Iklan Produk

Friday, December 27, 2013

MAKALAH HUKUM AGRARIA



PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM AGRARIA DI INDONESIA


MATA KULIAH : POLITIK DAN HUKUM AGRARIA


NAMA              : BERKAT GOWASA
NPM                 : 10.011.111.024
JURUSAN        : ILMU PEMERINTAHAN
SEMESTER     : V (5)



FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS DARMA AGUNG
MEDAN
T.A 2012/2013


KATA PENGANTAR

            Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita sehingga kita masih diberi nafas kehidupan dan kenikmatan dunia serta kita dapat berkumpul ditempat ini kembali dengan sehat walaifiat. Saya berterimaksih atas bantuan dan arahan dari dosen pembina Pandapotan Tamba, SH., MHum yang telah meluangkan waktunya kepada saya dalam penyelesaian tugas ini. Saya juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa sekalian yang telah memberikan tenaga dan buah pikiran untuk menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Harapan saya supaya tugas ini dapat memberikan kontribusi (masukan) dalam pemahaman masyarakat banyak dan juga mahasiswa agar mind set (pola pikir) mengarah pada perkembangan politik dan hukum agraria di Indonesia yang nantinya dapat memberikan keadilan dalam kepemilikan tanah.

            Saya menyusun makalah ini dengan judul “Perkembangan Politik Dan Hukum Agraria Di Indonesia” dimana prinsip ini menawarkan kepada pemerintah agar dalam penerapan Hukum Agraria Di Indonesia selalu mengendepankan kepentingan rakyat banyak dengan memberikan pelayanan pertanahan yang prima tanpa memandang golongan, ras, suku, etnis dll serta menghilangkan budaya KKN (korupsi, kolusi dan neopotisme) karena dapat menjatuhkan atau menghancurkan suatu bangsa. Seperti kata Niccolo Machiavelli “menjalankan sejumlah korupsi dalam negara maka akan menghancurkan negara itu sendiri.


Medan, 31 Januari 2013


                                                                                                                         Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………… i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………..... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang …………………………………………………………………………...………… 1
1.2  Rumusan Masalah …………………………………………………………………………………. 3
1.3  Tujuan Penulisan ………………………………………………………………….……………….. 3
1.4  Manfaat Penulisan ………………………………………………………………………………… 3
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Hukum  …………………………………………………………….……….………… 4
2.2 Pengertian Politik Hukum Agra………………………………………………….…………… 5
BAB III PEMBAHASAN
3.1   Hukum Agraria Kolonial. …………………………………………………………………….. 7
3.2 Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960. …………  ……… 13
3.3  Masa kemerdekaan. ………………………..………………………………………………….. 17
3.4  Masa Orde Baru dan Reformasi. ………………………………………………….……... 18
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………………………. 20
4.2 Saran ……………………………………………………………………………………………….. 20
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………….. 21






