimpulan
Sejak berlakunya Otonomi Daerah yang adalah pemberian wewenang dan tanggung dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan mengurus daerah otonomi sesuai aspirasi daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merata keseluruh wilayah, mengurangi tingkat kesenjangan antardaerah, meningkatkan interaksi masyarakat antardaerah, yang pada ujungnya adalah untuk menciptakan stabilitas nasional serta memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
3.5 Saran
Sebagai aparatur pemerintah daerah yang Dalam konteks pemerintahan daerah, di era otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreativitas dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Daerah. Dalam dunia yang penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif. Dengan demikian aparatur merupakan faktor yang dominan bagi berhasilnya penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. aparatur pemerintah daerah Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa. DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2011. Manajemen Pemerintahan Daerah. Yogyakarta. Graha Ilmu
Agustino, Leo. 2007. Perihal Ilmu Politik. Yogyakarta. Graha Ilmu
Budiarjo, miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik edisi revisi. Jakarta. PT Gramedia Pustka Utama
Darmadi.D & Sukidin. 2011. Administrasi Publik. Yogyakarta. LaksBang PRESSindo.
Kaloh, Jeremis. 2010. Kepemimpinan Kepala Daearah. Jakarta. Sinar Grafika
Ndraha, Taliziduhu. 2010. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta
Nugroho. Riant & Wrihatnolo. Randy. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia. Jakarta. PT Gramedia
Supriyatna, budi. 2009. Manajemen Pemerintahan: (plus dua belas langkah strategis). Jakarta: CV. Media Berlian.
Syafiie, Inu Kencana. 2010. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta
Syafiie, Inu Kencana. 2011. Etika Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta
Salam, Dharma Setyawan. 2007. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Djambatan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, merupakan isu yang sangat penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:
(1) Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat;
(2) Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
(3) Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan daerah;
(4) Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keempat faktor tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, pada hakekatnya otonomi daerah tersebut telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara proses, apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam semua pembuatan maupun pengkritisan terhadap sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara substansial apabila kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah mencerminkan aspirasi masyarakat.
Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel, apabila ia mampu menjalankan prosedur-prosedur yang telah ada dan dapat dipertanggungjawabkannya kepada publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, demikian pula dengan tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan kebijakan daerah antara kepala daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di berbagai daerah.
Dengan demikian tidak ada kejelasan mengenai produk hukum daerah, yang dapat mendukung proses mengalirnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan daerah dan atau pengkritisan atas suatu pelaksanaan setiap kebijakan daerah. Dengan perkataan lain tidak ada kejelasan mengenai pranata hukum daerah yang mengatur mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat guna mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang bersih bebas dari KKN. Perlu disadari pula bahwa prinsip dasar pelaksanaan otonomi daerah adalah kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan pembangunan. Dengan demikian, untuk menghadapi berbagai persoalan di daerah, terutama terkait kemiskinan dan pengangguran, peran dan tanggung jawab aparatur pemerintah daerah akan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut di tingkat lokal. Di dalam kewenangan otonomi tersebut, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan dan pengangguran di daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdarkan uraian diatas, maka dalam penulisan makalah ini kami merumuskan masalah dan memberikan batasan pada masalah Peranan Apatur Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah . Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam tugas makalah ini adalah : Dalam pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan peluang pembangunan di daerah namun juga terjadi penyimpangan dalam pelaksanan peraturan perundang-undangan seperti tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang penulis harapkan dapat dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kemampuan aparatur Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
b. Untuk mengetahui pelaksanaan otonomi daerah.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui aparatur Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Pemberian masukan-masukan yang bermanfaat bagi pelaksanaan otonomi daerah.
b. Karya tulis ini di harapkan dapat memperkaya referensi ilmiah di bidang Ilmu Pemerintahan, sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.
c. Melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir melalui teori dan konsep sehingga dapat diterapkan dalam pelaksanaan penyelenggara pemerintahan daerah.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Aparatur Negara
Dalam konteks pemerintahan daerah, di era otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreativitas dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Daerah. Dalam dunia yang penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif. Dengan demikian aparatur merupakan faktor yang dominan bagi berhasilnya penyelenggaraan Pemerintahan di daerah.
