HUBUNGAN HUKUM dengan KEKUASAAN dan WEWENANG
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Manusia
pada hakikatnya ingin hidup dengan damai dan berada dalam keteraturan, maka
untuk mewujudkan keinginan tersebut terbentuklah suatu kesepakatan diantara
suatu golongan masyarakat untuk membentuk sebuah peraturan yang mengikat kepada
seluruh elemen masyarakat, peraturan-peraturan inilah yang kemudian disebut
dengan hukum. Beberapa orang dalam masyarakat membuat dan menetapkan kebijakan
hukum yang akan diberlakukan di daerah masyarakat tersebut, orang-orang yang
diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan tersebut merupakan orang yang
bertanggungjawab terhadap lingkungan masyarakatnya.
Dalam
penentuan hukum itu sendiri tidak terlepas dari kekuasaan dan kewenangan dari
pembuat kebijakan. Sebagian orang berpendapat bahwa hukum itu sama dengan
kekuasaan tidak ada sedikitpun perbedaan diantara keduanya serta adapula yang
berpendapat bahwa hukum dan kekuasaan itu jelas merupakan dua aspek yang
berbeda. Menurut Prof Mochtar dalam bukunya yang berjudul : “Fungsi dan
Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional” anggapan bahwa kekuasaan itu
memiliki kecenderungan pada kekuatan fisik adalah salah karena adakalanya
seorang yang memiliki fisik lemah bisa mengatur seorang yang memiliki kekuatan
fisik yang lebih kuat. Menurut beliau kekuasaan seringkali bersumber dari
wewenang formil yang dimiliki oleh seseorang dalam bidang tertentu, hal ini
dapat dikatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari hukum yang mengatur wewenang
yang dimiliki orang tadi. Sedangkan untuk dapat ditaati hukum memerlukan
paksaan dalam artian hukum memerlukan kekuasaan bagi penegaknya.
Perbedaan
pendapat yang menyebutkan kedudukan hukum dan kekuasaan yang berbeda
menyebabkan para pemikir dan penstudy termasuk kita untuk berpikir lebih jauh
lagi tentang hakikat kedua makna kata tersebut supaya kedua hal yang sangat
erat kaitannya ini bisa kita pahami. Dasar dari wewenang
adalah hukum. Indonesia sebagai negara yang berasaskan konstitualisme, yang
berati semua tindakan negara dan pemerintah, haruslah sesuai atau berlandaskan
kepada konstitusi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah definisi hukum, kekuasaan dan
kewenangan?
2. Bagaimana hubungan hukum dengan
kekuasaan dan kewenangan?
Tujuan
Pembahasan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, dapat dirumuskan tujuan pembahasan masalah sebagai
berikut :
1. Untuk mendiskripsikan definisi
hukum, kekuasaan dan kewenangan.
2. Untuk menjelaskan hubungan hukum
dengan kekuasaan dan kewenangan.
PEMBAHASAN
1
Definisi
Hukum, Kekuasaan dan kewenangan
1.1 Definisi
Hukum
Hukum
merupakan peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang bentuknya tertulis
maupun tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang untuk mengurus tata
tertib suatu masyarakat yang harus ditaati agar kehidupan masyarakat terjamin
keamanan dan ketertibannya. Hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa ,serta
memiliki sanksi bagi yang melanggarnya.
Di
bawah ini adalah pengertian hukum menurut para ahli :
A. Menurut
Tullius Cicerco (Romawi) dalam “ De
Legibus”: .
Hukum
adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk
menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
B.
J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono
Sastropranoto, SH mengatakan bahwa :
Hukum
adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib.
C.
Thomas Hobbes dalam “ Leviathan”, 1651:
Hukum
adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah
dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.
D. Mochtar
Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15):
Pengertian
hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu
perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
E. Utrecht
Menurut Utrecht definisi hukum ialah himpunan peraturan (
baik berupa perintah maupun larangan ) yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
1.1.1
Unsur
Hukum
1. Peraturan mengenai tingkah laku
manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan itu diadakan oleh
badan-badan resmi yang berwajib.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran
peraturan tersebut adalah tegas.
1.1.2
Kemudian
secara teori dapat dikatakan bahwa tujuan hukum itu meliputi :
1. Teori
etis (etische theorie)
Teori
ini mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan.
2. Teori
utilitas (utiliteis theorie)
Menurut
teori ini, tujuan hukum ialah menjamin adanya kemamfaatan atau kebahagiaan
sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya.
