Iklan Produk

Sunday, January 22, 2017

MAKALAH PEMBANGUNAN DESA

PARTISIPASI MASYARAKAAT DI ERA OTONOMI DESA DALAM MENINGKATKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERDESAAN DI DESA HILIAMAETALUO KECAMATAN TOMA
KABUPATEN NIAS SELATAN


Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA
Mata Kuliah: Proses Perumusan dan Kebijakan Publik


Oleh:
BERKAT GOWASA
14.013.121.005


MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
MEDAN
2015
KATA PENGANTAR

    Puji syukur kita haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang masih dilimpahkan kepada kita semua sehingga kita masih diberi nafas kehidupan dan masih diberi kesempatan untuk berkumpul ditempat ini kembali dalam keadaan sehat walafiat. Saya berterimakasih atas bantuan dan bimbingan dosen pengasuh mata kuliah Proses Perumusan dan Kebijakan Publik oleh Bapak Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA sehingga makalah dapat terselesaikan tepat pada waktunya dan juga saya berterimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana yang telah menuangkan hasil pemikirannya dalam tugas ini.
    Penulis juga menyadari dalam penyusunan makalah ini serat akan kekurangan dan belumlah sempurna berdasarkan metode penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu saya mengharapkan saran dan kritik dari dosen pembina dan rekan-rekan teman mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan.
    Demikian kata pengantar makalah yang saya susun, terimakasih bagi semua pihak yang telah berparistisipasi dalam penyususnan makalah ini.





Hormat Saya


Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………i
Daftar Isi ………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………1
1.1    Latar Belakang Masalah ………………………………… 1
1.2    Rumusan Masalah ………………………………………3
1.3    Tujuan Penulisan …………………………………………4
1.4    Manfaat Penulisan ……………………………………… 4
BAB II  TINJAUAN PUSTAKA …………………………....5
2.1.  Pengertian Partisipasi Masyarakat ………………………5
2.2.  Konsep Pembangunan ………………………………… 7
2.3.  Ciri-ciri dan Prinsip Pembangunan Desa …...……………8
BAB III METODE PENELITIAN …………………………10
3.1. Jenis Penelitian …………………………………………10
3.2.  Fokus Penelitian ………………………………………10
3.3.  Teknik Pengumpulan Data ……………………………10
BAB IV PEMBAHASAN ………………………………… 11
4.1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Hiliamaetaluo ……11
1. Partisipasi Pikiran ……………………….......………… 13
2. Partisipasi Tenaga ………………….......……………… 13
3. Partisipasi Keahlian …………………….........………… 14
4. Partisipasi Barang ……………………………...........… 15
BAB IV PENUTUP …………………………............……16
5.1. Kesimpulan ………………………...……….............. 16
5.2. Saran ……………………………………….............. 16
DAFTAR PUSTAKA ………………………….........……17


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
    Salah satu persoalan mendasar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa adalah bagaimana membangun atau menciptakan mekanisme pemerintahan yang dapat mengemban misinya dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara berkeadilan. Pemerintah harus melaksanakan pembangunan berdasarkan aspirasi masyarakat, dan memberikan pelayanan publik dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dinyatakan oleh (Solekhan, 2012:13) bahwa hakekat keberadaan pemerintahan dan birokrasi adalah dalam rangka menjalankan tugas memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
    Pemerintahan desa sebagai unit lembaga pemerintah yang paling berdekatan dengan masyarakat, posisi dan kedudukan hukumnya seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berimplikasi pada perubahan tata hubungan desa dengan relasi kekuasaan antar kekuatan politik di level desa. Perubahan kearah interaksi yang demokratik itu terlihat dari beberapa fenomena, diantaranya: (1) Dominasi peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya peran institusi adat dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-sehari; (2) Semangat mengadopsi demokrasi delegatif-liberatif cukup besar dalam Undang-Undang yang baru tentang Badan Permusyawaratan Desa berperan sebagai pengayom adat-istiadat, membuat Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa dan (3) semangat partisipasi masyarakat sengat ditonjolkan artinya proses politik, pemerintahan dan pembangunan di desa yang tidak merata.
    Partisipasi anggota masyarakat adalah ketertiban anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan dalam masyarakat lokal. Pastisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan (pedesaan) merupakan aktualisasi dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat berkorban dan berkoordinasi dalam implemetasi program/proyek yang dilaksanakan.
    Dimaklumi bahwa anggaran pembangunan yang tersedia adalah relatif terbatas sedangkan program/proyek pembangunan yang dibutuhkan (yang telah direncanakan) jumlahnya relative banyak, maka perlu dilakukan peningkatan pertisipasi masyarakat untuk menunujang implementasi pembangunan program/proyek di masyarakat.
    Anggota masyarakat bukan merupakan proyek pembangunan. Anggota masyarakat daerah pedesaan sebagian besar terdiri dari petani, yang sebagian besarnya pentani kecil dan sebagian besarnya merupakan buruh tani. Petani umumnya lemah kedudukannya karena tingkat pendidikannya dan keterampilannya masih rendah, kemampuan modal dan pemasaran mereka relative terbatas.
    Kabupaten Teluk Bintuni dalam menunjang kegiatan pembangunannya, maka visi dan misi yang harus dicapai adalah peningkatan kinerja pembangu¬nan daerah. Oleh karena itulah, dalam menunjang visi dan misi tersebut, maka keterlibatan atau partisipasi dari masyarakat dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evalu¬asi hasil pembangunan sangat penting utamanya di tingkat desa.
    Namun jika kita melihat ke belakang, bahwa mulai dari tahap perencanaan pembangunan yang menggunakan pola berjenjang dari bawah ke atas (Bottom-Up) ternyata tidak banyak menjanjikan as¬¬pirasi murni warga desa didengar. Begitu pun halnya dalam pelaksanaan proyeknya yang ma¬sih menggunakan sistem tender, di mana tender yang dimaksud melibatkan para kontraktor sebagai pihak ketiga dalam pelaksanaan pembangunan daerah yang basisnya tentu berada di desa. Hal tersebut menun¬jukkan bahwa, ternyata keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanya selesai pada tahap perencanaan yang pada tahap itu pun masih banyak langkah-langkah yang belum terlaksana dengan baik, sehingga implementasi pola tersebut dapat dikritisi mengandung banyak kelemahan. Misalnya, partisi¬pasi masyarakat selaku penerima manfaat sangat le¬mah, hasil dari berbagai forum koordinasi di tingkat lebih rendah desa kadang tidak digubris oleh pemerintah yang lebih tinggi, mekanisme peren-canaan mulai dari musrenbang desa hanya bersifat mencatat daftar kebutuhan masyarakat ketimbang sebagai proses perencanaan yang partisipatif. Pros¬es tersebut akhirnya menjadi proses birokratis yang sangat panjang dan lama, sehingga masyarakat tidak mendapat kepastian kapan kebutuhannya akan ter¬wujud.
    Bila demikian adanya, maka realita ini tentu saja dapat menghambat jalannya proses pembangu¬nan yang melibatkan masyarakat di dalamnya parti¬sipatif. Padahal, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa macetnya pembangunan partisipatif akan memunculkan pola-pola pembangunan yang tidak aspiratif. Hal tersebut di atas kemudian me¬munculkan pertanyaan di Kabupaten Nias Selatan, khususnya di Desa Hiliamaetaluo bahwa apakah partisisipasi masyarakat di dalam pelaksa¬naan pembangunan telah terlaksana dengan baik, di mana masyarakat tidak lagi menjadi objek pemban¬gunan, akan tetapi telah menjadi subyek pembangu¬nan. Dengan maksud bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bukan hanya seke¬dar dilihat dari antusiasme masyarakat dalam meng¬hadiri Musrenbang, akan tetapi, bagaimana kepent¬ingan mereka telah direspon oleh pemerintah, serta bagaimana proses pelibatan mereka baik dalam tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan proyek pem-bangunannya. Karena antusiasme masyarakat kemu¬dian lahir ketika substansi dari proses pembangunan itu telah tercipta.
    Melalui penelitian awal, ditemukan bahwa meski dalam pelaksanaan pembangunan yang telah terlaksana di Desa Hiliamaetaluo masih belum mencapai substansi pembangunan baik itu dalam tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan, namun setelah adanya beberapa program pember¬dayaan masyarakat di desa tersebut, semangat partisipasi masyarakat masyarakat kembali tumbuh. Be¬berapa program tersebut telah memunculkan kembali semangat gotong royong masyarakat, terutama pro¬gram PNPM Mandiri pedesaan. Berdasar pada uraian dalam latar belakang, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk menemu¬kan aspek-aspek yang terkait dengan partisipasi ma¬syarakat dalam judul: “Partisipasi masyarakat di era Otonomi Desa dalam meningkatkan pembangunan masyarakat di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Kabupaten Nias Selatan”.
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah sangat penting dalam suatu penelitian agar diketahui arah jalan penelitian tersebut. Arikunto (1993:17) menguraikan bahwa agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis harus merumuskan masalahn¬ya, sehingga jelas dari mana harus memulai, ke mana harus pergi, dan dengan apa ia melakukan penelitian.
    Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Partisipasi Masyarakat di era Otonomi Desa dalam Meningkatkan Pembangunan Di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Toma Kabupaten Teluk Dalam?”
1.3.  Tujuan Penelitian
    Tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diper¬oleh setelah penelitian selesai. Dengan demikian, pada dasarnya tujuan penelitian memberikan infor¬masi mengenai apa yang akan diperoleh setelah sele¬sai melakukan penelitian (Hasan, 2002:44). Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini, yakni: “Un¬tuk Mengetahui Bagaimana Partisipasi Masyarakat di era Otonomi Desa dalam Meningkatkan Pembangunan di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Toma Kabupaten Teluk Dalam”.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.  Secara praktis, yakni memberikan data dan infor¬masi yang berguna bagi semua kalangan teruta¬ma mereka yang secara serius mengamati jalan¬nya partisipasi masyarakat, serta memberikan masukan bagi masyarakat khususnya di tempat penelitian ini dilaksanakan agar dapat terus me¬ningkatkan peran aktifnya dalam membangun daerahnya.
2.   Secara akademis, yakni penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi baik secara lang¬sung atau tidak bagi kepustakaan jurusan Ilmu pemerintahan dan bagi kalangan penulis lainya yang tertarik untuk mengeksplorasi kembali kajian tentang model partisipasi publik dalam proses perencanaan pembangunan di daerah lain.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Pengertian Partisipasi Masyarakat
    Pengertian partisipasi selalu dikaitkan atau bersinonim dengan peran serta. Seorang ilmuan yang bernama Keith Davis mengemukakan definisinya tentang partisipasi yang dikutif oleh R.A. Santoso Sastropoetro (1988:13) sebagai berikut: “Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental atau pikiran atau moral atau perasaan di dalam situasi ke¬lompok yang mendorong untuk memberikan sum¬bangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan.” Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka partisipasi itu tidak berdasarkan ket¬erlibatan secara fisik dalam pekerjaannya tetapi me¬nyangkut keterlibatan diri seseorang sehingga akan menimbulkan tanggung jawab dan sumbangan yang besar terdapat kelompok.
    Sejalan dengan pendapat di atas, Gordon W. Allport (Santoso Sastropoetro, 1988:12) menyatakan bahwa: “Seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifat¬nya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja, dengan keterlibatan dirinya berarti keter¬libatan pikiran dan perasaannya.” Berdasarkan per¬nyataan tersebut di atas, maka ada tiga buah unsur penting dalam partisipasi yaitu:
1. Partisipasi merupakan suatu keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah.
2.  Ketersediaan memberi sesuatu sumbangan kepa¬da usaha mencapai tujuan kelompok, ini berarti terdapat rasa senang, kesukarelaan untuk mem¬bantu kelompok.
3. Dalam partisipasi harus ada tanggung jawab, unsur tanggung jawab ini merupakan segi yang menonjol dari rasa menjadi anggota.
    Dari uraian di atas jelaslah bahwa partisipasi menyangkut keterlibatan diri/ego dan tidak semata-mata keterlibatan fisik dalam pekerjaan atau tugas saja, dan ketiga unsur partisipasi tersebut di dalam re¬alitanya tidak akan terpisahkan satu sama lain, tetapi akan saling menunjang. Dalam realitasnya, terutama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber¬negara, istilah partisipasi ini sering dikaitkan dengan usaha di dalam mendukung program pembangunan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Santoso S. Hamidjoyo (1988:67), bahwa parti¬sipasi mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Partisipasi berarti turut memikul beban pem¬bangunan.
2. Menerima kembali hasil pembangunan dan ber¬tanggung jawab terhadapnya.
3. Partisipasi berarti terwujudnya kreativitasnya dan oto aktifitas.
Menurut Davis, seperti yang dikutip oleh Sas¬tropoetro (1988:16), mengemukakan jenis-jenis par¬tisipasi masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1. Pikiran (Psychological participation).
2. Tenaga (Physical participation).
3. Pikiran dan tenaga (Psychological dan Physical participation).
4. Keahlian (Participation with skill).
5. Barang (Material participation).
6. Uang (Money participation).
Menurut Sherry R. Arnstein dalam Suryono (2001: 127) memberikan model delapan anak tangga partisipasi masyarakat (Eight Rungs on Ladder of Citizen Participation). Hal ini bertujuan untuk men¬gukur sampai sejauh mana tingkat partisipasi ma¬syarakat di sebuah negara.
Menurut Davis dalam Sastropoetro (1988:16-18) prasyarat untuk dapat melaksanakan partisipasi secara efektif adalah sebagai berikut:
1. Adanya waktu.
2. Kegiatan partisipasi memerlukan dana perang¬sang secara terbatas.
3. Subyek partisipasi hendaklah berkaitan dengan organisasi dimana individu yang bersangkutan itu tergabung atau sesuatu yang menjadi perhatian¬nya.
4. Partisipan harus memiliki kemampuan untuk ber¬partisipasi dalam arti kata yang bersangkutan me¬miliki pemikiran dan pengalaman yang sepadan.
5.  Kemampuan untuk melakukan komunikasi tim¬bal balik.
6. Bebas melaksanakan peran serta sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
7.  Adanya kebabasan dalam kelompok, tidak adan¬ya pemaksaan atau penekanan.