1. Pejabat Negara
Yang dikatakan Pejabat Negara adalah mereka yang diangkat atau duduk memegang jabatan pada Lembaga-
lembaga Tinggi dan Tertinggi Negara termasuk para Kepala Daerah Tk. I dan Tk. II serta para Duta Besar serta para Pejabat lainnya yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Sesuai dengan penjelasan pasal 11 UU No. 8 tahun 1974: yang termasuk Pejabat Negara adalah: Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR dan DPR, Anggota Pengawas Keuangan, Ketua/Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung, Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Para Menteri, Para Gubernur, Bupati, Walikota Kepala Daerah.
2. Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 (1) UU 8/’74 adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan diangkat oleh Pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam statu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pasal 1 UU 8/’74 dijelaskan bahwa Pegawai Negeri itu terdiri dari:
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS),
terbagi lagi menjadi 3 yaitu:
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat, yang dimaksud Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah: Pegawai Negeri Sipil Pusat yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara, instansi Vertikal di Daerah-daerah dan Kepaniteraan Pengadilan.
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Otonom.
3. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Pegawai Negeri adalah Unsur Aparatur Negara. Sebagai unsur Aparatur Negara Pegawai Negeri merupakan alat Negara dan sebagai alat negara Pegawai Negeri diberi tugas untuk melaksanakan tugas-tugas Negara yaitu tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, disamping itu Pegawai Negeri Sipil adalah pelaksana Peraturan Perundang-undangan, oleh sebab itu wajib berusaha agar setiap peraturan perundang-undangan ditaati oleh masyarakat, yang berhubungan dengan itu Pegawai Negeri Sipil berkewajiban untuk memberi contoh yang baik dalam mentaati dan melaksanakan segala peraturan Perundang-undangan termasuk didalamnya kebijakan-kebijakan pimpinan atau atasan sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
2.2 Pengertian Otonomi Daerah
Istilah otonomi daerah berasal dari Bahasa Yunani yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti peraturan. Jadi, otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintahan sendiri.
Pengertian otonomi menurut UUD 1945 adalah hak dan wewenang daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Otonomi menurut UUD 1945 tersebut adalah otonomi yang berkedaulatan rakyat dengan menerapkan pemerintahan daerah yang bersendi atas dasar permusyawaratan rakyat dan daerah yang dimaksud dalam UUD 1945 itu adalah daerah provinsi dan daerah yang lebih kecil dari provinsi dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.
Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa : “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan pengertian dari daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerinatahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.3 Pengertian Korupsi, Kolusi, Nepotisme
Korupsi adalah setiap perbuatan yang dilakukan siapa pun juga untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara. Selain dari itu, korupsi diartikan pula sebagai setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah keuangan negara ataupun suatu badan yang menerima bantan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan (kewenangan/kekuasaan) yang diberikan padanya oleh jabatan (langsung/tidak langsung) membawa keuntungan materil baginya.
Kolusi adalah kerja sama seseorang atau sekelompok orang yang memangku jabatan atau memiliki kewenangan tertentu dalam pemerintahan dengan masyarakat atau pejabat yang memerlukan bantuan saling memberikan jasa ( jasa, komisi, atau materi lainnya) yang menimbulkan ketidakadilan dalam percaturan sumber daya manusia, karena mestinya memperoleh hasil pembangunan yang lebih baik tetapi tidak diterima secara optimal, misalnya karena adanya pejabat yang memperoleh komisi dari pegusaha, sehingga pada suatu ketika nanti apabila pada penyerahan barang-barang pembelian atau pembangunan tertentu, ternyata tidak memenuhi syarat, maka para pemimpin pemerintahan tidak lagi berkuasa memprotesnya.
Nepotisme adalah pandangan bulu dalam memilih orang, baik karena hubungan saudara, agama, suku, almamater kendati yang ditolong (ditunjuk) relatif lebih buruk dari pihak kandidat lainnya. Jadinya dalam hal ini, uang dan barang tidak hilang dari negara, tetapi negara mengalami kerugian karena pemberian kemenangan tender dan pemilihan pihak kerjasama adalah orang yang tidak memiliki kualifikasi terbaik dan tender di depan umum adalah sebuah kebohongan publik.