3. Teori
campuran
Teori
ini dikemukakan oleh Muckhtar Kusmaatmadja bahwa tujuan pokok dan pertama dari
hukum adalah ketertiban. Di samping itu tujuan lain dari hukum adalah
tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan
zamannya.
4. Teori
normatif-dogmatif
Tujuan
hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum (John Austin dan van
Kan). Arti kepastian hukum disini adalah adanya melegalkan kepastian hak dan
kewajiban. Van Kan berpendapat tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan
manusia agar tidak diganggu dan terjaminnya kepastiannya.
5. Teori
Peace (damai sejahtera)
Menurut
teori ini dalam keadaan damai sejahtera (peace)
terdapat kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang lemah, yang berhak
benar-benar mendapatkan haknya dan adanya perlindungan bagi rakyat. Hukum harus
dapat menciptakan damai dan sejahtera bukan sekedar ketertiban
1.1.3 Fungsi Hukum
1. Hukum berfungsi sebagai alat
ketertiban dan keteraturan masyarakat.
2. Hukum sebagai sarana untuk
mewujudkan keadilan sosial lahir batin.
3. Hukum berfungsi sebagai alat
penggerak pembangunan.
4. Hukum berfungsi sebagai alat kritik.
5. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk
menyelesaikan pertingkaian.
1.2 Pengertian Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan untuk
bertindak atau memerintah sehingga dapat menyebabkan orang lain bertindak,
pengertian disini harus meliputi kemampuan untuk membuat keputusan mempngaruhi
orang lain dan mengatasi pelaksanaan keputusan itu. Biasanya dibedakan antara
kekuasaan yang berarti dalam kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga
dapat menyebabkan orang lain tersebut bertindak dan wewenang yang berarti hak untuk
memerintah orang lain.
1.2.1 Hakekat
Kekuasaan
Aspek
yang paling penting dari kekuasaan adalah bahwa kekuasaan tersebut merupakan
fungsi ketergantungan. Semakin besar ketergantungan B terhadap A maka makin
besar kekuasaan yang dimiliki A terhadap B.
1.2.2 Unsur
pokok kekuasaan :
A.
Rasa takut
B.
Rasa cinta
C.
Kepercayaan
D.
Pemujaan
1.2.3 Saluran
kekuasaan dalam masyarakat :
A.
Saluran Militer
B.
Saluran Ekonomi
C.
Saluran Politik
D.
Saluran Tradisional
E.
Saluran Idiologi
1.2.4 Sumber
Kekuasaan
1.2.4.1 Sumber kekuasaan menurut (Inu Kencana, 200:54)
A.
Legitimate Power
Legitimate berarti penangkatan, jadi
legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan.
B. Coersive Power
Perolehan kekuasaan melalui kekerasan
bersifat perebutan atau perampasan bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional
atau biasa disebut dengan kudeta.
C. Expert Power
Perolehan kekuasaan melalui keahlian
seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian
untuk memangku jabatan tersebut.
D. Reward Power
Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian
atau karena karena berbagai pemberian. Sebagai contoh bagaimana orang-orang
kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh.
Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan
butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).
E. Reverent Power
Perolehan kekuasaan melalui daya tarik
seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang
ditentukan menjadi kepala kemudian
menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur tubuh, wajah,
penampilan dan pakaian yang parlente dalam mementukan dalam mengambil perhatian
orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
F. Information Power
Kekuasaan yang dipeorleh karena seseorang
yang begitu bayak memiliki keteranga sehingga orang lain membutuhkan dirinya
untuk bertanya, untuk itu yang bersangkutan membatasi keterangannnya agar terus
menerus dibutuhkan.
G. Connetion Power
Mereka yang mempunyai hubungan yang luas dan
banyak akan memperoleh kekuasaan yang besar pula, baik dilapangan politik
maupun perekonomian. Yang biasa disebut dengan ”relasi”. Atau kekuasaan
seseorang memiliki hubungan keterkaitan dengan seseorang yang memang sedag
berkuasa, hal ini biasanya disebut denga hubunga kekerabatan atau
kekekeluargaan.
1.2.4.2 Sedangkan menurut French dan Raven dalam
Thoha yang dikutip Harbani Pasolong (Kepemimpinan
Birokrasi, 2008:108-109) membagi
lima sumber kekuasaan :
A. Kekuasaan paksaan (Coercive Power)
Didasarkan pada rasa takut, dengan demikian
sumber kekuasaan diperoleh dari rasa takut.