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Indonesia merupakan Negara hukum, dimana tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat diberbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan masyarakat). Paham Negara Hukum Indonesia mendudukan kepentingan orang perorang secara seimbang dengan kepentingan umum. Negara mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai.
            Usaha untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memang memerukan ikut sertanya semua manusia dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya. Salah satu cara agar bisa terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia ialah dengan cara mempergunakan hukum sebagai alatnya. Dengan kata lain hukum hukum dipakai sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran khususnya dibidang agraria.
            Pada jaman kolonial tujuan politik hukum pemerintah penjajah jelas berorientasi pada kepentingan penguasa sendiri. Sedang politik hukum indonesia, dalam hal ini politik hukum agraria nasional merupakan alat bagi pembangunan masyarakat yang sejahtera, bahagia, adil dan makmur.
            Di dalam usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, politik hukum agraria nasional memberikan kedudukan yang penting pada hukum adat. Hukum adat dijadikan dasar dan sumber dari pembentukan hukum agraria nasional. Pengambilan hukum adat sebagai dasar merupakan pilihan yang paling tepat karena hukum adat merupakan hukum yang sudah dilaksanakan dan dihayati oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Pengambilan hukum adat sebagai sumber memang mengandung kelemahan-kelemahan tertentu. Hal ini berkaitan dengan sifat pluralistis hukum adat itu sendiri. Untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan itu harus dicari dan dirumuskan asas-asas, konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga dan sistem hukunya. Hal inilah dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pembentukan hukum agraria nasional.
            Pembahasan mengenai struktur hukum tanah nasional tidak dapat dilepaskan dari fakta sejarah tentang perkembangan hukum agraria di Indonesia pernah mengalami jaman penjajahan yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan hukumnya. Secara garis besar sejarah hukum agraria dikelompokkan menjadi dua yaitu pada jaman sebelum berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok.
     Bersamaan dengan berkembangnya perdagangan ini, kian berkembang pula mata pencaharian bercocok tanam sehingga dengan demikian berarti bahwa perhatian dan pengetahuan orang pada bidang pertanahan kian berkembang pula. Dalam tahap inilah Hukum Agraria mulai lahir meskipun belum secara formal maupun material dapat dikatakan masih sangat primitive, masih sangat jauh dari memadahi. Hal ini tentu saja disebabkan karena dalam hukum agraria yang masih primitif itu pengaturan hak dan kewajiban timbal-balik antara penguasa dan warga masih belum serasi.
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini. Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu sendiri.

Selanjutnya pada zaman Hindia Belanda, Hukum Agraria dibentuk berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan Belanda dahulu yang merupakan dasar politik Agraria Pemerntah Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengembangkan penanaman modal asing lainnya diperkebunan-perkebunan .Utuk mencapai tujuan ini pemerintah Hindia Belanda telah menciptakan pasal 51 dari Indische Staatregeling dengan 8 ayat. Ke-8 ayat ini kemudian dituangkan ke dalam undang-undang dengan nama “Agrariche Wet” dan dimuat dalam Stb. 1870-55. Kemudian dikeluarkan keputusan Raja dengan nama “Agrarisch Besluit” yang dikeluarkan tahun 1870.

1.2  Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan makalah saya ini adalah :
Menjelaskan proses perkembangan politik hukum agraria di Indonesia yang sebelumnya dikenal pada jaman kolonial Belanda sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria atau sering disebut dengan masyarakat lokal hukum adat dan hukum barat serta menjelaskan perkembangan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria dari jaman kolonial hingga era reformasi.
1.3  Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan penulisan makalah saya sebagai berikut :
1.      Memberikan pengertian hukum agraria
2.      Menjelaskan reformasi hukum agraria yang telah mengalami berbagai perubahan dari masa kolonial sampai pada reformasi sekarang
3.      Memberi informasi bahwa banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat dalam bidang pertanahan yang kadang kala menuju pada konflik pertanahan yang dapat merugikan dan jatuhnya korban jiwa seperti yang telah terjadi sebelumnya.

1.4  Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan makalah saya ini yaitu :
Memberikan sebuah pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya penataan kepemilikan tanah baik secara hukum adat maupun oleh badan pertanahan nasional yang seharusnya menjadi tugas penting keterlipatan stakeholder dan seluruh elemen masyarakat banyak untuk menghindari konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal yang dapat merusak moral bangsa ini maka dari pada itu seharusnya pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat harus lebih tanggap dalam hal pertanahan baik secara daerah maupun nasional.