BAB III
PEMBAHASAN
Desentralisasi merupakan salah satu penanda yang penting bagi dimulainya upaya reformasi di Indonesia. Inisiatif desentralisasi lahir dari semangat mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi lokal yang diabaikan selama orde baru dengan dikeluarkan Otonomi Daerah adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja. Dewasa ini korupsi adalah masalah serius dibanyak-banyak negara-negara Asia begitu seriusnya, perkembangan korupsi telah mengancam stablistas dan keamanan masyarakat nasional dan internasional, melemahkan institusi dan nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan penegakan hukum.
Di daerah-daerah bersifat otonom atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan undang-undang.” Di daerah-daerah bersifat otonom maka adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, didaerah pun, akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Dengan demikian, Undang Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam perkembangan sejarah Negara Republik Indonesia, untuk melaksanakan pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 tersebut, telah dikeluarkan undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah, dan sudah beberapa kali diadakan perubahan dan penyempurnaan sehingga yang berlaku hingga pada saat ini adalah Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan otonomi daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Kota didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antar level pemerintahan dalam lingkup suatu negara, yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan pemerataan dan keadilan.
Melihat berbagai uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan Otonomi Daerah adalah memungkinkan daerah meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan untuk kemajuan daerah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
Inti dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah terdapatnya keleluasan Pemerintah Daerah (discretionary power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Otonomi Daerah tidak hanya berarti melaksanakan demokrasi dilapisan bawah, tetapi juga mendorong aktivitas masyarakat untuk melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungannya. Pelaksanaan Otonomi Daerah kelihatannya memang sederhana. Namun sebenarnya mengandung pengertian yang cukup rumit, karena didalamnya tersimpul makna pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat daerah, pemberdayaan masyarakat, dan sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat yang berkeadilan. Menurut Josep Riwu Kaho, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah, salah satunya manusia pelaksananya harus baik.
Memang ada banyak hal yang mempengaruhi pelaksanaan Otonomi Daerah, namun masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang sangat mendasar karena dengan ditetapkannya status sebagai daerah otonom yang luas disertai kadar desentralisasi yang tinggi, memungkinkan setiap daerah mengembangkan kreasi dan inovasi yang tinggi dalam mengurus rumah tangganya. Dalam format seperti ini, kebutuhan tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas menjadi dasar pertimbangan utama yang memerlukan langkah-langkah prioritas yang terprogram secara sistematik.
Faktor manusia merupakan unsur yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini disadari karena manusialah yang menjalankan mekanisme pemerintahan. Diantara beberapa sumber daya manusia yang secara potensial sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah adalah aparatur pemerintah daerah. Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa. Dimana aparatur Pemerintah Daerah adalah pelaksana kebijakan publik yang mengemban tugas dan fungsi-fungsi pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga diperlukan persyaratan kualitas yang memadai dari unsur sumber daya manusia ini. Secara teoritik, kemampuan pemerintah, antara lain terbentuk melalui penerapan azas desentralisasi, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari tingkat atas organisasi, kepada tingkat bawahnya secara hirarkis (Ryaas Rasyid, 1997). Melalui pelimpahan wewenang itulah pemerintah pada tingkat bawah diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreativitas, mencari solusi terbaik atas setiap masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Namun demikian, kenyataannya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah kapasitas aparatur pemerintah masih sangat terbatas dimana bukan saja kuantitasnya yang memprihatinkan tetapi juga kualitas dari produk yang dihasilkan masih belum bisa memenuhi harapan semua pihak, termasuk yang diakui sebagian aparatur Pemerintah sendiri. Apalagi ada predikat tambahan yaitu “termasuk peringkat atas sebagai negara korup di dunia”.