B. Kekuasaan legitimasi (Legitimate Power)
Kekuasaan yang bersumber pada jabatan yang
dipegang pemimpin, Secara formal semakin tinggi seseorang pemimpin, maka
semakin besar kekuasaan legitimasinya mempunyai kecenderungan untuk memepengaruhi
orang lain, karena pemimpin tersebut merasakan bahwa ia mempunyai hak dan
wewenang yang diperoleh dari jabatan dalam organisasi, sehingga diharapkan
saran-saran akan banyak diikuti orang lain.
C. Kekuasaan keahlian (expert power)
Kekuasaan yang bersumber dari keahlian,
kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki seseorag pemimpin yang diwujudkan
lewat rasa hormat dan pengaruhnya terhadap orang lain.
D. Kekuasaan Penghargaan (reward power)
Kekuasaan yang bersumber dari kemampuan untuk
menyediakan penghargaan atau hadiah bagi
orang lain, misalnya gaji, promosi atau penghargaan jasa.
E.
Kekuasaan referensi (referent power)
Kekuasaan yang bersumber dari sifat-sifat
pribadi dari seorang pemimpin.
F.
Pada usaha berikutnya Raven bekerjasama dengan Kruglanski, menambahkan
kekuasaan ke enam kekuasaan informasi.
G. Kekuasaan Informasi (information power)
Kekuasaan yang bersumber karena adanya akses
informasi yang dimiliki oleh pemimpin yang dinilai sangat berharga oleh
pengikutnya(Raven bekerjasama dengan Kruglanski).
H. Hersey
dan Goldsmith mengusulkan kekuasaan yang ketujuh yakni kekuasaan
hubungan.
I. Kekuasaan hubungan (connection power)
Kekuasaan yang bersumber dari hubungan yang
dijalin pemimpin dengan orang-orang penting baik dari luar ataupun di dalam
organisasi. (Hersey dan Goldsmith).
1.2.5
Ciri-ciri Kekuasaan menurut Waters :
A.
Kekuasaan berimplikasi pada keberadaan
social tertentu
B.
Kekuasaan berdasarkan hubungan tentang
distribusi masyarakat
C.
Kekuasaan menunjukkan derajat
konsentrasi
D.
Kekuasaan melibatkan hampir semua
hubungan manusia
E.
Kekuasaaan melahirkan relasi spesifik
pada maksud manusia
F.
Penggunaan kekuasaan menunjukkan spesialisasi
dalam institusi social
1.2.6
Tipe-tipe kekuasaan
French dan Raven
(Gary A Yukl, 1994) mengidentifikasi ada lima bentuk kekuasaan yang dirasakan
mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
A. Kekuasaan
ganjaran (Reward Power)
Merupakan
suatu kekuasan yang diadasarkan atas pemberian harapan, pujian, penghargan atau
pendapatan bagi terpenuhinya permintaan seseorang pemimpin terhadap bawahannya.
B. Kekuasaan
paksaan (Coercive Power)
Yaitu
suatu kekuasaan yang didasarkan atas rasa takut, seorang pengikut merasa bahwa
kegagalan memenuhi permintaan seorang pemimpin dapat menyebabkan dijatuhkannya
sesuatu bentuk hukuman.
C. Kekuasaan
legal (Legitimate Power)
Yaitu
suatu kekuasaan yang diperoleh secara sah karena posisi seseorang dalam
kelompok atau hirarhi keorganisasian.
D. Kekuasaan
keahlian (Expert Power)
Yaitu
kekuasasan yang didasarkan atas ketrampilan khusus, keahlian atau pengetahuan
yang dimiliki oleh pemimpin dimana para pengikutnya menganggap bahwa orang itu
mempunyai keahlian yang relevan dan yakin keahliannya itu melebihi keahlian
mereka sendiri.
E. Kekuasaan
acuan (Referent Power)
Yaitu
suatu kekuasaan yang diasarkan atas daya tarik seseorang, seorang pemimpin
dikagumi oleh pra pengikutnya karena memiliki suatu ciri khas, bentuk kekuasaan
ini secara populer dinamakan kharisma. Pemimpin yang memiliki daya kharisma
yang tinggi dapat meningkatkan semangat dan menarik pengikutnya untuk melakukan
sesuatu, pemimpin yang demikian tidak hanya diterima secara mutlak namun
diikuti sepenuhnya.
1.2.7
Cara Mempertahankan Kekuasaan
Syarbani
mengatakan cara-cara penguasa mempertahankan kekuasaan sebagai berikut:
A.
Menghilangkan peraturan lama yang
merugikan penguasa baru.
B.
Mengadakan system kepercayaan yang
memperkokoh kedudukan penguasa.
C.
Pelaksaan administrasi dan birokrasi
yang baik.