BAB II
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA
Sebelum membahas tentang definisi Hukum Agraria tidak ada salahnya kita pahami terlebih dahulu definsi hukum dan fungsinya secara umum. Ada berbagai pendapat yang berbeda mengenai definisi hukum dari masing-masing pakar hukum yang diakibatkan oleh sebuah kenyataan bahwa ternyata kita tidak mungkin mendefinisikan hukum secara tepat, disamping itu sudut pandang yang digunakan untuk menelaah hukum juga berbeda-beda. Hukum merupakan objek ilmu hukum di mana berbeda dengan objek ilmu-ilmu lain yang lebih eksak dan memiliki sifat abstrak.
2.1 PENGERTIAN HUKUM
Menurut Friedman hukum berada di awing-awang, tidak tampak dan tidak terasa bahkan biasanya selembut udara dalam sentuhan normal. Hukum adalah sebuah kata dengan banyak arti, selicin kaca, segesit gelembung sabun. Hukum adalah konsep, abstraksi, konstruksi sosial dan bahkan objek nyata di dunia sekitar kita.
Menurut Black menyatakan bahwa “law is government social control” hukum merupakan pengendalian sosial pemerintah, yang merupakan legislasi, litigasi, dan ajudikasi. Balack membedakan antara perilaku yang dikendalikan oleh bentuk pengendalian sosial lainnya seperti sopan santun, adat istiadat dan birokrasi.
Menrut Hugo Grotius (1583-1645) menyatakan bahwa hukum adalah suatu aturan moral yang sesuai dengan apa yang benar.
Menurut Thomas Hobbes (1588-1645) menyatakan bahwa civil law adalah perintah-perintah hukum yang didukung oleh kekuasaan tertinggi negara itu, mengenai tindakan-tindakan oleh kekuasaan negara itu. Mengenai tindakan-tindakan dimasa akan datang yang akan dilakukan oleh subjeknya.
Menurut Prof. Padmo Wahyono, SH menyatakan pengertian hukum adalah alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial.

2.2 PENGERTIAN AGRARIA DAN HUKUM AGRARIA
1. Pengertian agraria dalam bahasa umum
Dalam bahasa latin ager berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanahan. Dalam kamus besar bahasa indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Sebagai kata sifat agraris dipergunakan untuk membedkan corak kehidupan ekonomi masyarakat pertanian di pedesaan dengan masyarakat non-agraris diperkotaan.
2. Pengertian agraria dilikungan Administrasi Pemerintah: perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan.
3. Pengertian agraria dalam UUPA
Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak memberikan batasan secara tegas pengertian agraria, tetapi istilah agraria ditemukan diberbagai bidang ketentuan dalam UU tersebut yaitu : Konsideran huruf a21 dan penjelasan UU22.
Dari beberapa rumusan ini maka dapat disimpulkan :
a.       Kata agraris dipergunakan untuk menggambarkan corak kehidupan dari susunan kehidupan, termasuk perekonomian rakyat indonesia.
b.      Materi yang diatur menyangkut pengelolahan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
c.       Hak-hak yang diatur meliputi hak-hak atas tanah, hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan serta hak guna ruang angkasa.
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.

Menurut Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada huungan tersebut.
Menurut Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.

Daripada itu, sesuai dnegan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
  1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah  dalam arti permukaan bumi;
  2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
  3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;
  4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;
  5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;
  6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.

BAB III
PEMBAHASAN

Pada awal penjajahan Belanda, tanah tidak diatur secara sistematis. Barulah pada masa penjajah Inggris, tanah untuk pertama kali diatur. Penjajah Inggris di bawah Stamford Raffles (1811) membentuk Komisi McKenzie untuk menelaah masalah agraria dan merekomendasi cara untuk memaksimalkan penggunaan lahan. Komisi ini menetapkan bahwa seluruh tanah hanya dimiliki raja atau pemerintah. Ketika Belanda kembali menjajah menggantikan Inggris, pada 1830 diperkenalkan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Seperlima dari tanah petani harus menanam tanaman yang telah ditentukan pemerintah kolonial Belanda, antara lain: tembakau, tebu, teh, kopi dan berbagai tanaman untuk ekspor. Pada masa ini, pihak swasta Belanda memperjuangkan hak milik tanah pribumi (eigendom). Lalu, pada 1870 lahirlah Agrariche Wet yang mengatur tentang tanah hak milik mutlak (eigendom) bagi pribumi dan tanah negara. Masa ini sering disebut sebagai periode liberal (1870-1900). Sejak itu modal swasta Belanda dan Eropa masuk ke sektor perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Mereka menyewa tanah rakyat dengan skala tak terbatas. Pengelolaan liberal ini justru membuat petani hanya menjadi buruh tani, sementara raja-raja cenderung memberi konsesi lahan kepada pihak asing. Berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Di masa penjajahan Jepang, banyak perkebunan besar terlantar. Ironisnya, petani malah diwajibkan membayar pajak hingga 40% dari hasil produksi.