Kondisi aparatur pemerintah beberapa waktu yang lalu pernah diamati oleh sebuah lembaga yang hasilnya cukup memprihatinkan. Ketika jam kerja, banyak dijumpai aparatur yang hanya baca koran, hanya berbincang-bincang, dan bahkan tidak berada ditempat kerjanya, sehingga kebanyakan aparatur tidak mengetahui tugas-tugas rutinnya. Selain itu pendidikan formal aparatur pemerintahan kesempatan mengikuti pelatihan atau program pemerintah sangat terbatas, keterbatasan ini menimbulkan perbedaan persepsi dalam menafsirkan dan memahami setiap tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada setiap aparatur. Apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah ini yang memerlukan kemampuan setiap aparatur untuk mengemban tugas sebagai aparatur daerah otonom, jika kondisi aparatur seperti kondisi ini maka menghambat percepatan pelaksanaan otonomi daerah karena sebagian diantaranya merasa takut akan kehilangan kekuasaan akibat kurangnaya pemahaman tentang otonomi daerah dan sebaliknya sebagian lagi kebablasan dalam menerapkan otonomi daerah.
3.1 Etika Pemerintahan Di Indonesia
Kejahatan kerah putih tidak menakutkan, karena pelakunya berdasi, berpangkat, bergelar, dan naik turun mobil mewah, teduh indah dengan sederetan para pegawal dan para pembela. Namun demikian sejak turunnya Jenderal Soeharto dari kursi kekuasaan yang selama 32 tahun telah berkuasa, para demonstrasi yang sebagian besar terdiri dari perwakilan mahasiswa se Indonesia (terutama dari pulau jawa) istilah dan spanduk yang paling banyak diangkat adalah pemberatasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Karena pemerintahan dalam arti luas juga berarti legislatif, yudikatif, inspektif, konsultif dan konstitutif selain dari eksekutif sendiri, maka tidak menutup kemungkinan korupsi, kolusi dan nepotisme ini melibatkan pihak tersebut di atas. Misalnya terjadinya penyogokan anggota legislatif untuk meloloskan suatu undang-undang atau peraturan daerah, terjadinya penyogokan pada pejabat yudikatif untuk meloloskan suatu perkara.
Ada beberapa patologi yang merupakan duka Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, dan hal ini harus disembuhkan yaitu antara lain sebagai berikut :
Loyalitas kepada atasan, maksudnya seorang pejabat yang baru saja dilantik maka kita tidak mengetahui apakah dia akan bekerja dengan baik atau buruk, apakah dia akan bekerja dengan benar atau salah, maka biarlah kita memberikan penilaian setelah masa jabatannya berakhir, tetapi di Indonesia, begitu seseorang baru dilantik para staf lalu berbondong-bondong memperlihatkan kedekatan. Jadi seharusnya loyalitas para staf adalah kepada tugas bukan kepada atasan yang tidak menutup kemungkinan untuk keliru sebagai manusia.
Budaya feodalistik, maksudnya ketika bangsa indonesia dijajah Belanda kita melihat mereka berkulit putih berdampingan dengan kerajaan maka derajat mereka ditinggikan dan disebut pula dengan berdarah biru, setelah indonesia merdeka maka pegawai negari dianggap pemerintah menggantikan, oleh karena itu untuk menjadi pegawai orang berkenan menyogok sebanyak apa pun. Oleh karena itu bagi pemegang jabatan sudah tentu dianggap ningrat, mereka terlalu dihormati, masyarakat menunduk bila lewat di depan pejabat pemerintah karena dianggap raja yang berkuasa dan harus dihormati.
Pelayanan lemah, maksudnya pelayanan adalah sama apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan apa yang diberikan pemerintah, kalau pemerintah mendirikan pasar disuatu tempat yang sulit dikunjungi pembeli dan penjual dan harga retribusi yang tidak sebanding maka berarti pemerintah tidak berbangga bahwa telah melakukan pelayanan karena masyarakat tidak butuh apa yang diberikan oleh pemerintah.
Mutu pegawai rendah, maksudnya setiap ada penerimaan pegawai selalu yang diterima anak pejabat atau anak mereka yang mempunyai uang maka banyak sekali kepala bagian kepegawaian yang kaya raya, resikonya pegawai negeri yang diterima tidak lagi memperhatikan mutu mulai dari tingkat kecerdasan, moral sampai pada ketrampilan kerja, dengan demikian prestasi sudah dilupakan, bahkan pemberian penghargaan dikantor-kantor hanya berdasarkan selera atasan.