1.3 Wewenang
1.3.1 Pengertian
Wewenang (authority) adalah kekuasaan formal (formal power). Dianggap bahwa yang memiliki wewenang berhak
mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-peraturan serta berhak untuk
mengharapkan mendapatkan kepatuhan terhadap peraturan peraturannya (Mariam
Budiardjo;64).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia
menjelaskan bahwa arti wewenang didefinisikan sebagai kekuasaan membuat keputusan,
memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain; fungsi yang boleh
tidak dilaksanakan. Kewenangan atau wewenang dalam literatur berbahasa Inggris
disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda
disebut gezag atau bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan
untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan
oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Pengertian wewenang menurut beberapa
ahli:
A. Louis
A. Allen dalam bukunya, Management and Organization :
Wewenang
adalah jumlah kekuasaan (powers) dan
hak (rights) yang didelegasikan pada suatu
jabatan.
B. Harold
Koontz dan Cyril O’Donnel dalam bukunya, The Principles of Management Authority adalah suatu hak untuk memerintah
/ bertindak.
C.
G. R. Terry
Wewenang adalah
kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain supaya
bertindak dan taat kepada pihak yang memiliki wewenang itu.
D.
R. C. Davis dalam bukunya, Fundamentals
of Management :
Authority adalah hak yang cukup,
yang memungkinkan seseorang dapat menyelesaikan suatu tugas/kewajiban tertentu.
Jadi, wewenang adalah dasar untuk bertindak, berbuat dan melakukan
kegiatan/aktivitas perusahaan. Tanpa wewenang orang-orang dalam perusahaan
tidak dapat berbuat apa-apa.
1.3.2 Macam-macam
wewenang:
Max
Weber (1864-1922) membagi wewenang dalam
tiga bentuk yaitu :
A. Tradisional
Wewenang tradisional berdasarkan
kepercayaan diantara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan
kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati.
B.
Kharismatik
Wewenang kharismatik berdasarkan
kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau
religious seorang pemimpin.
C. Rasional-legal
Wewenang
rasional-legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang
melandasi kedudukan seorang pemimpin yang ditekankan bukan orangnya akan tetapi
aturan-aturan yang mendasari tingkah lakunya.
1.3.3 Bentuk-bentuk
wewenang
A.
Bentuk-bentuk wewenang Berdasar derajat
formalitas wewenang
a. Resmi-
sistematis, ada aturan
b. Tidak resmi- spontan,
situasional, faktor saling mengenal
B. Bentuk-bentuk wewenang Berdasar sifat dan dasar
kelompok sosial
a.
Teritorial- wewenang
dari kelompok yang menyatu secara teritorial
b.
Pribadi- tradisi,
kadang2 kharisma individu
C. Bentuk-bentuk
wewenang Berdasar wilayah wewenang
a.
Terbatas – hanya
pada beberapa sektor
b.
Menyeluruh- hampir
ke semua sektor
c.
Terbatas/menyeluruh tergantung dari
sudut mana memandang
1.3.4
Ada dua pandangan yang menjelaskan
wewenang formal (resmi):
a. Pandangan
klasik (classical view)
Wewenang datang dari
tingkat paling atas, kemudian secara bertahap diturunkan ke tingkat yang lebih
bawah
b.
Pandangan penerimaan (acceptance
view)
Sudut pandang wewenang
adalah penerima perintah, bukannya pemberi perintah. Pandangan ini dimulai
dengan pengamatan bahwa tidak semua perintah dipatuhi oleh penerima perintah.
Penerima perintah akan menentukan apakah akan menerima perintah atau tidak.
1.3.5
Unsur yang ada di dalam wewenang:
a. Wewenang
ditanamkan pada posisi seseorang
Seseorang
mempunyai wewenang karena posisi yang diduduki, bukan karena karakteristik pribadinya.
b. Wewenang
tersebut di terima oleh bawahan
Individu pada posisi wewenang yang sah melaksanakan
wewenang dan dipatuhi bawahan karena dia memiliki hak yang sah.
c. Wewenang
digunakan secara vertikal
Wewenang
mengalir dari atas ke bawah mengikuti hierarki organisasi.