3.1   Hukum Agraria Kolonial.
Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1.  Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
2.   Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Dari konsideran UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1.Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan  berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :

1.      Sebelum tahun 1870.

a.      Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi. Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain;
1).    Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2).    Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3).    Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.

b.  Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya.
a.   Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung/desa;
b.   Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa  dari penduduk;
c.   Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk;
d.  Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
e.   Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f.    Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.

3. Masa Pemerintahan Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pahaj bumi. Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut penguasaannya, jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mempu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan dinerika kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.

4.Masa Pemerintahan Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun. Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.

Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal. Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang melihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa, sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda. Selain itu AW juga bertujuan untuk :
a.       Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan.
1).    Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka waktu lama, sampai 75 tahun.
2).   Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.
b.      Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1).   Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2).  Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom). Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.

3. Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia.  Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S. (Indische Staatsregeling) yakni 1). Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya;
2). Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti  Arab, India, dan lain-lain;
3).  Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan demikian di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis). Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara seperti yang sudah diuraikan di atas :
1.  Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2. Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-udang  Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum tanah pun berstruktur ganda atau dulaistik, dengan berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis. Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa hukum di kalangan orang-orang dari golongan bumi putera diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan hukum adatnya masing-masing. Demikian pula dengan kalangan orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang ditetpkan adalah hukum yang berlaku untuk golongan masing-masing.
Adapun hubungan-hubungan hukum antara orang-orang pribumi dan orang-orang non pribumi diselesaikan apa yang disebut Hukum Antar Golongan atau hukum intergentiel. Dalam peristiwa hubungan hukum semacam itu timbul pertanyaan hukum mana yang berlaku. Pertanyaan itu timbul karena pemerintah Hindia Belanda menganut apayang disebut asas persamaan derajat atau persamaan penghargaan bagi stelse-stelsel hukum yang  berlaku, baik hukum barat, hukum adat golongan pribumi maupun hukum adat golongan timur asing bukan Cina. Tidak ada salah satu di antaranya yang superior atau dihargai lebih tinggi dari yang lain. Maka dalam menyelesaikan peristiwa hukum antar golongan tidak musti salah satu stelsel hukum tertentu yang harus diberlakukan.  Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan ruang angkasa. Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang dikenal yaitu :
1)      Tanah eigendom, yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai kekuatan mutlak atas tanah tersebut;
2)      Tanah hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain yang dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya di samping hak opstal tersebut memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut kepada pemegang haknya juga diberikan wewenang-wewenang yaitu :
a).    Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b).    Dapat dijadikan jaminan utang;
c).    Dapat diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya menurut perjanjian yang telah ditetapkan bersama.
3) Tanah hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah orang lain dan menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut, keweangangan pemegang hak erfacht hampir sama dengan kewewnangan hak opstal.
4)  Tanah hak gebruis, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.

4. Sesudah Tahun 1942.
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c.  Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d.  Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e.   Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan yang lain ;
a.       Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;
b.      Hak perorangan atas tanah :
1)      Hak milik, hak yayasan;                             4)      Hak pakai;
2)      Hak wenang pilih, hak mendahulu;           5)      Hak imbal jabatan;
3)      Hak menikmati hasil;                                 6)      Hak wenang beli.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.

3.2 Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah. Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut:
a. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.
b. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
c. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960. Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4.  Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya.
B.  Politik Hukum Agraria Kolonial.
Politik agraria dimaksudkan adalah kebijaksanaan dalam bidang ke-agraria-an. Prof. Dr. Mahfud M.D. dalam bukunya “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”, memberikan pengertian politik hukum. Dalam bukunya itu disebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dengan demikian, politik hukum agraria merupakan arah kebijaksanaan hukum dalam bidang agraria dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dimana dalam pelaksanaan legal policy itu dapat dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang memuat asas, dasar, dan norma dalam bidang agraria dalam garis besar.