3.2 Desentralisasi Pemerintahan
Bagaimanapun kecilnya suatu negara, negara tersebut tetap akan membagi-bagi pemerintahan menjadi sistem yang lebih kecil (pemerintahan daerah) untuk memudahkan pelimpahan tugas dan wewenang, namun demikian pemerintahan pusat juga merasa curiga terhadap timbulnya separatisme dari hasil pemberian otonomi daerah ini. Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaanya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah ini bertujuan untuk memungkinkan daerah-daerah tersebut meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemmerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian daerah perlu diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, serta sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti pajak-pajak daerah, retribusi dan pendapatan lain yang sah.
Berikut ini ada berbagai kebaikan diadakannya desentralisasi pemerintahan, yaitu sebagai berikut (Inu kencana 2011:58) :
1. Meringankan beban, karena aparat pemerintah pusat tidak perlu lagi jauh-jauh ke daerah dimana aparat derah sudah difungsikan dengan baik.
2. Generalistik berkembang, karena seluruh lapisan masyarakat dengan segala macam kemampuannya dikembangkan.
3. Semangat kerja ada karena setiap individu terpakai dan diakui keberadaannya.
4. Siap pakai, karena tenaga-tenaga yang akan dipakai sudah berada didaerahnya masing-masing. Jadi dalam sistem kepegawaian tidak diperlukan lagi pemindahan status kepegawaian.
5. Efisiensi, karena dalam penghematan waktu pemerintah tidak terlalu lama mengisi formasi yang kosong.
6. Manfaat yang diperoleh besar, karena batin masyarakat terpenuhi melalui pendemokrasian didaerah ini.
7. Resiko tinggi, karena masalah-masalah yang timbul didaerah bukan hanya dipikirkan dan dipecahkan oleh aparat pusat, tetapi juga dipikirkan penanggulangannya oleh masyarakat daerah.
8. Tepat untuk penduduk yang beraneka ragam
9. Memudahkan pekerjaan karena pekerjaan dapat dibagi-bagi antara pusat dan daerah dan antara daerah dengan daerah lain.
10. Unsur individu menonjol pengaruhnya, karena setiap setiap individu yang memiliki keahlian di daerahnya, akan segera terlihat.
11. Menciptakan administrasi yang relatif lebih fleksibel, inovatif, dan kreatif karena dalam rangka kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut, muncul kreasi, keinginan untuk maju, berkembang, serta luwes dalam menyelesaikan permasalahan kedaerahan.
12. Kesewenangan berkurang, karena pemerintah pusat telah memberikan otonomi kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, maka ketergantungan daerah kepada pusat berkurang .
Indonesia memang boleh berbangga telah menerapkan sistem di mana merupakan alat untuk memberikan pelayanan publik yang baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis serta tata kelola daerah menjadi tanggungjawab daerah sendiri atau kita kenal dengan istilah desentralisasi. Hal tersebut kemudian mengacu pada dua aspek yang menjadi tujuan, yakni dibidang ekonomi dan politik yang mengedepankan pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat daerah seperti yang termuat dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
3.3 PEMIMPIN SEPERTI APA YANG KITA IKUTI
Saat pemimpin tersebut memutuskan (baik secara sadar atau tidak) untuk mengikuti kepemimpinan nya, keputusan itu terutama karena satu atau dua hal berikut:karakter pemimpinnya atau kemampuannya. Seorang pemimpin yang luar biasa, harus mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak pemikiran dan segenap kemampuannya. Dia bekerja lebih keras dan berpikir lebih kuat, lebih lama, dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.
Tentu ada banyak pertimbangan, untuk mengetahui macam-macam karakter pemimpin yang membuat orang lain mengikuti kepemimpinan. Ada beberapa hal yang dimiliki seorang pemimpin adalah :
a. Gaya kepemimpinan analitis (Analytical). Dalam gaya kepemimpinan tipe ini, biasanya pembuatan keputusan didasarkan pada proses analisis, terutama analisis logika pada setiap informasi yang diperolehnya. Gaya ini berorientasi pada hasil dan menekankan pada rencana-rencana rinci serta berdimensi jangka panjang. Kepemimpinan model ini sangat mengutamakan logika dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang masuk akal serta kuantitatif.
b. Gaya kemimpinan asertif (Assertive). Gaya kepemimpinan ini sifatnya lebih agresif dan mempunyai perhatian yang sangat besar pada pengendalian personal dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lainnya. Pemimpin tipe asertif lebih terbuka dalam konflik dan kritik. Pengambilan keputusan muncul dari proses argumentasi dengan beberapa sudut pandang sehingga muncul kesimpulan yang memuaskan.
c. Gaya kepemimpinan entepreneur. Gaya kepemimpinan ini sangat menaruh perhatian kepada kekuasaan dan hasil akhir serta kurang mengutamakan pada kebutuhan akan kerjasama. Gaya kepemimpinan model ini biasannya selalu mencari pesaing dan menargetkan standar yang tinggi.