1.3.6
Macam-macam wewenang
a. Wewenang
kharismatis
Wewenang
yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus (wahyu,pulung) yang
ada pada diri seseorang.
b. Wewenang
tradisional
Wewenang
yang bukan karena mempunyai kemampuan – kemampuan khusus, tetapi karena
kelompok tadi mempunyai kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga dan bahkan
menjiwai masyaraka.
c. Wewenang
rasional (legal)
Wewenang yang
didasarkan pada sitem hukum yang berlaku dalam masyarakat.
d. Wewenang
Resmi dan Tidak Resmi
Wewenang
resmi bersifat sistematis, diperhitungkan, dan rasional. Biasanya pada kelompok
besar yang tetap. Wewenang tidak resmi bersifat spontan, situasional dan
didasarkan pada faktor saling mengenal. Dalam masyarakat kecil, wewenang tidak
resmi dapat menjadi resmi apabila terlalu seringnya terjadi pertikaian antar
anggota.
e. Pribadi
dan Teritorial
Wewenang
pribadi sangat tergantung pada solidarisan antar anggota, kebersamaan sangat
memegang peranan. Wewenang territorial yaitu dimana tempat tinggal memegang
peranan yang sangat penting. Yang membedakan keudanya adalah timbul dari sifat
dan dasar kelompok – kelompok sosial tertentu.
f.
Wewenang Terbatas dan Menyeluruh
Wewenang
menyeluruh adalah suatu wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang – bidang kehidupan
tertentu. Contohnya kewenangan Negara untuk mempertahankan kedaulatannya. Wewenang
terbatas adalah wewenang tidak mencakup semua sector atau bidang kehidupan,
tetapi hanya pada satu sektor saja.
2 Hubungan
Hukum dengan Kekuasaan
Hukum
dan kekuasaan merupakan dua hal yang berbeda namun saling mempengaruhi satu
sama lain. Hukum adalah suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku manusia.
Sehingga hukum tidak merujuk pada satu aturan tunggal, tapi bisa disebut
sebagai kesatuan aturan yang membentuk sebuah sistem. Sedangkan kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan perilaku. Suatu
negara pasti membutuhkan peraturan atau hukum yang digunakan untuk mengatur
atau mengelola masyarakatnya. Apabila hukum itu ingin ditegakkan, maka
dibutuhkan suatu lembaga yang bisa menjalankan dan mengelola peraturan itu
sendiri. Oleh karena itu, peran dari penguasa sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Maka, hukum baru bisa dijalankan apabila ada penguasa yang mengaturnya.
Menurut van Apeldoorn tentang kelahiran
hukum yaitu hukum ada sejak ada pergaulan manusia. Pendapat sebaliknya
diungkapkan oleh N.S Timasheffyang mengatakan bahwa hukum barulah timbul jika
suatu bangsa telah mencapai tingkat kebudayaan tertentu, sehingga pada masa ini
masih terdapat sejumlah bangsa yang primitif dan tidak mengenal hukum. Bisa dibayangkan dampak apabila
hukum dan kekuasaan saling berpengaruh. Di satu sisi kekuasaan tanpa ada sistem
aturan maka akan terjadi kompetisi seperti halnya yang terjadi di alam. Siapa
yang kuat, maka dialah yang menang dan berhak melakukan apapun kepada siapa
saja. Sedangkan hukum tanpa ada kekuasaan di belakangnya, maka hukum tersebut
akan “mandul” dan tidak bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal ini
karena masyarakat tidak memiliki ikatan kewajiban dengan si pengeluar
kebijakan. Sehingga masyarakat berhak melakukan hal-hal yang di luar hukum yang
telah dibuat dan di sisi lain pihak yang mengeluarkan hukum tidak bisa
melakukan paksaan ke masyarakat untuk mematuhi hukum. Hukum
ada yang dibuat oleh penguasa dan sebaliknya juga perbuatan yang boleh dilakukan oleh penguasa diatur oleh
hukum. Tetapi, terkadang orang yang memegang kekuasaan ini tidak mau diatur
oleh hukum sehingga menyebabkan orang yang menjadi penguasa itu bisa dikatakan
absolut atau otoriter. Sedangkan, apabila sebuah hukum yang berlaku tanpa ada
kekuasaan di dalamnya, maka hukum tersebut menjadi tidak mempan dalam
menjalankan fungsinya mengatur masyarakat karena masyarakat tidak akan patuh
terhadap hukum tersebut karena tidak ada pihak yang berwenang untuk menegakkan
hukum tersebut sehingga dapat menyebabkan kacaunya kondisi yang ada di
masyarakat.
2.1 Hubungan
Timbal Balik Hukum dengan kekusaan
2.1.1 Pengaruh
Hukum terhadap Kekuasaan
Hukum itu mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap kekuasaan itu sendiri. Hubungan hukum dengan kekuasaan
dapat dirumuskan secara singkat dalam slogan sebagai berikut : “Hukum tanpa
kekuasaan adalah angan – angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Dalam
penerapannya , hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya. Ciri utama
inilah yang membedakan antara hukum disuatu pihak dengan norma – norma sosial
dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan karena hukum bersifat memaksa.