2.2.  Konsep Pembangunan
    Todaro (2000:18), menyatakan bahwa pem¬bangunan bukan hanya fenomena semata, namun pada akhirnya pembangunan tersebut harus melam¬paui sisi materi dan keuangan dari kehidupan ma¬nusia. Todaro (2000:20), mendefinisikan pemban¬gunan merupakan suatu proses multidimensial yang meliputi perubahan-perubahan struktur sosial, sikap masyarakat, lembaga-lembaga nasional, sekaligus peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan. Menu¬rut Todaro (2000:21), definisi di atas memberikan be¬berapa implikasi bahwa:
1.  Pembangunan bukan hanya diarahkan untuk pen¬ingkatan income, tetapi juga  pemerataan.
2. Pembangunan juga harus memperhatikan aspek kemanusiaan, seperti   peningkatan:
a.  Life sustenance : Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
b. Self-Esteem : Kemampuan untuk menjadi orang yang utuh yang memiliki harga diri, bernilai, dan tidak “diisap” orang lain.
c. Freedom From Survitude : Kemampuan untuk melakukan berbagai pilihan dalam hidup, yang tentunya tidak merugikan orang lain.
Konsep dasar di atas telah melahirkan beber¬apa arti pembangunan yang sekarang ini menjadi popular (Todaro, 2000:24), yaitu:
1. Capacity, hal ini menyangkut aspek kemampuan meningkatkan income atau produktifitas.
2. Equity, hal ini menyangkut pengurangan kesen¬jangan antara berbagai lapisan masyarakat dan daerah.
3. Empowerment, hal ini menyangkut pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi aktif dalam mem¬perjuangkan nasibnya dan sesamanya.
4. Suistanable, hal ini menyangkut usaha untuk men¬jaga kelestarian pembangunan.
    Menurut Rostow dalam Arief (1996: 29) pengertian pembangunan tidak hanya pada lebih ban¬yak output yang dihasilkan, tetapi juga lebih banyak jenis output dari pada yang diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan: masyarakat tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, gerakan menuju kema¬tangan dan masa konsumsi besar-besaran. Kunci di antara tahapan ini adalah tahap tinggal landas yang didorong oleh satu sektor atau lebih (Arief, 1996:30). Menurut Gant dalam Suryono (2001:31), tujuan pem¬bangunan ada dua tahap. Pertama, pada hakikatnya pembangunan bertujuan untuk menghapuskan ke¬miskinan. Apabila tujuan ini sudah mulai dirasakan hasilnya, maka tahap kedua adalah menciptakan kesempatan-kesempatan bagi warganya untuk dapat hidup bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya.
    Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut, maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang di antaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Sanit (dalam Suryono, 2001:32) menjelaskan bahwa pembangu¬nan dimulai dari pelibatan masyarakat. Ada beberapa keuntungan ketika masyarakat dilibatkan dalam per¬encanaan pembangunan, yaitu, Pertama, pembangu¬nan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan masyara¬kat. Artinya bahwa, jika masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, maka akan tercipta kon¬trol terhadap pembangunan tersebut. Kedua, pem¬bangunan yang berorientasi pada masyarakat akan menciptakan stabilitas politik. Oleh karena masyara¬kat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan, sehingga masyarakat bisa menjadi kontrol terhadap pembangunan yang sedang terjadi. Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar dalam se¬rangkaian kegiatan untuk mencapai suatu perubahan dari keadaan yang buruk menuju ke keadaan yang lebih baik yang dilakukan oleh masyarakat terten¬tu di suatu Negara. Sondang P. Siagian, (1981:21) mendefinisikan pembangunan adalah: “Suatu usaha atau serangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara dan pemerintahan dalam usaha pembinaan bangsa.” Berdasarkan pendapat tersebut, maka dalam konsep pembangunan terdapat dua syarat yang harus dipenuhi yakni: harus ada usaha yang di¬lakukan oleh masyarakat dan pemerintahnya, dilak¬sanakan secara sadar, terarah dan berkesinambungan agar tujuan dari pembangunan itu dapat tercapai.
2.3.  Ciri-ciri dan Prinsip Pembangunan Desa
Pembangunan desa dengan berbagai masalahn¬ya merupakan pembangunan yang berlangsung me¬nyentuh kepentingan bersama. Dengan demikian desa merupakan titik sentral dari pembangunan nasi¬onal Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan desa tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh satu pihak saja, tetapi harus melalui koordinasi dengan pihak lain baik dengan pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Dalam merealisasikan pemban¬gunan desa agar sesuai dengan apa yang diharapkan perlu memperhatikan beberapa pendekatan dengan ciri-ciri khusus yang sekaligus merupakan identitas pembangunan desa itu sendiri, seperti yang dikemu¬kakan oleh C.S.T Kansil, (1983:251) yaitu :
1. Komprehensif multi sektoral yang meliputi berbagai aspek, baik kesejahteraan maupun as¬pek keamanan dengan mekanisme dan sistem pelaksanaan yang terpadu antar berbagai keg¬iatan pemerintaha dan masyarakat.
2. Perpaduan sasaran sektoral dengan regional dengan kebutuhan essensial kegiatan masyara¬kat.
3. Pemerataan dan penyebarluasan pembangunan keseluruhan pedesaan termasuk desa-desa di wilayah kelurahan.
4. Satu kesatuan pola dengan pembangunan na¬na¬sional dan regional dan daerah pedesaan dan daerah perkotaan serta antara daerah pengem¬bangan wilayah sedang dan kecil.
5. Menggerakan partisipasi, prakaras dan swada¬ya gotong royong masyarakat serta mendina¬misir unsur-unsur kepribadian dengan teknolo¬gi tepat waktu.
Jadi di dalam merealisasikan pembangunan desa itu harus meliputi berbagai aspek, jangan dari satu aspek saja, agar pembangunan desa itu dapat sesuai dengan apa yang diinginkan. Pembangunan desa itu harus meliputi berbagai aspek kehidupan dan penghidupan artinya harus melibatkan semua kom¬ponen yaitu dari pihak masyarakat dan pemerintah, dan harus langsung secara terus menerus demi ter¬capainya kebutuhan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.










BAB III
METOE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
    Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dengan meng¬gunakan pendekatan kualitatif, di mana penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif. Narbuko & Ach¬madi (2004:44) memberikan pengertian penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan ma¬salah yang ada sekarang berdasarkan data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalis dan menginter¬pretasi, serta juga bisa bersifat komparatif dan ko¬relatif. Hadari Nawawi (2007:33), mengungkapkan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu pene¬litian yang dilakukan untuk mengetahui atau meng¬gambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti atau penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri atau tunggal, yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. Selain itu, penelitian deskriptif juga terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah, keadaan atau peris¬tiwa sebagaimana adanya, sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta dan memberikan gam¬baran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diteliti.
3.2.  Fokus Penelitian
    Penelitian ini dilakukan di Desa Hiliamaetaluo. Desa ini penulis pilih sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan penelitian awal Desa Hiliamaetaluo merupak¬an salah satu desa yang memiliki masyarakat yang mempunyai semangat gotong royong yang baik. Fo¬cus utama penelitian ini adalah partisipasi masyara¬kat dalam pelaksanaan pembangunan desa.
3.3.  Teknik Pengumpulan Data
    Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian melalui wawancara dengan infor¬man yang berkaitan dengan masalah penelitian, dan juga melalui observasi atau pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Sedangkan, data sekunder adalah data yang diperoleh baik dalam bentuk an¬gka maupun uraian. Dalam penelitian ini data-data sekunder yang diperlukan antara lain: literatur yang relevan dengan judul penelitian, misalnya materi atau dokumen-dokumen dari kantor Desa Hiliamaetaluo serta karya tulis yang relevan dengan penelitian dalam penelitian ini.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tingkat Partisipasi Masyarakat Desa Hiliamaetaluo
Dalam pelaksanaan proyek yang dilaksanakan oleh PNPM-MP di Desa Hiliamaetaluo Kecamatan Toma, proyek yang akan dilaksanakan tidak langsung diputuskan secara sepihak saja oleh tim pelaksana kegiatannya ataupun oleh pemerintah desa setempat melainkan dengan melakukan penggalian gagasan yang mendalam dengan melibatkan masyarakat se¬cara keseluruhan agar semua kebutuhan masyarakat dapat tertampung semua.
Untuk menentukan kebutuhan pembangunan digali dari setiap dusun, apakah di satu dusun itu dilakukan hanya sekali ataukah lebih dari sekali dengan titik lokasi yang berbeda, bergantung dari kondisi geografis du¬sun tersebut (susah dijangkau karena medannya yang sulit ataukah factor lainnya) ini supaya semua kebu¬tuhan masyarakat yang mendesak dapat ter¬cover”
Informasi tersebut menunjukkan bahwa proyek peembangunan di desa harus  benar merupakan proyek yang idenya di¬gali dari masyarakat desa Hiliamaetaluo dan telah sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dari proses penggalian gagasan tersebut, maka lahirlah beberapa usulan yang akan mewakili kebutuhan ma-syarakat, yang selanjutnya akan diranking sesuai dengan skala kebutuhan masyarakat dan dimusy¬awarahkan dalam musyawarah tingkat desa.
    PNPM-MP merupakan program yang mem¬mem¬punyai transparansi yang baik serta mengupayakan keterlibatan penuhnya masyarakat di dalam proses pelaksanaannya. Oleh karena itu proyek yang telah didapatkan oleh Desa Hiliamaetaluo dari adanya program PNPM-MP, kemudian disosialisasikan ke¬pada masyarakat untuk membahas langkah apa yang sebaiknya dilakukan agar proyek dapat terlaksana dengan baik dengan memperhatikan kualitas dari proyek tersebut.
    Dengan adanya Program Nasional Pemberday¬aan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP) di Desa Hiliamaetaaluo yang mengede¬pankan pemberdayaan masyarakat, maka tingkat an¬tusiasme masyarakatdesa dalam berpartisipasi dapat disandingkan, sehingga dapat melahirkan pemban¬gunan desa sesuai dengan yang menjadi harapan, yakni pembangunan partisipatif yang sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita the founding father negeri ini serta menjadi pembenaran tentang teori pemban¬gunan yang sifatnya bottom up (dari bawah ke atas). Meskipun demikian halnya, namun dalam pelaksa¬naan proyek PNPM-MP tersebut masih belum dapat terlepas dari adanya hambatan. Seperti yang didapat¬kan pada lokasi penelitian di mana main set dari ma¬syarakat mengenai proyek pembangunan yang masih selalu berfikir bahwa setiap proyek pembangunan merupakan hal yang mendatangkan untung bagi tim pelaksananya meski pun tidak demikian adanya, sep¬erti informasi yang disampaikan oleh tim pelak¬sanan kegitan PNPM-MP bahwa:
“Hanya saja di PNPM kendalanya adalah ma¬syarakat kadang mengira bahwa pengerjaan PNPM seperti pengerjaan proyek yang biasanya, dalam ar¬tian bahwa mereka kadang berpikir bahwa pen¬gurus PNPM pasti mendapat banyak untung, mis¬alnya kalau ada sisa dana pasti kami yang akan mengambil sisa dana tersebut, padahalkan yang kami dapat hanyalah upah operasional saja”
Munculnya pembahasan proyek pembangunan dari PNPM-MP dalam makalah ini dikarenakan oleh proyek pembangunan yang dikontrol oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) melalui mekanisme penggalian gagasan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) ternyata belum berjalan sesuai dengan yang telah dikonsepkan dan masih terdapat banyak celah teru¬tama dalam hal pelaksanaan proyeknya yang masih menggunakan pihak ketiga dalam hal ini kontraktor, sehingga mustahil untuk menghadirkan partisipasi masyarakat.
    Dalam proyek pembangunan dari pemerin¬tah daerah yang ditangani oleh BAPPEDA dengan menggunakan pihak ke-3, jangankan partisipasi masyarakat dalam bentuk, tenaga, keahlian, barang, atau uang, partisipasi masyarakat dalam bentuk piki¬ran pun tidak ada. Sangat tidak menarik, hanya saja masyarakat tidak dapat menolak. Berbeda dengan program pembangunan yang ditangani oleh PNPM Mandiri pedesaan yang ada di desa ini, masyarakat sangat antusias dalam pelaksanaan program/proyek pembangunannya, karena betul-betul melibatkan masyarakat, mulai dari mengumpulkan masyara¬kat dan membicarakan bersama mengenai program/proyek yang akan dilaksanaan, sehingga masyarakat betul-betul berpartisipasi, mulai dari pikiran, tenaga, keahlian, barang kalau dibutuhkan, bahkan uang sek¬alipun.
    “Kalau untuk proyek pembangunan yang di¬turunkan dari hasil Musrenbang yang kemudian pelaksanaannya dikerjakan oleh kontraktor me¬mang partisipasi masyarakat tidak ada. Bahwa jika proyek dari hasil MUSRENBANG yang akan dijadikan sebagai unit analisis untuk mengeta¬hui tingkat partisipasi masyarakat, maka akan men¬jadi hal yang mustahil dilakukan, sehingga dengan demikian mesti ada opsi lain yang dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti, yaitu dengan menja¬dikan salah satu proyek dari PNPM-MP yang di¬perolah Desa Hiliamaetaluo sebagai tolak ukurnya dalam hal ini proyek yang dianggarkan untuk tahun 2015, yakni pembangunan jalan setapak yang menghubungkan desa lain, pelatihan penggunaan alat pertanian, pupuk dan cara bertani,  yang selanjutnya secara kualitatif ditelusuri melalui dimensi- dimensi sebagaimana dikemukakan oleh Davis yang dikutip oleh Sastropoetro (1988:16), terdiri atas: partisipasi pikiran; partisipasi tenaga; partisipasi keahlian; partisipasi barang; dan partisi¬pasi uang.
1. Partisipasi Pikiran
Mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pekerjaan proyek PNPM-MP bukanlah hal mudah. Hal ini karena, masyarakat selalu beranggapan bahwa proyek-proyek PNPM-MP merupakan proyek pemerintah yang pada dasarnya mempunyai angga¬ran yang cukup untuk melaksanakan proyek-proyek PNPM-MP tersebut. Olehnya itu, setiap orang yang terlibat dalam pekerjaan proyek-proyek itu harus mendapat upah. Tidak terkecuali proyek pembangu¬nan jalan setapak yang menghubangkan antar desa, pembangunan pertanian yang menunjang pertumbuhan ekonomi desa. Hal ini wajar karena unsur par¬tisipasi menurut Keith Davis salah satunya adalah keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari pada se¬mata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah. Pada awalnya, masyarakat Desa Hiliamaetaluo cenderung tidak mau berpartisipasi. Namun setelah mendapat pengarahan dari Kepala Desa beserta aparatnya, juga tokoh-tokoh maka masyarakat mulai memahami dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya dalam proses pelaksanaan proyek pembangunan desa. Partisipasi masyarakat dimaksud merupakan wujud kerjasama antara pemerintah desa dengan warga de¬sanya.
2. Partisipasi Tenaga
    Selain partisipasi dalam bentuk pemikiran, tenaga merupakan salah satu bentuk partisipasi dari masyarakat desa yang sangat potensial diarahkan dalam proses pembangunan desa, khususnya dalam pengerjaan proyek-proyek pisik PNPM-MP. Sejarah telah mencatat bahwa masyarakat Indonesia, teruta¬ma mereka yang tinggal di pedesaan dapat menyele¬saikan berbagai pekerjaan atas dasar gotong-rotong atau swadaya. Dengan dana yang terbatas, mereka mampu dan berhasil menyelesaikan pekerjaan-pe¬kerjaan pisik yang mahal, misalnya rumah ibadah, balai desa, bahkan sekolah dan lain sebagain¬ya. Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa mengarahkan masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan desanya tidak semata-mata ter¬gantung pada aspek anggaran. Kepemimpinan juga merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan tingkat partisipasi masyarakat desa. Artinya, Kepala Desa beserta aparatnya harus mampu menjalankan roda pemerintahan desa secara jujur, transparan, akuntabel dan religius. Dengan demikian mayarakat yang dipimpin akan cenderung untuk mengikuti ara¬han pemerintah desa guna menyumbangkan tenaga mereka dalam pelaksanaan proyek-proyek pemban¬gunan di desanya.
3. Partisipasi Keahlian
Menyelesaikan suatu pekerjaan secara efektif dan efisien serta berkualitas sangat ditentukan oleh tingkat keahlian (skill) yang dimiliki oleh para pe¬kerjanya. Keahlian tersebut juga harus ditunjang pula dengan motif dan kondisi kejiwaan dari para pekerja pada saat mereka bekerja. Hal ini penting dikemu¬kakan mengingat partisipasi adalah keterlibatan atas dasar kerelaan yang akan mewujudkan hasil seb¬agaimana yang diharapkan.
“Bila dibandingkan proyek-proyek pembangu¬nan di desa ini yang dilaksanakan oleh pihak ke-3 dengan proyek pembangunan yang ditangani oleh PNPM Mandiri Pedesaan yang melibatkan masyara¬kat, akan sangat berbeda. Proyek yang dilaksanakan oleh pihak ke-3 sudah mulai rusak meski baru be¬berapa lama selesai pengerjaannya sedangkan yang dilaksanakan oleh PNPM kualitasnya lebih bagus, karena memang melibatkan tukang terbaik di desa ini yang juga turut berswadaya”.
    Informasi ini mengindikasikan bahwa: (a) ter¬dapat partisipasi masyarakat dalam bentuk keahlian; (b) tanggung jawab terhadap kualitas hasil, lebih tinggi pada proyek PNPM-MP dibandingkan den¬gan hasil yang ditunjukkan oleh proyek-proyek yang ditangani oleh pihak ke-3; dan (c) pemelihara¬an pemelihara¬an terhadap proyek PNPM-MP lebih baik dari pada pemeliharaan terhadap hasil-hasil proyek yang di¬tangani oleh pihak ketiga. Hal ini dapat dimaklumi, karena proyek PNPM- MP oleh masyarakat desa dianggap sebagai milik sendiri, sedangkan proyek yang ditangani pihak ke-3 dianggap sebagai milik negara atau daerah yang harus dijaga dan di¬rawat oleh negara atau daerah. bagi yang memiliki keahlian sebagai tu¬kang batu, silahkan kerjakan yang bagian pemasan¬gan batu, lagian tetap diberi upah kerja. Dan sebagai partisipasi mereka, maka upah yang mereka minta pun tidak seperti jika mereka bekerja biasanya”.
    Ungkapan itu menunjukkan bahwa kerelaan masyarakat untuk menyumbangkan keahlian mereka dalam pembangunan desanya adalah cukup tinggi. Mereka tetap bekerja dengan baik, meskipun upah yang mereka terima seadanya saja. Artinya upah bukanlah faktor utama dalam berpartisipasi, me¬lainkan kesediaan mereka untuk bekerja sama dalam rangka mewujudkan tujuan bersama. Sebagai pimpinan, maka seyogyanya Kepala Desa  beserta jajarannya melihat potensi keahlian dan ker¬elaan bekerja ini sebagai suatu kekuatan yang dapat diorganisir dan dimobilisasi secara efektif sehingga dapat bermanfaat bagi mereka dalam rangka mem¬peroleh pendapatan yang lebih baik. kaum la¬ki-laki yang berada di desa banyak yang memiliki keahlian sebagai tukang batu, tukang kayu dan ket-erampilan teknis lainnya yang mereka peroleh dari pengalaman langsung di lapangan. Banyak diantara mereka tidak memiliki tingkat pengetahuan yang me¬madai. Dengan keahlian yang mereka miliki, dapat dimanfaatkan dan diarahkan secara optimal dalam rangka pengerjaan proyek-proyek PNPM-MP dimasa yang akan datang.
4. Partisipasi Barang
Barang yang dimaksudkan dalam skripsi ini adalah barang-barang yang dimiliki oleh warga desa yang secara sukarela disumbangkan kepada desa dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek PNPM-MP. Olehnya itu, diharapkan kesediaan warga untuk dapat menyumbangkan bahan-bahan tertentu yang dibutuhkan dalam rangka pemban-gunan pisik tersebut. Himbauan ini ternyata mendapat sambutan positif dari bebera¬pa warga dan tokoh masyarakat. Sambutan positif di¬maksud adalah pemberian secara sukarela beberapa bahan (kayu, paku, pasir dan lain-lain) yang dibu¬tuhkan pada saat dibutuhkan dalam pengerjaan pembangunan.













BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.  Kesimpulan
1. Meskipun masih terdapat hambatan-hambatan kecil dalam membangun dan mengarahkan partisipasi masyarakat Desa Hiliamaetaluo, namun secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat desa tersebut telah cukup memadai dalam rangka pelaksa¬naan proyek di desa.
2. Dari lima jenis partisipasi yang dikaji, ternyata bentuk partisipasi tenaga memiliki sumbangan yang sangat signifikan dalam pengerjaan proyek pembangunan khususnya pembangunan pada tahun 2011.
3. Kepala Desa Hiliamaetaluo beserta aparatnya cu¬kup aktif dan berhasil menjalankan fungsi dan perannya dalam mendorong dan mengarahkan partisipasi masyarakanya sehingga cukup ber¬hasil dalam menyelesaikan salah satu proyek infrastruktur yaitu pembangunan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat desanya.
5.2.  Saran
1. Diharapkan agar Kepala Desa dan aparat¬nya semakin gigih dalam berupaya mem-perjuangkan aspirasi masyarakat Desa guna mendapatkan proyek-proyek pembangunan sesuai skala prioritas kebutuhan masyarakat desanya.
2. Agar Kepala Desa beserta jajarannya semakin menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh masyarakat dan dengan masyarakat desa secara keseluruhan sehingga pertemuan-per¬temuan yang mereka selenggarakan di masa yang akan datang dapat melahirkan gagasan-gagasan dan keputusan- keputusan yang lebih baik guna menyukseskan setiap program dan proyek yang telah berhasil diperjuangkan oleh Kepala Desa.
3. Agar Kepala Desa dan aparatnya serta to¬koh-tokoh masyarakat Desa Hiliamaetaluo senan¬tiasa bersinergi menjadi teladan bagi masyara¬kat dalam memelihara dan merawat hasil-hasil pembangunan yang dicapai.








DAFTAR PUSTAKA


Abe, Alexander. 2005. Perencanaan Daerah Partisi¬patif. Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri.
Adi, Isbandia Rukminto. 2001. Pemberdayaa, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Arif, Syaiful. 2006. Reformasi Birokrasi dan De¬mokratisasi Kebijaka. Malang: Averroes Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arsyad, Lincoln. 2002. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE.
Conyers, Diana. 1991. “An Introduction to Social Planning in The Third World”. By Jhon Wiley & Sons Ltd. 1994. Terjemahan
Nawawi. 2007. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan dan Pemer¬ataan). Jakarta: CIDEAS.
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pemban¬gunan Daerah. Jakarta: Erlangga.
Ndraha, Talizuduhu. 1987. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Santoso R.A. 1988. Partisipasi, Komunilasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Band¬ung: Alumni.
Sugiono. 2004. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Malang: Universitas Malang Press.
Wrihatnolo, Randy R, dan Nugroho, Riant. 2006. Manajemen Pembangunan Indonesia: Sebuah Pengantar Panduan. Jakarta: Elekx Media Kom¬putindo.

MAKALAH PEMERINTAHAN DAERAH

PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM SERANTAK UNTUK MENCIPTAKAN EFESIENSI DAN EFEKTIFITAS PEMILIHAN KEPALA DAERAH



Dosen Pembimbing : Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum
Mata Kuliah : Pemerintahan Di Daerah


Disusun Oleh:
BERKAT GOWASA
14.013.121.005



MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
MEDAN
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang masih dilimpahkan kepada kita semua sehingga kita masih diberi nafas kehidupan dan masih diberi kesempatan untuk berkumpul ditempat ini kembali dalam keadaan sehat walafiat. Saya berterimakasih atas bantuan dan bimbingan dosen pengasuh mata kuliah Pemerintahan Di Daerah oleh  Bapak  Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum sehingga makalah dapat terselesaikan tepat pada waktunya dan juga saya berterimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana yang telah menuangkan hasil pemikirannya dalam tugas ini.
    Penulis juga menyadari dalam penyusunan makalah ini serat akan kekurangan dan belumlah sempurna berdasarkan metode penulisan karya ilmiah. Oleh sebab itu saya mengharapkan saran dan kritik dari dosen pembina dan rekan-rekan teman mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan.
    Demikian kata pengantar makalah yang saya susun, terimakasih bagi semua pihak yang telah berparistisipasi dalam penyususnan makalah ini.


Medan, 2 Oktober 2015

   
    Penulis
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ……………………………………...…………………    i
DAFTAR ISI ……………………………………………...…………………...    Ii
BAB I     PENDAHULUAN ……………………...…………………………..    1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………    1
1.2. Pokok Masalah …………………………………………………    4
1.3. Tujuan dan metode ……………………………………………..    5
1.4. Sistematika ……………………………………………………..    6
BAB II    KERANGKA KONSEPTUAL ……………………………...…….    7
2.1. Kerangka Hukum Pemilu ………………………………………    7
2.2. Kerangka Kajian Perubahan Undang-Undang …………………    12
BAB III    PEMETAAN MASALAH  DAN MATERI MUATAN …………    15
3.1. Redaksional …………………………………………………….    15
3.2. Sistematika ……………………………………………………..    16
3.3. Judul dan konsideran …………………………………………...    18
3.4. Ketentuan umum dan nomenkelatur …………………………...    19
3.5. Asas, tujuan, dan penyelenggaraan …………………………….    19
3.6. Substansi: aktor, sistem, manajemen, dan penegakan hukum …    21
BAB IV   STRATEGI PERUBAHAN ……………………………………….    30
4.1. Perubahan dua tahap …………………………………………...    30
4.2. Perubahan terbatas pasal pilkada serentak ……………………..    33
4.3. Perubahan konprehensif ………………………………………..    36
BAB V    PENUTUP …………………………………………………………..    38
5.1. Kesimpulan …………………………………………….…………………..    38
5.2. Rekomendasi ………………………………………………………………    40
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….……...    42
   



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.
”Biaya pilkada untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai oleh APBN, bukan oleh APBD,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan, Minggu (2/9) di Jakarta.
Studi yang dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah menemukan, pembiayaan pilkada melalui APBD memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk memperkuat posisi tawar politiknya.
Terkait politisasi anggaran, saat tahap pilkada mulai berjalan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pilkada. Alasannya antara lain daerah tidak memiliki anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah yang belum menetapkan APBD untuk tahapan pilkada.
Tidak sinkronnya tahapan pilkada dengan mekanisme penganggaran daerah berimplikasi pada lemahnya proses pengawasan pilkada. Semua ini juga terkait masih banyaknya permasalahan dengan regulasi pelaksanaan pilkada. Karena itu, Seknas Fitra merekomendasikan agar pembiayaan pilkada diambil dari APBN untuk menghindari tumpang-tindih pembiayaan.
Wakil Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Veri Junaidi menyatakan, berdasar pengalaman penyelenggaraan pilkada sejak tahun 2005, setidaknya terdapat tiga masalah pencalonan pasangan kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pilkada.
Pertama, terjadi politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu” tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye.
Kedua, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon. Akibatnya, parpol menjadi lemah sehingga mereka gagal memperjuangkan kepentingan anggota.
Ketiga, pencalonan yang hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini menyebabkan masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih menurun. Di lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa menimbulkan konflik terbuka.
Pemilihan gubernur melalui DPRD, menurut Yuna Farhan, tetap bisa dilaksanakan secara langsung dan serentak dengan pemilihan anggota DPRD provinsi agar menghemat biaya dan lebih efisien.
UU No 1/2015 bertujuan menjamin penyelenggaraan pilkada langsung oleh rakyat. Peraturan yang berasal dari Perppu No 1/2014 ini dibuat dalam waktu singkat sehingga tidak sempat dikritisi oleh para pemangku kepentingan, ahli tata negara, ahli politik dan pemerintahan, ahli pemilu, dan ahli penyusunan undang-undang. Akibatnya, materi muatan UU No 1/2015 mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, baik dari sisi redaksional, sistematika maupun substansi.
Naskah UU No 1/2015 terdapat sebelas kesalahan ketik atas angka, kata, dan frasa. Sistematikan undang-undang tidak disusun sebagaimana lazimnya undang-undang pemilu sehingga sulit dipahami. Selain itu, terdapat pokok bahasan penting yang tidak dijadikan bab, sebaliknya terdapat pokok bahasan tidak penting dijadikan bab.
UU No 1/2015 memuat tujuh substansi baru: (1) pencalonan tunggal, (2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5) pemungutan dan penghitungan suara elektronik; (6) penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, dan (7) pilkada serentak. Pengaturan tujuh substansi baru tersebut tidak jernih, tidak jelas, dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu juga bisa ditafsirkan melanggar konstitusi sehingga berpotensi dikoreksi MK. Namun materi muatan bermasalah tidak terbatas pada tujuh substansi baru tersebut, tetapi juga terdapat dalam materi muatan lain.
Untuk itu diperlukan pembedahan materi muatan UU No 1/2015 secara konprehensif dengan melihat sisi aktor, sistem pemilihan, manajamen, dan penegakan hukum. Dari sisi aktor, model calon tunggal mengundang konflik, baik dalam proses penyelenggaraan maupun pemerintahaan pasca pilkada. Dari sisi sistem pemilihan, penggunaan formula calon terpilih hanya membebani anggaran negara karena dibuka peluang putaran kedua. Dari sisi manajemen atau pelaksanaan tahapan, terdapat tahapan-tahapan penting seperti pendaftaran pemilih dan penetapan hasil pilkada dihilang, sementara kegiatan yang tidak penting seperti uji publik justru dibuatkan tahapan. Dari sisi penegakan hukum, penyelesaian sengketa penetapan calon dan penyelesaian sengketa hasil pilkada terlalu lama sehingga menimbulkan ketegangan politik berkepanjangan.
UU No 1/2015 mengatur pemungutan suara serentak atau pilkada serentak. Pengaturan jadwal pilkada serentak 2015 dan 2018 menimbulkan masalah jika dikaitkan dengan jadwal pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pertama, pemilih jenuh karena jarak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak (2019) dengan pilkada serentak nasional (2020) hanya satu tahun. Kedua, penyelenggara menanggung beban tidak merata, karena dua tahun sibuk mengurus pemilu, tiga tahun berikutnya tidak ada pekerjaan. Ketiga, partai politik terlibat konflik berkepanjangan, karena konsolidasi pasca pencalonan pemilu legislatif dan pemilu presiden belum tuntas sudah diikuti konflik lagi akibat pencalonan pilkada. Pada titik inilah pengaturan tentang pilkada serentak perlu mendapat perhatian tersendiri.
1.2. POKOK MASALAH
Materi UU No 1/2015 mengandung banyak masalah, baik dari sisi redaksional, sistematika maupun substansi. Jika dilihat dari pengaturan aktor, sistem pemilihan, manajemen atau tahapan pelaksanaan, dan penegakan hukum, kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam peraturan tersebut semakin nyata. Demi mencapai keadilan dan kepastian hukum, UU No 1/2015 harus diubah atau direvisi. Karena itu diperlukan kajian terhadap perubahan undang-undang tersebut.
Di satu pihak, demi keadilan dan kepastian hukum, UU No 1/2015 perlu diubah secara konprehensif, yang tentu saja membutuhkan waktu lama; di pihak lain, sepanjang 2015-2016 banyak daerah yang harus menggelar pilkada. Oleh karena itu, selain perlu dipetakan bagian-bagian mana yang harus diubah terlebih dahulu, juga perlu dirumuskan strategi perubahan yang tepat agar penyelenggaraan pilkada berjalan baik. Dengan demikian kajian terhadap perubahan undang-undang tidak terbatas pada pemetaan materi muatan peraturan yang harus diubah, tetapi juga penyusunan strategi perubahannya.
1.3. TUJUAN DAN METODE
Secara umum tujuan kajian ini adalah memetakan masalah materi UU No 1/2015 dan menemukan strategi yang tepat untuk mengubah UU No 1/2015 sehingga masa peralihan penyelenggaraan pilkada serentak bisa berjalan tanpa gejolak. Adapun secara khusus tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:
1.    Menunjukkan ketentuan-ketentuan UU No 1/2015 yang harus diubah;
2.    Mengusulkan ketentuan-ketentuan perubahan UU No 1/2015;
3.    Merencanakan tahap-tahap perubahan UU No 1/2015; dan
4.    Menyusul jadwal perubahan UU No 1/2015.
Untuk memetakan masalah materi UU No 1/2015 dan menentukan ketentuan-ketentuan yang harus diubah, kajian ini menggunakan metode inventarisasi masalah terhadap setiap ketentuan yang ada dalam undang-undang. Sedangkan untuk menemukan strategi perubahan UU No 1/2015 dan menentukan jadwal perubahan, kajian ini menghitung ketersediaan waktu bagi DPR dan pemerintah untuk membahas, mengesahkan, dan mengundangkan perubahan undang-undang, dengan ketersediaan waktu bagi KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota untuk merencanakan dan mempersiapkan penyelenggaraan pilkada serentak.

1.4. SISTEMATIKA
Laporan kajian ini terdiri atas bab dan lampiran. Babbab membahas secara singkat, sedang data atau penjelasan lengkap disajikan dalam bentuk lampiran. Model penyajian seperti ini diharapkan akan mempermudah para pembuat undang-udang untuk cepat memahami isi laporan kajian ini, sehingga dipertimbangkan sebagai bahan masukan perumusan perubahan UU No 1/2015.
Setelah Bab 1 Pendahuluan akan dilanjutkan Bab 2 Kerangka Konseptual yang menjelaskan kerangka teoritik tentang materi undang-undang pemilu dan sistematika penyusunannya. Bab 3 Pemetaan Masalah Materi UU No 1/2015 membahas kandungan undangundang dari sisi sistematika dan substansi, diteruskan Bab 4 Strategi Perubahan Perubahan UU No 1/2015 memaparkan strategi perubahan undang-undang dua tahap: pertama, perubahan terbatas yang hanya menyentuh jadwal penyelenggaraan pilkada serentak; kedua, perubahan konprehensif yang mengubah secara menyeluruh kandungan meteri undang-undang demi keadilan dan kepastian hukum. Akhirnya Bab 7 Penutup berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi hasil kajian.









BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

2.1. KERANGKA HUKUM PEMILU
Sejumlah standar dikenal secara internasional untuk mengukur demokratis-tidaknya suatu pemilu. Standar internasional ini menjadi syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu demokratis. Adapun sumber utama standar itu adalah berbagai deklarasi dan konvensi internasional maupun regional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1960, Konvensi Eropa 1950 untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi, juga Piagam Afrika 1981 tentang Hak Manusia dan Masyarakat.
International IDEA (2004) merumuskan 15 aspek pemilu demokratis:
(1) penyusunan kerangka hukum;
(2) pemilihan sistem pemilu;
(3) penetapan daerah pemilihan;
(4) hak untuk memilih dan dipilih;
(5) badan penyelenggara pemilu;
(6) pendaftaran pemilih dan daftar pemilih;
(7) akses kertas suara bagi partai politik dan calon;
(8) kampanye pemilu yang demokratis;
(9) akses ke media dan kebebasan berekspresi;
(10) pembiayaan dan pengeluaran;
(11) pemungutan suara;
(12) penghitungan dan rekapitulasi suara;
 (13) peranan wakil partai dan calon;
(14) pemantauan pemilu; serta
(15) kepatuhan terhadap hukum dan penegakan peraturan pemilu.
Untuk menjamin adanya pemilu yang demokratis, ke-15 aspek tersebut harus dicantumkan dan diperjelas dalam kerangka hukum pemilu (yang merupakan aspek pertama). Penyusunan Kerangka Hukum. Kerangka hukum pemilu harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak bermakna ganda, mudah dipahami, dan harus dapat menyoroti semua unsur pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu demokratis. Istilah “kerangka hukum pemilu” mengacu pada semua undang-undang dan dokumen hukum yang terkait dengan pemilu. Dalam kerangka hukum itu harus ditegaskan bahwa kekuasaan badan-badan pelaksana pemilu dinyatakan jelas, dibedakan, dan diuraikan untuk mencegah terjadinya pertentangan atau tumpang-tindih kekuasaan yang sedang dijalankan oleh badan-badan lainnya.
Pemilihan Sistem Pemilu. Dalam sistem pemilu harus terdapat badan-badan yang dipilih, frekuensi pemilu, dan lembaga penyelenggara pemilu. Sistem pemilu harus memastikan bahwa pembagian politik masuk dalam kerangka hukum pemilu untuk menjamin kepesertaan dan keterwakilan politik sehingga pertentangan antar-kelompok dapat diakomodasi. Pemilihan sistem pemilu terlebih dahulu harus menghitung-hitung sistem pemilu mana yang dapat memenuhi tujuan-tujuan politik dan sesuai dengan keadaan sosial, politik, geografis, dan sejarah negara.
Penetapan Daerah Pemilihan. Daerah pemilihan dibuat agar setiap suara setara untuk mencapai derajat keterwakilan yang efektif. Kerangka hukum mesti merumuskan bagaimana merencanakan dan menetapkan daerah pemilihan agar dari awal kelompok-kelompok politik menyadari akan konsekuensi-konsekuensinya. Hak untuk Memilih dan Dipilih.
Kerangka hukum harus memastikan semua warga negara yang memenuhi syarat dijamin bisa ikut pemilihan tanpa diskriminasi. Jaminan setiap warga negara bisa menggunakan hak memilih dan hak dipilih penting sehingga di beberapa negara ketentuan tersebut masuk dalam konstitusi. Badan Penyelenggara Pemilu. Badan penyelenggara pemilu harus dijamin bisa bekerja independen. Badan tersebut harus bekerja dalam kerangka waku yang cukup, memiliki sumberdaya yang mumpuni, dan tersedia dana yang memadai. Kerangka hukum pemilu harus mengatur ukuran, komposisi, dan masa kerja anggota badan pelaksana pemilu. Juga perlu diatur hubungan antara badan pelaksana pemilu pusat dan badan-badan pemilu tingkat yang lebih rendah serta hubungan antara semua badan pemilu dengan badan eksekutif.
Kerangka hukum harus membuat ketentuan tentang mekanisme untuk memproses, memutuskan, dan menangani keluhan dalam pemilu secara tepat waktu. Pendaftaran Pemilih dan Daftar Pemilih. Kerangka hukum harus mewajibkan penyimpanan daftar pemilih secara transparan dan akurat, melindungi hak warga negara yang memenuhi syarat untuk mendaftar, dan mencegah pendaftaran orang secara tidak sah atau curang.
Hak untuk memberikan suara dilanggar apabila kerangka hukum mempersulit seseorang mendaftar untuk memberikan suara. Hak untuk memberikan suara juga dilanggar apabila kerangka hukum gagal menjamin akurasi daftar pemilih atau memudahkan pemberian suara secara curang.
Akses Kertas Suara bagi Partai Politik dan Calon. Semua partai politik dan calon dijamin dapat bersaing secara adil dalam pemilu. Pendaftaran partai politik dan ketentuan akses kertas suara perlu diatur secara berbeda. Prosedur mendapatkan akses kertas suara mungkin sama dengan pendaftaran partai politik, tetapi kerangka hukum pemilu dapat membuatnya lebih mudah bagi partai politik yang telah terdaftar untuk berada di kertas suara. Kerangka hukum pemilu harus mengatur hak bagi individu dan kelompok untuk secara bebas mendirikan partai politik mereka sendiri atau organisasi politik lainnya, dengan jaminan hukum yang memungkinkan mereka bersaing satu sama lain atas dasar perlakuan yang adil di hadapan hukum.
Kampanye yang Demokratis. Kerangka hukum harus menjamin setiap partai politik dan calon menikmati kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berkumpul, serta memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak dalam proses pemilihan. Pemilu adalah alat untuk menerjemahkan kehendak umum para pemilih ke dalam pemerintahan perwakilan sehingga semua partai dan calon harus dapat menyampaikan program-program, masalah politik, dan pemecahan yang mereka ajukan secara bebas kepada para pemilih selama masa kampanye. Masa kampanye harus ditetapkan dan harus dimulai setelah pencalonan yang sah dari partai dan calon serta diakhiri satu atau dua hari sebelum pemberian suara.
Akses Media dan Kebebasan Berekspresi. Kerangka hukum harus menjamin partai politik dan calon diperlakukan secara adil oleh media yang dimiliki atau dikendalikan oleh negara. Tidak ada pembatasan terhadap kebebasan berekspresi partai politik dan para calon selama kampanye. Dengan demikian, masyarakat umum dapat mengetahui platform politik, pandangan, dan sasaran dari semua partai dan calon dengan cara yang adil dan tidak bias. Perlakuan yang adil ini harus ada di semua media cetak maupun elektronik.
Pembiayaan dan Pengeluaran. Kerangka hukum harus memastikan semua partai politik dan calon diperlakukan secara adil oleh ketentuan hukum yang mengatur pembiayaan dan pengeluaran kampanye. Partai-partai politik memerlukan basis dana untuk membiayai kampanye dan kegiatan operasional partai sehingga kerangka hukum menentukan pembiayaan kampanye partai dan calon. Pada dasarnya ada dua bentuk pembiayaan partai dan calon: pendanaan dari negara dan pendanaan swasta dalam bentuk sumbangan yang datang dari berbagai sumber.
Pemungutan Suara. Kerangka hukum harus memastikan tempat pemungutan suara dapat diakses semua pemilih. Terdapat pencatatan yang akurat atas kertas suara dan jaminan kerahasiaan kertas suara. Standar internasional mengharuskan suara diberikan dengan menggunakan kertas suara yang rahasia atau dengan menggunakan prosedur pemungutan suara lain yang setara, bebas, dan rahasia. Harus pula dipastikan adanya mekanisme lain untuk mencegah kecurangan atau pemberian suara ganda. Namun prosedur pemberian suara tidak boleh terlalu rumit atau berbelit-belit sehingga menghambat proses pemberian suara.
Penghitungan dan Rekapitulasi Suara. Kerangka hukum harus memastikan agar semua suara dihitung dan ditabulasi atau direkapitulasi dengan akurat, merata, adil, dan terbuka. Hal ini mengharuskan penghitungan, pentabulasian, dan pengkonsolidasian suara dihadiri oleh perwakilan partai, calon, pemantau, dan masyarakat umum. Undang-undang harus mengatur bahwa setiap gugatan terhadap penghitungan suara oleh perwakilan partai dan calon atau keluhan tentang pengoperasian tempat pemungutan suara harus dicatat secara tertulis oleh ketua panitia tempat pemungutan suara. Laporan itu disertakan dalam laporan ketua panitia tempat pemungutan suara tentang pemungutan suara yang diserahkan kepada badan pelaksana pemilu.
Peranan Wakil Partai dan Calon. Guna melindungi integritas dan keterbukaan pemilu, perwakilan partai dan calon harus dapat mengamati semua proses pemungutan suara. Kerangka hukum harus menjelaskan hak dan kewajiban perwakilan partai dan calon di tempat pemungutan suara dan penghitungan suara. Harus juga dijelaskan, meskipun perwakilan partai dan calon mempertanyakan keputusan petugas pemungutan dan penghitungan suara, namun dia tidak boleh mempengaruhi pemilih, mengabaikan petunjuk petugas, dan mengganggu pemungutan dan penghitungan suara.
Pemantau Pemilu. Untuk menjamin transparansi dan meningkatkan kredibilitas, kerangka hukum harus menetapkan bahwa pemantau pemilu dapat memantau semua tahapan pemilu. Kehadiran pemantau dari dalam maupun luar negeri cenderung menambah kredibilitas dan legitimasi terhadap proses pemilu yang dipantau. Pemantauan juga berguna untuk mencegah kecurangan pemilu, khususnya pada saat pemungutan suara.
Kepatuhan terhadap Hukum dan Penegakan Peraturan Pemilu. Kerangka hukum pemilu harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk menjaga kepatuhan terhadap undang-undang pemilu. Dalam hal ini hak memilih dan dipilih setiap warga harus dijamin dan pelanggaran terhadap penggunaan hak memilih dan dipilih akan dikenakan sanksi. Kerangka hukum harus memastikan adanya larangan-larangan dan sanksi-sanksi terhadap siapa saja yang melanggar larangan-larangan tersebut.
2.2. KERANGKA KAJIAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
Berdasarkan standar internasional pemilu demokratis yang harus diatur dalam undang-undang pemilu, memperhatikan format undang-undang pemilu yang masih berlaku dan ketetuan-ketentuan dalam UU No 12/2011, maka kerangka kajian terhadap perubahan UU No 1/2015 terdiri atas dua langkah: pertama, memastikan ada-tidaknya rumusan tentang asas dan tujuan pemilu yang menjadi dasar penyelenggaraan pilkada; kedua, memastikan ada tidaknya rumusan peraturan yang mengimplementasi asas dan tujuan tersebut.
Rumusan ketentuan yang digunakan untuk mengimplementasi asas dan tujuan itu meliputi pengaturan tentang (1) aktor pemilu, (2) sistem pemilihan, (3) manajemen atau pelaksanaan tahapan, (4) penegakan hukum pemilu, dan (5) pengaturan lain-lain. Lima pengaturan tersebut akan mewadahi sekaligus melengkapi 15 aspek standar pemilu demokratis.
Pertama, pengaturan tentang aktor pemilu, meliputi pengaturan tentang penyelenggara, pemilih, partai politik, calon, dan pemantau. Kedua, pengaturan tentang sistem pemilihan meliputi pengaturan tentang metode pencalonan, metode pemberian suara, dan calon terpilih. Ketiga, pengaturan tentang manajemen atau pelaksanaan tahapan pemilu, meliput pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan pelantikan. Keempat, pengaturan penegakan hukum meliputi, pengaturan tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, perselisihan administrasi, dan perselisihan hasil pemilu. Kelima, pengaturan lain-lain.






























BAB III
PEMETAAN MASALAH MATERI MUATAN

3.1. REDAKSIONAL
UU No 1/2015 diawali BAB I KETENTUAN UMUM dan diakhiri BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP. Peraturan ini ini seakan terdiri dari 28 bab, padahal hanya 27 bab, karena dari BAB XXVI KETENTUAN PERALIHAN loncat ke BAB XXVIII KETENTUAN PENUTUP. Kesalahan redaksional juga terdapat pada BAB IV PENYELENGGARA PEMILIHAN. Di sini tugas dan wewenang KPU Kabupaten/ Kota tidak ditulis pada bagian tersendiri, berbeda dengan tugas dan wewenang KPU dan KPU Provinsi; demikian juga dengan KPPS yang tidak diwadahi dalam bagian tersendiri, berbeda dengan PPK dan PPS. Dalam BAB XIV PENGHITUNGAN SUARA, UU No 1/2015 menulis dua kali “Bagian Ketiga” masing-masing untuk “Rekapitulasi Penghitungan Suara di PPK” dan “Rekapitulasi Penghitungan Suara di KPU Kabupaten/ Kota”. Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) menulis frasa “pasangan calon”, dari yang benar “calon” saja. Selengkapnya, Tabel 3.1 menunjukkan sejumlah salah cetak terdapat dalam UU No 1/2015.




















3.2. SISTEMATIKA
Bab-bab dalam UU No 1/2015 disusun menyerupai UU No 8/2012 dan UU No 42/2008. Berbeda dengan UU No 8/2012 dan UU No 42/2008 yang mewadahi pengaturan tentang asas, pelaksanaan dan penyelenggara dalam satu bab, UU No 1/2015 membuat bab tersendiri untuk mengatur penyelenggara. Bab ini diletakkan setelah bab calon, padahal lazimnya pengaturan penyelenggara didahulukan karena pilkada tidak berjalan tanpa ada penyelenggara.
UU No 1/2015 tidak membuat ketentuan penetapan hasil pilkada ke dalam bab tersendiri tetapi disatukan dalam bab penghitungan suara. Hal ini tidak saja keluar dari kelaziman, tetapi juga membingungkan karena substansi pengaturan penetapan hasil pilkada berbeda dengan penghitungan suara. Penetapan hasil pilkada yang menggunakan formula tertentu, berbeda dengan penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara yang sekadar menjumlah suara. Penetapan hasil pilkada mestinya dibuatkan bab tersendiri, selain karena memang merupakan tahapan pelaksanaan pemilu tersendiri, juga merupakan titik pijak untuk melakukan pelantikan atau sengketa hasil pilkada jika ada pihak yang merasa lebih berhak menjadi calon terpilih.
UU No 1/2015 menghadirkan ketentuan baru tentang uji publik yang diwadahi dalam satu bab tersendiri. Karena undang-undang ini mengharuskan bakal calon mengikuti uji publik dan jarak waktu antara pendaftaran bakal calon dengan uji publik hampir dua bulan, sedangkan jarak waktu antara uji publik dengan pendaftaran calon hampir empat bulan, maka tahapan pelaksanaan pilkada menjadi berbeda dengan tahapan pelaksanaa pemilu legislatif dan pemilu presiden. Di sini tahapan pertama adalah pendaftaran bakal calon, lalu uji publik, dan dilanjutkan pendaftaran calon, diikuti kampanye, pemungutan suara dan penghitungan suara.
Bab pendaftaran pemilih, dalam UU No 8/2012 dan UU No 42/2008 terletak di awal, tapi dalam UU No 1/2015 terletak di tengah. Itu artinya, tahapan pelaksanaan pilkada tidak dimulai dengan pendaftaran pemilih (sebagaimana terjadi dalam pemilu legisaltif dan pemilu presiden), melainkan dimulai dari tahapan pendaftaran bakal calon. Di sini undang-undang terlihat mengabaikan atau setidaknya menomorduakan pemilih dan pendaftaran pemilih. Pendaftaran pemilih tidak masuk dalam tahapan pelaksanaan pilkada, sedangkan penyerahan daftar penduduk potensial pemilih masuk dalam tahapan persiapan. Pertanyaanya, jika bab hak memilih dan pendaftaran pemilih diletakkan di tengah (antara bab penetapan calon dan bab kampanye), lalu kapan tahapan pendaftaran pemilih dilakukan?
3.3. JUDUL DAN KONSIDERAN
UU No 1/2015 berjudul “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota”. Judul ini menunjukkan bahwa undang-undang menempatkan pilkada bukan sebagai pemilu tetapi sekadar pemilihan. Padahal hakekat pemilihan pejabat publik secara langsung oleh rakyat adalah pemilu. Apalagi pelaksanaan pilkada menurut undang-undang ini juga menggunakan asas pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Judul “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota” juga menunjukkan pilkada kali ini memilih kepala daerah secara tunggal, bukan pasangan kepala daerah. Memang UUD 1945 tidak menyebut wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota, tetapi bukan berarti ada larangan untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota. Pemilihan pasangan kepala daerah penting untuk representasi politik dan menjaga harmoni sosial.
Konsideran “Mengingat” dalam UU No 1/2015 hanya menyebut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur tentang wewenang presiden dalam mengeluarkan Undang-undang. Peraturan ini mestinya juga mencantumkan Pasal 18 ayat (4), yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Sebab inilah ketentuan konstitusional yang menjadi dasar penyelenggaraan pilkada langsung oleh rakyat. Karena “dipilih secara demokratis” sudah ditafsirkan sebagai pemilihan oleh rakyat, maka konsideran “Mengingat” mestinya juga mencantumkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
3.4. KETENTUAN UMUM DAN NOMENKELATUR
 Jika pilkada ditetapkan sebagai pemilu, maka sejumlah pengertian dalam ketentuan umum harus disesuaikan. Demikian juga jika pilkada ditetapkan memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, maka rumusan pengertian terkait hal ini juga harus disesuaikan. UU No 1/2015 tidak membedakan secara tegas istilah “penyelenggaraan” dengan “pelaksanaan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), “menyelenggarakan” berarti mengatur dan menjalankan kegiatan, sedangkan “melaksanakan” berarti menjalankan atau mengerjakan perintah/rancangan/ keputusan. Artinya, “penyelenggara” mempunyai wewenang lebih luas, karena tidak hanya menjalankan kegiatan, tetapi juga mengatur, merencanakan, dan menyiapkan segala sesuatunya agar kegiatan berhasil; sedangkan “pelaksana” wewenang terbatas karena hanya melaksanakan saja apa-apa yang telah diatur, direncanakan, dan disiapkan. Karena Undang-undang tidak membedakan secara tegas pengertian dua kata tersebut, maka banyak ketentuan membingungkan.
3.5. ASAS, TUJUAN, DAN PENYELENGGARAAN
UU No 1/2015 menegaskan pilkada dilaksanakan secara demokratis dan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ini adalah asas pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dengan penyebutan asas ini sesungguhnya pilkada itu merupakan pemilu. Undang-undang juga menulis dua “Prinsip Pelaksanaan” pilkada: pertama, pilkada dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak; dan kedua, calon harus mengikuti uji publik. Ketentuan ini berlebihan, karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) pengertian asas dan prinsip itu sama. UUD 1945 menulis siklus lima tahunan pemilu satu rangkai dengan asas pemilu, sehingga ketentuan pilkada serentak itu bisa disaturangkaian dengan ketentuan tangan asas. Selanjutnya menempatkan uji publik sebagai asas pemilu juga berlebih karena ini hanya sebuah syarat yang harus diikuti oleh calon.
UU No 1/2015 bertujuan memilih gubernur, bupati, dan walikota secara langsung oleh rakyat. Meskipun tujuan itu sudah tercermin dalam judul undang-undang, tetap saja tujuan pilkada harus dirumuskan dalam pasal yang tegas. UU No 1/2015 tidak membedakan pengertian “penyelenggaraan” dan “pelaksanaan” sehingga isi ketentuan BAB II membingungkan. Jika konsisten menggunakan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999),
maka beberapa rumusan ketentuan pada bab ini adalah sebagai berikut: pertama, pilkada diselenggarakan setiap lima tahun sekali secara serentak nasional; kedua, penyelenggaraan pilkada terdiri atas a) penyusunan peraturan pelaksanaan pilkada; b) perencanaan dan penganggaran; c) persiapan pelaksanaan; d) pelaksanaan tahapan pilkada; e) pengawasan pelaksanaan tahapan pilkada; dan c) penegakan hukum pelaksanaan tahapan pilkada; sedang ketiga, pelaksanaan tahapan pilkada meliputi a) pendaftaran pemilih, b) pendaftaran calon, c) kampanye, d) pemungutan dan penghitungan suara, dan e) pelantikan. Beberapa kegiatan pencalonan dimasukkan dalam tahapan pendaftaran calon, termasuk uji publik, sedangkan kegiatan pendaftaran pemilih dan penetapan harus dibikinkan tahapan sendiri.

3.6. SUBSTANSI: AKTOR, SISTEM, MANAJEMEN, DAN PENEGAKAN HUKUM
Jika dibandingkan dengan UU No 32/2004 yang mengatur pilkada, UU No 1/2015 mengatur tujuh substansi baru dalam pilkada: (1) pencalonan tunggal, (2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5) pemungutan dan penghitungan suara elektronik; (6) penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, dan (7) pilkada serentak (lihat Tabel 3.2). Tujuh subtansi ini memang mempengaruhi penataan sistem pemilihan, tahapan pelaksanaan, dan penegakan hukum, namun pengaruhnya tidak berkorelasi positif dengan kualitas proses maupun hasil pilkada. Justru sebaliknya, pelaksanaan tahapan pilkada jadi berpanjang-panjang, sedang sistem pemilihan belum tentu berhasil menyaring kepala daerah berkualitas. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang mengatur tujuh substansi baru tersebut bisa diajukan ke MK karena dinilai melanggar konstitusi. Peninjauan terhadap tujuh substansi baru tersebut akan masuk dalam pembahasan terhadap aktor, sistem, manajemen, dan hukum.
















Pengaturan penyelenggara dalam UU No 1/2015 sesunggguhnya mubazir, karena soal ini sudah diatur lengakap dalam UU No 15/2011. Tentang penyelenggara UU No 1/2015 mestinya tinggal merujuk saja pada UU No 15/2011 dengan beberapa ketentuan tambahan, bahwa KPU berwenang menetapkan jadwal kegiatan dan tahapan pilkada serentak, mengingat desain UU No 1/2015 untuk menyelenggarakan pilkada serentak, sedangkan desain UU No 15/2011 untuk menyelenggarakan pilkada masingmasing daerah.
UU No 1/2015 menggunakan model calon tunggal (calon kepala daerah tanpa wakil). Model ini menafikan fungsi representasi dalam pencalonan pilkada, sehingga jabatan itu seakan hanya bisa dimiliki oleh satu kelompok mayoritas. Model calon tunggal juga bisa menimbulkan konflik sosial, baik pada masa penyelenggaraan pilkada maupun pemerintahan pasca pilkada, khususnya bagi masyarakat terbelah seperti di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Oleh karena itu, model paket (pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah) menjadi pilihan terbaik.
Apabila model pasangan calon membuat kepala daerah tidak kompak, maka tata cara pencalonannya dilakukan sebagai berikut: pertama, partai politik atau gabungan partai politik atau calan independen menetapkan bakal calon kepala daerah; kedua, bakal calon kepala daerah mengangkat bakal calon wakil kepala daerah; ketiga, pasangan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mendaftarkan diri ke KPU. Pengaturan syarat calon dalam UU No 1/2015, khususnya yang bertujuan membatasi politik kekerabatan, sebaiknya langsung diletakkan pada pasal, tidak lagi diletakkan dalam penjelasan.
“Tentang Sistem Pemilihan. Terdapat tiga varibel penting dalam sistem pemilu pejabat eksekutif: metode pencalonan, metode pemberian suara, dan formula calon terpilih. Dari tiga variabel tersebut, metode pemberian suara, di mana pemilih hanya memberikan satu tanda pilih kepada pasangan calon di kertas suara, tidak ada masalah. Yang perlu dibahas adalah metode pencalonan dan formula calon terpilih”.
Metode pencalonan di mana partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki jumlah kursi tertentu di DPRD mendorong terjadinya politik transaksional dalan proses pencalonan. Oleh karena itu metodenya perlu disederhanakan: setiap partai politik yang punya kursi di DPRD bisa mengajukan pasangan calon. Metode ini tidak akan menghasilkan pasangan calon banyak asal formula perolehan calon terpilihnya juga diubah: dari pasangan calon peraih saura terbanyak di atas 30% suara menjadi pasangan calon peraih suara terbanyak saja. UU No 1/2015 menggunakan formula pasangan calon terpilih: pertama, pasangan calon yang meraih suara terbanyak di atas 30%, ditetapkan menjadi pasangan calon terpilih; kedua, jika tidak ada pasangan calon yang meraih sedikitnya 30% suara, maka dilakukan putaran kedua bagi pasangan calon peraih suara terbanyak pertama dan kedua. Formula ini tak hanya gagal menyederhanakan sistem kepartaian di DPRD, tetapi juga memperpanjang ketegangan politik. Oleh karena itu formula tersebut perlu diganti dengan formula mayoritas sederhana yang mampu memaksa partai-partai membentuk koalisi besar agar bisa menang dalam pemilihan. Metode ini juga menghindari terjadinya putaran kedua yang menyebabkan pilkada menelan banyak biaya.
Tentang Pelaksanaan Tahapan. Tahapan pilkada adalah: (1) pendaftaran pemilih; (2) pendaftaran pasangan calon; (3) kampanye; (4) pemungutan dan penghitungan suara; (5) penetapan hasil pilkada; dan (6) pelantikan pasangan calon terpilih. Semua pengaturan tahapan pilkada dalam UU No 1/2015 bermasalah, sehingga perlu disempurnakan demi keadilan dan kepastian hukum.
UU No 1/2015 tidak menjadikan pendaftaran pemilih sebagai salah satu tahapan pelaksanaan pilkada. Padahal pemilu di manapun, pendaftaran pemilih selalu jadi tahapan pertama dan utama, karena menyangkut hak politik setiap warga negara. Pendaftaran pemilih menjadi tahapan pertama, tetapi prosesnya berjalan linier sampai ditetapkannya daftar pemilih tetap. Atas dasar daftar pemilih tetap inilah KPU mencetak surat suara, karena surat suara harus dicetak sesuai dengan jumlah pemilih ditambah cadangan.
UU No 1/2015 mengintroduksi uji publik. Kegiatan ini dianggap penting sehingga masuk dalam kategori prinsip dan diatur dalam bab tersendiri. Padahal jika dicermati ketentuan yang mengaturnya, uji publik sesungguhnya hanyalah bagian dari penjaringan calon yang dilakukan oleh partai politik. Meskipun disebutkan bahwa uji publik dimaksudkan menguji integritas dan kompetensi bakal calon, namun kegiatan ini hanya seremonial belaka. Oleh karena itu uji publik sesungguhnya tidak beda dengan pengenalan calon. Jika memang itu yang dimaksud pengenalan calon ini sebaiknya diselenggarakan oleh partai politik atau bakal calon independen, sementara tugas KPU hanya memverifikasi apakah pelaksanaan uji publik tersebut sesuai dengan ketentaun atau tidak. Beberapa ketentaun yang perlu disebutkan adalah bentuk kegiatan, jumlah peserta, fungsi panelis, dan biaya penyelenggaraan yang ditanggung negara tapi disalurkan KPU.
UU No 1/2015 membuat ketentuan pembatasan dana kampanye. Ini hal baru yang akan berdampak positif terhadap pengggunaan dan pengelolaan dana kampanye. Hanya saja ketentuan ini tidak jelas dan terukur sehingga cenderung menyulitkan KPU dalam membuat peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu pembatasan dana kampanye harus diperjelas ruang lingkupnya, juga dipertegas sanksinya apabila terjadi pelanggaran. Selain pembatasan dana kampanye, undang-undang mestinya mulai melakukan pembatasan terhadap transaksi tunai, misalnya dengan membuat ketentuan bahwa setiap transaksi di atas Rp 5 juta harus dilakukan melalui rekening. Toh setiap pasangan calon sudah diwajibakan memiliki rekening khusus dana kampanye.
UU No 1/2015 tidak menjadikan penetapan hasil pilkada sebagai tahapan tersendiri dan disatukan dengan tahapan rekapitulasi penghitungan saura. Ini adalah kesalahan mendasar, sebab penetapan hasil pilkada, meskipun merupakan kelanjutan dari rekpitulasi penghitungan suara, namun sesungguhnya memiliki substansi berbeda. Jika yang rekapitulasi hanya menjumlah suara, penetapan hasil pilkada adalah penerapan formula pasangan calon terpilih. Selain itu tahapan ini juga menjadi titik pijak untuk pelantikan atau gugatan sengketa hasil pilkada.
Tentang Penegakan Hukum. Penegakan hukum pilkada meliput: (1) penanganan tindak pidana pilkada, (2) penanganan pelanggaran administrasi, (3) penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara, (4) penyelesaian sengketa administrasi pilkada atau sengketa tata usaha negara pilkada, dan (5) penyelesaian sengketa hasil pilkada. Dari lima isu tersebut, sanksi pidana politik uang, penyelesaian sengketa tata usaha negara pilkada dan penyelesaian sengketa hasil pilkada, perlu mendapat perhatian.
Seperti halnya undang-undang pemilu lainnya, UU No 1/2015 tidak membuat batas-batas tegas dalam mengatur politik uang. Termasuk pengertian politik uang di sini adalah pembelian pencalonan kepada partai politik, pembelian suara kepada pemilih, penyogokan kepada penyelenggara untuk mengubah hasil penghitungan suara. Pembatasan ruang lingkup politik uang, seperti “Memberikan dan atau menjanjikan uang atau barang pada masa kampanye” jelas-jelas mengabaikan kenyataan bahwa jual beli suara tidak hanya terjadi pada masa kampanye. Selain itu, sanksi terhadap pelaku politik uang harus tegas agar memberikan efek jera sekaligus mempermudah penyelesaian jika terjadi sengketa hasil pilakda.
Sengketa tata usaha negara pilkada adalah sengketa yang terjadi antara penyelenggara dengan pasangan bakal calon karena bakal pasangan calon merasa diperlakukan tidak adil karena tidak ditetapkan KPU sebagai peserta pilkada atau pasangan calon. Dalam hal ini pasangan bakal calon bisa menggugat putusan KPU ke Bawaslu, lalu jika tidak terima bisa ke PTUN dan bisa dibanding ke PTTUN dan MA. Proses penyelesaian sengketa tata usaha ini memakan waktu lama sehingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk itu penyelesaian sengketa ini perlu disederhanakan: pasangan bakal calon bupati/walikota dan wakil bupati/ wakil walikota bisa menggugat ke PTTUN yang putusannya final, sedangkan pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur bisa menggugat ke MA yang putusannya final. UU No 1/2015 menyerahkan penyelesaian sengketa hasil pilkada ke MA. Ini menimbulkan masalah: pertama, MA sedari awal sudah menyatakan tidak sanggup menangani sengketa hasil pilkada mengingat tanggungan perkaranya masih sangat banyak; kedua, MA tidak punya pengalaman menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Undang-undang menyerahkan sengketa hasil pilkada ke MK berdasarkan putusan MK yang menyatakan bahwa pihaknya tidak lagi menangani sengketa hasil pilada. Padahal putusan MK masih membuka peluang untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada di MK selama badan khusus penyelesai sengketa hasil pilkada belum terbentuk. Oleh karena itu sebaiknya penyelesaian sengketa tetap di MK karena lembaga ini yang punya pengalaman, sambil menunggu terbentuknya badan khusus penyelsai sengketa hasil pilkada.
Waktu Pelaksanaan Tahapan. UU No 1/2015 membutuhkan waktu 13 bulan untuk pelaksanaan tahapan pilkada. Jika ada putaran kedua, tahapannya bisa mencapai 16 bulan. Jadwal tahapan yang sangat panjang itu tidak hanya menimbulkan kebosanan pemilih, tetapi juga menelan banyak dana. Padahal pengalaman pelaksanaan pilkada selama ini hanya membutuhkan waktu 8 bulan: 6 bulan untuk pendaftaran pemilih, pendaftaran pasangan calon, kampanye, serta pemungutan dan penghitungan suara di TPS, ditambah 2 bulan untuk rekapitulasi penghitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih dan pelantikan, termasuk di dalamnya jika terdapat sengketa hasil pilkada. Oleh karena itu, pelaksanaan tahapan pilkada sebaiknya dikembalikan pada jadwal lama, sedang masuknya uji publik hanya perlu mengubah jadwal pencalonan. Tabel 3.3 menunjukkan jadwal pelaksanaan tahapan yang sudah dipersingkat, jika pendaftaran pemilih dimulai Januari dan pemungutan dan penghitungan suara dilakukan pada Juni.




























Demikianlah bab ini telah memaparkan secara singkat peta masalah UU No 1/2015, mulai dari masalah redaksional, sistematika, hingga substansi. Dalam pemetaan masalah tersebut juga disampaikan jalan keluar yang bisa dijadikan bahan untuk merevisi undang-undang. Selenjutnya peta masalah UU No 1/2015.




















BAB IV
STRATEGI PERUBAHAN

4.1. PERUBAHAN DUA TAHAP
Materi muatan UU No 1/2015 mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, baik dari sisi redaksional, sistematika, maupun substansi. Undang-undang ini tidak bisa diimplementasi jika tidak diubah atau direvisi dahulu. Namun karena kelemahan dan kekurangan sangat banyak, maka perubahan terbatas terhadap undang-undang ini tidak mencukupi. Demi keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraan pilkada, UU No 1/2015 harus diubah secara komprehensif. Masalahnya, perubahan komprehensif butuh waktu lama, padahal jadwal pilkada sudah di depan mata.







Seperti ditunjukkan Tabel 4.1, berdasarkan data dari Kemendagri, terdapat 204 kepala daerah (8 gubernur dan wakil gubernur, 26 walikota dan wakil walikota, dan 170 bupati dan wakil bupati) yang masa jabatannya berakhir pada 2015, sehingga mau tidak mau tahun itu harus diselenggarakan pilkada. Seterusnya pada 2016 terdapat 104 daerah, pada 2017 terdapat 65 daerah, pada 2018 terdapat 172 daerah, dan pada 2019 terdapat 35 daerah.
UU No 1/2015 menghendaki agar pilkada diselenggarakan secara serentak nasional, yang ditargetkan terjadi pada 2020. Dalam rangka mencapai target tersebut, Pasal 201 UU No 1/2015 mengatur masa peralihan: pertama, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2015 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015; kedua, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2018 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2016, 2017, dan 2018; ketiga, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2020 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2019.
Mengacu pada Pasal 201 UU No 1/2015, KPU merencanakan jadwal pemungutan suara serentak untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015 pada Desember 2015. Desember 2015 dipilih karena jika ditarik ke belakang, tahapan pendaftaran bakal calon (yang merupakan tahapan pertama) dimulai pada Februari 2015. Padahal, sebagaimana tampak pada Tabel 4.2, DPR baru bisa menyelesaikan mengesahkan revisi UU No 1/2015 pada Masa Sidang II DPR yag akan berkahir pada 18 Februari 2015. Dengan jadwal sidang seperti itu, dan dengan asumsi waktu tahapan hingga pemungutun suara adalah 10 bulan, maka KPU tidak punya waktu untuk membuat peraturan teknis pelaksanaan pilkada. Bahkan dengan asumsi waktu tahapan hingga pemungutan suara diubah dan diperpendek menjadi 6 bulan, KPU hanya punya waktu 4 bulan untuk menyusun peraturan teknis, merancang anggaran, dan mempersiapkan teknis operasional lainnya. Jelas ini tidak cukup untuk mencapai penyelenggaraan pilkada berkualitas.











Masalah kedua adalah sedikitnya waktu yang dimiliki Komisi II DPR untuk mengubah UU No 1/2015 karena Masa Sidang II DPR hanya memiliki 28 hari kerja atau 38 hari kalender. Padahal begitu banyak materi UU No 1/2015 yang harus diubah, mulai dari kesalahan redaksional, sestematika, hingga substansi yang meliputi pengaturan aktor, sistem pemilihan, tahapan pelaksanaan, dan penegakan hukum pilkada. Jika perubahan UU No 1/2015 dipaksakan selesai pada Masa Sidang II DPR, maka hasilnya tidak akan maksimal, sehingga setelah diubah pun undangundang ini tidak menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pilkada.
Mempertimbangkan keterdesakan waktu Komisi II DPR untuk mengubah UU No 1/2015, dan memperhatikan sedikitnya waktu KPU untuk mempersiapkan penyelenggaraan pilkada serentak, maka perubahan UU No 1/2015 sebaiknya dilakukan dua tahap. Tahap pertama, perubahan terbatas untuk mengatur kembali jadwal pilkada serentak yang diselesaikan pada Masa Sidang II DPR; kedua, perubahan komprehensif meliputi perubahan semua ketentuan yang dipandang harus disempurnakan, diselesaikan pada Masa Sidang III dan IV yang akan berakhir pada Juli 2015. Kedua tahap revisi itu harus didasari oleh kesepakatan bahwa waktu tahapan pilkada hanya 8 bulan, yaitu 6 bulan untuk pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, hingga pemungutan dan penghitungan saura di TPS, ditambah 2 bulan untuk rekapitulasi penghitungan suara, penetapan hasil pilkada, dan pelantikan, termasuk penyelesaian sengketa hasil pilkada.
4.2. PERUBAHAN TERBATAS PASAL PILKADA SERENTAK
Berdasarkan Pasal 201 ayat (1) UU No 1/2015, KPU merencanakan jadwal penyelenggaraan pilkada serentak tahap pertama pemungutan suaranya pada Desember 2015. Namun jadwal ini tidak mungkin bisa diwujudkan karena tahapan pertama (pendaftaran bakal calon) harus dimulai pada Februari 2015, padahal pada saat itu perubahan undang-undang belum diselesaikan. Jika pun waktu tahapan sebelum pemungutan suara dikurangi menjadi 6 bulan, KPU juga mengalami banyak kendala dalam perencanaan dan persiapan. Oleh karena itu, pilkada serentak tahap pertama ini mau tidak mau harus diundur.
Waktu yang tepat bagi pilkada serentak tahap pertama, pemungutan suaranya jatuh pada Juni 2016. Pertama, secara Juni adalah bulan cerah, laut tenang, pegunungan nyaman, tiada hujan tapi kering belum datang. Kedua, Juni memudahkan perencanaan, pencairan, dan pertanggungjawaban anggaran karena letak di tengah siklus anggaran. Ketiga, Juni 2016 memungkinkan penyelenggara memiliki waktu cukup untuk persiapan, mulai dari penyusunan peraturan, sosialisasi tahapan, konsolidasi pengamanan, hingga pencetakan dan pendistribusian suarat suara. Keempat, Juni 2016 menghindari kejenuhan pemilih karena jarak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada serentak sekitar dua tahun, saat mana pemilih sudah bisa mengevaluasi kinerja pemilu sebelumnya sebagai bahan untuk menjatuhkan pilihan. Kelima, jarak dua tahun antara pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan pilkada serentak membuat partai politik memiliki waktu cukup untuk konsolidasi sehingga dapat mengajukan calon yang berkualitas.
Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pilkada sebelumnya, pelaksanaan tahapan pilkada membutuhkan waktu 8 bulan (6 bulan sebelum pemungutan suara dan 2 bulan setelah pemungutan suara). Jika pemungutan suara digelar pada Juni 2016, maka tahapan pertama, yaitu pendaftaran pemilih, dimulai pada Januari 2016, sedangkan tahapan terakhir, yaitu pelantikan pasangan calon terpilih dilakukan pada Agustus 2016. Pelantikan pada Agustus memungkinan pasangan calon terpilih bisa terlibat dalam pembahasan perubahan APBD (karena paling akhir perubahan dilakukan September) sehingga mereka bisa segera mewujudkan janji kampanye.
Pilkada Juni 2016 diperuntukkan bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya jatuh sepanjang 2015 hingga Agustus 2016. Masa jabatan pasangan calon yang terpilih akan berakhir pada Agustus 2021, di mana mereka akan melanjutkan atau diganti oleh hasil pilkada serentak nasional pada Juni 2021. Berdasarkan data Kemendagri daerah yang mengikuti pilkada serentak tahap pertama ini meliputi 9 provinsi, 237 kabupaten, dan 40 kota. Jumlah total mencakup 286 daerah, yang merupakan 52,2% dari jumlah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pilkada Juni 2017 diperuntukkan bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya jatuh sepanjang September 2016 hingga Agustus 2017. Masa jabatan pasangan calon terpilih akan berakhir pada Agustus 2021, di mana mereka akan melanjutkan atau diganti oleh hasil pilkada serentak nasional pada Juni 2021. Dengan demikian, masa jabtan mereka tidak genap 5 tahun. Pilkada Juni 2017 ini akan diikuti 5 provinsi, 51 kabupaten, dan 9 kota, atau meliputi 11,9% daerah.
Pilkada Juni 2018 diperuntukkan bagi daerah yang akhir masa jabatan kepala daerahnya jatuh sepanjang September 2017 hingga Desember 2019. Masa jabatan pasangan calon terpilih akah berakhir pada Agustus 2021, di mana mereka akan melanjutkan atau diganti oleh hasil pilkada serentak nasional pada Juni 2021. Dengan demikian masa jabatan mereka tidak genap 5 tahun. Pilkada Juni 2018 ini akan diikuti 20 provinsi, 128 kabupaten, dan 49 kota, yang meliputi 35,9% daerah.







Berdasarkan penataan jadwa pilkada Juni 2016, Juni 2017, dan Juni 2018 dalam rangka menunju pilkada serentak nasional pada Juni 2021, maka ketentuan Pasal 201, 202, dan 203 harus diubah untuk disesuaikan dengan jadwal tersebut. Inilah yang dimaksud dengan perubahan terbatas terhadap ketentuan pilkada serentak sebagai perubahan tahap pertama atas UU No 1/2015. Perubahan ini tidak hanya memberi tidak hanya memberikan jeda kepada KPU untuk merencankan dan mempersiapkan penyelenggaraan secara lebih baik, tetapi juga memberi waktu kepada pemilih untuk mematangkan pilihannya dan kepada partai politik untuk menuntaskan konsolidasinya. Adapun perubahanperubahan terhadap Pasal 201, 202, dan 203 UU No 1/2015.


4.3. PERUBAHAN KONPREHENSIF
Perubahan tahap kedua atas UU No 1/2015 merupakan perubahan komprehensif terhadap semua ketentuan yang memang perlu disemprunakan dalam rangka mewujudkan keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraan pilkada. Perubahan tahap kedua ini akan berlangsung sepanjang Masa Sidang III dan IV yang akan berakhir pada awal Juli 2015. Waktu sekitar lima bulan (54 hari kerja atau 72 hari kalender) memang tidak panjang untuk melakukan perubahan undang-undang yang sifatnya menyeluruh. Namun komitmen DPR dan pemerintah yang sudah diikat oleh perubahan tahap pertama, memaksa mereka bekerja keras untuk menuntaskan perubahan UU No 1/2015 demi terselenggaranya pilkada serentak yang berkualitas. Tabel 4.4 menunjukkan jadwal perubahan tahap pertama dan tahap kedua atas UU No 1/2015.
Perubahan tahap kedua atas UU No 1/2015 ini meliputi perubahan redaksional, sistematika, dan substansi. Perubahan redaksional memastikan bahwa naskah undangundang tidak lagi ada yang salah ketik atau salah eja. Perubahan sistematika memastikan bahwa susunan uruturutan bab dan bagian cukup logis sehingga mudah dipahami oleh para pemangku kepentingan pilkada: penyelenggara, partai politik, pasangan calon, pemantau, dan masyarakat pada umumnya. Cara muda untuk membuat ssitematika yang logis dan mudah dipahami adalah dengan meniru atau membandingkan undang-undang pemilu yang lain.
Sedangkan perubah substansi menyangkut perubahan pengaturan tentang aktor (khususnya penyelenggara dan pasangan calon), sistem pemilihan (khususnya metode pencalonan dan formula pasangan calon terpilih), tahapan pelaksanaan (pendaftaran pemilih, pendaftaran pasangan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan saura, penetapan hasil pilkada, dan pelantikan), serta penegakan hukum pilkada (khususnya penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dan penyelesaian sengketa hasil pilkada). Lampiran 1 menampilkan pokok-pokok pikiran perubahan, sedangkan daftar inventarisasi masalah atas UU No 1/2015 secara lengkap tidak bisa ditampilkan di sini tapi bisa didowload melalui www.rumahpemilu.org. Di sini tidak hanya disampaikan catatan-catatan masalah setiap pasal, tetapi juga disajikan pasal perubahannya.


















BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
1.    Materi muatan UU No 1/2015 mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, baik dari sisi redaksional, sistematika, maupun substansi. Undang-undang ini memiliki sepuluh salah ketik atas angka, kata, dan frasa. Sistematika undang-undang ini tidak lazim (seperti halnya terdapat dalam undang-undang legislatif dan undang-undang pemilu presiden), sekaligus membingungkan. Beberpa isu penting tidak menjadi bab tersendiri, sebaiknya beberapa isu tidak penting justru menjadi bab tersendiri.
2.    UU No 1/2015 memuat tujuh substansi baru: pencalonan tunggal, pencegahan politik dinasti, uji publik, pembatasan dana kampanye, pemungutan dan penghitungan suara elektronik; penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, dan pilkada serentak. Pengaturan tujuh substansi baru tersebut tidak jernih, tidak jelas, dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, dan berpotensi dikoreksi MK. Sementara jika dilihat dari sisi aktor, sistem pemilihan, tahapan pelaksanaan, dan penegakan hukum, masing-masing terdapat masalah, baik karena materinya bisa diperdebatkan maupun pengaturan yang tidak solid. Singkat kata, UU No 1/2015 harus diubah demi menjamin keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraaan pilkada. Tapa revisi undangundang ini tidak bisa diimplementasi.
3.    Karena UU No 1/2015 mengandung banyak kelemahan dan kurangan, baik dari sisi redaksional, sistemtika, maupun substansi, maka revisi atau perubahan terhadap undang-undang ini tidak bisa dilakukan secara terbatas atau tambal sulam. Diperlukan perubahan yang komprhensif agar undang-undang ini bisa menjamin penyelenggaraan pilkada yang berkualitas. Masalahnya, perubahan komprehensif membutuhkan waktu lama, sementara jadwal pilkada sudah di depan mata. Padahal pada saat yang sama DPR tidak memiliki waktu banyak untuk membahas materi perubahan, yang di sana sini pasti membutuhkan perdebatan serius.
4.    Diperlukan strategi khusus agar: di satu pihak, DPR dan pemerintah bisa melakukan perubahan konprehensif dalam waktu singkat; di pihak lain, penyelenggara memiliki waktu cukup untuk membuat perencanaan dan persiapan, pemilih memiliki waktu cukup untuk mematangkan pilihannya, dan partai politik memiliki waktu cukup untuk konsolidasi dan mengajukan calon terbaik. Strategi khusus itu terdiri atas dua tahap perubahan: tahap pertama, melakukan perubahan terbatas untuk mengatur kembali jadwal pilkada serentak, khususnya dari Desember 2015 ke Juni 2016; dan tahap kedua, melakukan perubahan secara konprehensif atas semua ketentuan yang perlu disempurnakan. Perubahan terbatas bisa dilakukan pada Masa Sidang II DPR yang akan berakhir pada Februari 2015, sedang perubahan komprehensif dilakukan pada Masa Sidang III dan IV yang akan berakhir pada Juli 2015.






5.2. REKOMENDASI
1.    Redaksional: pertama, semua salah ketik harus dihilangkan; kedua, penggunaan nomenkelatur harus tepat dan konsisten sehingga dapat menghilangan pengertianpengertian yang membingungkan, seperti pencampuradukan istilah “penyelenggaraan” dan “pelaksanaan”.
2.    Sistematika: pertama, disusun secara logis demi memudahkan pemahaman atas pengaturan pilkada yang memang kompleks; kedua, memastikan bahwa hal-hal yang penting bisa dihimpun dalam satu bab pengaturan, sedangkan hal-hal yang tidak penting tidak perlu disatukan dalam satu bab pengaturan; kedua, cara termudah adalah meniru dan menyempurnakan sistematika yang terdapat dalam undang-undang pemilu legisaltif dan undang-undang pemilu presiden.
3.    Substansi: pertama, pengaturan tentang penyelenggara dan bakal calon harus diperbaiki; kedua, pengatruan tentang metode pencalonan dan formula pasangan calon terpilih perlu diubah demi menghindari politik transaksional, menyederhanakan sistem kepartaian di DPRD, sekaligus menekan biaya penyelenggaraan; ketiga, pengaturan tentangn tahapan pelaksanaan pilkada harus dibikin urut mulai dari pendaftaran pemilih, pendaftaran pasangan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan pasangan calon terpilih, dan pelantikah; keempat, pengaturan tentang penyelesain sengketa penetapan calon dan penyelesaian sengketa hasil pilkada harus diubah agar penyelenggaraan pilkada tidak berpanjang-panjang dan menciptakan kepastian hukum.
4.    Perubahan UU No 1/2015 dilakukan secara bertahap. Tahap pertama mengubah jadwal pilkada dari Desember 2015 ke Juni 2016, sedangan tahap kedua mengubah secara komprehensif atas semua ketentuan yang memang perlu disempurnakan. Dengan cara demikian DPR dan pemerintah bisa bekerja efektif dalam waktu sempit untuk membahas dan mengesahkan perubahan. Perubahan tahap pertama dilakukan pada Masa Sidang II DPR yang berakhir pada Februari 2015, sedang perubahan tahap kedua dilakukan pada Masa Sidang III dan IV yang berakir pada Juli 2015. Dua tahap perubahan itu tidak hanya memudahkan DPR dan pemerintah dalam menyiasati sempitnya waktu, tetapi juga membuat penyelenggara memiliki waktu cukup untuk membuat perencanaan dan persiapan pilkada, membuat pemilih memiliki waktu cukup untuk mematangkan pilihannya, dan membuat partai politik memiliki waktu cukup untuk konsolidasi sehingga berhasil memilih calon terbaik.










DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konpress, 2006.
 Asshiddiqie, Jimly, Perihal Perundang-undangan, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St Paul, Minn: West Publishing Co, 1990.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: 2011.
Freckmann, Anke and Thomas Wegerich, The German Legal System, London: Sweet & Maxwell, 1999.
 Internasional IDEA, Standar-standar Internasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Jakarta: International IDEA, 2004.
Kusuma, RMAB, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
 Laakso and Rein Taagepera, “Effective Number of Parties: A Measure with Aplication to West Eropa,” dalam Comparative Political Studies, 1979, dan Taagepera, Rein and Matthew Søberg Shugart, Seat and Votes: The effects and Determinant of Electoral System, New Haven: Yale University, 1989.
Liddle William, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992.
Lijphart, Arend, Electoral System and Party System: A Study of Twenty-Seven Democracies 1945-1990, New York: Oxford University Press, 1994.
Mark Payne (et all), Democracies in Development: Politics and Reform in America Latin, Washington DC: InterAmerica Bank, The International IDEA, The John Hopkins University Press, 2002.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT Rajawali Grafindo, 2012.
Mellaz, August, Simulasi Penghitungan Kursi atas Hasil Pemilu 2009: Penerapan Metode Kuota dan Divisor, Jakarta: Kemitraan, 2011 (tidak diterbitkan).
Noris, Pippa, Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behavior, New York: Cambridge University Press, 2004.
Oxford University, Oxford Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press Inc, 2006.
Ranadireksa, Hendarmin, Dinamika Konstitusi Indonesia, Jakarta: Fokus Media, Bandung, 2009.
Renold, Andrew, Ben Reilly, and Andrew Eliis (ed), Electoral System Design: The New International IDEA Handbook, Stockholm: International IDEA, 2010.
Sartori, Giovanni, Parties and Party System: A Frameworks of Analysis, New York: Cambridge University Press, 1976.
Soemardi, Dedi, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1997.
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, August Mellazt, dan Ismail Fahmi, Alokasi Kursi DPR 560 ke Provinsi dan Pembentukan Daerah Pemilihan 3-6 kursi, 3-8 kursi, dan 3-10 kursi, Jakarta: Perludem, 2011.
Supriyanto, Didik dan August Mellazt, Ambang Batas Perwakilan: Pengaruh Parliamentary Threshold terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu, Jakarta: Perludem dan Kemitraan, 2011.
Supriyanto, Didik, Khoirunnisa Agustyati, dan August Mellazt, Menata Ulang Jadwal Pilkada: Menuju Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Jakarta: Perludem, 2013.
Supriyanto, Didik, Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Jakarta: Kemitraan, 2013.
Yamin, Mohammad, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 Jilid I, Jakarta: Yayasan Prapandja, 1959.
Wingjosubroto, Soetandyo, Masalah Pluralisme dalam Sistem Hukum Nasional, makalah tampa lokasi, tanpa tanggal.