Dalam era turbulensi lingkungan seperti sekarang ini, setiap pemimpin harus siap dan dituntut mampu untuk melakukan transformasi terlepas pada gaya kepemimpinan apa yang mereka anut. Pemimpin harus mampu mengelola perubahan, termasuk di dalamnya mengubah budaya organiasi yang tidak lagi kondusif dan produktif. Pemimpin harus mempunyai visi yang tajam, pandai mengelola keragaman dan mendorong terus proses pembelajaran karena dinamika perubahan lingkungan serta persaingan yang semakin ketat
3.3 Kinerja Aparatur Pemerintah
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata performance. Performance berasal dari kata to perform yang mempunyai arti Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh pegawai atau sekelompok pegawai dalam suatu oganisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
Rumusan diatas menjelaskan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau lembaga dalam melaksanakan pekerjaannya. Dari definisi diatas terdapat beberapa indikator yaitu :
1. Hasil kerja yang dicapai secara individual atau secara institusi, yang berarti kinerja tersebut adalah hasil akhir yang diperoleh atau dicapai
2. Dalam melaksanakan tugas, orang atau lembaga diberikan wewenang dan tanggung jawab, yang berarti orang atau lembaga diberikan hak dan kekuasaan untuk bertindak sehingga pekerjaannya dapat dilakukan dengan baik. Meskipun demikian orang atau lembaga tersebut tetap harus dalam kedali, yakni mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada pemberi hak dan wewenang, sehingga dia tidak akan menyalahgunakan hak dan wewenangnya tersebut.
3. Pekerjaan haruslah dilakukan secara legal, yang berarti dalam melaksanakan tugas individu atau lembaga tentu saja harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
4. Pekerjaan tidaklah bertentangan dengan moral dan etika, artinya selain mengikuti aturan yang telah ditetapkan, tentu saja pekerjaan tersebut haruslah sesuai dengan moral dan etika yang berlaku umum.
Dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, pimpinan melakukan tugasnya dibantu oleh pimpinan yang lain bersama pegawai. Jika kinerja pegawai baik akan mempengaruhi kinerja pimpinan dan selanjutnya kinerja organisasi.
Agar kinerja dapat dioptimalkan haruslah membuat deskripsi jabatan bagi setiap pegawai, sehingga mereka mengerti apa fungsi dan tanggung jawabnya. Deskripsi jabatan yang baik akan dapat menjadi landasan untuk:
1. Penentuan gaji. Hasil deskripsi jabatan akan berfungsi menjadi dasar untuk perbandingan pekerjaan dalam suatu organisasi dan dapat dijadikan sebagai acuan pemberian gaji yang adil bagi pegawai dan sebagai data pembanding dalam persaingan dalam perusahaan.
2. Seleksi pegawai. Deskripsi jabatan sangat dibutuhkan dalam penerimaan, seleksi dan penempatan pegawai. Selain itu juga merupakan sumber untuk pengembangan spesifikasi pekerjaan yang dapat menjelaskan tingkat kualifikasi yang dimiliki oleh seorang pelamar dalam jabatan tertentu.
3. Orientasi. Deskripsi jabatan dapat mengenalkan tugas yang baru kepada pegawai dengan cepat dan efisiensi.
4. Penilaian kinerja. Deskripsi jabatan menunjukkan perbandingan bagaimana seseorang pegawai memenuhi tugasnya dan bagaimana tugas itu seharusnya dipenuhi.
5. Pelatihan dan pengembangan. Deskripsi jabatan akan memberikan analisis yang akurat mengenai pelatihan yang diberikan dan perkembangan untuk membantu pengembangan karier.