Kekuasaan
tanpa suatu aturan maka akan mengkondisikan keadaan seperti halnya hutan rimba
yang hanya berpihak kepada yang kuat dalam dimensi sosial. Disnilah hukum
berperan dalam membentuk rambu-rambu cara bermain pihak-pihak yang berada di
lingkaran kekuasan. Hal tersebut bisa ditemui di konstitusi dimana konstitusi
secara garis besar berisi tentang bagaimana mengatur, membatasi dan
menyelenggarakan kekuasaan dan mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Peran hukum
dalam mengatur kekuasaan berada dalam lingkup formil.
Kekuasaan
yang diatur hukum merupakan untuk kepentingan masyarakat luas agar masyarakat
yang merupakan objek dari kekuasaan tidak menjadi korban dari kekuasaan. Selain
sebagai kepentingan masyarakat, hukum dalam mempengaruhi kekuasaan juga berguna
sebagai aturan bermain pihak-pihak yang ingin berkuasa atau merebut kekuasaan.
Aturan tersebut berguna sebagai cara main yang fair yang bisa
mngkoordinir semua pihak yang terlibat dalam kekuasaan. Hukum dalam hal ini tidak
hanya mengatur masyarakat tetapi juga mengatur pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan.
2.1.2 Pengaruh
Kekuasaan terhadap Hukum
Eksistensi hukum tanpa ada kekuasaan yang
melatarbelakanginya membuat hukum menjadi mandul. Oleh karena itu perlunya
suatu kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Muncul pertanyaan bagaimana
kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang bisa dipercaya untuk
mempengaruhi hukum yang bertujuan untuk mengatur masyarakat. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka bisa didekati dengan metode konseptual bukan empiris
karena secara empiris kebanyakan hukum hanya digunakan untuk melegalkan
kepentingan penguasa saja.
Secara
konseptual, kekuasaan yang dimiliki oleh sebagian pihak berangkat dari rasa
tidak nyaman masyarakat terhadap keadaan-keadaan yang dianggap bisa
menggoyahkan kestabilan masyarakat. Hal ini sama saja baik dalam masyarakat
yang liberal ataupun sosialis. Masyarakat tersebut sepakat untuk memberikan
mandat kepada sekelompok orang untuk berkuasa dan memiliki kewenangan untuk
mengatur mereka agar tetap tercipta kestabilan sosial. Kewenangan untuk
mengatur masyarakat dari penguasa itulah terletak pada hukum.
Dalam
perkembangannya tentu saja tidak dapat dihindari bahwa setiap rezim penguasa
memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari
karakteristik hukum yang menjadi produk
politiknya. Karakteristik hukum ternyata berjalan linier dengan
karaktersitik rezim kekuasaan yang melatarbelakangi hukum. Apabila kekuasaannya
demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif sedangkan apabila
kekuasaanya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter konservatif atau
ortodoks.
Bisa
saja penguasa yang otoriter di suatu negara berdalih bahwa karakterisitik
produk hukum yang bersifat konservatif digunakan untuk melingungi masyarakat.
Dalam hal ini demokratis yang dari,
untuk dan oleh rakyat mengalami pengurangan peran hanya untuk rakyat sehingga rakyat
sekedar menikmati hasil atau kemanfaatannya.
Kekuasaan
perlu sebuah “kemasan” yang bisa memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan
yaitu politik. Yang menjadi permasalahan adalah mana yang menjadi hal yang
mempengaruhi atau yang dipengaruhi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa tidak bisa satu hal saja yang mempengaruhi hal yang dipengaruhi. Antara
hukum dan kekuasaan saling berpengaruh satu sama lain atau bisa disebut saling
melengkapi. Sehingga di satu sisi hukum yang dipengaruhi oleh kekuasaan begitu
sebaliknya.
Namun
tetap tidak dapat dipungkiri bahwa proporsi dari kekuasaan dalam mempengaruhi
hukum lebih berperan atau menyentuh ke ranah substansial dalam artian hukum
dijadikan “kendaraan” untuk melegalkan kebijakan-kebiajakn dari yang berkuasa.
Sedangkan hukum dalam mempengaruhi kekuasaan hanya menyentuh ke ranah-ranah
formil yang berarti hanya mengatur bagaimana cara membagai dan menyelenggarakan
kekuasaan seperti yang ada dalam konstitusi.