Sementara itu, politik hukum agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakni untuk mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.
Sistem kolonial ditandai dengan 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan dependensi. Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk peribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil peoduksinyaaunutk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadao penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologim pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.
Politik hukum agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet (AW) S.1870-55 dengan isi dan maksud serta tujuan sebagai berikut :

1.      Tujuan primer :
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah unutk waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atu mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing.
2.      Tujuan sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, yaitu :
a.       Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak Bumi Putera;
b.     Pemerintah hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari atasan dengan pemberian gantik kerugian;
c.      Bumi Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom);
d.      Diadakan peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan Bumi Putera.

Dalam perjalanan berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap tujuan skundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah mili pribumi langsung kepada orang-orang Belanda atau Eropa lainnya. Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah milik Bumi Putera dari pembelian orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, maka pemerintah Hindi Belanda mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod S.1875-179. Yang dimaksud dengan Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan orang Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah batal karenanya.

Selain AW, maka pemerintah Hindia Belanda juga telah mengeluarkan kebijakan agraria dalam Agrarische Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari ketentuan AW. AB ini diundangkan dalam S.1870-118. yang terpenting dalam AB ini adalah adanya pernyataan domein negara atau lebih dikenal dengan Domein Verklaring. Berkaitan dengan struktur agraria warisan penjajah, menurut Imam Soetiknjo, bahwa struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria kolonial apabila:

1.      Dipandang dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan hukum.
a.       Ada dua macam (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa dan diberlakukan di Hindia Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan hukum adat penduduk Bumi Putera;
b.      Hukum adat di Indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di pelbagai daerah (plurisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak bertentangan dengan politik agraria penjajah;
c.       Ada hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi yang bukan hukum barat, yaitu hak agraris eigendom.
2.      dilihat dari sudut objeknya, tidak ada kesamaan status subjek.
a.       Ada pemegang hak yang orang orang Bumi Putera, ada yang bukan orang Bumi Putera yang sistem hukumnya berbeda;
b.     Yang bukan Bumi Putera ada : 1.Orang asing bangsa Eropa/Barat; 2.Orang keturunan asiang; 3. Orang Timur Asing.
3. dilihat dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara mausia dengan tanah.
a.      Ada besar golongan manusia (petani) yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai tanah yang sangat sempit;
b.     Di lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing, tuan tanah, pemilik tanah partikelir) yang memiliki/menguasai tanah;
4.      Dilihat dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam penggunaan tanah.
a. Tanah di Jawa dan Madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan;
b. Di luar Jawa, Madura dan Bali masih ada tanah luas yang bukan dibuka/diusahakan.
5.      Dilihat dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum.
a.    Penjajah Jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asing yang menguasai atau ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada di atasnya;
b.     Rakyat sendiri juga menduduki tanah perkebunan, pekarangan bahkan rumah orang asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah.

3.3  Masa kemerdekaan
Di awal kemerdekaan, pemerintahan Soekarno – Hatta sudah memberi perhatian pada masalah agraria. Pemerintah membentuk Panitia Agraria berdasarkan Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948. Panitia Agraria ini diketuai Sarimin Reksodihardjo. Tugasnya adalah memberi usulan dan pemikiran untuk membuat Undang-Undang Agraria menggantikan UU Kolonial. Inilah cikal bakal lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang sering disingkat UUPA. Lahirnya UUPA ini melalui proses yang panjang dengan berganti Panitia Agraria. Mulai dari Panitia Agraria Jogja (1948), kemudian Panitia Jakarta (1951), Panitia Soewahjo (1956), Rancangan Soenario (1958), sampai dengan Rancangan Sadjarwo (1960). Proses panjang ini tidak lepas dari persoalan negara baru yang menyesuaikan berbagai aturan. Di samping itu terjadi pula perdebatan filosofis dan teknis tentang arah UUPA. Namun, semua rancangan UUPA itu sudah meletakkan dasar-dasar keberpihakan pada rakyat dan petani. Setelah Pemilu 1955, Panitia Agraria di bawah Soewahjo Soemodilogo berhasil menyusun Rancangan Undang-Undang

(RUU) Agraria Nasional yang intinya penghapusan asas domein (kolonial) diganti penguasaan oleh negara dan asas bahwa tanah dikerjakan oleh pemiliknya. Sayangnya, Panitia Soewahjo tidak sampai meneruskan RUU ke DPR. Baru pada masa Panitia Soenario, tepatnya 24 April 1958, pemerintah menyampaikan RUU PA. Namun, Presiden Soekarno ketika itu meminta adanya pengkajian yang lebih mendalam dengan melibatkan Panitia ad hoc DPR, Universitas Gadjah Mada dan Departemen Agraria. Dari pengkajian itu akhirnya disusunlah naskah baru RUU PA pada 1959. Naskah ini disampaikan pada DPR GR sebagai Rancangan Sadjarwo pada 1 Agustus 1960. Pada 24 September 1960, RUU ini oleh DPR GR diundangkan sebagai UU No. 5 Tahun 1960 atau dikenal juga dengan nama Undang-Undang Landreform. Dalam sidang Dewan Pertimbangan Agung pada 13 Januari 1960, Menteri Agraria Sadjarwo menyatakan ada tiga pekerjaan di bidang agraria. Pertama, perubahan UU Agraria Kolonial yang masih berdasar atas domein-beginsel dan penyusunan UU Agraria Nasional. Kedua, Land-reform yang artinya perubahan dasar struktur pertanahan. Ketiga, Land-use-planning atau perencanaan penggunaan tanah dalam rangka pembangunan semata. Menurut Sadjarwo, UUPA berlandaskan Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Karena negara adalah penjelmaan rakyat, maka negara mempunyai hak untuk mengatur, membangun wilayah, untuk kepentingan rakyat dan negara agar tercapai masyarakat yang adil dan makmur. Mengingat UUPA hanya peraturanperaturan dasar dan mengenai hal-hal pokok, maka UU tersebut perlu dilengkapi dengan perangkat peraturan lanjutan. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Aturan ini secara populer dikenal sebagai Undang-Undang Landreform. Aturan ini memerintahkan kepada pemerintah untuk mengusahakan agar setiap keluarga petani memiliki minimal 2 hektar tanah. Gerakan Land-reform muncul karena tidak adanya keadilan sosial dalam masyarakat pertanian. Tanah dikuasai oleh tuan tanah (land-lords), sementara petani kecil dan petani tanpa tanah semakin banyak jumlahnya. Mereka menuntut tanah diberikan kepada petani. Seperti kata Sadjarwo, tujuan land-reform adalah untuk mengadakan

pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud ada pembagian hasil yang adil pula. Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA, seperti kata Presiden Soekarno, adalah tonggak untuk mengikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan pertanahan agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari berbagai macam penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah. Bahkan Bung Karno menyebut, “Land-reform adalah bagian mutlak dari Revolusi kita.” Pada 26 Agustus 1963, melalui Keputusan Presiden RI No. 169 Tahun 1963, tanggal 24
September, tanggal lahirnya UUPA, ditetapkan sebagai Hari Tani. Sayangnya pada masa Orde Lama, UUPA ini tidak sempat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.

3.4  Masa Orde Baru dan Reformasi
Begitu pula pada masa Orde Baru, terjadi perubahan haluan dan orientasi pembangunan. Prioritasnya adalah stabilisasi ekonomi, pembangunan basis industri, penciptaan lapangan kerja, dan yang tak kalah penting adalah swasembada pangan. UUPA tidak tersentuh dan masuk “kotak”. Namun, seiring dengan maraknya kasus sengketa tanah, Presiden Soeharto meminta Menteri Riset Prof. Soemitro Djojohadikusumo membentuk sebuah tim untuk mengkaji masalah pertanahan. Hasilnya, pada 1979, pemerintah mengukuhkan kembali UUPA 1960 tetap sah sebagai panduan dasar menyelesaikan persoalan pertanahan. Pada 1981, pemerintah mencanangkan Proyek Nasional Agraria (Prona) bagi masyarakat ekononi lemah. Program sertifikasi cukup dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun, implementasi UUPA itu sendiri tidak pernah tercapai. Pemerintah Orde Baru terlanjur mengandalkan Revolusi Hijau dan Trilogi Pembangunan tanpa Reforma Agraria. Pasca Orde Baru, ada upaya untuk melaksanakan dan menyempurnakan UUPA dengan lahirnya Tap MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap ini lahir dari MPR hasil Pemilu pertama di era reformasi. Sehingga, seharusnya Tap itu merupakan produk reformasi yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Sama seperti pemerintahan sebelumnya, pemerintahan pasca Orde Baru juga belum melaksanakan amanah Tap MPR itu.

Pemerintahan pasca Orde Baru dapat dikatakan lalai dan abai dalam mengimplementasikan Tap MPR itu. Ini berarti seluruh pimpinan bangsa dan negara pasca Orde Baru telah melakukan kelalaian kolektif, sehingga Tap MPR itu tidak dilaksanakan dengan baik. Reformasi di bidang legislasi terkait agraria belum dilakukan. Pada pidato 31 Januari 2007 di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menegaskan bahwa pemerintah akan menempuh reforma agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, pemerintah (setelah lima tahun pernyataan Presiden SBY) akan mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria. Menurut Kepala BPN, Joyo Winoto, RPP ini sudah matang, akan keluar pada Januari 2012 ini. Berdasarkan identifikasi BPN, terdapat 7,3 juta hektar tanah terlantar di 33 provinsi di Indonesia. Tanah itu dikuasai lembaga dan perseorangan, tapi tidak digunakan sesuai dengan izin atau dibiarkan terlantar secara fisik. Tanah ini akan menjadi obyek program reforma agraria. Kini, saatnya untuk merealisasikan program reforma agraria yang signifikan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.













BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
            Dengan adanya perkembangan politik hukum agraria di Indonesia telah memberi pecerahan kepada masyarakat akan pentingnya kepemilikan tanah yang sah yang diakui oleh SK Camat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan Badan Pertahanan Nasional. Dimana masyarakat dikedepankan akan pentingnya kesejahteraan rakyat luas yang secara tegas diatur dalam ketetuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu ; “bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai titik awal dasar politik hukum agraria di Indonesia. Kita sebagai warga negara sangat merindukan upaya-upaya untuk menghadirkan Pancasila, Konstitusi dan paham konstitusionalisme yang sanggup memberi arah dan inspirasi bagi usaha-usaha mewujudkan keadilan agraria yaitu; kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam dan wilayah hidup warga pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya.

4.2 SARAN
            Kesemua hal ini selayaknya dijadikan alas bagi kehadiran upaya-upaya dan sungguh-sungguh mengerjakan dan membentuk kembali birokrasi agraria dalam rangka mewujudkan keadilan sosial yang harus ditempatkan seiring sejalan dengan upaya sungguh-sungguh mengubah posisi rakyat miskin pedesaan dari penduduk menjadi warga negara serta menjamin hak-hak atas kepunyaan kepemilikan tanah milik rakyat dalam hal ini diberikan kemudahan dari Badan Pertanahan Nasional untuk mendata serta mengeluarkan sertifat tanah warga negara dengan harga terjangkau.





DAFTAR PUSTAKA


Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai Hukum Dasar (Konstitusi) Negara Republik Indonesia adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno.

John Gilissen , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005


Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994


W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta


Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999


Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.


Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996


Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005


Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 1999