6. Uraian dan perencanaan organisasi. Perkembangan awal dari deskripsi jabatan menunjukkan dimana kelebihan dan kekurangan dalam pertanggungjawaban. Dalam hal ini deskripsi jabatan akan menyeimbangkan tugas dan tanggung jawab.
7. Uraian tanggung jawab. Deskripsi jabatan akan membantu individu untuk memahami berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
3.3 Pelaksanaan Otonomi Daerah
Daerah otonom, oleh pemerintah pusat diberikan wewenang yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi, asas dekosentrasi, dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang di tetapkan dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Prinsip otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian antar daerah dengan daerah lainnya artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru mewajibkan pemerintah melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Disamping itu, diberikan pula standar, arahan bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersama itu pemerintah wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efesien dan efektif. Penyelenggaraan desentralisasi menurut undang-undang ini mensyaratkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah. Kewenangan tersebut dalam prakteknya masih akan dibatasi oleh kewenangan pemerintah pusat dibidang lainnya, seperti diatur dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain” (Undang-Undang Otonomi Daerah, 2004:7).
Disamping itu, terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan ;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan bidang pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan daerah yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Disamping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah harus pula didasarkan pada semangat dan prinsip yang dijadikan pedoman dalam UU. No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yaitu:
a) Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
b) Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menekankan hubungan antar susunan pemerintahan serta pemberian hak dan kewajiban otonomi daerah; dengan prinsip: demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan daerah.
c) Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan seperti desentralisasi, dekosentrasi, dan tugas pembantuan, diselenggarakan secara proposional sehingga saling menunjang.
d) Tujuan pemberian otonomi daerah tetap seperti yang dirumuskan sampai saat ini yaitu untuk memberdayakan potensi daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Disamping itu untuk lebih meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas penyelenggaraan fungsi-fungsi seperti pelayanan, pengembangan, dan perlindungan terhadap masyarakat dalam ikatan NKRI.
Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan atau mengutamakan kepentingan pimpinan atau organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Birokrasi di Indonesia hingga saat ini belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial, dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin tidak profesionalnya kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi ditingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra birokrat dan sistim birokrasi kita. Para pejabat politik baru pun harus berkonflik atau berkolusi di bawahnya karena dominasi mereka yang begitu kuat. Karenanya di era reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun daerah yang dimotori oleh partai politik baru dengan minimnya jaringan birokrasi, pasti mengalami resistensi tinggi.
Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang menuju pada good governance memerlukan terlaksananya sistem checks and balance yang berkembang dari dan dalam keseluruhan unsur penyelenggaraan negara. Sementara itu, menurut United Nation Development (UNDP), Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan aspek fundamental (asas/prinsip) yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Partisipasi (participation); yaitu keikut sertaan warga masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah dan mewakili kepentingan mereka. Bentuk partisipasi dimaksudkan dibangun atas dasar prinsip demokrasi, yaitu kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat secara konstruktif. Dalam hal ini perlu deregurasi birokrasi, sehingga proses sebuah usaha efektif dan efesien.
2. Penegakan hukum (rule of law); yaitu bahwa pengelolaan pemeritahan yang profesional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa, karena tanpa ditopang oleh aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, maka partisipasi masyarakat dapat berubah menjadi tindakan yang anarkis.
3. Transparansi (transparency); asas transparansi adalah unsur penting yang menompang terwujudnya good dan clean governance. Transparansi dibangun atas dasar arus informasi arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan informasi yang bersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4. Responsif; yaitu tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat dalam hal ini pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat dan proaktif, bukan menunggu mereka menyampaikan keinginan. Untuk setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni etika individual dan etika sosial.
5. Consensus (orientasi kesepakatan); yaitu bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui kesepakatan dalam suatu permusyawaratan. Melalui cara ini akan memuaskan semua pihak sehingga semuanya merasa terikat untuk melakukan konsensus.
6. Kesetaraan (equity); yaitu kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Hal ini mengharuskan setiap pelaksana pemerintah bersikap dan berperilaku adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan kelas sosial.
7. Efektifitas dan efisiensi; (berdayaguna dan berhasilguna). Kriteria efektif diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau besar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok lapisan sosial sedangkan efisiensi diukur dengan rasionalitas biaya untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat.