2.2 Pola hubungan hukum dan kekuasaan :
2.2.1 Hukum adalah Kekuasaan itu Sendiri
Menurut
Lassalle, konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang
hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang
nyata dalam suatu negara” Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut
kekuasaan. Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam
konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat
dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara lembaga-lembaga
negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang termuat dalam Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan
Indonesia dan hubungan-hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara.
Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivercrona tak lain
daripada “kekuatan yang terorganisasi”, hukum adalah “seperangkat aturan
mengenai penggunaan kekuatan”, dia mengingatkan “kekerasan fisik atau
pemaksaan” sebagai demikian sama sekali tidak berbeda dari kekerasan yang
dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh. Walaupun kekuasaan itu adalah
hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Van Apeldron mengemukakan
bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini berarti bahwa hukum tidak bahwa
hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi
kekuasaan tidak semuanya hukum. “Might is not right” pencuri berkuasa atas
barang yang dicurinya akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang
itu.
1.2.2
Hukum
Tidak Sama dengan Kekuasaan
Hukum
dan kekuasaan merupakan dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang erat
diantara keduanya. Hubungan itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan
resiprokal (timbal balik) Mahmud MD, hubungan kausalitas antara antara hukum
dan politik atau tentang pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi
politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum maka ada 3 macam:
a.
Hukum
determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh
dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
b.
Politik
determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berintekrasi dan bahkan saling
bersaingan.
c.
Politik
dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat
determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun
hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua
kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Mereka yang hanya memandang hukum
dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis berpengang teguh pada
pandangan, bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan
antar anggota masyarakat termasuk dalam segala kegiatan politik. Sedangkan
mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau para penganut
paham empiris melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat dipengaruhi
oleh politik, bukan saja dalam perbuatannya, tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan
empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam kenyataannya memang lebih
banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan
pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu
dikaitkan dengan masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif (yang
menetapkan produk hukum) dan rakyat sebagai pelaksana kebijakan tersebut.
1.3
Hubungan
Hukum dengan Kekuasaan Menurut Para Ahli
a. Mengutip
pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja
Kekuasaan
bersumber pada wewenang formal (formal authority), kekuatan fisik (force),
orang yang memiliki pengaruh hukum politik, dan kekuatan (uang) atau kekuatan
ekonomi. Dalam keadaan tertentu juga dapat berupa kejujuran, moral yang tinggi
dan pengetahuan menjadi sumber kekuasaan. Hakikat kekuasaan adalah kemampuan
seseorang untuk memaksakan kehendaknya pada orang lain. Beliau menyimpulkan
hubungan hukum dengan kekuasaan dalam masyarakat yaitu, hukum memerlukan
kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan
batas-batasnya oleh hukum.
b. Menurut
teori filsafat hukum Prof. Mochtar Kusumaatmadja
Hukum tanpa
kekuasaan adalah angan-angan. Kekuasaan tanpa hukum adalah anarki. Tapi,
sepertinya teori ini tidak sama dengan apa yang terjadi di Indonesia. Di
Indonesia, hukum baik dengan atau tanpa kekuasaan pun tetap saja ada anarkisme
yang terjadi.
1.4 Fungsi Kekuasaan terhadap Hukum
Kekuasaan merupakan sarana untuk
membentuk hukum, khususnya pembentukan undang-undang (law making). Kekuasaan
untuk membentuk hukum dinamakan kekuasaan legislatif (legislatif power), yang
merupakan kekuasaan parlemen atau badan perwakilan. Kekuasaan legislatif
sebagai kekuasaan pembentuk undang-undang berasal dari pemikiran John Locke dan
Montesquieu. Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara, terdapat
konvergensi kekuasaan pembentukan undang-undang. Pembentukan undang-undang
tidak lagi menjadi monopoli parlemen, tapi kerjasama antara parlemen dan
pemerintah. kekuasaan merupakan alat untuk menegakkan hukum. Penegakan hukum
adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.
Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum adalah di sini tidak lain adalah
pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum. Kekuasaan merupakan media untuk melaksanakan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya menjalankan
(eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Putusan badan peradilan tidak akan banyak artinya bagi pengorganisasian kehidupan
masyarakat jika tidak dilaksanakan secara konsekwen dan konsisten. Otoritas
eksekusi merupakan kewenangan kejaksaan dan pengadilan.
Fungsi hukum terhadap Kekuasaan Hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya. Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal memiliki legalitas. Namun yang sering menjadi masalah adalah bila kekuasaan yang legal itu adalah kekuasaan yang sewenang-wenang, tidak patut, dan tidak adil. Hal itu sebenarnya merupakan masalah legitimasi kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan kekuasaan. Hukum adalah instrumen untuk mengatur kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan ambiquitas dan paradoksal di antara kekuasaan-kekuasaan negara yang ada atau antara kekuasaan pejabat yang satu dengan kekuasaan pejabat yang lain. Adanya kekuasaan yang ambiquitas dan paradoks bukan hanya akan menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawabannya, tapi juga akan melahirkan ketidaksinkronan dan ketidakpastian hukum.Hukum adalah alat untuk membatasi kekuasaan.Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada satu lembaga.
Fungsi hukum terhadap Kekuasaan Hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya. Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal memiliki legalitas. Namun yang sering menjadi masalah adalah bila kekuasaan yang legal itu adalah kekuasaan yang sewenang-wenang, tidak patut, dan tidak adil. Hal itu sebenarnya merupakan masalah legitimasi kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan kekuasaan. Hukum adalah instrumen untuk mengatur kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan ambiquitas dan paradoksal di antara kekuasaan-kekuasaan negara yang ada atau antara kekuasaan pejabat yang satu dengan kekuasaan pejabat yang lain. Adanya kekuasaan yang ambiquitas dan paradoks bukan hanya akan menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawabannya, tapi juga akan melahirkan ketidaksinkronan dan ketidakpastian hukum.Hukum adalah alat untuk membatasi kekuasaan.Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada satu lembaga.
3 Hubungan Hukum dengan Wewenang
Wewenang
adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan
bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan
hubungan-hubungan hukum.
Kekuasaan
secara sosiologis adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti
kehendak pemegang kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa.
Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan (secara hukum) baik
terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan
tertentu. Dalam negara yang menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering
bersumber dari wewenang formal (formal authority) yang memberikan kekuasaan
atau wewenang kepada seseorang dalam suatu bidang tertentu.
Terlihat
bahwa antara kekuasaan dan wewenang memiliki hubungan yang erat dan terkadang
sulit untuk membedakannya. Bila wewenang
adalah hak untuk melakukan sesuatu, maka kekuasaan adalah kemampuan
untuk melakukan hak tersebut.Wewenang dapat diartikan sebagai
hak untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
agar tujuan dapat tercapai.
Dasar dari wewenang adalah hukum.
Indonesia sebagai negara yang berasaskan konstitualisme, yang berati semua
tindakan negara dan pemerintah, haruslah sesuai atau berlandaskan kepada
konstitusi. Undang-undang dan hukum yang dibuat sebagai pelaksanaan yang harus
mencerminkan isi dari konstitusi tersebut. Peraturan telah membentuk proses
kewenangan sehubungan dengan kepatuhan masyarakat yang sesuai dengan
peraturan-peraturan sebuah hukum. Perbedaan antara ketiganya adalah hubungan
antara tindakan dengan dasar hukum yang berlaku.
Contoh
hubungan hukum dengan wewenang ;
Wewenang
MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945
adalah:
1. mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2.
melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden;
3.
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
4.
memilih Wakil Presiden dari dua calon yang
diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya;
5. memilih
Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam
masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
Maka MPR memiliki
wewenang yang telah disebut di atas yang berdasarkan hukum yang berlaku.
Sehingga dengan wewenang yang telah dimiliki oleh MPR, MPR memiliki kekuasaan
yang untuk melaksanakan wewenang. Kekuasaan MPR tersebut dibatasi oleh hukum.
PENUTUP
Simpulan
Kekuasaan yang diatur hukum merupakan
untuk kepentingan masyarakat luas agar masyarakat yang merupakan objek dari
kekuasaan tersebut tidak menjadi korban dari kekuasaan tersebut. Sedangkan,
jika hukum tanpa ada kekuasaan yang melatarbelakanginya membuat hukum itu
menjadi tidak berarti. Oleh karena itu, kekuasaan sangat diperlakukan untuk
melatarbelakangi hukum. Ada
tiga bentuk manifestasi hubungan hukum dan kekuasaan dalam konteks ini yaitu hukum
tunduk kepada kekuasaan, kekuasaan tunduk kepada hukum, hubungan timbale balik
(simbiotik) antara hukum dan kekuasaan. Bila
wewenang adalah hak untuk melakukan sesuatu, maka kekuasaan adalah
kemampuan untuk melakukan hak tersebut Wewenang dapat
diartikan sebagai hak untuk memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu agar tujuan dapat tercapai. Dasar dari wewenang adalah hukum
Saran