8. Akuntabilitas; yaitu pertanggunggugatan pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurus kepentingan mereka. Dalam hal ini setiap pejabat publik dituntut mempertanggung jawabkan semua kebijakan, keputusan, perbuatan, moral maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.
9. Visi strategis (strategic vision); yaitu pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang (forecasting) artinya, kebijakan/keputusan apapun yang akan diambil saat ini harus mempertimbangkan akibatnya di masa depan.
Pelaksanaan pemerintahan pada reformasi telah membawa perubahan secara umum sasaran penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah terciptanya tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, profesional, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan sosok dan perilaku birokrasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan yang prima kepada seluruh masyarakat.
Untuk mewujudkan hal tersebut diatas, secara khusus sasaran yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Berkurangnya secara nyata praktek KKN di birokrasi yang antara lain ditunjukkan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Tidak adanya manipulasi pajak
b. Tidak adanya pungutan liar
c. Tidak adanya manipulasi tanah
d. Tidak adanya pengelapan uang Negara
2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, transparan, profesional dan akuntabel :
a. Sistem kelembagaan lebih efektif, ramping dan fleksibel
b. Kualitas tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat dan antara pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota lebih baik
3. Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok atau golongan masyarakat.
4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan pelayanan publik; berjalannya mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan masyarakat dalam perumusan program dan kebijakan pelayanan publik.
5. Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan baik pusat maupun daerah.
3.5 KEWAJIBAN DAN HAK PEGAWAI NEGERI SIPIL
kewajiban dan hak yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999, maka diberlakukan juga Peraturan Pemerintah Kewajiban bagi pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 2, yang berbunyi:
Setiap Pegawai Negeri Sipil wajib:
1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain;
3. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil;
4. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
5. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya;
6. Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah baik langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum;
7. Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
8. Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara;
9. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;
10. j. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material;
11. Mentaati ketentuan jam kerja;
12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;
13. Menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan sebaik-baiknya;
14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing;
15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya;
16. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya;
17. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya;
18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya;
19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya;
20. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan;
21. Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan;
Hormat menghormati antara sesama warganegara yang memeluk agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan;
BAB IV
PENUTUP
3.4 Kesimpulan
Sejak berlakunya Otonomi Daerah yang adalah pemberian wewenang dan tanggung dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan mengurus daerah otonomi sesuai aspirasi daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi merata keseluruh wilayah, mengurangi tingkat kesenjangan antardaerah, meningkatkan interaksi masyarakat antardaerah, yang pada ujungnya adalah untuk menciptakan stabilitas nasional serta memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
3.5 Saran
Sebagai aparatur pemerintah daerah yang Dalam konteks pemerintahan daerah, di era otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreativitas dari segenap jajaran aparatur Pemerintah Daerah. Dalam dunia yang penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif. Dengan demikian aparatur merupakan faktor yang dominan bagi berhasilnya penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. aparatur pemerintah daerah Unsur ini menempati posisi yang bukan saja mewarnai, melainkan juga menentukan arah ke mana suatu daerah akan di bawa. DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2011. Manajemen Pemerintahan Daerah. Yogyakarta. Graha Ilmu
Agustino, Leo. 2007. Perihal Ilmu Politik. Yogyakarta. Graha Ilmu
Budiarjo, miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik edisi revisi. Jakarta. PT Gramedia Pustka Utama
Darmadi.D & Sukidin. 2011. Administrasi Publik. Yogyakarta. LaksBang PRESSindo.
Kaloh, Jeremis. 2010. Kepemimpinan Kepala Daearah. Jakarta. Sinar Grafika
Ndraha, Taliziduhu. 2010. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta
Nugroho. Riant & Wrihatnolo. Randy. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia. Jakarta. PT Gramedia
Supriyatna, budi. 2009. Manajemen Pemerintahan: (plus dua belas langkah strategis). Jakarta: CV. Media Berlian.
Syafiie, Inu Kencana. 2010. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta
Syafiie, Inu Kencana. 2011. Etika Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta
Salam, Dharma Setyawan. 2007. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Djambatan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi